Anda di halaman 1dari 14

ISTIMNA’ (ONANI DAN MASTURBASI)

MAKALAH

Penyusunan makalah ini diajukan guna memenuhi tugas Mata Kuliah Fikih
Kontemporer

Dosen Pengampu,

Dr. H. Mundir, M. Pd,

Oleh Kelompok 4 Kelas A2:

1. Irodatul Aisyah (T20181082)


2. Aditya Agusti Divanto (T20181083)
3. Survi Valiyati (T20181084)
4. Susi Kumala Nur Jannah (T20181085)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD SIDDIQ JEMBER


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kami kesehatan, taufiq
dan inayah sehingga kami kembali menulis karya dengan keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW berkat suri tauladan beliaulah kita sekarang berada pada zaman
yang di rahmati oleh Allah SWT. Kami ucapkan terima kasih kepada Dosen mata
kuliah Fikih Kontemporer yaitu Bapak Dr. H. Mundir, M. Pd. Berkat bimbingan
beliau kami bisa menulis karya yaitu berupa MAKALAH YANG MEMBAHAS
TENTANG ISTIMNA’ (ONANI DAN MASTURBASI). Apabila di dalam
penulisan karya ini terjadi salah kata dalam pengetikan, kami selaku penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya

Wassalamualaikum Wr Wb.

Jember, 20 Maret 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar Isi ii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan 1

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian istimna’ 2
2. Macam-macam istimna’ 4
3. Pandangan hukum islam dan hukum indonesia mengenai istimna’ 6
4. Batasan-batasan pelaku istimna’ dalam hukum syariah 8

BAB III

PENUTUP

a. Kesimpulan 10
b. Kritik dan Saran 10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kamus besar arab, ” kata Istimna’ ” berarti mengeluarkan seperma
dengan tangannya, kemudian istimna’ apabila sering dilakukan akan
menjadinya sebagai adat dan kebiasaan bagi yang melakukannnya, sehingga
lahirlah makna baru yaitu “ Al-Adah As-Sirriyah ” yang artinya adat atau
kebiasaan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Kemudian di dalam buku-buku fiqh dan fatwa para ulama, akan dijumpai
bahwa mayoritas ulama seperti Imam Syafi’i, Imam Maliki, Ibnu Taimiyah bin
Baz, Yusuf Qardhawi dan lainnya mengharamkannya, dengan menggunakan
dalil firman Allah WT yang tertera di dalam Qs. Al-Mu’minun ayat 5-7 yang
artinya : “ Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka kecuali
terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka tidak tercela. Tetapi barang siapa berkehendak selain
dari yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati
batas ”. 1
B. Rumusan masalah
1. Jelaskan pengertian istimna’ secara rinci.?
2. Jelaskan secara rinci macam-macam istimna’.?
3. Bagaimana pandangan hukum islam dan hukum indoensia mengenai
istimna’.?
4. Jelaskan batasan-batasan pelaku istimna’ dalam hukum syariah.?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian onani istimna’ secara rinci
2. Untuk mengetahui macam-macam istimna’
3. Untuk mengetahui pandangan hukum islam dan hukum indonesia mengenai
onani dan masturbasi
4. Untuk mengetahui batasan-batasan pelaku istimna’ dalam hukum syariah.

