Anda di halaman 1dari 10

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “Iman Kepada yang Ghaib”. Makalah ini di susun dalam
rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hadist Tematik Aqidah.
Penyusun menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun guna sempurnanya makalah ini. Penyusun berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit hambatan yang penyusun
hadapi. Namun, penyusun menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah ini mendapat bimbingan dari Dosen mata kuliah Hadis Tematik aqidah,
serta rekan satu kelompok yang telah berkerja sama.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga
Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Pekanbaru, 26 Maret 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Keimanan dan pengucapan dua kalimat syahadat mengharuskan adanya


keimanan pada hal ghaib yang diinformasikan Allah melalui Rosul-Nya.
Maka dari sinilah muncul istilah rukun iman, yang semuanya bersifat ghaib,
atau mempunyai unsur ghaib. Iman kepada tujuh langit, yang didalamnya
terdapat malaikat, baitul ma‟mur, di tingkat ketujuh ada syurga, atapnya
adalah „Arsy, ruh- ruh kaum mukminin naik padanya, semuanya adalah
bagian dari keimanan kepada Al-Qur‟an. Iman dengan adanya alam barzah
setelah kematian adalah cabang dari keimanan kepada hari akhir, begitu
seterusnya, tidak ada satupun perkara yang ghaib yang tidak merujuk kepada
enam rukun.
Ghaib adalah kata masdar yang digunakan untuk setiap sesuatu yang
tidak dapat diindra, baik diketahui maupun tidak. Iman kepada yang ghaib
berarti percaya kepada segala sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh panca
indra dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi ia diketahui oleh
wahyu yang diterima oleh para nabi dan rasul.
Iman kepada yang ghaib adalah salah satu sifat dari orang-orang mukmin. Al-
Quran sendiri telah menyebutkan kata “ghaib” kurang lebih sebanyak 56 kali.
Dan di permulaan surat al-Baqarah, Allah meyebutkan salah satu dari
karakter orang-orang yang beftaqwa adalah, orang-orang yang beriman
kepada yang ghaib. Allah Subhannahu wa Ta‟ala berfirman:

“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur‟an) ini tidak ada keraguan pada-nya;
petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada
yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang
Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3).

Iman yang benar terhadap adanya pahala menjadikan seseorang


bergegas melakukan ihsan dan kebajikan demi mendapatkan pahala yang
kekal, suatu perkara yang menjadikan bersihnya jiwa dan merebaknya kasih
sayang di antara individu dan jama‟ah. Sebagaimana Allah menceritakan
tentang orang-orang yang telah mempraktekkan hal itu dalam
firmanNya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), me-reka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada
mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa
yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdo‟a, ‟Ya Tuhan kami,
ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu
dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami
terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 9-10).
Bentuk percaya kepada alam ghaib bukan berarti boleh meminta-minta
kepada makhluq halus, jin, syetan, iblis dan sebagainya. Ini pengertian
percaya yang keliru. Percaya disini meyakini keberadaan dan eksistensi alam
dan makhluq ghaib, termasuk surga, neraka, malaikat, alam kubur, alam
barzakh, padang mahsyar dan seterusnya. Inti dari kepercayaan kepada semua
itu tidak lain bahwa kita harus mempersiapkan diri untuk mati dan masuk ke
alam ghaib itu serta mempertanggung-jawabkan semua amal kita di dunia.

1.2. Rumusan Masalah


a. Apa yang di maksud dengan beriman kepada yang gaib?
b. Bagaimana cara beriman kepada Allah,Malaikat, dan Alam Barzah?

1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui dan memahami maksud dari iman kepada yang ghaib
b. Untuk mengetahui dan memahami maksud beriman kepada
Allah,Malaikat, dan alam barzah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Beriman Kepada yang Ghaib
“Ghaib” adalah apa yang tersembunyi dari manusia tentang perkara-
perkara yang akan datang atau yang telah lalu dan apa yang tidak mereka
lihat[1]. Ilmu ghaib ini khusus milik Allah semata Allah berfirman:

Artinya: “Katakanlah:"tidak ada seorangpun di langit dan di bumi


yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak
mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”. (An-Naml:65)

