Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

Kaidah fikih :

‫اليقين ال يزول بالشك‬

“Sesuatu yang meyakinkan tidak dapat hilang hanya dengan keraguan“

Di susun oleh :

1. Angga Guspiangnga
2. Yuli Audisty
3. Hamka
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Pelindung semua makhluk dan
tempat mengadu semua hamba yang beriman. Saya bersyukur kepada-Nya atas nikmat-nikmat yang
telah diberikannya, baik nikmat iman, nikmat Islam, nikmat ihsan dan nikmat diberikannya kesempatan
untuk menyelesaikan MAKALAH yang sangat sederhana ini, sebuah makalah tentang kaidah fikih.

Shalawat dan salam ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul terpilih (al-mushthafa), dan manusia
teladan (uswah hasanah) untuk setiap tindakan yang kita lakukan. Juga ditujukan kepada keluarganya,
sahabat-sahabatnya, para tabi’in dan atba’ tabi’in, serta orang-orang saleh yang mengikuti mereka
hingga hari kiamat.

Wa ba’du
BAB PEMBAHASAN II

A.pengertian kaidah fiqih

Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah. Al-qawa‟id
merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau
patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah secara
kebahasaan berarti fondasi atau dasar.1

Kata alqawa`id dalam Al-Qur`an ditemukan dalam surat alBaqarah ayat 127 dan surat an-Nahl ayat 26
juga berarti tiang, dasar atau fondasi, yang menopang suatu bangunan. Sedangkan kata al-fiqhiyah
berasal dari kata al-fiqh yang berarti paham atau pemahaman yang mendalam (al-fahm al-„amiq) yang
dibubuhi ya‟ an-nisbah untuk menunjukan penjenisan atau pembangsaan atau pengkategorian. Dengan
demikian, secara kebahasaan, kaidah-kaidah fiqh adalah dasar-dasar, aturan-aturan atau patokan-
patokan yang bersifat umum mengenai jenis-jenis atau masalah-masalah yang masuk dalam kategori
fiqh.

B.Kedudukan Kaidah “Sesuatu yang meyakinkan tidak dapat hilang hanya dengan
keraguan“

Kaidah ini merupakan kaidah yang sangat agung di dalam syariat Islam, dan banyak
permasalahan fikih yang dilandasi oleh kaidah ini. Kaidah ini meng-cover banyak permasalahan,
mulai dari masalah ibadah, muamalah, hingga hal-hal yang berkaitan dengan hukuman bagi para
pelaku kriminal atau yang dikenal dalam dunia fikih dengan sebutan hudud.

Imam Suyuthi berkata, “Kaidah ini dapat diterapkan di semua bab-bab fikih, dan
permasalahan fikih yang dicakup kaidah ini mencapai tiga perempat permasalahan”2

Imam nawawi berkata, “Kaidah ini merupakan kaidah yang umum (mencakup banyak
permasalahan), dan tidak keluar dari kaidah ini kecuali beberapa permasalahan saja”3

Kaidah ini juga menunjukkan kepada kita kesempurnaan agama Islam yang kita cintai ini.
Apabila kita menerapkan kaidah ini, maka kita akan semakin yakin bahwa Islam adalah agama
yang membawa rahmat bagi semesta alam, karena kita semua sadar bahwa kehidupan kita tidak
akan pernah terlepas dari kondisi yang disebut dengan keraguan, yang mana dari keraguan ini
dapat muncul was-was yang pada akhirnya mengganggu kegiatan ibadah seseorang, terutama di
dalam permasalahan taharah dan salat. Akan tetapi Islam dengan segala kesempurnaannya
memberikan jalan keluar kepada umatnya, yaitu dengan adanya kaidah yang agung ini.

Imam Ibnu Abdil Bar berkata, “Para ulama sepakat bahwa barang siapa yang yakin dia telah
berhadas kemudian dia ragu-ragu apakah telah berwudu atau belum, maka keraguannya ini
1
al-Ashfihani, 1961: 409

2
Al-Asybah wan Nazhoir, hal.51

3
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab juz.1 hal.258
tidaklah berfungsi sama sekali dan dia tetap wajib untuk berwudu kembali. Hal ini menunjukkan
bahwa ragu itu tidak dianggap menurut ulama sebab yang menjadi ukuran adalah sesuatu yang
meyakinkan. Ini merupakan pokok yang sangat agung/esensial dalam permasalahan fikih.”4

C.Makna Kaidah Fikih Keyakinan

ُ‫اليَقِيْن‬ secara bahasa adalah kemantapan hati, diambil dari kalimat bahasa Arab ‫يقن الماء في الحوض‬
“air itu tenang di dalam kolam”. Yakin juga dapat diartikan dengan ilmu yang tidak ada keraguan
di dalamnya. Adapun ‫الشك‬secara bahasa artinya adalah keraguan. Maksudnya adalah keraguan
dan kebimbangan terhadap dua hal yang tidak bisa dikuatkan salah satu dari keduanya.