1
Saidna Zulfiqar bin Tahir, “ HUKUM ONANI DALAM ISLAM,” ISLAM HOUSE, no. 1
(Februari, 2011) : 1.

1
BAB II

PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN ISTIMNA’
Onani atau masturbasi (dalam bahasa inggris disebut onanism,
masturbation dalam bahasa arab disebut sebagai al-istimna’ atau jaldu
‘umairoh atau al-‘adab as-sirriyah atau kadang juga disebut al-khadkhadbab
adalah masalah yang sering dihadapi oleh anak remaja, pemudan dan kadang
juga orang dewasa. Onani dilakukan karena dorongan seksual yang menggebu-
gebu, sedang ia sendiri belum siap untuk menikah atau jauh dari istrinya.
Konon, menurut penjelasan secara psikologi, sebagian besar remaja laki-laki
melakukan praktek tak terpuji ini, dan sedikit wanita juga mempraktekan
masturbasi.2
Istilah martubusi ini berasal dari bahasa inggris, masturbation. Menurut
ahli hukum islam, martubusi ini disebut dengan istilah al-istimna’, yang berarti
onani atau perancapan. Kata ini sebenarnya berasal dari isim (kata benda) al-
maniyy (air mani), kemudian dialihkan menjadi fi’il (kata kerja) istimna
yastamni lalu menjadi istimna’, yang berarti mengeluarkan air mani.
Pengertian onani ini sebenarnya adalah mengeluarkan air mani dengan
cara menggunakan salah satu anggota badan (tangan misalnya) untuk mendapat
3
kepuasan seks. Bicara tentang onani dan masturbasi, pada prinsipnya adalah
sebuah tindakan yang berfungsi sebagai cara merangsang alat kelamin dengan
tangan atau benda lainnya untuk mendapat suatu taraf orgasme. Pada
umumnya, onani dan masturbasi menyangkut rangsangan dan pemuasan diri
sendiri, walaupun demikian onani dan masturbasi lumrah dilakukan oleh dua
orang dalam kapasitas hubungan heteroseksual.4

2
Ali Trigiyatno, “ HUKUM ONANI : PERSPEKTIF PERBANDINGAN MAZHAB,” JURNAL
HUKUM ISLAM (JHI), no.1 (Februari, 2015) : 36.
3
Kutbuddin Aibak, KAJIAN FIQH KONTEMPORER (Yogyakarta : KALIMEDIA Cet. I, 2017),
101-102.
4
M. Inzah, “ IBN HAZM DAN IMAM SYAFI’I MEMBINCANG ISTIMNA’,” Asy-Syari’ah,
no.2 (Januari,2016) : 171-172.

2
3

Menurut pendapat Chaplin menyatakan bahwa onani atau masturbasi


adalah coitus interreputus persenggaman yang mana zakar ditarik keluar dan
air mani kemudian dilepaskan, ditariknya buah zakar keluar sebelum
mangalami enjakulasi (Chaplin, 1993 : 339). Menurut Bukhori onani atau
masturbasi yaitu mencapai kepuasan seks dengan diri sendiri. Seperti suka
menggosok-gosokan penisnya dengan tangan sampai enjakulasi. Perbuatan ini
hampir umum dilakukan di kalangan pria dan hanya sebagian kecil di kalangan
wanita, terutama pada masa pancaroba di saat mulai meningkatnya nafsu birahi
(Bukhori, 2005 : 122).
Masturbasi atau banyak orang menyebutnya onani adalah ransangan yang
sengaja dilakukan pada organ kelamin untuk memperoleh kenikmatan dan
kepuasan seksual tanpatanpa bersenggama dengan lawan jenis. Tindakan
masturbasi dapat terjadi ketika seseorang dalam keadaan nafsu syahwat yang
meningkat dan tidak adanya seorang pasangan untuk menyalurkan nafsunya
tersebut. Tetapi tetap didasari dengan kekuatan mental, maksudnya adalah ada
orang yang dapat menahan nafsu dan tindakan masturbasi atau onani dapat
dicegah. Ada lagi yang tidak dapat menahan nafsu sehingga tindakan
masturbasi atau onani dilakukan.5
Dari beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa onani
atau masturbasi ialah pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan
menggunakan tangan, yaitu berupa menggesek-gesekan bagian alat kelamin
hingga mencapai orgasme atau menggunakan alat bantu lainnya. Dengan kata
lain onani atau masturbasi adalah menyalurkan hasrat seksual dengan cara
merangsang alat kelamin baik dengan menggunakan tangan dan sebagainya.
Perilaku ini juga dinamakan dengan kebiasaan rahasia, karena dilakukan
dengan cara sembunyi-sembunyi. Dan kebiasaan ini banyak dilakukan oleh
remaja yang sedang mengalami kematangan seksual, baik pria maupun wanita.

