Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama yang diturunkan tuhan dengan perantaraan rasul-rasulnya, ialah memberi pimpinan bagi
manusia di dalam usahanya memberi nilai hidupnya sendiri. Karena dasar yang asli daripada jiwa
manusia itu, karena dia berakal dan berfikir, ialah mencari rahasia yang tersembunyi di belakang
kenyataan itu.

Banyak sudah bukti bahwa tuhan menciptakan manusia itu secara sempurna. Salah satunya
terdapat dalam surah at-tin.

Tetapi walaupun sudah banyak tuhan memberikan bukti yang amat sangat nyata, masih saja kita
dapati manusia yang seakan-akan mereka tidak mempunyai akal dan fikiran.

Oleh karena itu ALLAH mengutus seorang pemimpin yang paling sempurna dari pemimpin-
peminpin yang lain, paling luar biasa kegigihannya yang bahkan sampai-sampai imam bushiri pengarang
syair yanng berjudul qasidah burdah menulis tentang kehidupan beliau yang amat sangat menyayat hati
apabila kita menyelami kalimat demi kalimatnya dengan seksama.

ALLAH ta’ala mengutus nabi yang luar biasa tersebut dikarenakan umat manusia sudah terlalu
banyak yang lalai terhadap tuhannya, terlalu banyak penyimpangan yang mereka perbuat, dan yang
lebih memprihatinkan, mereka sudah tidak mempunyai akhlak yang baik.

Disinilah bukti nyata kasih sayang tuhan terhadap hambaNYA. Disampaikan perjalanan itu
kepada ujungnya, tidak lagi terhenti di tengah jalan karena tidak ada kesanggupan lagi. DiberiNYA
manusia itu pimpinanan. Pimpinan yang membawa mereka kembali menjadi manusia yang diciptakan
sesuai dengan kodratnya.

Di utusnya nabi akhir zaman tidak lain adalah untuk membentuk dan mengembalikan manusia
menjadi manusia yang berakhlak kembali. Memiliki imanyang akan membawa mereka kepada
keselamatan, islam sebagai jalan dan ihsan hasil dari keduanya tersebut.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Iman, Islam dan Ihsan

1. Iman

Kita tidak mungkin menjadi mukmin yang hakikitanpa mengenal profil nabi kita Muhammad S.A.W..
sebab, hanya dengan itu kita tahu bagaimana seharusnya mengamalkan agama islam ini.[1]

Membahas tentang prihal iman maka pembahasan tersebut menjurus kepada ilmu tauhid. Ilmu
tauhid tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan keimanan. Dengan demikian, membahas ilmu
tauhid berarti juga menerangkan segala sesuatu tentang keimanan serta rukun-rukunnya sebab yang
diisyaratkan dengan tauhid ialah al-iman.[2]

Iman berasal dari kata: " ‫ " ايمان‬merupakan bentuk masdar yang fi’il madhinya adalah " ‫" امن‬

Yang menurut lughah (bahasa) artinya adalah :

‫صد قه ووثق به‬

(Membenarkan serta mempercayakan). [3]

Secara etimologi berarti:

‫ اِ ْي َمانًا‬- ُ‫ ي ُْؤ ِمن‬- َ‫ ٰا َمن‬-aamana-yu minu-iimaanan = Mengamankan.

ِ َ‫ ٰا َمن‬-aamana bi = Percaya.[4]
‫ب‬

Menurut para ahli kalam yang termaktub (tercantum) dalam kitab al-a’lamah as-syayid husein affandi
al-jisri at-tharabilisi yang berjudul al husunul hamidiyyah, pengertian iman adalah sebagai berikut :

“membenarkan apa-apa yang dibawa Rasulullah SAW. Yang diketahui kedatangannya secara pasti,
maksudnya tekad membenarkan apa-apa yang dibawa nabi itu dari sisi Allah SWT, yang diketahui secara
yakin kedatangannya disertai ketundukan hati.[5]

Menurut imam bukhari sendiri, iman adalah:‫االيمان قول وعمل يزيد وينقص‬

ucapan dan amalan (pekerjaan), bertambah dan berkurang.[6]

Menanggapi pernyataan beliau tersebut tentang bertambah serta berkurangnya

iman di jawab berbeda oleh ulama yang masuk dalam pembahasan ilmu kalam.

