Anda di halaman 1dari 14

Arti Iman Kepada Allah Iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan memperbuat dengan

anggota badan (beramal). Dengan demikian iman kepada Allah berarti meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT itu ada, Allah Maha Esa. Keyakinan itu diucapkan dalam kalimat :


Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Sebagai perwujudan dari keyakinan dan ucapan itu, harus diikuti dengan perbuatan, yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Rukun Iman yang pertama adalah iman kepada Allah SWT yang merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam. Orang yang akan memeluk agama Islam terlebih dahulu harus mengucapkan kalimat syahadat. Pada hakekatnya kepercayaan kepada Allah SWT sudah dimiliki manusia sejak ia lahir. Bahkan manusia telah menyatakan keimanannya kepada Allah SWT sejak ia berada di alam arwah. Firman Allah SWT :

Dan ingatlah, ketika TuhanMu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab : Betul Engkau Tuhan kami, kami bersaksi. (QS. Al-Araf : 172)
Jauh sebelum datangnya agama Islam, orang-orang jahiliyah juga sudah mengenal Allah SWT. Mereka mengerti bahwa yang menciptakan alam semesta dan yang harus disembah adalah dzat yang Maha Pencipta, yakni Allah SWT. Sebagaimana diungkapkan di dalam Al-Quran :

Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka : Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?, niscaya mereka akan menjawab : Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Az-Zukhruf : 9)

Manusia memiliki kecenderungan untuk berlindung kepada sesuatu Yang Maha Kuasa. Yang Maha Kuasa itu adalah dzat yang mengatur alam semesta ini. Dzat yang mengatur alam semesta ini sudah pasti berada di atas segalanya. Akal sehat tidak akan menerima jika alam semesta yang sangat luas dan teramat rumit ini diatur oleh dzat yang kemampuannya terbatas. Sekalipun manusia sekarang ini sudah dapat menciptakan teknologi yang sangat canggih, namun manusia tidak dapat mengatur alam raya ini. Dengan kecanggihan teknologinya, manusia tidak akan dapat menghentikan barang sedetik pun bumi untuk berputar. Dzat Allah adalah sesuatu yang ghaib. Akal manusia tidak mungkin dapat memikirkan dzat Allah. Oleh sebab itu mengenai adanya Allah SWT, kita harus yakin dan puas dengan apa yang telah dijelaskan Allah SWT melalui firman-firman-Nya dan bukti-bukti berupa adanya alam semesta ini. Ketika Rasulullah SAW endapat kabar tentang adanya sekelompok orang yang berusaha memikirkan dan mencari hakekat dari dzat Allah, maka beliau melarang mereka untuk melakukan hal itu. Rasulullah SAW bersabda :

) (
Dari Ibnu Abbas RA, diceritakan bahwa ada suatu kaum yang memikirkan tentang (hakekat) dzat Allah Azza Wajalla, maka Nabi SAW bersabda : Pikirkanlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu memikirkan (hakekat) dzat Allah. (HR. Abu Asy-Syaikh) Sebagai perwujudan dari keyakinan akan adanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa adalah pengabdian kita kepada Nya. Pengabdian kita kepada Allah adalah pengabdian dalam bentuk peribadatan, kepatuhan, dan ketaatan secara mutlak. Tidak menghambakan diri kepada selain Allah, dan tidak pula mempersekutukan Nya dengan sesuatu yang lain. Itulah keimanan yang sesungguhnya. Jika sudah demikian Insya Allah hidup kita akan tentram. Apabila hati dan jiwa

