Anda di halaman 1dari 8

Kedudukan As Sunnah An Nabawiyah

Secara bahasa (Lughatan – Etimologis): As Sunnah jamaknya adalah As Sunan, Al Qadhi ‘Iyadh mengatakan artinya Ath Thariiq
(jalan/cara/metode). (Al Qadhi’ Iyadh, Ikmal Al Mu’allim, 8/80. Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 35/436). Lalu, Imam Abul
Abbas Al Qurthubi mengatakan: Ath Thariiq Al Masluukah (jalan yang dilewati). (Imam Abul Abbas Al Qurthubi, Al Mufhim Lima
Asykala Min Talkhishi fi Kitabi Muslim, 22/53) Hal ini nampak dari hadits berikut:

Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “َّ‫سن ََنَّ لَتَتَّبِعُ َّن‬
َ َّ‫شِب ًرا قَبلَ ُكمَّ َمن‬
َّ‫سلَ ُكوا لَوَّ َحتَّى بِذ َِراعَّ َوذ َِراعًا بِشِبر‬
َ َّ‫ضبَّ ُجح َر‬ َ َ‫ل يَا قُلنَا ل‬
َ ُ‫سلَكت ُ ُموَّه‬ ََِّّ ‫ارى الَّيَ ُهو ََّد‬
ََّ ‫ّللا َرسُو‬ َ ‫ص‬َ َّ‫ل َوالن‬
ََّ ‫“ فَ َمن؟ قَا‬ “Kalian akan benar-benar
mengikuti sunan (jalan) orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai walau mereka
melewati lubang biawak, kalian akan menempuhnya juga.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka adalah Yahudi dan
Nasrani?” Beliau bersabda: “Ya Siapa lagi?” (HR. Bukhari No. 3269, 6889, Muslim No. 2669, Ibnu Hibban No. 6703 , Ahmad No.
11800)

Juga bisa berarti As Siirah (peri kehidupan/perjalanan) (lihat Syaikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Hujjah As Sunnah An
Nawawiyah, Hal. 88) Juga berarti perilaku. (Kamus Al Munawwir, Hal. 669) Dalam Al Munjid disebutkan makna As Sunnah, yakni:
As Sirah (perjalanan), Ath Thariqah (jalan/metode), Ath Thabi’ah (tabiat/watak), Asy Syari’ah (syariat/jalan). (Al Munjid fil Lughah
wal A’lam, hal. 353)

ََّّ ‫س‬
Disebutkan dalam sebuah hadits terkenal: َّ‫ن َمن‬ َ ‫الم فِي‬ ِ ً‫سنَّ َّة‬
َِّ ‫اإلس‬ ُ ً‫سنَ َّة‬
َ ‫ل َمنَّ َوأَج َُّر أَج ُرهَا فَلَ َّهُ َح‬ َ ‫ص أَنَّ غَي َِّر مِ نَّ َبع ََّدَّهُ ِب َها‬
ََّ ِ‫عم‬ ِ ‫شَيءَّ أ ُ ُج‬
ََّ ُ‫ورهِمَّ مِ نَّ َينق‬
ََّّ ‫س‬
، َّ‫ن َو َمن‬ َ ‫الم فِي‬ ِ ً‫سنَّ َّة‬
َِّ ‫اإلس‬ ُ ً‫سيِئ َ َّة‬ ََّ ‫علَي َِّه ك‬
َ ‫َان‬ َ ‫ل َمنَّ َو ِوز َُّر ِوز ُرهَا‬ َ ‫ص أَنَّ غَي َِّر مِ نَّ بَع ِدَِّه مِ نَّ بِ َها‬
ََّ ِ‫عم‬ ََّ ُ‫“ شَيءَّ أَوزَ ِارهِمَّ مِ نَّ َينق‬

Barangsiapa dalam Islam melakukan kebiasan baik, maka tercatat baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya
setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka yang mengikutinya. Barangsiapa dalam Islam melakukan kebiasaan buruk, maka
tercatat baginya dosa dan dosa orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka.” (HR. Muslim, No.
1017, At Tirmidzi No. 2675, An Nasa’i No. 2554, Ibnu Majah No. 203)

Imam Abul Abbas Al Qurthubi Rahimahullah mengomentari kalimat : Man sanna fil Islam sunnatan hasanah …, katanya: ‫فعل من‬
ً‫ال‬
َّ ‫الً فع‬
َّ ‫جمي‬ “Barangsiapa yang mengerjakan fi’l (perbuatan/perilaku) yang bagus ..” (Al Mufhim, 9/33)

Makna Secara Istilah (Ishthilahan -Terminologis): Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al Qahthani menyebutkan makna As
Sunnah: ‫ بالسنة والمراد‬: ‫صلَّى هللا رسول عليها كان التى الطريقة‬ َ ‫سلَّ ََّم‬
ََّّ ‫علَي َِّه‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫القيامة يوم إلى بإحسان تبعهم ومن أصحابه و َو‬

Yang dimaksud dengan As Sunnah adalah: jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabatnya, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik berada di atasnya sampai hari kiamat. (Syaikh Said bin Ali bin Wahf Al
Qahthani, Syarh Al ‘Aqidah Al Wasathiyah, Hal. 10. Muasasah Al Juraisi)

Selain itu dalam perkembangannya, makna As Sunnah terbagi menjadi beberapa bagian sesuai disiplin ilmu yang mengikatnya.
Menurut Ahli Ushul Imam Ibnul Atsir Rahimahullah mengatakan: ‫الشرع في أطلقت وإذا‬، ‫وسلم عليه هللا صلى النبي به أمر ما بها يراد فإنما‬،
‫عنه ونهى‬، ‫قوال إليه وندب‬، ‫العزيز الكتاب به ينطق ال مما وفعال‬، ‫يقال ولهذا‬: ‫والسنة الكتاب الشرع أدلة في‬. ‫“ والحديث القرآن أي‬

Jika dilihat dari sudut pandang syara’, maka maksudnya adalah apa-apa yang diperintahkan dan dilarang Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, dan apa yang dianjurkannya baik perkataan, perbuatan yang tidak dibicarakan oleh Al Quran. Maka,
dikatakan: tentang dalil-dalil Syara’ adalah Al Kitab dan As Sunnah, yaitu Al Quran dan Al Hadits.” (An Nihayah, 1/186)
Syaikh Abdul Qadir As Sindi Rahimahullah mengatakan: ‫قول من الكريم القرآن عدا ما وسلم عليه هللا صلى هللا رسول عن صدر عما عبارة‬, ‫أو‬
‫فعل‬, ‫تقرير أو‬، ‫رسول غير أو كان رسوال والسالم الصالة عليه غيره من صدر ما عندهم السنة من فيخرج‬، ‫البعثة قبل وسلم عليه هللا صلى عنه صدر وما‬.