Apakah benar iman itu bisa bertambah serta bisa pula berkurang?
Senada dengan pernyataan tersebut imam al-asy’ari menyatakan bahwa iman itu bisa naik serta
bisa pula turun. Dapat bertambah akan tetapi dapat pula berkurang.

Pernyataan beliau tersebut menyatakan bahwa bukan pengertian iman secara esensi yang dapat
bertambah serta berkurang akan tetapi yang disebutkan beliau itu adalah pengertian iman secara sifat.

Kemudian menurut al-bazdawi iman tidak bisa naik maupun turun atau tidak dapat bertambah
maupun berkurang. Hanya saja beliau mencontohkan bahwa iman tersebut adalah suatu benda yang
terkena cahaya yang mana cahaya tersebut akan membuat bayangan, bayangan benda tersebut dapat
berupa bayangan yang sedikit bisa pula berupa bayangan yang banyak sesuai dengan cahaya yang di
berikan kepada benda tersebut. Nah jika benda tersebut dimisalkan dengan iman, apakah benda tadi
dengan sendirinya bisa bertambah serta bisa berkurang? Tentu tidak bukan, karena yang dapat
bertambah serta berkurang adalah bayangan dari benda tersebut dan bayangan itulah yang
dimaksudkan sebagai iman yang bisa bertambah dan berkurang.

Seseorang yang telah beriman wajib menjaga keimanannya dari segala perbuatan buruk yang akan
mengakibatkan rusaknya iman tersebut.[7]

Iman itu belumlah cukup apabila hanya diucapkan dengan lidah saja, tetapi harus disertai dengan
amal saleh, yaitu melaksanakan semua perintah syari’ah agama. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi
Muhammad SAW.:

“Iman ialah kepercayaan (diyakini) di dalam hati, ditetapkan (diucapkan) dengan lidah, dan
dilaksanakan dengan anggota badan (perbuatan).”

Ada pula riwayat hadits yang menjelaskan tentang keagungan iman, seperti riwayat berikut.

Dikeluarkan oleh Bukhari (6443) dan Muslim (94) dari Abi Dzar r.a. ia berkata: “pada suatu malam
aku keluar rumah, tba-tiba kulihat Rasulullah s.a.w. berjalan sendirian tidak ada seorangpun yang
bersamanya, lalu aku berkata dalam hati: mungkin Rasulullah saw. Ingin sendirian, “ Abu Dzar r.a.
berkata “ aku kemudian berjalan di bawah bayang-bayang rembulan, Rasulullah saw. Menoleh dan
melihatku, “kemudian berkata: “siapakah ini?”, aku menjawab: ” aku Abu Dzar, “ beliau berkata: “ wahai
Abu Dzar kemarilah,” abu dzar r.a. berkata: “ lalu aku berjaalan bersamanya sejam lamanya, “ maka
beliau bersabda: “ sesungguhnya orang yang memperbanyakharta didunia mereka itulah yang akan
kemiskinan pada hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan oleh Allah subhanahu wa taala, hingga
ia membelanjakan hartanya dari samping kanan, kiri, dari depan, belakang dan selalu berbuat
kebaikan, : Abu Dzar berkata: “ aku berjalan bersama beliau sejam lamanya”, kemudian beliau berkata
kepadaku: “duduklah di sini! “, Abu Dzar berkata: “Rasulullah saw. Menyuruhku duduk di sebuah tempat
luas yang dipenuhi dengan batu, “ beliau berkata: “ tunggu di sini sampai aku kembali,” Abu Dzar r.a.
berkata: “Rasulullah saw. Pergi ke sebuah tempat yang dipenuhi batu hitam, hingga aku tidak
melihatnya, dan akupun lama menunggu beliau, tidak lama kemudian aku mendengar suaranya ketika
hendak dekat padaku, “ setelah datang dan aku tidak sabar aku langsung bertanya kepadanya: “wahai
nabi Allah ! dengan siapa kau berbicara disana?: ”, aku tidak mendengar seorangpun yang
menjawabmu?, beliau menjawab: “ itu Jibril yang sedang datang dengan membawa wahyu “, ia berkata
kepadaku: “ Wahai Muhammad! Berilah kabar gembira umatmu dengan surga bagi siapapun yang mati
dan tidak berbuat syirik kepada Allah sekalipun,“ lalu aku bertanya: “ Wahai Jibril! Meski ia melakukan
zina dan mencuri? “, Jibril menjawab: “Ya”, aku (Abu Dzar) bertanya: “ wahai Rasulullah! Meski berzina
dan mencuri?”, beliau menjawab: “Benar”, aku bertanya lagi:” meski berzina dan mencuri?”, kemudian
beliau menjawab: “ Ya, meskipun ia meminum khomer (minuman keras)”. (demikian disebutkan dalam
jam’ul fawaid jilid 1 hal 7, dan ada tambahan dalam Riwayat Bukhari, Muslim Dan Tarmidzi dalam
pertanyaan keempat: “ meski kau tidak bisa menerimanya wahai Abu Dzar”)[8]