sudah tentram, maka seseorang akan berani dan tabah dalam menghadapi liku-liku kehidupan ini. Segala nikmat dan kesenangan selalu disyukurinya. Sebaliknya setiap musibah dan kesusahan selalu diterimanya dengan sabar. Dasar Beriman Kepada Allah a. Kecenderungan dan pengakuan hati b. Wahyu Allah atau Al-Quran c. Petunjuk Rasulullah atau Hadits Setiap manusia secara fitrah, ada kecenderungan hatinya untuk percaya kepada kekuatan ghaib yang bersifat Maha Kuasa. Tetapi dengan rasa kecenderungan hati secara fitrah itu tidak cukup. Pengakuan hati merupakan dasar iman. Namun dengan pengakuan hati tidak akan ada artinya, tanpa ucapan lisan dan pengalaman anggota tubuh. Sebab antara pengakuan hati, pengucapan lisan, dan pengalaman anggota tubuh merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mencapai keimanan yang benar tidak hanya berdasarkan fitrah pengakuan hati nurani saja, tetapi harus dipadukan dengan Al-Quran dan Hadits. Cara Beriman Kepada Allah SWT Iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari seluruh iman yang tergabung dalam rukun iman. Karena iman kepada Allah SWT merupakan pokok dari keimanan yang lain, maka keimanan kepada Allah SWT harus tertanam dengan benar kepada diri seseorang. Sebab jika iman kepada Allah SWT tidak tertanam dengan benar, maka ketidak-benaran ini akan berlanjut kepada keimanan yang lain, seperti iman kepada malaikat-malaikat Nya, kitab-kitab Nya, rasul-rasul Nya, hari kiamat, serta qadha dan qadar Nya. Dan pada akhirnya akan merusak ibadah seseorang secara keseluruhan. Di masyarakat tidak jarang kita jumpai cara-cara beribadah seorang yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, padahal orang tersebut mengaku beragama Islam. Ditinjau dari segi yang umum dan yang khusus ada dua cara beriman kepada Allah SWT : a. Bersifat Ijmali Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat ijmali maksudnya adalah, bahwa kita mepercayai Allah SWT secara umum atau secara

garis besar. Al-Quran sebagai suber ajaran pokok Islam telah memberikan pedoman kepada kita dalam mengenal Allah SWT. Diterangkan, bahwa Allah adalah dzat yang Maha Esa, Maha Suci. Dia Maha Pencipta, Maha Mendengar, Maha Kuasa, dan Maha Sempurna. b. Bersifat Tafshili Cara beriman kepada Allah SWT yang bersifat tafsili, maksudnya adalah mempercayai Allah secara rinci. Kita wajib percaya dengan sepenuh hati bahwa Allah SWT memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan sifat-sifat makhluk Nya. Sebagai bukti adalah adanya Asmaul Husna yang kita dianjurkan untuk berdoa dengan Asmaul Husna serta menghafal dan juga meresapi dalam hati dengan menghayati makna yang terkandung di dalamnya. Kita mengimani Rububiyah Allah Subhanahu Wa Taala, artinya bahwa Allah adalah Rabb: Pencipta, Penguasa dan Pengatur segala yang ada di alam semesta ini. Kita juga harus mengimani uluhiyah Allah Subhanahu Wa Taala artinya Allah adalah Ilaah (sembahan) Yang hak, sedang segala sembahan selain-Nya adalah batil. Keimanan kita kepada Allah belumlah lengkap kalau tidak mengimani Asma dan Sifat-Nya, artinya bahwa Allah memiliki Nama-nama yang maha Indah serta sifat-sifat yang maha sempurna dan maha luhur. Dan kita mengimani keesaan Allah dalam hal itu semua, artinya bahwa Allah tiada sesuatupun yang menjadi sekutu bagi-Nya dalam rububiyah, uluhiyah, maupun dalam Asma dan sifat-Nya. Firman Allah Subhanahu Wa Taala: (Dia adalah) Tuhan seluruh langit

dan bumi serta semua yang ada di antara keduanya. Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beridat kepada-Nya. Adakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya (yang patut disembah)?. (QS : Maryam ayat 65) Dan firman Allah Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya. Dan Dialah yang maha mendengar lagi Maha melihat. (QS: Asy-Syura :11)
Iman Kepada Malaikat Bagaimana kita mengimani para malaikat ? mengimani para malaikat Allah yakni dengan meyakini kebenaran adanya para malaikat Allah Subhanahu Wa Taala. Dan para malaikat itu, sebagaimana firmanNya: Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang

dimuliakan, tidak pernah mereka itu mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. (QS: Al-

anbiya : 26-27) Mereka diciptakan Allah Subhanahu Wa Taala, maka mereka beribadah kepada-Nya dan mematuhi segala perintah-Nya. Firman Allah: Dan malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tidak bersikap

