Anda di halaman 1dari 8

Nama : Siti Rofatul Jannah

Semester : Enam (VI)


MK : Fiqih & Ushul Fiqh dalam Pembelajaran PAI
Dosen Pengampu : KH. Mahsun Muhammad, MA

Kaidah fikih :
‫اليقين ال يزول بالشك‬
“Sesuatu yang meyakinkan tidak dapat hilang hanya dengan keraguan“
Landasan Dalil & Makna Dalil
1. Al-Quran
Fondasi terbangunnya kaidah ini adalah firman Allah Swt. Dalam QS. Yunus : 36
`yang berbunyi :
ِّ ‫ظنًّا ۚ ِإ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
َ‫ق َش ْيًئا ۚ ِإ َّن هَّللا َ َعلِي ٌم بِ َما يَ ْف َعلُون‬ َ ‫َو َما يَتَّبِ ُع َأ ْكثَ ُرهُ ْم ِإاَّل‬

“Kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali prasangka saja sesungguhnya prasangka tidak
akan mengantarkan kebenaran sedikit pun.”
Ayat ini pada mulanya menyoroti karakter orang-orang musyrik yang sering kali berpegang
pada prasangka yang tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Terhadap tuhan yang mesti
disembah pun mereka cenderung berimajinasi pada benda-benda mati yang dalam persepsi
mereka dapat memberi jaminan keselamatan dan kelangsungan hidup. Dengan hal ini Allah
swt. Memberi penegasan akan hal yang mesti dijadikan pijakan berpikir dan bertindak; yakni
yang jelas-jelas dapat menunjukkan pada kebenaran, bukan yang masih diragukan. Karena
walau bagaimanapun, hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda tanya tidak
dapat disejajarkan dengan keyakinan. Dari penegasan ini kan memunculkan keniscayaan
bahwa apabila terjadi keragu-raguan yang berpotensi untuk mempengaruhi hal-hal yang telah
diyakini sebelumnya, sudah barang tentu tidak dapat mempengaruhi keyakinan yang sudah
ada selama belum ada elmen-elemen fundamental yang dapat menunjukkan bukti valid
bahwa keyakinan itu tidak sesuai ‫ذ‬kenyataan
2. Hadits
Hadis nabi Muhammad yang menjadi fondasi kaidah ini antara lain
)‫(روه مسلم‬.‫صوْ تًا َأوْ يَ ِج َد ِريحًا‬ ْ َ‫اِ َذا َو َج َد َأ َح ُد ُك ْم فِي ب‬
َ ‫ َش ْي ٌء َأ ْم اَل ؟ فَاَل يَ ْخ ُر َج َّن ِم ْن ْال َم ْس ِج ِد حتَّى يَ ْس َم َع‬، ‫طنِ ِه َشيْئا ً فََأ ْش َك َل َعلَ ْي ِه‬
Apabila salah seorang diantara kalian merasakan sesuatu di dalam perutnya, kemudian dia
ragu, apakah telah keluar sesuatu (dari perutnya) atau tidak, maka janganlah ia keluar dari
masjid (membatalkan shalatnya), sampai i mendengar suara atau mencium bau” (H.R
Muslim)
Menurut al nawawi, hadis ini merupakan salah satu landasan dasar yurisprudensi ilam yang
kemudian dijadikan fundamen terbangunnya kaidah Kaidah Fiqh. Dari hadis ini pula
terbangun konsep serta metodologi analitis mengenai status objek, yakni dengan cara melihat
status hukum asalnya yang tidak akan berubah hingga ada unsur eksternal yang valid dan
mampu mempengaruhi keasliannya.
Secara eksplisit, hadis ini memang berbicara dalam konteks seseorang yang ragu apakah telah
merasakan keluarnya angin (kentut) atau tidak. Dalam hal ini nabi menegaskan, keraguan
yang baru muncul itu tidak dapat mempengaruhi status wudlunya. Kecuali dia memang
benar-benar mendengar bunyi atau mencium bau angin tersebut. Proses mendengar atau
mencium bau ini, bisa dijadikan indikasi kuat (amarah) bahwa wudlunya telah batal.
Kedua, Hadits riwayat Bukhari-Muslim r.a :