“Keterangan tentang apa yang berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam selain dari Al Quran Al Karim, berupa
perkataan, perbuatan, atau persetujuannya. Yang tidak termasuk dari As Sunnah menurut mereka adalah apa yang selain
dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik dia seorang rasul atau selain rasul, dan apa-apa yang berasal dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum masa bi’tsah (masa diutus menjadi rasul).” (Syaikh Abdul Qadir bin Habibullah As
Sindi, Hujjah As Sunnah An Nawawiyah, Hal. 88. 1975M-1395H. Penerbit: Al Jami’ah Al Islamiyah – Madinah)

Jadi, menurut para ahli ushul, As sunnah adalah semua yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bukan dari
selainnya dan bukan pula dari Al Quran, khususnya yang berimplikasi kepada hukum syara’, baik berupa perintah,
larangan, dan anjuran. Menurut Fuqaha (Ahli Fiqih) Berkata Syaikh Abdul Qadir As Sindi: ‫الخطاب دل الذي الفعل عن عبارة عندهم فهي‬
‫إيجاب غير من طلبه على‬، ‫والمستحب المندوب ويرادفها‬، ‫والتطوع‬، ‫والنفل‬، ‫الفقهاء لبعض خاص اصطالح األلفاظ هذه معاني بين والتفرقة‬، ‫على تطلق وقد‬
‫كذا السنة طالق قولهم منه البدعة يقابل ما‬، ‫كذا البدعة وطالق‬، ‫شرعي حكم على أفعاله تدل الذي وسلم عليه هللا صلة هللا رسول عن بحثوا فهم‬

. “Maknanya menurut mereka adalah istilah tentang perbuatan yang menunjukkan perkataan perintah selain kewajiban.
Persamaannya adalah mandub (anjuran), mustahab (disukai), tathawwu’ (suka rela), an nafl (tambahan). Perbedaan makna pada
lafaz-lafaz istilah ini, memiliki makna tersendiri bagi sebagian fuqaha. Istilah ini juga digunakan sebagai lawan dari bid’ah, seperti
perkataan mereka: thalaq sunah itu begini, thalaq bid’ah itu begini . Jadi, pembahsan mereka pada apa-apa yang datang dari Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menunjukkan perbuatannya itu sebagai hukum syar’i.” (Ibid) Menurut Muhadditsin (Ahli Hadits)
Beliau juga mengatakan: ‫اآلخر مكان أحدهما يوضع متساويان مترادفان والسنة الحديث أن – منهم المتأخرين سيما وال – بينهم السائد الرأي‬
Pendapat utama di antara mereka –apalagi kalangan muta’akhirin- bahwa Al Hadits dan As Sunnah adalah muradif
(sinonim-maknanya sama), yang salah satunya diletakkan pada posisi yang lain. (Ibid)

Sedangkan hadits adalah –sebagaimana dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah: ‫اإلطالق عند هو النبوي الحديث‬
‫ النبوة بعد عنه به ُحدِث ما إلى ينصرف‬: ‫وإقراره وفعله قوله من‬، ‫ الثالثة الوجوه هذه من ثبتت سنته فإن‬.

“Al Hadits An Nabawi adalah berangkat dari apa-apa yang diceritakan darinya setelah masa kenabian: berupa perkataan,
perbuatan, dan persetujuannya. Jadi, sunahnya ditetapkan dari tiga hal ini.” (Majmu’ Al Fatawa, 18/6) Syaikh Dr.
Mahmud Ath Thahhan mendefinisikan Al Hadits: ‫صفة او تقرير او فعل او قول من وسلم عليه هللا صلى النبى إلى اضيف ما‬

“Apa saja yang dikaitkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perkataan, atau perbuatan, atau persetujuan,
atau sifatnya.” (Taysir Mushthalahul Hadits, Hal. 14. Tanpa tahun) Jadi, makna As Sunnah dalam pandangan
ahli hadits adalah semua yang disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah diutusnya menjadi
Rasul, baik perkatan, perbuatan, persetujuan, dan sifatnya, tanpa dibedakan mana yang mengandung muatan syariat atau
bukan, semuanya adalah As Sunnah.

Namun dalam pemakaian sehari-hari, istilah Al Hadits –walau maknanya sama dengan As Sunnah– lebih sering dikaitkan dengan
perkataan (Qaul) nabi saja. Maka, sering kita dengar manusia mengatakan sebuah kalimat: “Dalam sebuah hadits nabi bersabda
….”, jarang sekali kita dengar manusia mengatakan: “Dalam sebuah sunah nabi bersabda …” Hal ini dikatakan oleh Prof. Dr. ‘Ajaj
Al Khathib, dalam kitab Ushulul Hadits, sebenarnya Al Hadits merupakan sinonim dari As Sunnah, yaitu segala sesuatu yang
berasal dari Rasulullah baik ucapan, perbuatan, dan taqrir. Namun, dalam pemakaiannya Al Hadits lebih sempit maknanya, yaitu
identik dengan qauliyah (ucapan) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagaimana yang ditetapkan oleh para Ahli Ushul.
(Prof. Dr.Muhammad ‘Ajaj Al Khathib, Ushulul Hadits, hal. 8)
Dalil-Dalil Kehujjahan As Sunnah Berikut ini adalah dalil-dalil kenapa umat Islam menjadikan As Sunnah sebagai salah satu
marja’ (referensi) pokok setelah Al Quran.