angkuh untuk beribadah kepada-Nyadan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya. (QS: AlAnbiya:19-20). Iman Kepada Kitab Allah Kita mengimani bahwa Allah Subhanahu Wa Taala telah menurunkan kepada rasul-rasul-Nya kitab-kitab sebagai hujjah buat umat manusia dan sebagai pedoman hidup bagi orang-orang yang mengamalkannya, dengan kitab-kitab itulah para rasul mengajarkan kepada umatnya kebenaran dan kebersihan jiwa mereka dari kemuysrikan. Allah berfirman : Sungguh, kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan

membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-kitab dan neraca (keadilan) agar manusia melaksanakan keadilan (QS: Al-Hadid : 25)
Dari kitab-kitab itu, yang kita kenal ialah : 1. Taurat, yang Allah turunkan kepada nabi Musa alaihi sallam, sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Maidah :44. 2. Zabur, ialah kitab yang diberikan Allah kepada Daud alaihi sallam. 3. Injil, diturunkan Allah kepada nabi Isa, sebagai pembenar dan pelengkap Taurat. Firman Allah : Dan Kami telah memberikan

kepadanya (Isa) injil yang berisi petunjuk dan nur, dan sebagai pembenar kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, serta sebagai petunjuk dan pengajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.(QS : Al-Maidah : 46)
4. Shuhuf (lembaran-lembaran) yang diturunkan kepada nabi Ibrahim dan Musa, Alaihimas-shalatu Wassalam. 5. Al-Quran, kitab yang Allah turunkan kepada nabi Muhammad, penutup para nabi. Firman Allah. Bulan Ramadhan yang diturunkan

padanya (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil (QS : Al Baqarah: 185).
Iman Kepada Rasul-Rasul Kita mengimani bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul kepada umat manusia, firman Allah (Kami telah mengutus mereka) sebagai rasul-

rasul pembawa berita genbira dan pemberi peringatan, supaya tiada

alasan bagi manusia membantah Allah sesudah (diutusnya) rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS : AN-Nisa: 165).
Kita mengimani bahwa rasul pertama adalah nabi Nuh dan rasul terakhir adalah Nabi Muhammad, semoga shalawat dan salam sejahtera untuk mereka semua. Firman Allah : Sesungguhnya Kami

telahmewahyukan kepadamu sebagaimana Kami telah mewahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi yang (datang) sesudahnya(QS: An-Nisa:
163). Iman Kepada Hari Kiamat Kita mengimani kebenaran hari akhirat, yaitu hari kiamat, yang tiada kehidupan lain sesudah hari tersebut. Untuk itu kita mengimani kebangkitan, yaitu dihidupannya semua mahkluk yang sesudah mati oleh Allah. Firman Allah: Dan ditiuuplah

sangkakala, maka matilah siapa yang ada dilangit dan siapa yang ada di bumi kecuali yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka bangkitmenunggu (putusannya masing-masing). (QS : Az-Zumar : 68)
Kita mengimani adanya catatan-catatan amal yang diberikan kepada setiap manusia. Ada yang mengambilnya dengan tangan kanan dan ada yang mengambilnya dari belakang punggungnya dengan tangan kiri. firman Allah :Adapun orang yang diberikan kitabnya dengan

tangan kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari belakang punggungnya, maka dia akan berteriak celakalah aku dan dia akan masuk neraka yang menyala. (QS: Al-Insyiqaq:13-14).
Iman Kepada Qadar Baik dan Buruk Kita juga mengimani qadar (takdir) , yang baik dan yang buruk; yaitu ketentuan yang telah ditetapkan Allah untuk seluruh mahkluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya dan menurut hikmah kebijakan-Nya. Iman kepada qadar ada empat tingkatan: 1. Ilmu: ialah mengimani bahwa Allah Maha tahu atas segala sesuatu,mengetahui apa yang terjadi, dengan ilmu-Nya yang Azali dan abadi. Allah sama sekali tidak menjadi tahu setelah sebelumnya

tidakmenjadi tahu dan sama sekali tidak lupa dengan apa yang dikehendaki. 2. Kitabah: ialah mengimani bahwa Allah telah mencatat di Lauh Mahfuzh apa yang terjadi sampai hari kiamat. firman Allah:Apakah kamu tidak