Maka tak seorangpun mengetahui yang ghaib kecuali Allah SWT


semata, namun terkadang Allah memperlihatkan apa yang dikehendakinya
dari yang ghaib kepada rasul-rasulnya untuk suatu hikmah dan
kemaslahatan. Allah SWT berfirman : “(dia adalah Tuhan) yang
mengetahui yang ghaib, Maka Dia tidak memperlihatkan kepada
seorangpun tentang yang ghaib itu. kecuali kepada Rasul yang diridhai-
Nya, Maka Sesungguhnya Dia Mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di
muka dan di belakangnya”. (Al-jin 26-27)

Artinya Allah tidak memperlihatkan sesuatupun dari masalah ghaib


kecuali kepada orang yang dipilihnya untuk mengemban risalahnya. Allah
memperlihatkan kepadanya apa yang dikehendakinya dari masalah ghaib.
Karena bukti kenabiannya adalah mukjizat dan diantara mukjizat itu
adalah mengabarkan tentang masalah ghaib yang diperlihatkan Allah
kepadanya. Dan hal ini berlaku umum bagi rasul (utusan Allah), baik dari
jenis malaikat maupun dari jenis manusia. Dan selain mereka tidak
diperlihatkan masalah ghaib berdasarkan dalil yang membatasinya. Barang
siapa yang mengaku mengetahui ilmu ghaib dengan cara apapun, padahal
dia bukan orang yang dipilih Allah sebagai rasul maka ia adalah pendusta
dan kafir.

Alam yang dapat disaksikan oleh Al-Qur‟an dinamakan alam


syahadah (alam nyata), sedangkan alam yang tidak tampak oleh indra kita
(alam metafisik) dinamakan alam ghaib. Tentang alam nyata, semua
manusia mempercayai dan membenarkan keberadaannya. Bahkan hewan
yang bisu saja dengan perasaannya dapat mengetahui keberdaannya.
Jadi,dalam mempercyai masalah ini tidak ada orang yang lebih unggul
daripada yang lain. Sebab ini termasuk dalam kategori ilmu dhaaruri.
Keunggulan hanya ada dalam kepercayaan kepada yang gaib. Keunggulan
ini ada pada orang beriman kepada apa yang tidak dapat ia lihat, namun ia
membenarkan keberadaannya karena bersandar kepada kebenaran berita
mengenai hal itu.

Bagaimana kita percaya kepada yang gaib, sedangkan Allah tidak


memberikan kepada kita indra untuk mengetahuinya? Jika kita hanya
bersandar pada indara dan akal untuk menentukan segalanya, maka kita
akan tetap pada kejahilan mengenai apa yang ada dibalik materi, oleh
karena itu, diantara hikmah Allah dan rahmatnya yang diberikan kepada
kita, Allah tidak membiarkan akal dalam kelemahanya untuk mengetahui,
tetapi Allah memberitahukan hal-hal yang dibutuhkannya.

Pemberitahuan itu tidak berasal dari jiwa, tetapi datang dari luarnya
bukan dari intuisi jiwa, inspirasi spiritual, kilasan pikiran, juga bukan
kesimpulan akal. Kia tidak muncul dari kemampuan manusiawi, tetapi
datang dari luar melalui salah satu dari tiga jalan : Pertama, diberikannya
berita-berita ini oleh Allah kepda manusia melalui ilham, mimpi atau jalan
lainnya yang tidak bisa direkayasa oleh manusia dan tidak dapat dihasilkan
dengan cara ijtihad, lalu ia merasakan dan
mengungkapkannya. Kedua, memperdengarkannya tanpa bisa diketahui
siapa yang sebenarnya telah mengatakannya, sehingga hal itu sampai
ketelinganya yang akhirnya ioa dapat mengetahui. Ketiga, (yang paling
sering), Allah mengutus salah seorang dari makhluknya yang pilihan dan
taat serta gaib dari mata kita, yaitu makhluk yang dinamakan malaikat,
kepada salh seorang manusioa yang dipilih oleh Allah yakni Rasul untuk
menerima risalhnya dan memerintahkannya agar menyampaikan risalah itu
kepada manusia.

“Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-


kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang
tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu
diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.
Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”.(Asy-Syura : 51)

Masalah gaib yang merupakan rukun iman dimana orang yang


mengingkarinya dianggap kufur dan keluar dari agama islam adalah
masalah-masalah gaibn yang dikemukkan oleh Al-Qur‟an. Adapun maslah
gaib yang disebutkann dalam sunnah hadis yang sahih, maka orang yang
mengingkarinya tidak bisa dikafirkan dan tidak sampai keluar dari agama,
tetapi dianggap fasiq.

Perbedaan antara kitab dan sunah disini perlu sedikit dijelaskan.


Wahyu yang diterima oleh Nabi yang kemudian beliau sampaikan kepada
umatnya dan hadis yang beliau tuturkan , keduanya pada dasarnya
memiliki kekuatan yang sama untuk dijadikan hujjah.

Hal-hal yang gaib diberitakan oleh syara dan wajib diimani dan yang
mengingkarinya dinyatakan kufur adalah malaikat dan jin, kitab-kitab dan
para rasul, hari akhir dan segala kejadian didalamnya yang berupa hisab
dan setelah itu pahala dan sikasa, qadar, berita-berita didalam Al-Qur‟an
mengenai penciptaan langit dan bumi, penciptaan manusia, dan segala hal
yang diberitakan oleh Al-Qur‟an.

Alam gaib itu bermacam-macam, diantaranya: Pertama, kegaiban


yang tidak kita ketahui, namun diketahui oleh manusia yang lain selain
kita. Misalnya, kisah Yusuf yang dinamakan oleh Allah sesuatu yang gaib.
Sebab Nabi Muhammad SAW dan kaumnya tidak mengetahui kisah
tersebut dengan indra mereka tidak melihat serta tidak pula
mendengarnya. Kedua, kegaiban yang tidak diketahui oleh manusia,
meskipun ada kemungkinan secara akal mereka dapat mengetahuinya
sekiranya Allah mengemukakan waktu penciptaan mereka. Seperti
misalnya, peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi dibumi sebelum mereka
dan berita-berita mengenai makhluk-makhluk yang pernah menghuninya,
meski secara riil mereka tidak mengetahuinya. Ketiga, kegaiban yang tidak
mungkin dapat diketahui dengan indra, tidak dapat ditentukan oleh akal,
dan tidak dapat dimengerti hakikatnya dengan imajinasi. Contohnya sifat-
sifat Allah dan segala makhluknya yang digaibkan dari kita seperti para
malaikat, jin, setan, keadaan hari kiamat, serta kejadian-kejadian sesudah
hari kiamat yang berupa hisab, pahala, dan siksa.

B. Iman Kepada Allah


Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan
lisan, dan memperbuat dengan anggota badan (beramal). Dengan demikian
iman kepada Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah
SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan dalam kalimat :
‫أشهد أن الإله إال هللا‬
“Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah”
Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti
dengan perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi
laranganNya. Beriman kepada Allah adalah kebutuhan yang sangat
mendasar bagi seseorang. Allah memerintahkan agar umat manusia
beriman kepada-Nya, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman. Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya
(Muhammad) dan kepada Kitab (Al Qur‟an) yang diturunkan kepada
RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya. Barangsiapa ingkar
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasulNya,
dan hari kemudian, maka sungguh orang itu telah tersesat sangat jauh.”
(Q.S. An Nisa : 136)
Itulah keimanan yang sesungguhnya. Jika sudah demikian Insya
Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan jiwa sudah tentram, maka
seseorang akan berani dan tabah dalam menghadapi liku-liku kehidupan
ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu disyukurinya. Sebaliknya setiap
musibah dan kesusahan selalu diterimanya dengan sabar.
Dasar Beriman Kepada Allah: (a) Kecenderungan dan pengakuan
hati, (b) Wahyu Allah atau Al-Qur‟an, dan (c) Petunjuk Rasulullah atau
Hadits. Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk
percaya kepada kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan
rasa kecenderungan hati secara fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati
merupakan dasar iman. Namun dengan pengakuan hati tidak akan ada
artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota tubuh. Sebab antara
pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota tubuh
merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai
keimanan yang benar tidak hanya berdasarkan fitrah pengakuan hati nurani
saja, tetapi harus dipadukan dengan Al-Qur‟an dan Hadits.