Pertama. Dari Al Qur’an: ‫ِينَّ أَيُّ َها يَا‬ َ ‫ّللا أَطِ يعُوا آ َمنُوا الَّذ‬
َََّّ ‫ل َوأَطِ يعُوا‬
ََّ ‫سو‬ َّ ‫ّللاِ إِلَى فَ ُردُّوَّهُ شَيءَّ فِي تَنَازَ عتُمَّ فَإِنَّ مِ ن ُكمَّ األم َِّر َوأُولِي‬
ُ ‫الر‬ ََّّ ‫ل‬ َّ ‫ُكنتُمَّ إِنَّ َو‬
َِّ ‫الرسُو‬
ََّ ُ‫اّلل تُؤمِ ن‬
‫ون‬ ََّ ‫ن خَيرَّ ذَل‬
ََِّّ ‫ِك اآلخِ َِّر َواليَو َِّم ِب‬ َ ‫“ ت َأ ِويال َوأَح‬
َُّ ‫س‬

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa (4): 59)
Dikeluarkan oleh Abdullah bin Humaid, Ibnu Jarir, dan Ibnu Abi Hatim, dari ‘Atha, bahwa ayat ‘Taatlah kepada Allah dan Rasul’
adalah mengikuti Al Kitab dan As Sunnah. (Imam Asy Syaukany, Fathul Qadir, 2/166. Mawqi’ Ruh Al Islam) Athi’uur rasul artinya
khudzuu bisunnatihi (ambillah sunahnya). (Imam Ibnu Katsir, Jilid 1, hal. 518. Darul Kutub Al Mishriyah)

Ayat lainnya: َّ‫ل يُطِ َّعِ َمن‬


ََّ ‫سو‬ َّ َّ‫ع فَقَد‬
ُ ‫الر‬ َ َ ‫ّللاَّ أ‬
ََّ ‫طا‬ َ َّ “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah…” (QS. An
Nisa (4): 80)

Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari; ‫هللا أطاع فقد أطاعه من بأنه وسلم عليه هللا صلى محمد ورسوله عبده عن تعالى يخبر‬، ‫عصاه ومن‬
‫وما عصى فقد‬،‫الهوى عن ينطق ما ألنه إال ذاك هللا‬، ‫يوحى وحي إال هو إن‬.

Allah Ta’ala mengabarkan tentang hamba dan RasulNya, bahwa barangsiapa yang taat kepadanya, maka itu termasuk taat juga
kepada Allah, barangsiapa yang bermaksiat kepadanya maka itu termasuk bermaksiat kepada Allah, dan tidaklah hal itu
melainkan bahwa apa yang dikatakannya bukan berasal dari hawa nafsunya, melainkan wahyu kepadanya. (Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 1. hal. 528) dan ayat-ayat lainnya Dan masih banyak ayat lainnya.

Kedua. Dalil As Sunnah: Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‫من‬
‫هللا أطاع فقد أطاعني‬، ‫هللا عصا فقد عصاني ومن‬، ‫أطاعني فقد أميري أطاع ومن‬، ‫عصاني فقد أميري عصا ومن‬

“Barangsiapa yang mentaatiku,maka ia telah mentaati Allah, barangsiapa yang membangkang kepadaku maka ia membangkang
kepada Allah, barangsiapa yang mentaati pemimpin maka ia telah taat kepadaku, barangsiapa yang membangkang kepada
pemimpin, maka ia telah membangkang kepada aku.” (HR. Bukhari No. 7137 dan Muslim No. 1835)

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‫نبيه وسنة هللا كتاب بهما مسكتم ما تضلوا لن أمرين فيكم تركت‬

“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua hal yang jika kalian berpegang teguh pada keduanya maka kalian tidak akan pernah
tersesat: Kitabullah dan Sunah NabiNya.” (HR. Malik dalam Al Muwatha’ No. 1594, secara mursal.

Syaikh Al Albani menyatakan: hasan. Lihat Misykah Al Mashabih No. 186)

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (ketika khutbah haji wada’): ‫قد إني‬
‫وسلم عليه هللا صلى نبيه وسنة هللا كتاب أبدا تضلوا فلن به اعتصمتم إن ما فيكم تركت‬

Sesungguhnya saya telah meninggalkan pada kalian apa-apa yang jika kalian komitmen dengannya niscaya tidak akan tersesat
selamanya, Kitabullah dan Sunah NabiNya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Imam Al Hakim mengatakan tentang riwayat ini: ‫وذكر‬
‫ هريرة أبي حديث من شاهدا له وجدت وقد إليها ويحتاج غريب الخطبة هذه في بالسنة االعتصام‬Penyebutan berpegang teguh dengan sunnah
pada khutbah ini adalah ghariib (asing),dan membutuhkan adanya penjelasan kepadanya. Saya telah menemukan syahid
(penguat) bagi hadits ini, dari hadits Abu Hurairah . (Al Mustadrak No. 318) Hadits sebagai syahid tersebut adalah; ‫هريرة أبي عن‬
‫الحوض علي يردا حتى يتفرقا ولن وسنتي هللا كتاب بعدهما تضلوا لن شيئين فيكم تركت قد إني وسلم عليه هللا صلى هللا رسول قال قال عنه تعالى هللا رضى‬
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Saya telah
tinggalkan pada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang pada keduanya: Kitabullah
dan Sunnahku, dan keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangi aku di Al Haudh (telaga).” (Al Mustadrak
No. 319. Hadits ini shahih, lihat Shahihul Jami’ No.2937)

َُّّ ُ‫ون أ ُ َّمتِي ك‬


Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‫ل‬ َّ ِ‫”أَبِي َمنَّ إ‬. ‫ل‬
ََّ ُ‫الَّ الجنَّ َّةَ يد ُخل‬ ََّ ‫قِي‬
َّ‫ّللا؟ رسول يا يَأَبى َو َمن‬
َّ ‫ل‬ََّ ‫قا‬:”َّ‫عنِي من‬ َ َ‫ل أ‬
َ ‫طا‬ َ ‫أَبِي فَقَدَّ ع‬
ََّ ‫الجنَّ َّةَ َد َخ‬، َّ‫صانِي ومن‬

“Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang menolak.” Para sahabat bertanya: “Siapakah yang menolak?” Beliau
menjawab: “Barangsiapa yang taat kepadaku akan masuk surga, dan barangsiapa yang maksiat kepadaku, maka ia telah
menolak.” (HR. Bukhari No. 6851, Ahmad No. 8726)