ِ ‫صوتًا أو‬
‫يج َد ِريَحًا‬ َ ‫ص ِر ف حتى يَ ْس َم َع‬ َّ ‫ش ِكى الى رسو ِل هّللا عليه وسلم ال َر ُج ُل يُ َخيَّ ُل ال ْي ِه أنهُ يَ ِج ُد ال َشَئ فِى ال‬
َ ‫ ال يَ ْن‬،‫صاَل ِة‬
Nabi saw diberi kabar mengenai seseorang yang merasakan angin (yang keluar dari perut)
dalam shalatnya. Beliau bersabda “janganlah dia berhenti Shalat sampai ia mendengar suara
atau mencium bau.”
Hadis kedua ini merupakan ‘lanjutan’ dari hadits pertama, sekaligus penegasan akan
substansi yang terkandung di dalamnya. Dalam hadits ini , Nabi saw kembali menegaskan
dua hal; keraguan yang berupa perasaan keluar angin tidak dapat merubah status hukum yang
telah diyakini sebelumnya, yakni kondisi suci dalam Shalat; kedua, keyakinan yang ada
hanya dapat ‘dikalahkan’ oleh keyakinan yang lain; berupa kepastian batalnya Shalat
disebabkan keluarnya ‘angin’ yang bisa dipastikan dengan mendengar suara atau mencium
baunya, Ketiga, hadits riwayat muslim r.a :
ْ ‫ك‬
‫ ثُ ًم يَ ْسجُد َسجْ َد تَي ِْن قَب َْل اً ْن‬، َ‫وليَب ِْن عَلي َما ا ْستَ ْيقَن‬ ْ َ‫اربعًا ؟ فَ ْلي‬
ٌ ‫ط َرح ال َش‬ َ ‫ك َأ ُد ُك ْم فِي‬
ِ ‫صاَل تِ ِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم صلَّى ثَالثًا أ ْم‬ َّ ‫ِإ َذ َش‬
َ
‫ وان كان صلي إتما ما الربع كانتا ترْ غي ًما للشيطا ن‬،‫صلي َخ ْمسًا شفعن له صالته‬ ٌ َ َ‫إن َكن‬ ٌ
ْ َ‫ ف‬،‫َسل َم‬
“Apabila diantara kalian ragu dalam shalatnya apakah dia telah mencapai tiga atau empat
rakaat ? maka hendaknya di membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpegang lah pada
keyakinannya, kemudian sujud (sujud sahwi) lah dua kali sebelum salam. Jika
(kenyataannya) dia Shalat sampai lima rakaat, maka shalatnya akan genaplah shalatnya.
Namun bila empat rakaat, dua sujudnya akan membuat malu setan.”
Secara substantif, hadits ini sama dengan dua hadis sebelumnya, walaupun objeknya berbeda.
Jika pada dua hadits sebelumnya yang disinggung adalah keraguan seseorang mengenai
status hukum wudlu, maka hadits ketiga ini berbicara mengenai keraguan yang terjadi pada
jumlah bilangan rakaat. Apabila dalam Shalat timbul keraguan mengenai jumlah bilangan
rakaat, maka yang dijadikan pedoman ( ma istayqana) adalah bilangan minimal. Sebab
bilangan inilah yang diyakini. Karena apabila yang dipilih adalah bilangan yang lebih besar,
maka akan ada salah perhitungan. Tetapi jika jumlah minimal yang menjadi pilihan sebagai
landasan untuk untuk meneruskan shalat kemungkinan salahnya sangat tipis.
Keempat, hadits riwayat Al Turmudzi r.a :
ْ ™،‫فأن ْلم يتيقً ْن صلى ْاثني ِن‬
‫فأن لَ ْم يَ ْد ِر أثالثًا صلَّى‬ ْ ،‫ِأ َذا َسهَا أ َح ُد ُك ْم فِى صًالتِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َو ِحدةً صلَّى أ ْم ْاثنتَ ْي ِ™ن فَ ْليَ ْب ِن على َوا ِحد ٍة‬
ْ ‫ و ْليَ ْس ُح ْد َسحْ َدتَي ِْن قَبل‬،‫ث‬
‫أن يُسلِّ َم‬ ٍ ‫أ ْم أرْ ب َعا ْفلي ْب ِن على ثال‬.
“ Ketika salah satu diantara kamu sekalian lupa di dalam Shalat, apakah sudah mencapai satu
atau dua rakaat ? Maka hendaklah dia meyakini sebagai rakaat pertama . apabila kalia tidak
yakin apakah Shalat dua rakaat atau tiga ? maka hendaklah meyakinkan pada rakaat yang
kedua. Apabila tidak tahu apakah tiga atau empat, maka hendaklah melanjutkan rakaat yang
ketiga. Dan hendaklah melakukan dua sujud (sahwi) sebelum salam.”
Dalam hadits ini Nabi saw lebih menjelaskan maksud dari ma istayqana. Apabila ragu antara
satu dan dua, maka yang dipilih adalah satu. Demikian pula keraguan yang terjadi antara dua
dan tiga, maka yang dipilih adalah dua dan seterusnya. Artinya bahwa, apabila terjadi
keraguan dalam hal bilangan semisal jumlah rakaat maka yang dijadikan pegangan (al-
mu’tamar) adalah bilangan yang lebih sedikit.
Dari semua hadits yang telah disebutkan di atas, dapat dipetik satu peasn esensial bahwa
hukum segala sesuatu harus dilihat dan kondisi asal yang meyakinkan. Jika kondisi semula
adalah batal maka faktor eksternal yang muncul kemudian tidak akan dapat mempengaruhi
status hukum batal itu, sehingga hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asal
nya adalah sah, maka hukum selanjutnya tetap sah, dengan catatan tidak ada bukti yang
meyakinkan yang mampu merubahnya. Dari sinilah terbangun Al Yaqin la yuzalu bi al syak.
B. Pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Al-Syakk
Al-Yaqin menurut kebahasaan berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya,
sedangkan Asy-Syakk bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.