C. Iman Kepada Malaikat

Menurut ketetapan al-Quran, Malaikat-Malaikat itu


adalah makhluk gaib, bukan benda.[8]Secara etimologis, Malaikat
merupakan bentuk jamak dari malak, berasal dari mashdar al-
alukah artinya ar-risalah (missi atau pesan). Pembawa missi adalah rasul.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Qs. Hud ayat 69. Sedangkan secara
terminologis, Malaikat adalah makhluk ghaib yang diciptakan oleh Allah
SWT dari cahaya dengan wujud dan sifat-sifat tertentu.
Kemudian bagaimana kita mengimaninya? Kita dapat mengetahui dan
mengimani wujud Malaikat, pertama, melalui akhbar yang disampaikan
oleh Rasullullah SAW baik berupa al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah yang
menjelaskan perihal Malaikat. Karena kita mengimani dua sumber tersebut,
tentu dengan sendirinya kita mengimani isi berita dari kedua sumber
tersebut. Kedua, lewat bukti-bukti nyata yang ada dalam alam semesta
yang menunjukkan bahwa Malaikat itu ada. Misalnya Malaikat maut dan
Malaikat jibril.
1) Penciptaan Malaikat
Sesuai dengan hadis riwayat Muslim bahwa Malaikat itu
diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang telah
diterangkan kepadamu semua. Tentang kapan penciptaannya tidak
penjelasan. Akan tetapi Malaikat lebih dulu diciptakan dari manusia
pertama (Adam AS). Hal ini sesuai dengan Qs. Al-Baqarah ayat 30.
2) Wujud Malaikat
Malaikat merupakan makhluk ghaib yang memiliki sifat tidak
dapat dilihat, didengar, diraba, dicium dan dirasakan oleh manusia
atau tidak dapat dijangkau oleh pancaindera kecuali Malaikat
menampakkan dalam rupa tertentu. Di bawah ini merupakan ayat
tentang peristiwa Malaikat menjelma sebagai manusia.
“dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (Malaikat-Malaikat) telah
datang kepada Ibrahim dengan membawa kabar gembira, mereka
mengucapkan „selamat‟. Ibrahim menjawab „selamat‟. Maka tidak
lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging sapi yang
dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak
menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan
merasa takut kepada mereka. Malaikat berkata: jangan kamu merasa
takut sesungguhnya kami ini adalah (Malaikat-Malaikat) yang diutus
kepada kaum Luth.”(Hud 11: 69-70)
Ada juga dalam Qs. Maryam 19: 16-17
Malaikat tidak dilengkapi oleh hawa nafsu, tidak memiliki
keinginan seperti manusia, tidak berjenis laki-laki dan perempuan dan
tidak berkeluarga.

3) Sifat Dan Keadaan Malaikat


a) Dapat menampakan dirinya di alam benda.
Firman Allah :
”Katakan: kalau kiranya di bumi ini diam Malaikat-Malaikat yang
berjalan dengan tentram, tentulah Kami menurunkan Malaikat pula
kepada mereka untuk menjadi Rasul.” (QS. al-Isra‟ : 95)
b) Makhluk Allah dan hambanya
Firman Allah yang artinya:
“Bahkan mereka (Malaikat-Malaikat) itu adalah hamba-hamba yang
dimuliakan. Mereka tiada mendahului Allah denganperkataan, dan
mereka berbuat sesuai dengan perintah-Nya.” (QS. al-Anbiyaa‟ : 26-
27).

c) memperhambakan diri kepada Allah, patuh akan segala perintah-Nya,


tidak pernah berbuat maksiat dan durhaka (Al-Anbiya‟ ayat 27)
d) Petugas dalam urusan yang berhubung dengan jiwa dan semangat.
Tugas itu ditentukan pembagiannya oleh Tuhan kepada mereka
masing-masing, sebagai pelaksanaan iradat, kehendak, kemauan dan
keputusan Allah terhadap hamba-Nya.