Jadi, makna kaidah diatas adalah:

“Bahwa suatu perkara yang diyakini telah terjadi tidak bisa dihilangkan kecuali dengan dalil
yang pasti dan meyakinkan. Dengan kata lain, tidak bisa dihilangkan hanya dengan sebuah
keraguan. Demikian pula sebaliknya, suatu perkara yang diyakini belum terjadi maka tidak bisa
dihukumi telah terjadi kecuali dengan dalil yang meyakinkan pula.” (Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah
Al-Kubro oleh DR. Shalih bin Ghanim As-Sadlan hal.101)

D.Dalil Kaidah

Kaidah fikih keyakinan ini dilandasi banyak ayat dalam Al-quran dan hadis
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, diantaranya:

Firman Allah Ta’ala:

ِّ ‫َو َما يَتَّبِ ُع أَ ْكثَ ُرهُ ْم إِاَّل ظَنًّا إِ َّن الظَّ َّن اَل يُ ْغنِي ِمنَ ْال َح‬
‫ق َش ْيئًا‬

Artinya: “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunus: 36)

Firman Allah Ta’ala:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari persangkaan, sesungguhnya
kebanyakan dari persangkaan itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat: 12)

Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya, kemudian dia
kesulitan untuk memastikan apakah telah keluar sesuatu (kentut) atau belum, maka janganlah
dia keluar dari masjid (membatalkan salatnya) hingga dia mendengar suara atau mencium
bau.” (HR. Muslim: 362)

4
At-Tamhid juz.5 hal.27
Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

َّ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ال َّر ُج ُل الَّ ِذي يُخَ يَّ ُل إِلَ ْي ِه أَنَّهُ يَ ِج ُد ال َّش ْي َء فِي ال‬
َ َ‫صاَل ِة فَق‬
‫اَل‬:‫ال‬kk َ ِ ‫ع َْن َعبَّا ٍد ْب ِن تَ ِم ٍيم ع َْن َع ِّم ِه أَنَّهُ َش َكا إِلَى َرسُو ِل هَّللا‬
‫صوْ تا أوْ يَ ِج َد ِري ًحا رواه البخاري ومسلم‬ َ ً َ ‫ف َحتى يَ ْس َم َع‬ َّ ْ ‫ص ِر‬ ْ َ
َ ‫يَنفتِلْ أوْ اَل يَن‬ َ ْ

Artinya: Dari ‘Abbad bin Tamim dari pamannya berkata, “Bahwasanya ada seseorang yang
mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia merasakan seakan-akan
ingin kentut di dalam salatnya. Maka Rasulullah bersabda, “Janganlah dia membatalkan
salatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Bukhari: 137 dan Muslim: 361)

Hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

‫إ ِ ْن‬kَ‫لِّ َم ف‬k‫ك َو ْليَ ْب ِن َعلَى َما ا ْستَ ْيقَنَ ثُ َّم يَ ْس ُج ُد َسجْ َدتَي ِْن قَب َْل أَ ْن ي َُس‬ ْ
َّ ‫ح ال َّش‬ ِ ‫صلَّى ثَالَثًا أَ ْم أَرْ بَعًا فَ ْليَط َر‬ َ ‫ك أَ َح ُد ُك ْم فِى‬
َ ‫صالَتِ ِه فَلَ ْم يَ ْد ِر َك ْم‬ َّ ‫إِ َذا َش‬
‫صلَّى ِإ ْت َما ًما ألَرْ بَ ٍع َكانَتَا تَرْ ِغي ًما ِلل َّش ْيطَا ِن رواه مسلم‬ َ َ‫ان‬ َ
‫ك‬ ْ
‫ن‬ ‫إ‬
َِ‫و‬ ُ ‫ه‬َ ‫ت‬ َ ‫ال‬ ‫ص‬
َ ُ ‫ه‬َ ‫ل‬ َ‫ن‬‫ع‬ْ َ ‫ف‬‫ش‬َ ‫ًا‬
‫س‬ ‫م‬ْ َ‫خ‬ ‫ى‬َّ ‫ل‬‫ص‬َ َ‫ان‬ َ
‫ك‬

Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian ragu-ragu dalam salatnya, sehingga dia tidak tahu
sudah berapa rakaat dia salat, maka hendaklah dia mengabaikan keraguannya dan melakukan
yang dia yakini kemudian hendaklah dia sujud dua kali sebelum salam. Seandainya dia salat
lima rakaat maka kedua sujud itu bisa menggenapkan salatnya, dan jikalau salatnya telah
sempurna maka kedua sujud itu bisa membuat setan marah dan jengkel” (HR. Muslim: 571)

Tidak hanya dalil-dalil dari Al-quran dan sunnah saja yang melandasi kaidah ini, akan tetapi para
ulama pun telah sepakat tentang penerapan kaidah ini. Imam Al-Qorofi berkata: “Kaidah ini
telah disepakati oleh para ulama, dan bahwasanya setiap hal yang diragukan dianggap seperti
tidak ada.” (Al-Furuq juz.1 hal.222)

E.Contoh Penerapan Kaidah Fikih Keyakinan

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kaidah ini mencakup banyak sekali
permasalahan syar’i, sangat sulit untuk menyebutkan tiap-tiap permasalahan tersebut. Cukup
disebutkan sebagiannya saja sebagai contoh untuk memahami penerapan kaidah ini:

1. Apabila seseorang telah yakin bahwa sebuah pakaian terkena najis, akan tetapi dia tidak
tahu dibagian mana dari pakaian tersebut yang terkena najis maka dia harus mencuci
pakaian itu seluruhnya.
2. Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudu, kemudian dia ragu apakah
telah batal wudunya atau belum, maka dia tidak perlu berwudu lagi.
3. Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa wudunya telah batal, akan
tetapi dia ragu apakah dia telah berwudu lagi atau belum, maka wajib baginya untuk
berwudu lagi.
4. Barang siapa yang ragu dalam salatnya apakah dia telah salat tiga rakaat atau empat
rakaat misalnya, maka dia harus mengikuti yang yakin, yaitu yang paling sedikit
rakaatnya, yang mana dalam permasalah ini adalah tiga rakaat.
5. Begitu pula dalam permasalahan putaran tawaf, apabila dia ragu berapa kali dia telah
berputar mengelilingi ka’bah apakah dua kali atau tiga kali, maka dia harus menganggap
bahwa dia baru berputar dua kali, dan begitu seterusnya.
6. Barang siapa yang telah sah nikahnya, kemudian dia ragu apakah telah mentalak istrinya
atau belum, maka pernikahannya tetap sah.
7. Apabila seorang istri ditinggal suaminya berpergian dalam jangka waktu yang lama,
maka dia tetap dihukumi sebagai istri laki-laki tersebut dan tidak boleh baginya untuk
menikah lagi. Karena yang yakin adalah bahwa sang suami pergi dalan keadaan hidup,
maka tidak boleh menghukuminya telah meninggal kecuali dengan berita yang
meyakinkan.
8. Jika ada seseorang yang pergi meninggalkan kampung halamannya dalam keadaan sehat,
akan tetapi setelah bertahun-tahun tidak kunjung pulang dan tidak diketahui kabarnya,
maka dia tetap dihukumi sebagai orang yang hidup. Yang atas dasar ini tidak boleh
diwarisi hartanya sampai datang kabar yang meyakinkan tentang hidup atau matinya.
9. Apabila seseorang yakin bahwa dirinya pernah berhutang, kemudian dia ragu apakah dia
telah membayar hutang itu atau belum, maka wajib baginya untuk membayar hutang
tersebut kecuali jika pihak yang menghutangi menyatakan bahwa dia telah membayar
hutangnya.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan
Istilah kaidah-kaidah fiqh adalah terjemahan dari bahasa arab al-qawa‟id al-fiqhiyah. Al-qawa‟id
merupakan bentuk plural (jamak) dari kata al-qa‟idah yang secara kebahasaan berarti dasar, aturan atau
patokan umum. Pengertian ini sejalan dengan Al-Ashfihani yang mengatakan bahwa qa`idah secara
kebahasaan berarti fondasi atau dasar.

Kaidah ini“Sesuatu yang meyakinkan tidak dapat hilang hanya dengan keraguan“juga
menunjukkan kepada kita kesempurnaan agama Islam yang kita cintai ini. Apabila kita
menerapkan kaidah ini, maka kita akan semakin yakin bahwa Islam adalah agama yang
membawa rahmat bagi semesta alam, karena kita semua sadar bahwa kehidupan kita tidak akan
pernah terlepas dari kondisi yang disebut dengan keraguan, yang mana dari keraguan ini dapat
muncul was-was yang pada akhirnya mengganggu kegiatan ibadah seseorang, terutama di dalam
permasalahan taharah dan salat. Akan tetapi Islam dengan segala kesempurnaannya memberikan
jalan keluar kepada umatnya, yaitu dengan adanya kaidah yang agung ini.

Anda mungkin juga menyukai