Dari Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindi Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‫ال‬ َُّ ‫أُوت‬
ََّ َ ‫ِيت إِنِي أ‬
ََّ ‫ َم َع َّهُ َومِ ثلَ َّهُ ال ِكت‬، ‫ال‬
‫َاب‬ َُّ ‫آن أُوت‬
ََّ َ ‫ِيت ِإنِي أ‬ ََّ ‫“ َم َع َّهُ َومِ ثلَ َّهُ القُر‬Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al Kitab dan yang semisalnya bersamanya,
ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al Quran dan yang semisalnya bersamanya.” (HR. Abu Daud No. 4604, Ibnu Zanjawaih
dalam Al Amwal No. 620, Ath Thabarani dalam Al Kabir No. 668, 670, Ahmad No.17174, kata Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam
tahqiq terhadap Musnad Ahmad: isnadnya shahih, para perawinya adalah perawi terperaya dan perawi hadits shahih, kecuali
Abdurrahman bin Abu ‘Aufa, dia perawi Abu Daud dan An Nasa’i, dia terpercaya. Syakh Al Albani menshahihkan dalam berbagai
kitabnya.) Imam Ibnu Katsir Rahimahullah mengomentari maksud hadits itu: ‫يعني‬: ‫السنة‬. ‫بالوحي عليه تنزل أيضًا والسنة‬، ‫القرآن؛ ينزل كما‬
‫القرآن يتلى كما تتلى ال أنها إال‬، ‫الشافعي اإلمام استدل وقد‬، ‫ذلك موضع هذا ليس كثيرة بأدلة ذلك على األئمة من وغيره هللا رحمه‬. Yakni As
Sunnah. As Sunnah juga diturunkan kepadanya dengan wahyu sebagaimana Al Quran, hanya saja bedanya As Sunnah tidaklah
dibacakan sebagaimana Al Quran. Imam Asy Syafi’i Rahimahullah dan sebagian imam lainnya telah menunjukkan hal itu dengan
dalil-dalil yang banyak, dan bukan tempatnya di bahas di sini.” (Imam Ibnu Katsir, Muqadimah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, Hal. 7)

Ketiga. Ijma’ (konsensus) para sahabat. Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu berkata: ‫سنن وسلم عليه هللا صلى لنبيكم شرع هللا وإن‬
‫الهدى‬. ‫ولعمري‬. ‫بيته في صلى كلكم أن لو‬، ‫نبيكم سنة لتركتم‬. ‫لضللتم نبيكم سنة تركتم ولو‬.

“Sesungguhnya Allah telah mensyariatkan bagi nabi kalian jalan-jalan petunjuk. Demi umurku, seandainya tiap kalian shalat di
rumahnya, itu benar-benar telah meninggalkan sunah nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunah nabi kalian, niscaya
kalian tersesat.” (HR. Muslim No. 654, Abu Daud No. 550, Ibnu Majah No. 777, An Nasa’i No. 849)

Ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman, ia bertanya: “Dengan apa engkau berhukum?” Muadz menjawab:
“Dengan Al Qur’an”, Nabi bertanya, “Jika tidak kau temukan?.” Ia menjawab: “Dengan Sunah Rasulullah,” Nabi bertanya, “Jika
tidak kau temukan?”, Ia menjawab,”Aku akan berijtihad dengan pikiranku.” Mendengar jawaban ini Rasulullah menepuk dada
Muadz, lalu berkata: “Alhamdulilah, Semoga Allah memberikan taufiq kepada utusan Rasulnya, kepada apa-apa yang diridhai
Rasulullah.” (HR. Ahmad No. 22007, Abu Daud No. 3592, Ath Thayalisi No. 559, At Tirmidzi No. 1328, Al Baihaqi 10/114, Ad
Darimi No. 168, dan lainnya) Hadits ini didhaifkan oleh sebagian ulama seperti Syaikh Al Albani. (Misykah Al Mashabih No. 1315,
dan Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3592), juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Musnad Ahmad No. 22007) Namun menurut
Ibnu Katsir hadits ini Jayyid (bagus). (Lihat Muqaddimah Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, hal. 7. Daruth Thayyibah Lin Naysr wat Tauzi’)
Imam Ibnul Qayyim menguatkan hadits ini. (I’lamul Muwaqi’in 1/202), sementara Imam Al Khathib mengatakan: ‫تقبلوه قد العلم أهل إن‬
‫به واحتجوا‬، ‫“ عندهم صحته على بذلك فوقفنا‬Sesungguhnya para ulama menerima hadits ini dan berhujjah dengannya, sedangkan saya
no coment atas penshahihan yang mereka lakukan.” (Al Faqih wal Mutafaqih, 1/189-190) Juga dikuatkan oleh Imam Ibnu
Taimiyah dalam Al Fatawa, dan Imam Ad Dzahabi dalam Talkhis ‘Ilal Mutanahiyah. Umar bin Khathab Radhiallahu ‘Anhu berkata
kepada Qadhi Suraih, ‫هللا صلى هللا رسول سنة بما فاقض هللا كتاب في ليس شيء أتاك وإن غيره إلى تلتفت وال به فاقض هللا كتاب في شيئا وجدت إذا‬
‫رسول سنة وال هللا كتاب في ليس ما أتاك وإن الناس عليه أجمع بما فاقض وسلم عليه هللا صلى هللا رسول يسن ولم هللا كتاب في ليس ما أتاك فإن وسلم عليه‬
‫“ رأيك تجتهد أن شئت فإن قبلك أحد فيه يتكلم ولم وسلم عليه هللا صلى هللا‬Jika kau temukan pada Kitabullah maka putuskanlah dengannya,
jangan tengok selainnya. Jika tidak ada maka putuskanlah dengan Sunah Rasulullah, jika tak kau temui juga, maka putuskanlah
dengan yang di-ijma’kan, jika juga tidak ada dalam kitabullah, Sunah, dan perkataan seorang pun manusia sebelum engkau,
maka berijtihadlah jika kau mau dengan pendapatmu .” (Imam Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 1/ 61-62. Maktabah Al Kulliyah Al
Azhariyah)

Masih banyak lagi perilaku para sahabat seperti Abu Bakar, Ibnu Umar, Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain, yang selalu
menjadikan As Sunnah sebagai hujjah. Hal ini terus diwariskan kepada Tabi’in, tabi’ut tabi’in, imam empat madzhab, dan
para ulama terpercaya hingga hari ini. Semua sepakat tentang wajibnya berhujjah dengan As Sunnah. Anjuran Para Salaf
Mengikuti As Sunnah Berkata Ubai bin Ka’ab Radhiallahu ‘Anhu: ‫ففاضت الرحمن ذكر وسنة سبيل على عبد من ليس فإنه والسنة بالسبيل عليكم‬
‫إخالف في اجتهاد من خير وسنة سبيل في اقتصادا وإن النار فتمسه هللا خشية من عيناه‬