5
Arum Dwi Anjani dan Dinda Zahara, “ KEJADIAN YANG MEMPENGARUHI REMAJA
LAKI-LAKI DALAM MELAKUKAN MASTURBASI,” KEBIDANAN, no.2 (April, 2020) : 223.
4

Hal ini, sering terjadi ketika mereka dalam keadaan kurang mendapatkan
pengarahan dan pendidikan yang benar.6
2. MACAM-MACAM ISTIMNA’
Berdasarkan cara melakukannya mastrubasi dapat dibedakan menjadi 3
macam7:
A. Mastrubasi sendiri (Auto Mastrubation); stimulasi genital dengan
menggunakan tangan, jari atau mengesek-gesekkannya pada suatu objek.
B. Mastrubasi bersama (Mutual Mastrubation); stimulasi genital yang
dilakukan secara berkelompok.
C. Mastrubasi pisikis; pencapaian orgasme melalui fantasi dan rangsangan
audio visual.
Pendapat seperti ini dapat menjadi solusi penting ketika ada kekhawatiran
yang kuat akan terjatuh dalam perbuatan– perbuatan yang terlarang. Namun
cara yang terbaik adalah mengikuti petunjuk Rasul dalam sebuah hadist beliau
bersabda yang artinya : “hai para pemuda, barang siapa di antara kamu sudah
ada kemampuan, maka kawinlah sebab dia itu dapat menundukkan pandangan
dan memelihara kemaluan; tetapi barang siapa yang tidak mampu maka
hendaklah ia berpuasa, sebab puasa itu baginya merupakan pelindung.8
Dari berbagai uraian pendapat diatas, macam – macam aktivitas istimna’/
onani dapat di bagi menjadi dua, yaitu :
I. Istimna’ secara aktif, yaitu aktifitas istimna’ atau onani dengan media
tangan sendiri dan atau dengan menggunakan alat bantu namun tanpa
bantuan tangan orang lain.
II. Istimna’ secara pasif, yaitu aktifitas istimna’ atau onani dengan media
tangan orang lain dan atau alat bantu bisa disebut dengan bantuan orang
lain.
Mastrubasi tidak memberikan kepuasan yang sebenarnya seperti halnya
yang terjadi ketika senggama antara suami dan istri. Senggama (jima’) adalah
6
EMA ARIDLHOTUL LICHYATI, “ Onani/masturbasi dan upaya penanggulangannya menurut
kartini kartono “ (Skripsi, IAIN WALISONGO SEMARANG, 2009),16.
7
Nina Sutiretna, Remaja dan Problema Seks Tinjauan Islam dan Medis, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 206), 61.
8
Ahsin.W. Al- Hafidz, Fikih Kesehatan (Jakarta: Amzah, 2007), 242
5

sesuatu yang dialami oleh sepasang suami istri secara bersama-sama,


mengalami kenikmatan bersama dengan penyerahan yang utuh, serta
menghantarkan mereka pada kepuasan.
Ketika melakukan senggama, bukan hanya anggota kelamin yang punya
andil, melainkan seluruh tubuh, sepenuh jiwa dan raga. Pada senggama,
rangsangan tidak perlu dibangkitkan secara tiruan, karena hubungan seksual
antara laki-laki dan perempuan merupakan suatu kenyataan. Sebaliknya,dalam
mastrubasi, satu-satunya sumber rangsangan adalah khayalan. Khayalan diri
sendiri itulah yang menciptakan gambaran erotic dalam pikiran.
Mastrubasi merupakan rangsangan yang bersifat lokal pada anggota
kelamin, sekedar untuk mengosongkan kelenjar-kelenjar kelamin. Akibatnya,
mastrubasi tidak bekerja sebagai suatu kebajikan. Jika hubungan seks yang
normal menimbulkan rasa bahagia, mastrubasi malah menciptakan depresi
emosional dan pisikologis, semacam kehampaan dan perasaan bersalah.
Orang yang paling banyak melakukan mastrubasi adalah para pemuda
yang berumur antara tiga belas tahun sampai dua puluh tahun. Biasanya yang
sering melakukan mastrubasi adalah anak anak muda yang belum menikah atau
menjanda, atau orang-orang yang sedang dalam pengasingan (penjara). Anak
laki-laki lebih sering melakukan mastrubasi dibandingkan anak perempuan
dengan beberapa sebab :
1) Nafsu seksual anak perempuan tidak datang menggejolak dan meledak-
ledak seperti anak laki-laki
2) Perhatian anak perempuan tidak tertuju pada masalah senggama, karena
mimipi seksual/ mimpi basah lebih banyak dialami oleh anak laki-laki.
Selain beberapa sebab yang telah disebutkan diatas maka onani dan
masturbasi ini juga dilaksanakan berdasarkan kepada dorongan-dorongan
seksual sehingga orang tersebut melakukan onani dan masturbasi. Dorongan-
dorongan seksual tersebut dapat kita ketahui sebagai berikut :