mengetahui bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi. sesungguhnya tu (semua) tertulis dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya Allah yang demikian itu amat mudah bagi Allah. (QS: Al-Hajj: 70)
3. Masyiah: ialah mengimani bawa Allah SWT. telah menghendaki segala apa yang ada di langit dan di bumi, tiada sesuatupun yang terjadi tanpa dengan kehendak-Nya. Apa yang dikehendaki Allah itulah yang terjadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan terjadi. 4. Khal: Ialah mengimani Allah Subhanahu Wa Taala. adalah pencipta segala sesuatu. Firman-Nya; Alah menciptakan segala sesuatu dan Dia

memelihara segala sesuatu. Hanya kepunyaan-Nyalah kunci-kunci (perbendaharaan) langit dan bumi.(QS: Az-Zumar: 62-63).
Keempat tingkatan ini meliputi apa yang terjadi dari Allah sendiri dan apa yang terjadi dari mahkluk. Maka segala apa yang dilakuakan oleh mahkluk berupa ucapan, perbuatan atau tindakan meninggalkan, adalah diketahui, dicatat dan dikehendaki serta diciptakan oleh Allah. Orang Muslim beriman kepada Allah SWT dalam arti membenarkan eksistensi Allah bahwa Allah Pencipta langit dan bumi, bahwa Allah mengetahui alam gaib dan alam nyata, bahwa Allah Tuhan segala sesuatu sekaligus pemiliknya, bahwa Tidak ada Tuhan selain Dia, bahwa Allah Mahaagung dan Mahatinggi yang bersifatkan seluruh kesempurnaan, dan bersih dari semua kekurangan. Iman seperti ini semua adalah petunjuk Allah Ta'ala sebelum segala sesuatu. Karena, Allah Ta'ala berfirman, "Dan kita tidak mendapatkan petunjuk, jika Allah tidak memberi petunjuk kepada kita." Di samping itu, karena dalil-dalil wahyu dan dalil-dalil akal sebagai berikut. Dalil-Dalil Wahyu Penjelasan Allah Ta'ala tentang eksistensi diri-Nya, tentang penciptaan-Nya terhadap makhluk, tentang nama-nama-Nya dan sifat-

sifat-Nya, itu semua ada di dalam Al-Qur'an, di antaranya adalah sebagai berikut. Allah SWT berfirman(yang artinya), "Sesungguhnya Tuhan kalian ialah

Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintahNya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah, Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (Al-A'raaf: 54). Firman Allah ketika
memanggil Nabi Musa a.s. di pinggir Lembah Kanan di lokasi yang diberkahi I sebelah pohon, "Hai Musa, sesungguhnya Aku Allah, Tuhan semesta alam." (Al-Qashash: 30). "Sesungguhnya Aku ini Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,

maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku." (Thaha: 14). "Dan Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuahan (yang berhak disembah) selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tidak ada Tuahan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Mahasejahterah, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Mahamemelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang memiliki segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan, Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (Al-Hasyr: 22-24). "Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari pembalasan." (Al-Fatihah: 2-4). "Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua agama yang satu dan Aku Tuhan kalian, maka sembahlah Aku." (Al-Anbiya:
92).

"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kalian semua, agama yang satu dan Aku Tuhan kalian, maka bartakwalah kepada-Ku." (AlMukminun: 52).

"Sekiranya ada di langit dan di bumi Tuhan-Tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak, binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai Arasy daripada apa yang mereka sifatkan." (Al-Anbiya':
22).