Menurut istilah dari beberapa tokoh yakni:


§ Menurut As-Syuyuthi Al-Yaqin adalah “sesuatu yang tetap dan pasti yang dapat
dibuktikan melalui penelitian dan menyertakan bukti-bukti yang mendukungnya”.
§ Menurut Imam Abu Al-Baqa’ Al-Yaqin adalah “pengetahuan yang bersifat tetap dan pasti
dan dibenarkan oleh hati dengan menyebutkan sebab-sebab tertentu dan tidak menerima
sesuatu yang tidak bersifat pasti”.
§ Menurut Imam Al-Maqarri Asy-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu (meragukan)
antara ada atau tidak ada”.
§ Menurut Imam Al-Jurjani As-Syakk adalah “sesuatu yang tidak menentu (meragukan)
antara sesuatu yang berlawanan, tanpa dapat dimenangkan salah satunya”.
Untuk dapat memahami kaidah ini, terlebih dahulu harus mengetahui bahwa tingkat daya hati
dalan menangkap sesuatu selalu berbeda-beda, yakni :
1. Al-Yakin
Secara bahasa mengetahui dan hilangnya keraguan. Al-Yakin merupakan kebalikan dari Al-
Syakk. Bisa disimpulkan bahwa Al-Yakin adalah bentuk penetapan dan penenangan atas
sesuatu yang sekiranya tidak tersisa lagi keraguan. Keyakinan yang tidak bisa dihilangkan
oleh keraguan yang baru datang, dan keyakinan semacam ini tidak bisa hilang kecuali dengan
keyakinan yang sederajat.
2. Ghalabah al Dzan
Ghalabah al Dzan bisa digambarkan ketika seseorang dihadapkan pada dua kemungkinan. Ia
menduga salah satunya lebih unggul dan hatinya lebih condong untuk membuang salah satu
lainnya yang lemah, maka yang lebih unggul disebut Ghalabatul al dzan.