a) Faktor Internal
6

Stimulus yang berasal dari dalam individu yang berupa bekerjanya


hormon-hormon alat reproduksi sehingga menimbulkan dorongan seksual
pada individu yang bersangkutan, hal ini menuntut untuk segera dipuaskan.
b) Faktor Eksternal
Stimulus yang berasal dari luar individu yang menimbulkan dorongan
seksual hingga memunculkan prilaku seksual, stimulus eksternal tersebut
dapat diperoleh melalui pengalaman pacaran, informasi mengenai
seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman mastrubasi, jenis kelamin,
pengaruh orang dewasa serta pengaruh buku-buku bacaan dan tontonan
porno.
3. PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM INDONESIA MENGENAI
ISTIMNA’ (ONANI DAN MASTURBASI)
Mengenai onani (istimna’ bi al-yad) yakni mastubasi dengan tangan
sendiri. Islam memandang sebagai suatu perbuatan yang tidak etis dan tidak
pantas dilakukan. Namun para ahli hukum fiqh berbeda pendapat tentang
hukumnya. Pendapat-pendapat itu antara lain sebagai berikut :
A. Pendapat pertama dari ulama maliki, syafi’i dan zidni mengharamkan secara
mutlak. Berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat al-
Mukminum ayat 5-7 :
َ‫ت أَ ْي َمنُهٌ ْم فَأِنَّهُ ْم َغ ْي ُر َملُو ِم ْين‬
ْ ‫م أَوْ َما َملَ َك‬nْ ‫) أِاَّل َ َعلَى أَ ْز َو ِج ِه‬5( َ‫َوآلَّ ِذ ْينَ هُ ْم لِفُ ُر و ِج ِه ْم َحفِظُوْ ن‬
)7( َ‫ك فَأُوْ لَئِكَ هُ ُم ْال َعا ُدون‬ َ ِ‫) فَ َم ِن ْا ْبتَغَى َو َرآ َء َذل‬6(
Artinya :
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri
mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa mencari yang dibalik itu, maka
mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.
B. Pendapat kedua dari ulama hanafi secara prinsip mngaharamkan onani,
tetapi dalam keadaan gawat yakni orang yang memuncak nafsu seksnya
khawatir dan khawatir berbuat zina maka ia boleh bahkan wajib melakukan
onani demi menyelamatkan dirinya perbuatan zina yang jauh lebih besar
dosa dan bahayanya.
7

C. Pendapat ketiga ulama hambali mengharamkan onani, kecuali kalau orang


takut untuk berbuat zina (karena terdorong nafsu seksnya yang kuat) atau
khawatir terganggu kesehatannya, sedangkan ia tidak mempunyai istri atau
budak wanita dan ia tidak mampu kawin maka ia tidak berdosa. Menurut
pendapat kedua dan ketiga, onani hanya diperbolehkan dalam keadaan
terpaksa. Sudah barang tentu yang diperbolehkan dalam keadaan terpaksa
itu juga dibatasi minimal mungkin penggunaanya. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqh :
‫ما أبيح للضرورة يقدر بقد رها‬