Dalil-Dalil Akal Keberadaan berbagai alam dan beragaman makhluk, kesemuanya, bersaksi atas keberadaan Sang Pencipta: Allah Azza wa Jalla. Sebab, di dunia ini tidak ada satu pihak pun yang mengaku menciptakan alam ini selain Allah Ta'ala. Akal memandang mustahil keberadaan sesuatu tanpa pencipta. Bahkan, akal memandang mustahil terjadinya sesuatu yang paling luas tanpa pencipta. Itu sama saja seperti keberadaan makanan tanpa ada pihak yang memasak, atau keberadaan permaidani di atas tanah tanpa ada pihak yang menggelarnya. Kalau begitu, bagaimana dengan alam yang besar ini, langit dengan orbitorbit di sekitarnya, matahari, bulan, bintang-bintang, semuanya berbeda bentuk, ukuran, dimensi, dan perjalanannya? Bagaimana dengan bumi dan apa saja yang diciptakan di dalamnya tumbuhan, hewan, jin, manusia, di samping berbagai ras manusia, dan idividuindividu yang berbeda warna, berbeda bahasa, berbeda pengetahuan, berbeda pemahaman, berbeda ciri khas, tambang-tambang yang banyak sekali, sungai-sungai yang dialirkan di dalamnya, tanah keringnya di kelilingi laut-laut, dan sebagainya? Keberadaan fiman Allah yang bisa kita baca, renungkan, dan pahami makna-maknanya, itu semua dalil tentang keberadaan Allah. Karena, mustahil ada firman tanpa ada pihak yang memfirmankannya, dan mustahil ada ucapan tanpa ada pihak lain yang mengucapkannya. Jadi, firman Allah menunjukkan tentang keberadaan-Nya. Firmannya mengandung perundang-undangan paling kokoh dan sistem yang paling bijak yang pernah dikenal oleh manusia. Firman yang bijak dan benar ini mustahil menutut akal manusia dinisbatkan kepada salah seorang dari mereka, sebab firman seperti itu jauh di atas kemampuan manusia, dan jauh di atas tingkat pengetahuan mereka. Jika firman tersebut bukan ucapan manusia, maka firman tersebut adalah ucapan Pencipta manusia, dan itu bukti tentang keberadaan Allah, ilmu-Nya, kemampuan-Nya, dan kearifan-Nya. Adanya sistem yang cermat ini, semua makhluk hidup tunduk pada ketentuan-ketentuan tersebut, tidak keluar dari padanya dalam kondisi apa pun. Manusia, misalnya, spermanya menempel pada rahim, kemudian tahapan-tahapan ajaib berlangsung dan tidak ada yang melakukan intervensi di dalamnya kecuali Allah. Tiba-tiba setelah sperma itu kelaur menjadi manusia sempurna. Ini pada pembentukan

dan penciptaan manusia. Seperti itu pula pada perkembangan manusia dari bayi dan anak-anak kepada besar dan dewasa, lalu tua. Berdasarkan dalil-dalil akal dan dalil-dalil wakyu di atas, orang Muslim beriman kepada Allah Ta'ala, beriman kepada rububiyah-Nya terhadap segala sesuatu, dan ketuhanan-Nya bagi manusia generasi pertama hingga generasi terakhir. Karena asas iman dan keyakinan inilah kehidupan seorang Muslim menjadi teratur. Orang Muslim beriman kepada asmaul husna (nama-nama baik), dan sifat-sifat agung yang dimiliki Allah Taala. Ia tidak mempersekutukan Allah Taala dengan lain-Nya, tidak menafsirkannya kemudian meniadakannya, dan tidak menyerupakannya dengan sifat-sifat manusia dengan cara menyerupakan Allah Taala dengan manusia. Itu sesuatu yang mustahil. Orang Muslim tidak bersifat seperti itu. Namun ia menegaskan untuk Allah Taala apa yang telah ditegaskan Allah Taala untuk diri-Nya, dan sifat-sifat dan nama-nama yang ditegaskan Rasulullah saw. untuk Allah Taala. Ia buang dari Allah Taala apa yang dibuang Allah Taala dari dalam diri-Nya, dan aib dan kekurangan yang dibuang Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dari diri-Nya baik secara umum, atau secara rinci. Itu semua berdasarkan dalil-dalil wahyu, dan dalil-dalil akal seperti berikut. Dalil-Dalil Wahyu Allah Taala berfirman (yang artinya), "Hanya milik Allah asmaul husna,

maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-Araaf: 180). "Katakanlah, 'Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kalian seru. Dia mempunyai asmaul husna (nama-nama yang terbaik)'." (Al-Isra: 110).
Allah Taala mensifati diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, Maha Kuat, Maha Perkasa, Maha Lembut, Maha Menerima Syukur, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih, Dia berdialog dengan Nabi Musa, bersemayam di atas Arasy-Nya, Dia menciptakan dengan kedua tangan-Nya, mencintai orang-orang yang baik, ridha kepada kaum mukminin, dan sifat-sifat kepribadian dan sifat-sifat tindakan lainnya

seperti Dia datang, turun, dan lain sebagainya yang telah Dia turunkan di Kitab-Nya, dan diucapkan Rasul-Nya saw. Rasulullah saw. menjelaskan tentang hal tersebut dalam hadits-hadits shahih dan tegas dari beliau. Sabda beliau saw. (yang artinya), "Allah

tertawa kepada dua orang salah seorang dari keduanya membunuh orang satunya, namun keduanya masuk surga." (Muttafaq Alaih). "Neraka Jahannam tidak henti-hentinya dimasuki (penghuninya). Jahannam berkata, Adakah tambahan lagi? Hingga kemudian Pemilik kebesaran meletakkan kaki-Nya ke dalamnya dalam riwayat lain telapak kaki-Nya kemudian sebagian Jahannam menyatu dengan sebagian yang lain. Jahannam berkata, Sudah, sudah." (Muttafaq
Alaih)

"Tuhan kita turun ke langit dunia pada setiap malam, tepatnya pada sepertiga malam terakhir, kemudian berfirman, Siapakah yang berdoa kepada-Ku kemudian Aku kabulkan doanya? Siapakah yang memnita kepada-Ku kemudian dia Aku beri? Siapakah yang meminta ampunan kepada-Ku kemudian dia Aku beri ampunan?" (Muttafaq Alaih). "Allah pasti lebih berbhagia dengan taubat hamba-Nya daripada kebahagiaan seseorang dengan hewannya yang hilang kemudian ia temukan kembali." (Diriwayatkan Muslim).
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada salah seorang budak wanita, "Di mana Allah?"Budak wanita tersebut menjawab, "Di langit". Rasulullah saw. bersabda, "Siapa saya?" Budak wanita tersebut menjawab, "Engkau Rasulullah," Rasulullah saw. bersabda,"Merdekakan budak wanita ini, karena ia beriman." Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Allah menggenggam bumi

pada hari kiamat, dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, kemudian berfirman, Aku raja. Mana raja-raja dunia?" (Diriwayatkan
Al-Bukhari). Pengakuan generasi salafush shalih dari para sahabat, tabiin, dan empat imam tentang sifat-sifat Allah Taala, ketidakmauan mereka mentakwilkannya, atau menolaknya, atau mengeluarkannya dari arti dzahirnya. Tidak ada seorang sahabat pun yang mentakwil salah satu sifat Allah Taala, atau menolaknya, atau berkata bahwa arti dzahirnya tidak tidak seperti itu. Mereka beriman kepada maksud sifat, dan membawanya kepada arti dzahirnya. Mereka tahu, bahwa sifat-sifat Allah Taala tidak sama dengan sifat-sifat makhluk-makhluk-Nya. Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya tentang maksud firman Allah Azza