3. Al dzan
Menurut para ahli fiqh jika salah satu dari dua kemungkinan itu lebih kuat dan bisa
mengungguli yang lain, namun hati enggan mengambil yang kuat dan enggan juga
membuang lainnya yang lemah, maka inilah yang disebut al-dzan. Sedangkan jika hati
berpegang pada salah satunya dan membuang yang lain maka disebut Ghalabatul al dzan.
4. Al Syakk
Al-syakk secara bahasa artinya ragu atau bingung. Secara terminologi, al-syak adalah setara
antara dua perkara, yaitu berhenti/tidak bisa menentukan diantara dua perkara dan hati tidak
condong pada salah satunya. Sementara Al Razi menjelaskan, ragu diantara dua perkara, jika
keduanya seimbang, maka disebut Al Syak. Jika tidak seimbang, maka yang lebih unggul
disebut dzan dan yang lemah disebut salah duga/al wahn.
C. Macam-macam Kaidah Cabang Al-Yaqinu la Yuzalu bi al-Syak
‫اَأْلصْ ُل َما َكانَ َعلَى َما َكان‬
Asal itu tetap sebagaimana semula bagaimanapun keberadaannya)
Kaidah ini menandaskan bahwa suatu perkara yang telah berada pada suatu kondisi tertentu
dimasa sebelumnya, akan tetap seperti kondisi semula selama tidak ada dalil yang
menunjukkan terhadap hukum lain. Alasan utama mengapa hukum pertama harus dijadikan
pijakan, karena dasar segala sesuatu adalah tidak berubah dan tetap sepereti sediakala.
Sementara kemungkinan berubah dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan bersifat
spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum. Contohnya, seseorang yang ragu
apakah sudah berhadats atau belum, maka maka yang dijadikan ukuran adalah kondisi yang
sebelumnya. Apabila dalam kondisi sebelumnya i belum berwudlu, maka ia dihukumi
berhadats, tapi bila sebelumnya ia sudah bersuci maka dihukumi suci,
Contoh yang lain adalah seseorang yang ketika Shalat Jumat meragukan apakah Shalat yang
dilaksanakan sudah keluar waktu atau belum, keraguan semacam ini tidak akan
mempengaruhi keabsahan Shalat yang sedang dilaksanakan. Sebab, keluarnya waktu adalah
sebuah kemungkinan yang bersifat baru, padahal kondisi asalnya, waktu Shalat Jumat itu
masih tetap ada, dan secara otomatis kondisi asal tersebut tetap bertahan hingga Shalat selesai
dilaksanakan.
Contoh selanjutnya adalah seserorang yang sudah berniat wudlu sebelum membasuh muka
yang merupakan permulaan rukun wudlu. Biat itu ia laksanakan saat melaksanakan
kesunahan wudlu, baik saat berkumur atau memasukan air ke hidung. Ketika mulai
membasuh muka, barulah timbul keraguan dalam hatinya, apakah niat yang dilakukan sejak
berkumur itu masih da atau hilang. Dalam kondisi seperti inia, wudlunya tetap dihukumi sah,
karena keraguan itu timbul dan bersifat spekulatif. Padahal sebelumnya ia telah meyakini
bahwa dirinya telah berniat sehingga niat tersebut dianggap ada dan berlangsung hingga ia
membasuh mukanya.
‫ األصْ ُل بَ َرا َءةُ ال ِّد َم ِة‬Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