“Hendaknya kalian bersama jalan kebenaran dan As Sunnah, sesungguhnya tidak akan disentuh neraka, orang yang di atas
kebenaran dan As Sunnah dalam rangka mengingat Allah lalu menetes air matanya karena takut kepada Allah Ta’ala. Sederhana
mengikuti kebenaran dan As Sunnah adalah lebih baik, dibanding bersungguh-sungguh dalam perselisihan.” Dari Al Auza’i, dia
berkata: ‫وسعهم ما يسعك فانه الصالح سلفك سبيل واسلك عنه كفوا عما وكف قالوا بما وقل القوم وقف حيث وقف السنة على نفسك اصبر‬
“Sabarkanlah dirimu di atas As Sunnah, berhentilah ketika mereka berhenti, dan katakanlah apa yang mereka katakan, tahanlah
apa-apa yang mereka tahan, dan tempuhlah jalan pendahulumu yang shalih, karena itu akan membuat jalanmu lapang seperti
lapangnya jalan mereka.”

Dari Yusuf bin Asbath, dia berkata: ‫بالمغرب آخر عن بلغك وإذا بالسالم إليه فابعث سنة صاحب أنه بالمشرق رجل عن بلغك إذا يوسف يا سفيان قال‬
‫والجماعة السنة أهل قل فقد بالسالم إليه فابعث سنة صاحب أنه‬

“Berkata Sufyan: Wahai Yusuf, jika sampai kepadamu seseorang dari Timur bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka
kirimkan salamku untuknya. Jika datang kepadamu dari Barat bahwa dia seorang pengikut As Sunnah, maka kirimkan salamku
untuknya, sungguh, Ahlus Sunnah wal Jama’ah itu sedikit.”

Dari Ayyub, dia berkata: ‫“ أعضائ بعض أفقد فكأني السنة أهل من الرجل بموت ألخبر إني‬

Sesungguhnya jika dikabarkan kepadaku tentang kematian seorang dari Ahlus Sunnah, maka seakan-akan telah copot anggota
badanku.” Dan masih banyak lagi nasihat yang serupa. (Lihat semua ucapan salaf ini dalam Talbisu Iblis, hal. 10-11, karya Imam
Abul Faraj bin Al Jauzi ).

IV. Para Pengingkar As Sunnah dan Jawabannya Kelompok yang mengingkari kehujjahan As Sunnah sudah ada sejak
lama.

Pada zaman Imam Asy Syafi’i, dengan telak mereka berhasil dilucuti kekeliruannya. Oleh karena itu, Imam Asy Syafi’i dijuluki
Nashirus Sunnah (Pembela As Sunnah). Alasan-alasan yang dikemukakan kelompok ini selalu sama. Mereka saling mewariskan
dan mengutip satu sama lain dari zaman ke zaman hingga masa kita. Biasanya alasan yang mereka kemukakan untuk
mengingkari kehujjahan As Sunnah adalah (kami paparkan pula sanggahannya): Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang
menuliskan As Sunnah. Dari Abu Said Al Khudri Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ‫ال‬
‫عني تكتبوا‬. ‫فليمحه القرآن غير عني كتب ومن‬. ‫عني وحدثوا‬، ‫حرج وال‬. ‫النار من مقعده فليتبوأ متعمدا علي كذب ومن‬ “Janganlah kalian
menulis dariku. Barang siapa yang menulis selain Al Quran maka hapuslah. Dan, ceritakanlah dariku dan tidak mengapa. Barang
siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja maka disediakan baginya kursi di neraka.” (HR. Muslim No. 3004, Ad Darimi No.
450, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 437, Ibnu Hibban No. 64, Abu Ya’la No. 1288, Ahmad No. 11085)

Hujjah mereka ini menunjukkan kontradiksi. Di satu sisi mereka menolak Al Hadits sebagai sumber rujukan, tetapi di sisi lain
untuk menguatkan pendapatnya, mereka juga menggunakan Al Hadits. Berarti mereka menyandarkan pendapatnya pada sesuatu
yang mereka ingkari sendiri. Ini sangat mengherankan. Hujjah mereka ini juga bisa dijawab:

Pertama. Larangan ini berlaku pada masa-masa awal Islam yang saat itu fokus mereka adalah penjagaan terhadap Al Quran.
Oleh karena itu larangan tersebut merupakan upaya menghindari pencampuran Al Quran dan As Sunnah (Al Hadits). Namun,
ketika jumlah kaum muslimin banyak dan sudah banyak pula yang hafal Al Quran, larangan itu mansukh (dihapus), terbukti
adanya beberapa sahabat nabi yang diberikan izin untuk menuliskan hadits. Makna hadits di atas adalah merupakan anjuran untuk
menghafal As Sunnah, yang bukan berarti larangan menulisnya secara mutlak. Berkata Imam Abu Hatim Rahimahullah: ‫زجره‬
‫هذا صحة على والدليل فيها والتفقه حفظها وترك كتبتها على االتكال دون السنن حفظ على الحث به أراد القرآن سوى عنه الكتبة عن وسلم عليه هللا صلى‬
‫بالكتبة عمرو بن هللا لعبد وسلم عليه هللا صلى وإذنه وسلم عليه هللا صلى هللا رسول من سمعها التي الخطبة كتب شاه ألبي وسلم عليه هللا صلى إباحته‬
“Pelarangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menulis darinya selain Al Quran, bermaksud untuk menyemangati
hapalan terhadap As Sunnah, bukan larangan untuk menuliskannya, dan tidak menjaganya, dan memahami apa yang
terkandung di dalamnya. Dalil yang menunjukkan kebenaran hal ini adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
membolehkan penulisan hadits kepada Abu Syah.” (Shahih Ibnu Hibban No. 64)