Artinya :
Sesuatu yang diperbolehkan karena darurat hanya boleh sekadarnya saja.
Kaidah fiqh tersebut berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat
Al-Baqarah ayat 173 yang berbunyi :
)173( ‫اغ َوالَ عَا ٍد فَآل أِ ْث َم َعلَ ْي ِه أِ َّن هللاَ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
ٍ َ‫فَ َم ِن ْا ضْ طُرَّا َغي َْر ب‬
Artinya :
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada
dosa baginya. Sesungguhnya Allah maha pegampun lagi maha penyayang.9
D. Pendapat keempat dari ungkapan Abdul Qadir Audah menjelaskan didalam
kitabnya At-Tasyri’ Al-Jina’i Fi Al-Islam pendapat Ibnu Hazm sebagai
berikut :
“ Ibnu Hazm berpendapat, “ Onani itu di makruhkan karena ia tidak
termasuk kemuliaan akhlak dan bukan termasuk keutamaan ”.10
Sedangkan menurut hukum yang berlaku di indonesia maka istimna’
(onani dan masturbasi) ini diatur di dalam UNDANG-UNDANG NOMOR 44
TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI. Dalam hal ini, istimna’ (onani dan

9
Kutbuddin Aibak, KAJIAN FIQH KONTEMPORER (Yogyakarta : KALIMEDIA Cet. I, 2017),
101-102.
10
Ali Trigiyatno, “ HUKUM ONANI : PERSPEKTIF PERBANDINGAN MAZHAB,” JURNAL
HUKUM ISLAM (JHI), no.1 (Februari, 2015) : 37.
8

masturbasi) tertera pada BAB II mengenai larangan dan pembatasan di pasal 4


poin 1 yang berbunyi :
(1). Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggadakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pornografi
yang secara ekplisit memuat :
a. Persenggaman, termasuk persenggaman yang menyimpang
b. Kekerasan seksual
c. Masturbasi atau onani
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan
e. Alat kelamin
f. Pornografi anak.11
4. BATASAN – BATASAN PELAKU ISTIMNA’ DALAM HUKUM
SYARI’AH
Istimna’ yang dilakukan dengan bantuan tangan atau anggota tubuh
lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal,
karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak
wanita yang dihalalkan oleh Allah SWT. Demikian pula hukumnya bagi wanita
dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak). Karena
tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil
yang membedakannya, Wallahu a’lam. Dalil yang mendasari keumuman
pendapat ini adalah sebagaimana Firman Allah SWT :
‫ت أَ ْي َمنُهٌ ْم فَأِنَّهُ ْم َغ ْي ُر‬
ْ ‫م أَوْ َما َملَ َك‬nْ ‫) أِاَّل َ َعلَى أَ ْز َو ِج ِه‬5( َ‫َوآلَّ ِذ ْينَ هُ ْم لِفُ ُر و ِج ِه ْم َحفِظُوْ ن‬

nَ ِ‫) فَ َم ِن ْا ْبتَغَى َو َرآ َء َذلِكَ فَأُوْ لَئ‬6( َ‫َملُو ِم ْين‬


)7( َ‫ك هُ ُم ْال َعا ُدون‬

Artinya : “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap


istri- istri mereka atau budak yang mereka miliki: maka sesungguhnya mereka
dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, mereka
itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-Mu’minun: 5-7).
11
Andi Mattalanta, “ UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN
2008 TENTANG PORNOGRAFI,” DEPKUMHAM, 26 November 2008,
http://www.djpp.depkumham.go.id
9

Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al- Imam


Ahmad ra. memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang
dianggap sebagai kondisi darurat. Namun nampaknya pendapat ini harus diberi
persyaratan seperti kata Al-Albani ra. Dalam Tamamul Minnah hal.420-421: “
Kami tidak mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus
dalam perzinaan, kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang
diperintahkan oleh Nabi SAW), yaitu sabda Nabi SAW kepada kaum pemuda
dalam hadits yang sudah dikenal yang memerintahkan mereka untuk menikah
dan beliau bersabda yang atinya sebagai berikut :
“ Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa,
karena sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan
syahwatnya”
Disamping itu, Ibnu Hazm juga menyandarkan keumumam ayat tentang
etika menggauli istri sebagaiamana Firman ALLAH SWT, yaitu :
Artinya : “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok
tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja
kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-
Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” Q.S Al-Baqarah ;
223
Dari beberapa uraian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa batasan –
batasan pelaku yang diperbolehkan dalam istimna’ menurut pendapat Ibnu
Hazm adalah bercampurnya suami istri atau tuan dengan budaknya yang
melakukan istimta’ yang mungkin didalamnya termasuk istimna’ ketika istri
sedang mengalami haid atau sebagai alternatif dalam hubungan jima’ suami
istri dan sesuai dengan firman ALLAH SWT serta dasar hukum yang sudah
terurai dalam pembahasan ini12.

Ali Trigiyatno, “ HUKUM ONANI : PERSPEKTIF PERBANDINGAN MAZHAB,” JURNAL


12

HUKUM ISLAM (JHI), no.1 (Februari, 2015) : 39.


BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat kita ketahui bahwa istimna’
merupakan pemuasan nafsu seksual yang dilakukan dengan menggunakan
tangan, yaitu berupa menggesek-gesekan bagian alat kelamin hingga mencapai
orgasme. Perilaku istimna’ ini termasuk perbuatan yang menyimpang karena
di dalam konteks pandangan hukum islam dan indonesia sudah diatur. Maka
sebagai seorang muslim mari kita upayakan untuk menghindari perbuatan
istimna’ ini supaya kita dapat terhindar dari perilaku-perilaku yang
menyimpang dari norma-norma agama dan norma-norma sosial.
b. Kritik dan saran
Apabila di dalam proses pengerjakan makalah ini tedapat salah kata dalam
penulisan atau kurang dalam proses pencarian sumber-sumber data , kami
selaku penulis mohon maaf karena saya juga perlu banyak belajar dalam
penyusunan makalah yang benar. Kami selaku penulis juga berharap untuk
mendapatkan kritik dari bapak dosen dan para mahasiswa sebagai bahan
evaluasi untuk lebih memperluas wawasan mengenai proses penyusunan
makalah.
Sebagai generasi muda yang baik kita upayakan bersama-sama untuk
mencari wawasan yang luas karena dengan ilmu pengetahuan kita dapat
menggapai masa depan yang cerah dan semoga makalah yang penulis buat
dapat bermanfaat bagi para pembacanya khussunya di kalangan mahasiswa
UIN KHAS Jember dan masyarakat umum.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bin tahir, Saidna Zulfiqar. “ HUKUM ONANI DALAM ISLAM.” ISLAM


HOUSE, no. 1 (2011) : 1.
Trigiyatno, Ali.“ HUKUM ONANI : PERSPEKTIF PERBANDINGAN MAZHAB.”
JURNAL HUKUM ISLAM (JHI), no.1 (2015) : 36.
Aibak, Kutbuddin. KAJIAN FIQH KONTEMPORER. Yogyakarta : KALIMEDIA Cet. I,
2017.
Inzah, M.“ IBN HAZM DAN IMAM SYAFI’I MEMBINCANG ISTIMNA’.” Asy-
Syari’ah, no.2 (2016) : 171-172.
Zahara, Dinda Arum Dwi Anjani.“ KEJADIAN YANG MEMPENGARUHI REMAJA
LAKI-LAKI DALAM MELAKUKAN MASTURBASI.” KEBIDANAN, no.2
(2020) : 223.
EMA ARIDLHOTUL LICHYATI, “ Onani/masturbasi dan upaya penanggulangannya
menurut kartini kartono.” Skripsi, IAIN WALISONGO SEMARANG, 2009.
Sutiretna, Nina. Remaja dan Problema Seks Tinjauan Islam dan Medis. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Al- Hafidz, Ahsin.W. Fikih Kesehatan. Jakarta: Amzah, 2007.
Andi Mattalanta. “ UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44
TAHUN 2008 TENTANG PORNOGRAFI.” DEPKUMHAM, 26 November
2008, http://www.djpp.depkumham.go.id

Anda mungkin juga menyukai