“Hukum asal yang dijadikan kaidah oleh para Imam adalah bara’ah adz-dzimrnah (bebas dari
tanggungan), wahai orang yang mempunyai himmah.”
Penjelasan :
Termasuk sub kaidah yang dijadikan hukum asal oleh ulama dan kaidah ke dua adalah
bara’ah adz-dzimmali (bebas dari menanggung hak-hak orang lain ketika hak-hak tersebut
tidak menjadi tanggungan seseorang. Berlandaskan kaidah ini, satu orang saksi saja tidak bisa
menjadi dasar penetapan seseorang harus menanggung hak-hak orang lain, selama tidak ada
bukti pendukung lain atau sumpah dari pihak penuntut. Berdasar kaidah ini pula, yang
diterima dalam persidangan adalah statemen terdakwa, karena menetapi kaidah asal. Kaidah
mi hanya berlaku bagi orang yang belum ditetapkan memiliki tanggungan, sehingga tidak
berlaku bagi orang yang sudah ditetapkan memiliki tanggungan. Berikut ini beberapa aplikasi
sub kaidah di atas:
a. Budi mendakwa Rafi, bahwa ia hutang kepadanya, sedangkan Rafi menolak tuduhan
Budi. Dalam kasus ini Rafi yang harus dibenarkan oleh hakim dengan sumpahnya. Sebab,
hukum asalnya adalah. Rafi tidak mempunyai tanggungan hutang. Lain halnya jika Rafi
mengakui punya hutang kepada Budi, dan menyatakan telah melunasinya. Sebab, dalam
kasus ini sudah ada ketetapan Rafi memiliki tanggungan kepada Budi.
b. Susi mengakui punya hutang satu juta pada Siti, sedangkan Siti menyatakan bahwa
hutang Susi sejumlah dua juta. Dalam kasus ini yang dimenangkan adalah Susi, sebab pada
prinsipnya Susi terbebas dari tanggungan melebihi dari yang diakuinya sejumlah satu juta.
c. Seseorang ragu, apakah punya tanggungan qadha’ shalat atau tidak? Maka ia tidak
berkewajiban mengqadha’ shalat, sebab hukum asalnya adalah terbebas dari tanggungan
qadha’. Berbeda bila permasalahannya apakah hari ini sudah Shalat atau belum? Maka ia
harus melaksanakan Shalat, sebab sudah ada keyakinan kewajiban Shalat pada hari ini yang
harus dilaksanakan, dan ketika ragu apakah telah melaksanakan kewajiban atau belum, maka
dihukumi belum melaksanakan, sebagaimana kaidah berikutnya.
‫األ صْ ُل َع َد ُم الفِع ِْل‬Hukum asal adalah tiadanya pekerjaan)
Kaidah ini menandaskan, bahwa pada dasarnya setiap mukallaf dinilai belum melakukan
sebuah pekerjaan, sebelum pekerjaan sudah benar-benar wujud secara nyata dan diyakini
keberadaannya,. Bayak masalah-masalah fiqhiyah yang termasuk cakupan kaidah ini,
diantaranya adalah seseorang yang merasakan keraguan dalam Shalat subuh, apakah ia telah
mengerjakan qunut atau tidak, maka ia dianjurkan melakukan sujud sahwi, karena hukum
asalnya dia tidak melaksanakan qunut.
Selain itu dalam kaidah ini tercakup kaidah lain yang memiliki ’nafas’ senada denngan
kaidah diatas ayitu, seseorang yang telah yakin melakukan suatu perbuatan tapi masih ragu,
apakah yang dikerjakan bilangan yang lebih banyak atau sedikit, maka hendaknya ia
memilih bilangan yang sedikit, karena bilangan minimal ini sudah pasti dikerjakan. Contoh