Kedua. Sekali pun larangan itu ada, maka tidaklah mencakup pada semua sahabat nabi. Tetapi larangan yang dikhususkan buat
mereka yang tidak cakap dalam menulis. Faktanya, ada para sahabat tertentu yang mendapatkan izin langsung dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menuliskannya. Seperti Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash, Jabir bin Abdullah, dan Abu Syah.
Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhu bercerita: ‫ت‬ َُّ ُ ‫ل أَكت‬
َُّ ‫ب ُكن‬ ََّّ ‫ل مِ نَّ أَس َمعُ َّهُ شَيءَّ ُك‬ ُ ‫صلَّى هللاَِّ َر‬
َِّ ‫سو‬ َّ ‫علَي َِّه‬
َ ُ‫هللا‬ َ ‫ظ َّهُ أ ُ ِري َُّد َو‬
َ ‫سلَّ ََّم‬ َ ‫حِ ف‬، ‫قُ َريشَّ فَنَ َهتنِي‬،
‫فَقَالُوا‬: َّ‫بَّ إِنَّ َك‬
ُ ُ ‫ل ت َكت‬ ََّّ ‫ل مِ نَّ ت َس َمعُ َّهُ شَي َّء ُك‬
َِّ ‫سو‬ ُ ‫صلَّى هللاَِّ َر‬ َ ُ‫هللا‬ َ ‫سلَّ ََّم‬
َّ ‫علَي َِّه‬ َ ‫و‬،
َ ‫ل‬ ُ ‫صلَّى هللاَِّ َو َر‬
َُّ ‫سو‬ َ ُ‫هللا‬َّ ‫علَي َِّه‬َ ‫سلَّ ََّم‬
َ ‫ب فِي يَت َ َكلَّ َُّم بَشَرَّ َو‬
َِّ ‫ض‬
َ َ‫ضا الغ‬
َ ‫الر‬
ِ ‫و‬، َ ‫ن فَأَم‬
َُّ ‫سك‬
َ ‫ت‬ َِّ ‫ع‬
َ
َُّ ‫ِك فَذَكَر‬
َِّ ‫ال ِكت َا‬، ‫ت‬
‫ب‬ ََّ ‫ل ذَل‬ ُ ‫صلَّى هللاَِّ ل َِر‬
َِّ ‫سو‬ َ ُ‫هللا‬ َ ‫سلَّ ََّم‬
َّ ‫علَي َِّه‬ َ ‫ل ؟ َو‬ََّ ‫فَقَا‬: ” َّ‫ج َما ِب َي ِدَِّه نَفسِي فَ َوالَّذِي اكتُب‬
ََّ ‫خ َر‬ ََّّ ‫“ َحقَّ ِإ‬
ََّ ‫ال مِ نِي‬

Saya menulis semua yang saya dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan maksud untuk menghapalnya, lalu
orang Quraisy melarang saya. Mereka mengatakan: “Sesungguhnya engkau menulis semua hal yang kau dengar dari Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, padahal beliau adalah seorang manusia biasa yang berbicara dalam keadaan marah dan ridha.”
Maka saya menahan diri untuk menulis, lalu hal itu saya ceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau
bersabda: “Tulis! Demi yang jiwaku ada ditanganNya, tidaklah yang keluar dariku melainkan kebenaran.” (HR. Ahmad No. 6510,
Syaikh Syu’aib Al Arna’uth mengatakan: isnaduhu shahih. Abu Daud No. 3646, Ad Darimi, 1/125. Al Hakim, 1/105-106. Al Khathib
dalam Taqyidul ‘Ilmi Hal. 80, Al Mizzi dalam Tahdzibul Kamal, 31/38-39. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 9/49-50, Ibnu
‘Abdil Bar dalam Jami’ Bayan Al ‘Ilmi, Hal. 89-90 )

Naskah hadits yang disusun oleh Abdullah bin Amr dinamakan Ash Shahifah Ash Shadiqah (lembaran yang benar) berisi 1000
hadits, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yang memang benar-benar diriwayatkan
darinya. Hadits-hadits yang ada pada naskah tersebut, saat ini tersebar dalam kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Daud, Sunan An
Nasa’i, Sunan At Tirmidzi, dan Sunan Ibnu Majah. Selain itu, ada Shahifah Jabir yang disusun oleh sahabat nabi yang lain, Jabir
bin Abdullah, sebanyak 138 hadits. Saat ini, hadits-hadits yang terdapat dalam shahifah tersebut tersebar dalam Musnad Ahmad
dan Shahih Bukhari. Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, menceritakan bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali
menguasai Mekkah, beliau berkhutbah di hadapan manusia. Ketika beliau berpidato, berdirilah seseorang dari Yaman bernama
Abu Syah, dan berkata: ‫لي اكتبوا ّللاَّ يارسول‬، ‫وسلم عليه ّللاَّ صلى ّللاَّ رسول فقال‬: “‫شاه ألبي اكتبوا‬ “Ya Rasulullah, tuliskanlah
untukku.” Lalu Rasulullah bersabda: “Tuliskan untuk Abu Syah.” Al Walid (salah seorang perawi hadits ini) bertanya kepada Al
Auza’i: ‫قال ”شاه؟ ألبي اكتبوا“ قوله ما‬: ‫وسلم عليه ّللاَّ صلى ّللاَّ رسول من سمعها التي الخطبة هذه‬. Apa maksud sabdanya: “Tuliskan
untuk Abu Syah.” Dia menjawab: “Khutbah yang dia (Abu Syah) dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (HR.
Bukhari No. 112, 2302, 6486. Muslim No. 447, 1355. Abu Daud No. 2017, 3649, 4505. At Tirmidzi No. 2805. Al Baihaqi dalam As
Sunan Al Kubra No. 15818. Ibnu Hibban No. 3715. Ahmad No. 7242) Al Quran sudah memadai karena telah menjelaskan segala
ََّ ‫علَي‬
sesuatu. Ini adalah alasan selanjutnya yang disodorkan kelompok inkar sunnah. Mereka berdalil ayat Al Quran: ‫ك َونزلنَا‬ َ
َِّ ‫شَيءَّ ِل ُك‬
َ ‫ل تِب َيانًا ال ِكت‬
َّ‫َاب‬