wa Jalla, "(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arasy." (Thaha: 5). Imam Malik menjawab, "Bersemayam itu sudah bisa diketahui, caranya itu tidak diketahui, dna menanyakan caranya adalah bidah." Imam Syafii Rahimahullah berkata, "Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang dibawa dari Allah sesuai dengan maksud Allah. Aku beriman kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan kepada apa yang dibawa dari beliau sesuai dengan maksud beliau." Imam Ahmad Rahimahullah berkata seperti sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, "Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, sesungguhnya Allah melihat pada hari kiamat, sesungguhnya Allah merasa takjub, Allah tetawa dan marah, Allah ridha, membenci dan mencintai." Imam Ahmad juga berkata, "Kita beriman kepada itu semua, dan membernarkan tidak dengan cara dan maknanya. Maksudnya, bahwa kita beriman bahwa Allah itu turun, bisa dilihat, dan di atas Arasy jauh dari makhluk-Nya. Namun kita tidak tahu cara turunnya Allah, cara penglihatan oleh-Nya, cara bersemayamnya Allah, dan arti hakiki itu semua. Kita serahkan pengetahuan tentang itu semua kepada Alah yang berfirman, dan mewahyukan kepada Rasul-Nya Shallallahu Alaihi wa Sallam. Kita tidak membantah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, tidak mensifati Allah melebihi penyifatan Allah terhadap DiriNya, dan tidak mensifati-Nya melebihi penyifatan oleh Rasul-Nya terhadap-Nya tanpa batas, dan tanpa tujuan. Kita tahu, bahwa tidak ada sesuatu yang mirip Allah, dan Allah Maha Mendengar, dan Maha Melihat." Dalil-Dalil Akal Allah Taala telah mensifati Diri-Nya dengan sejumlah sifat, menamakan Diri-Nya dengan sejumlah nama, tidak melarang kita mensifati-Nya dengan sifat-sifat-Nya dan menamakan-Nya dengan nama-nama-Nya, serta tidak memerintahkan kita mentakwilkannya, atau membawanya kepada arti di luar arti dzahirnya. Apakah masuk akal kalau dikatakan, jika kita mensifati Allah Taala dengan sifatsifat-Nya itu berarti kita telah menyerupakan Allah Taala dengan makhluk-Nya sehingga itu mengharuskan kita mentakwil arti sifat-sifat tersebut, dan membawanya kepada arti di luar arti dzahirnya? Kalau begitu, kita berarti menjadi orang-orang yang meniadakan, membuang sifat-sifat Allah Taala, dan tidak mengakui nama-nama-Nya.

Allah Taala mengancam orang-orang seperti itu dengan firmanNya, "Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya

dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Al-Araaf: 180).
Bukankah orang yang menolak salah satu sifat Allah Taala dengan alasan takut menyerupakan-Nya dengan makhluk itu malah menyerupakan sifat Allah Taala dengan sifat-sifat makhluk? Ia takut menyerupakan sifat Allah Taala dengan sifat makhluk, kemudian ia lari dari padanya menuju kepada penolakan sifat-sifat Allah Taala, dan meniadakannya. Ia tolak sifat-sifat Allah Taala yang ditegaskan Allah Taala untuk Diri-Nya, dan ia meniadakannya. Jadi ia menghimpun dua dosa besar dosa menyerupakan sifat Allah Taala dengan sifat makhluk, dan meniadakan sifat-sifat-Nya. Dalam kondisi seperti itu, bukankah masuk akal kalau Allah Taala bisa disifati dengan sifat-sifat yang Dia sifatkan untuk Diri-Nya, dan dengan sifat-sifat yang disifatkan Rasulullah saw. untuk Diri-Nya dengan disertai keyakinan bahwa Dia mempunyai sifat-sifat yang tidak mirip dengan sifat-sifat makhluk, dan bahwa Dzat Allah Azza wa Jalla tidak sama dengan dzat makhluk? Iman kepada sifat-sifat Allah Taala, dan pensifatan Allah Taala dengan sifat-sifat-Nya tidak berarti menyerupakan sifat-sifat Allah Taala dengan sifat-sifat makhluk, sebab akal tidak memustahilkan Allah Taala memiliki sifat-sifat dengan Dzat-Nya yang tidak mirip dengan sifat-sifat makhluk, dan sifat-sifat-Nya tersebut tidak mempunyai titik temu dengan sifat-sifat makhluk kecuali pada namanya saja, sebab Al-Khaliq (Pencipta) memiliki sifat-sifat khusus untuk Diri-Nya, dan makhluk juga memiliki sifat-sifat khusus untuk dirinya. Ketika orang Muslim beriman kepada sifat-sifat Allah Taala, dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat-Nya, maka ia sama sekali tidak meyakini, dan bahkan tidak terlintas dalam benaknya bahwa tangan Allah Tabaraka wa Taala itu sama dengan tangan makhluk dalam makna apa pun selain sama pada namanya saja. Ini karena perbedaan besar antara makhluk dan Al-Khaliq (Pencipta) dalam dzat, sifat, dan perbuatan.

Allah Taala berfirman, "Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperankan. Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia." (Al-Ikhlas: 1-4). Allah Taala berfirman, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Asy-Syura: 11)

Anda mungkin juga menyukai