seorang suami yang menceraikan istrinya, kemudian timbul keraguan apakah ia telah
menjatuhkan dua atau tiga talak ? maka yang dijadikan pijaan hukum adalah bilangan talak
yang lebih sedikit, karena yang lebih sedikit adalah bilangan yang diyakini.
‫ث تَقَ ِّد ُرهُ بَِأ ْق َربِال َّز َمان‬
ِ ‫الأل صْ ُل فِى ُك ِّل َحا ِد‬Asal setiap kejadian dilihat dari waktu yang lebih
terdekat
Kaidah diatas terdapat dalam kitab-kitab madzhab Syafi’i, sedangkan dalam kitab-kitab
madzhab Hanafi juga terdapat “hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu
yang lebih dekat dengannya” secara substansi sama saja.
Hukum asal perkara yang baru datang adalah dikira-kirakan dengan waktu terdekat,
sebagaimana yang ditetapkan.”
Penjelasan :
Maksud kaidah adalah hukum asal setiap perkara yang baru datang adalah mengira-
ngirakannya terjadi pada waktu yang paling dekat. Lebih jelasnya, perhatikan beberapa
contoh berikut:
a. Orang yang melihat sperma di pakaiannya, padahal tidak ingat bermimpi basah, maka ia
wajib mandi besar menurut pendapat Shahih. Ia juga berkewajiban mengulangi shalat-shalat
yang dilakukan setelah tidurnya yang terakhir. Karena tidur terakhir itulah masa terdekat
kemungkinan ia keluar sperma.
b. Dalam waktu beberapa hari seseorang wudhu di sumur, dan melakukan Shalat. Lalu ia
menemukan bangkai yang menajiskan airnya. Dalam kasus ini, ia tidak wajib mengqadha’
shalatnya kecuali Shalat yang diyakininya dengan najis tersebut.
c. Orang memukul perut wanita hamil, lalu bayi di kandungannya lahir dalam keadaan sehat.
Namun dalam jarak beberapa waktu, si bayi meninggal. Dalam kasus ini, pemukul wanita[5]
‫ الأل صْ ُل فِى اَأْل ْشيَا ِء اِإْل بَا َحةُ َحتَّى يَ ُد َّل ال َّدلِ ْي ُل َعلَى التَّحْ ِري ِْم‬Hukum asal segala sesuatu adalah kebolehan
sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya).
Penemuan-penemuan baru yang tidak pada masa kini, telah dipersiapkan perangkat
hukumnya secara lengkap oleh Islam . jauh j-jauh hari Islam telah memprediksikan hal itu
dan memberikan ketentuan-ketentuan hukum dalam bingkai kaidah yang sangat sederhana,
yaitu al ashlu al iabah.
Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan jika kita menemukan hewan, tumbuhan
atau apa saja, yang belum diketahui status hukumnya dalam syari’at. Semua jenis barang
tersebut dihukumi halal, sesuai substansi yang terkandung kaidah ini.
Namun perlu dicatat, sebenarnya masih terjadi perbedaan pendapat diantara kalangan ulam
seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas ulama syafiiya menyatakan bahwa hukum asal
segala sesuatu adalah halal, selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Sebaliknya
beberapa ulamak hanfiyah berpendapat bahwa hukum asal seala sesuatu adalah haram,
selama tidak ada dalil yang menghalakan.
َ ‫ الأل صْ ُل فِى ْال َكلَ ِم‬Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya)
ُ‫الحقِ ْيقَة‬