“Dan Kami telah menurunkan Al Quran kepadamu sebagai penjelas segala sesuatu.” (QS. An nahl (16): 89) Ayat menunjukkan
bahwa Al Quran sudah menjelaskan semuanya. Maka tidak membutuhkan lagi tambahan-tambahan selainnya. Alasan ini lemah.
Sebab, penjelasan Al Quran terhadap ‘semuanya’ adalah tentang prinsip globalnya (kulliyah) dan dasar-dasarnya pada semua
hal tersebut. Ada pun rincian, maka Allah Ta’ala justru memerintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk
menjelaskan kepada manusia. Perhatikan ayat ini: ‫ك َوأَنزلنَا‬
ََّ ‫ن الذِك ََّر ِإلَي‬
ََّ ِ‫اس ِلتُبَي‬ ََّ ‫ون َولَ َعلَّ ُهمَّ ِإلَي ِهمَّ نز‬
َّ ِ َّ‫ل َما لِلن‬ ََّ ‫“ يَتَفَ َّك ُر‬

Dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An Nahl (16): 44) Jelas sekali bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diberikan
kewenangan oleh Allah Ta’ala untuk menerangkan Al Quran kepada manusia. Bagaimanakah bentuk penjelasannya? Yaitu
dengan penjelasan beliau berbentuk perkataan dan perbuatan yang telah terekam dalam Al Hadits. Secara umum perintah
Shalat dan Zakat banyak bertebaran di Al Quran. Tetapi, penjelasan tata cara shalat mulai dari gerakan, bacaan, rincian waktu,
dan lainnya, juga persentasi zakat, nishab, dan lainnya, semuanya dijelaskan dalam Al Hadits, bukan Al Quran. Maka, tidak
mungkin dipisahkan antara Al Quran dan As Sunnah. Al Quran semuanya shahih sedangkan As Sunnah ada yang shahih dan
tidak, dan kadang ada perbedaan pendapat ulama tentang keshahihan suatu hadits. Hal ini bisa dijawab: bahwa para ulama
hadits telah bersusah payah mengeluarkan segenap kemampuan bahkan kehidupan mereka untuk berkhidmat kepada Hadits
Nabi. Mereka melakukan verifikasi, penelitian, dan penelusuran sanad, hingga akhirnya terpisahkan antara hadits shahih
(authentic text) dari yang dhaif (invalid text). Cukup yang shahih saja yang kita gunakan, bukan yang dhaif dengan segala macam
derivasinya seperti maudhu’, matruk, munkar, dan lainnya. Maka, jelaslah ini merupakan alasan yang dicari-cari.

Kalau pun terjadi perselisihan para ulama tentang status keshahihan suatu hadits, maka hal itu bisa jawab: Hadits seperti itu tidak
banyak Telah ada upaya tarjih (upaya komparasi data untuk mencari yang lebih tepat) yang dilakukan para ulama terhadap hadits-
hadits yang diperselisihkan Fungsi As Sunnah Terhadap Al Quran

Berikut ini fungsi As Sunnah terhadap Al Quran: Penjelas dan penafsir Al Quran.

َِّ ‫علَي ِهمَّ ال َمغضُو‬


Kami contohkan beberapa ayat berikut: ‫ب غَي َِّر‬ َ ‫ِين َوال‬
ََّ ‫الضَّال‬

“Bukan jalan orang yang dimurkai dan orang-orang tersesat.” (QS. Al Fatihah (1): 7)

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa Al Maghdhub (Yang dimurkai) adalah Yahudi, sedangkan Adh Dhaallin
adalah Nasrani. (Hadits tersebut diriwayatkan secara shahih dalam berbagai kitab. Seperti At Tirmidzi dalam Sunannya No. 2953,
Musnad Ahmad No. 19381, Ibnu Hibban dalam Shahihnya No. 6246, Abu Hatim dalam At Tafsir No. 40, 41, Abu Nu’aim dalam Al
Hilyatul Aulia’, 7/170, Al Baihaqi dalam Ad Dalail An Nubuwah, 5/339-340, Ath Thabarani dalam Al Kabir, 17/237, Ath Thabari, No.
ََّ ‫سنُوا ِللَّذ‬
194, 208, dan lainnya) Ayat lain: ‫ِين‬ َ ‫“ َو ِزيَا َدةَّ ال ُحسنَى أَح‬

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS. Yunus (10): 26) Makna Ziyadah
(tambahan) dalam ayat ini adalah melihat Allah Ta’ala di surga. Hal ini disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
(HR. Muslim No. 181, At Tirmidzi No. 2552, 3105, Ibnu Majah No. 187, Ahmad No. 23925) Ayat lain: ‫طعتُمَّ َما لَ ُهمَّ َوأ َ ِعدُّوا‬
َ َ ‫قُ َّوةَّ مِ نَّ است‬
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggup ..” (QS. Al Anfal (8): 60) Makna Quwwah
(kekuatan) dalam ayat ini adalah Ar Ramyu (panah). Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda di atas mimbar tentang ayat Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggup ..: ‫الرمي القوة إن أال‬، ‫الرمي القوة إن أال‬, ‫الرمي القوة إن أال‬ “Ketahuilah bahwa kekuatan itu adalah memanah (3x).” (HR.
Muslim No. 1918, Al Baihaqi, 10/13, Abu Ya’la No. 1743, Ahmad No. 17432, Al Baghawi dalam At Tafsir, 2/258, Abu Daud no.
2514, Ibnu Majah No. 2813, Ibnu Hibban No. 4709, Ath Thabari dalam At Tafsir, 10/30)

Dan masih banyak yang lainnya. Penambah (Ziyadah) keterangan Al Quran Contoh ayat tentang wudhu: ‫قمتم إذا آمنوا الذين أيها يا‬
‫الكعبين إلى وأرجلكم برؤوسكم وامسحوا المرافق إلى وأيديكم وجوهكم فاغسلوا الصالة إلى‬ “Wahai Orang beriman jika kalian hendak shalat
maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua
mata kaki.” (QS. Al Maidah (5): 6)