4) Nama Dan Tugas Malaikat


Dalam Qs. Al-Fathir 35 ayat 1:
“Rasulullahn saw melihat Jibril AS bersayap 600.”(HR. Muslim)
Perbedaan jumlah sayap tersebut bisa saja berarti perbedaan
kedudukan, pangkat atau perbedaan kemampuan dan kecepatan dalam
menjalankan tugas. Sebagian Malaikat disebut nama-nama
mereka dan sebagian hanya dijelaskan tugas-tugasnya saja.
a. Jibril (Qs. Al-Baqarah 2: 97)
Disebut juga dengan Ruhul Qudus (Qs. An-Nahl 16: 102). Selain itu
juga disebut sebagai Ruhul Amin (Qs. Asy-Syura 26: 193), An-Namus
(seperti yang dikatakan oleh Waraqah bin Nufail)
b. Mikail
Mengatur hal-hal yang berhubungan dengan alam seperti melepaskan
angin, hujan, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan lain-lain. Al-
Baqarah: 98.
c. Israfil
Qs. Al-An‟am 6: 73, Al-Kahfi: 99, Thaha: 102, An-Naml: 87, Yaasiin:
51, dan Al-Haqah: 13.
d. Malaikat Maut
Qs. As Sajdah: 11
e. Raqib dan Atid
Mencatat amal perbuatan manusia Qs. Qaaf:17-18 disebut juga
dengan kiraaman katibin (Al-Infithar 10: 12). Ada juga Malaikat yang
bernama Hafazhah (penjaga atau pemelihara catatan amal manusia)
sesuai dengan Qs. Al-An‟am 6: 61. Mereka dalam satu kesatuan tugas
dengan bidang yang berbeda-beda, ada yang mengawasi, mencatat dan
memelihara catatan itu.
f. Malaikat Munkar dan Nakir
Dalam hadis riwayat Buhari dan Muslim, Malaikat ini disebut juga
dengan nama Qaulu As Tsabit dalam Qs. Ibrahim ayat 27
“seorang Muslim, apabila ditanya di alam kubur, memberikan
kesaksian bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Muhammad
Rasulullah” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Maksud firman Allah yaitu Allah meneguhkan iman orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh (Qaulu As Tsabit) dalam
kehidupan di dunia dan akhirat...” (Ibrahim14: 27)
g. Ridwan
Menjaga dan memimpin para pelayan surga (Qs. Az Zumar: 79 dan Ar
Ra‟d: 23-24)
h. Malik (Qs. Az Zukhruf: 77, Az Zumar: 71 dan Al- Mudatsir: 30)
i. Malaikat yang bertugas memikul „Arasy (Qs. Al Mukminunb: 7 dan
al- Haqqah: 17)
j. Malaikat yang bertugas menggerakkan manusia untuk berbuat
kebaikan dan kebenaran. HR. Abi Hatim dan Tirmizi

D. Alam Barzah
Jika kematian datang menghampiri seseorang maka putuslah
hubungannya dengan kehidupan dunia. Hanya amal baik dan
buruklah yang abadi menemani sampai kealam kubur. Amal baik seperti
solat, zakat, sedekah dan zikir semua itu akan membawa kebahagian dan
ketentraman dialam kubur.
Sebaliknya amal buruk seperti perbuatan dosa mendurhakai
Allah, melakukan perbuatan yang dilarang dan dimurkaiNya, serta
meninggalkan amal perbuatan yang diperintahkan semua itu akan
membawa kesengsaraan dialam kubur. Alam ini adalah masa penantian
yang penuh kesengsaraan bagi kaum pendosa dan penuh kebahagiaan bagi
orang beriman. Alam kubur akan berakhir pada hari kiamat kelak.
“Dan Allah telah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian
dalam keadaan tidak mengetahui segala sesuatu dan Dia
menjadikan bagimu pendengaran, penglihatan dan hati agar kalian
bersyukur.” QS. An-Nahl : 078
Dan pada tahapan inilah yang menentukan bahagia dan
celakanya, dan merupakan negeri ujian dan cobaan. Sebagaimana firman
Allah Ta‟ala: “Dialah yang telah menciptakan kematian dan kehidupan
agar menguji kalian siapa di antara kalian yang paling bagus
amalannya.” QS. Al-Mulk : 2
“Agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku
tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang
diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzhah (pembatas)
sampai hari mereka dibangkitkan.” QS. Al-Mu‟minun : 100.

Anda mungkin juga menyukai