Makna asal suatu ucapan adalah hakikatnya tidak boleh diarahkan pada makna majaznya
kecuali terdapat faktor yang menetapkan ucapan itu harus diarahkan pada majaz, seperti tidak
mungkin diarahkan pada makna hakikatnya. Maksud hakikat adalah lafal atau kata yang
digunakan sesuai dengan maksud lafal tersebut dimunculkan pertama kalinya. Sedangkan
majaz adalah penggunaan makna ke dua dari asal lafal tersebut dimunculkan. Berikut
beberapa contoh aplikasi kaidah ini :
a. Jika seseorang mewakafkan harta pada anaknya (5ST,i) maka cucunya tidak masuk dalam
lafal tersebut, sebab hakikat anak adalah anak kandung.
b. Orang bersumpah tidak akan membeli sesuatu, kemudian ia mewakilkan kepada orang lain
untuk membeli barang, maka ia dihukumi tidak melanggar sumpah. Sebab, pada hakikatnya
ia tidak melakukan pembelian.
c. Wakaf kepada orang hafal al-Qur’an, maka tidak memasukan orang yang pernah hafal al-
Qur’an namun lupa. Sebab, meski ia pernah hafal al-Qur’an, pada hakikatnya sekarang sudah
tidak hafal.
d. Bersumpah tidak akan membeli barang. Maka orang yang bersumpah tidak dihukumi
melanggar sumpah kecuali dengan pembelian yang sah menurut syara’. Sebab hakikat
pembelian menurut syara’ adalah pembelian yang sah.
e. Bersumpah tidak akan memakan kambing, maka dihukumi melanggar sumpah ketika
memakan dagingnya, karena dagingnya merupakan hakikat dari kambing. Namun ia tidak
dihukumi melanggar sumpah jika memakan kulit atau meminum susunya.
. ‫اع التَّحْ ِريْم‬ َ ‫األ صْ ُل فِى اَأْلب‬
ِ ‫ْض‬
Hukum asal abdla’ (fajri) adalah haram)
Abdla adalah bentuk jamak dari kata budl’ yang makna sinonimnya adalah farji atau
vagina. Budl juga dapat berarti menikahi (tazwij), seperti halnya al nikah yang mempunyai
yang mempunyai dua arti; dapat diartikan bersetubuh (wath’i) dan akad pernikahan (aqd al
nikah) dalam redaksi lain, kaidah ini diungkapkan dengan kata-kata; al ashlu fil al nikah al
hadzru; hukum asal pada hal- hal yang berhubungan dengan nikah adalah dilarang. Perbedaan
redaksional pada kaidah ini lebih dipicu oleh faktor penggunaan dua kata yang berbeda, yakni
al budl dan al nikah, yang sebenarnya memiliki kemiripan makna. Karena itu, dua kaidah ini
sebenarnya hanya berbeda ungkapan namun memiliki hakikat yang sama.
Secara umum dua kaidah diatas mendasarkan bahwa, hukum asal pernikahan, yang selalu
terkait dengan persoalan hubungan intim antara suami istri, adalah haram. Sementara
diperbolehkannya hubungan seksual diantara keduanya, hanya berlaku setelah melalui proses
pernikahan, dilatarbelakangi oleh adanya suatu kebutuhan dasar dan mendesak, yaitu demi
menjaga kelestarian keturunan dan mempertahankan populasi manusia.
Dari pokok pikiran semacam in, muncullah pemahaman bahwa, bila hukum haram dan halal
berkumpul pada ‘diri’ satu orang wanita maka yang diunggulkan adalah hukum haramnya.
Dengan kata lain, yang dijadikan pijakan hukum pada diri wanita adalah haram, sebab hukum
asal budlnya haram. Contohnya bila seseorang suami menalak tiga pada salah satu diantara
keempat istrinya, tapi dikemudian hari ia telah lupa siapa istri yang telah ia ceraikan, maka
terdapa dua pendapat hukum dalam hal ini
Pertama, untuk menentukan siapa yang halal atau yang masih sah sebagai istrinya dan siapa
yang haram , maka harus dipilih dengan cara pengundian (qar’ah). Wanita yang tidak keluar
undiannya mempunyai hukum halal bagi sang suami. Statmen pertama versi imam Ahmad
bin Hambal ini didasari argumen, bila keadaan sangat mendesak (dlarurat), maka kedudukan
undian sama dengan saksi atau informan (mukhbir) yang mampu memberi “informasi
Hukum” secara valid.
Kedua, untuk menyelesaikan permasalahan diatas tidak dengan mengundi, namun harus di
diamkan (tawaquf) dan menunggu waktu sampai ada kejelasan, siapakah istri yang ditalak.
Statmen terakhir ini di dukung oleh ibnu qadamah, dan statemen awal di dukung oleh
mayoritas ulama madzhab Hambali.

- Tidak dianggap, persangkaan yang jelas salahnya


Apabila seorang debitor telah membayar hutangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor
atau penanggung jawabnya membayar lagi uang debitor atas sangkaan bahwa hutang belum
dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggung jawabnya berhak meminta
dikembalikan uang yang dibayarnya, karena pembayarannya dilakukan atas dasar prasangka
yang jelas segalanya.
- Tidak diakui adanya wahan (kira-kira)
Bedanya zhann dan wahann adalah di dalamnya zhann yang salah itu prasangkaannya.
Sedangkan dalam wahann, yang salah itu zatnya. Apabila seseorang meninggal dengan
meninggalkan sejumlah ahli waris, maka harta warisan dibagikan diantara mereka, tidak
diakui ahli waris yang dikira-kira.

Anda mungkin juga menyukai