Dalam ayat ini aktifitas wudhu hanya empat, yaitu 1. Membasuh muka. 2. Membasih kedua tangan sampai siku. 3. Menyapu
kepala. 4. Membasuh kaki sampai dua mata kaki. Serta tidak disebutkan adanya pengulangan tiga kali. Dalam hadits,
ََّّ َ ‫ان أ‬
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan beberapa tambahan. Dari Humran Radhiallahu ‘Anhu: ‫ن‬ ََّ ‫ن عُث َم‬ ََّ َّ‫عف‬
ََّ ‫ان ب‬ َ ‫ي‬
ََّ ‫ض‬
ِ ‫َر‬
ََّّ ُ‫عن َّه‬
ُ‫ّللا‬ َ ‫عا‬َ ‫ضَّأ َ ِب َوضُوءَّ َد‬ َّ ‫ل فَت ََو‬ ََّ ‫س‬ ََّ ‫ض ث ََُّّم َم َّراتَّ ث َ َال‬
َ َ‫ث َكفَّي َِّه فَغ‬ ََّ ‫ل ث ََُّّم َواست َنث َ ََّر َمض َم‬
ََّ ‫س‬
َ ‫غ‬ ََّ ‫ل ث ََُّّم َم َّراتَّ ث َ َال‬
َ ُ‫ث َوج َه َّه‬ ََّ ‫س‬
َ ‫غ‬ َ ُ‫ق ِإلَى اليُمنَى َي َدَّه‬ َِّ َ‫ث المِ رف‬ََّ ‫ل ث ََُّّم َم َّراتَّ ث َ َال‬ََّ ‫س‬
َ ‫غ‬َ ُ‫َي َدَّه‬
‫ل اليُس َرى‬ ََّ ‫ح ث ََُّّم َذل‬
ََّ ‫ِك مِ ث‬ ََّ ‫س‬ َ ‫ل ث ََُّّم َرأ‬
َ ‫س َّهُ َم‬ ََّ ‫س‬
َ ‫غ‬َ ُ‫ن ِإ َلَّى اليُمنَى ِرجلَ َّه‬ َِّ ‫ث الكَعبَي‬ََّ ‫ل ث ََُّّم َم َّراتَّ ث َ َال‬
ََّ ‫س‬
َ ‫غ‬
َ ‫ل اليُس َرى‬ ََّ ‫ل ث ََُّّم َذل‬
ََّ ‫ِك مِ ث‬ ََّ ‫ت َقا‬ َُّ ‫ل َرأَي‬
ََّ ‫سو‬ ََِّّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللا َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ ََّم‬
ََّّ ‫علَي َِّه‬ َ ‫ضَّأ َ َو‬
َّ ‫ت ََو‬
َّ‫ل ث ََُّّم َهذَا ُوضُوئِي نَح َو‬
ََّ ‫ل قَا‬
َُّ ‫سو‬ ََّّ ‫صلَّى‬
ُ ‫ّللاِ َر‬ َ ُ‫ّللا‬ َ ‫سلَّ ََّم‬
ََّّ ‫علَي َِّه‬ َ ‫ضَّأ َ َمنَّ َو‬
َّ ‫ام ث ََُّّم َهذَا ُوضُوئِي نَح ََّو ت ََو‬
ََّ َ‫ن فَ َر َك ََّع ق‬ َُّ ‫س َّه ُ فِي ِه َما يُ َحد‬
ََّ ‫ِث‬
َِّ ‫ال َركعَت َي‬ َ ‫ِر نَف‬ ُ ُ‫ذَنبِ َِّه مِ نَّ تَقَد َََّّم َما لَ َّه‬
ََّ ‫غف‬
“Bahwa Utsman bin ‘Affan mengajak untuk berwudhu, maka dia berwudhu. Dia mencuci kedua telapak tangannya tiga kali,
kemudia dia berkumur-kumur, lalu dia menghirup air kehidungnya, lalau mencuci wajahnya tiga kali, kemudian mencuci tangannya
sebelah kanan hingga ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan sebelah kiri juga demikian, lalu membasuh kepalanya, lalu dia
mencuci kakinya yang kanan hingga dua mata kaki sebanyak tiga kali, lalu dia mencuci kaki kirinya juga demikian. Lalu Utsman
berkata: “Aku melihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berwudhu seperti wudhuku tadi.” Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam bersabda: “Barangispa yang berwudhu seperti wudhuku lalau dia shalat dua rakaat, tanpa bicara antara keduanya,
maka diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR. Bukhari No. 1934, Muslim No. 226, Abu Daud No. 106, Al Bazzar, 430 Ahmad No.
421, dan lain-lain)

Dalam hadits ini ada tambahan: cuci tangan tiga kali, kumur-kumur, menghirup air ke hidung, juga keterangan diulang
tiga kali pada mencuci wajah, mencuci tangan ke siku, dan mencuci kaki sampai ke mata kaki.
Masih banyak hadits shahih tentang wudhu yang menyebutkan membersihkan telinga, menyapu kepala dari depan ke belakang
lalu ke depan lagi.
Perinci (tafshil) Dalam Al Quran terdapat banyak ayat perintah shalat. Tetapi rincian bahwa shalat yang fardhu itu ada
lima waktu, adalah di hadits. Begitu pula penamaan waktunya menjadi subuh, zhuhur, ashar, maghrib, dan isya. Dari Anas bin
Malik Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: َّ‫ضت‬ َ ‫علَى فُ ِر‬ ََّ ‫ات ِب َِّه أُس ِر‬
َ َّ‫ي لَيلَ َّةَ وسلم عليه هللا صلى الن ِبي‬ َُّ ‫ص َلو‬ ََّ ‫خَمس‬، َّ‫صتَّ ثُم‬
َ ‫ِين ال‬ َ ‫خَمسَّا ً ُج ِعلَتَّ َحتى نُ ِق‬، َّ‫ثُم‬
ََّ ‫نُود‬: ‫محم َُّد يا‬: ُ ‫الَ إَِّن َّه‬
‫ِي‬ َّ ‫ل‬ َُّ ‫ك َوإِنَّ لَ َديَّ القَو‬
َُّ ‫ل يُبَد‬ َِّ َ‫س بِ َه ِذَِّه ل‬ ََّ ‫ خَم‬. “Telah difardhukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat
َّ ِ ‫سين الخَم‬
pada malam beliau diisra`kan 50 shalat. Kemudian dikurangi hingga tinggal 5 shalat saja. Lalu diserukan, “Wahai Muhammad,
perkataan itu tidak akan tergantikan. Dan dengan lima shalat ini sama bagi mu dengan 50 kali shalat.” (HR. At Tirmidzi No. 213,
katanya: hasan shahih gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 213) Hal ini terjadi
pada perincian ibadah lainnya seperti mekanisme zakat dan manasik haji. Namun, contoh dari shalat sudah mencukup. Wallahu
A’lam

Sumber: Alfahmu.id - Website Resmi Ustadz Farid Nu'man. Baca selengkapnya https://alfahmu.id/kedudukan-as-sunnah-an-
nabawiyah-dalam-islam/

Anda mungkin juga menyukai