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa setiap orang beriman harus mengamalkan keimanannya
dalam perbuatan lahiriah dan batiniah (keyakinan hati yang didasari oleh keikhlasan). Bila tidak
demikian, maka keimannya belum sempurna.[9]

2. Islam

Islam berasal dari kata Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang secara kebahasaan berarti
'Menyelamatkan'. beberapa istilah terpenting dalam pemahaman mengenai keislaman, yaitu Islam dan
Muslim. Kesemuanya berakar dari kata Salam yang berarti kedamaian. Kata Islam lebih spesifik lagi
didapat dari bahasa Arab Aslama, yang bermakna "untuk menerima, menyerah atau tunduk" dan dalam
pengertian yang lebih jauh kepada Tuhan.

Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek peristilahan. Dari
segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang mengandung arti selamat,
sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah
diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt.
disebut sebagai orang Muslim.

Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan mengandung
arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari keselamatan dan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan kemauan diri sendiri,
bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah dirinya sebagai makhluk yang
sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk kepada Allah.

Adapun pengertian Islam dari segi istilah, banyak para ahli yang mendefinisikannya di antaranya Prof.
Dr. Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai agama) adalah agama
yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad saw.
sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran yang bukan hanya mengenal satu segi,
tetapi menganal berbagai segi dari kehidupan manusia.

Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama perdamaian; dan dua
ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan umat manusia menjadi bukti
nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya. Islam bukan saja dikatakan sebagai agama
seluruh Nabi Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an, melainkan pula pada segala sesuatu yang
secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-undang Allah.
Kemudian menurut Hamka setelah manusia menerawang, berfikir, merenung, membanding,
mengukur, menjangka, pendeknya memfilosof, akhirnya sampailah dia di ujung perjalanan. Di dinding
yang tidak tersebrangi itu. Segala macam telah dicobanya. Akhirnya yakinlah dia bahwa memang ada
sesuatu itu, dialah yang Mutlak, Dialah Yang Maha Kuasa, Dialah puncak (kata plato). Dialah Tao, yang
tak dapat diberi nama (kata Lao Tze). Maka insyaflah manusia akan kelemahan dirinya, dan insyaf akan
kemaha besarnya yang ada itu. Maka menyerahlah dia dengan segala rela hati. Penyerahan yang
demikian dalam bahasa arab dinamaiIslam.[10]

Dari pengertian Islam tersebut, adanya 3 aspek, yaitu:

a. Aspek vertikal

Mengatur antara makhluk dengan kholiknya (manusia dengan Tuhannya).Dalam hal ini manusia bersikap
berserah diri pada Allah.

b. Aspek horizontal

Mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Islam menghendaki agar manusia yang satu
menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan manusia yang lain.

c. Aspek batiniah

Mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu supaya dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan batin
maupun kemantapan rohani dan mental.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetian islam adalah sebuah agama yang tidak
membebani tidak pula memanjakan pemeluknya ( agama pertengahan) yang mana tanpa ada paksaan
untuk pemeluknya menyerah atau tunduk sesuai dengan fitrahnya dan selamatlah mereka yang taat
serta benar-benar memegangnya.

3. Ihsan

Ihsan ( ‫ناسح‬I ) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau “terbaik.” Dalam
terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia melihat-Nya,
dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut membayangkan bahwa
sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.[11]

Ihsan ialah melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati karena menyadari bahwa Allah selalu
melihatnya, hingga ia merasakan berhadapan langsung dengan Allah dan bahkan ia melihat Allah SWT.
dengan hati nurani. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas.[12]

Seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ibadah apabila dia tidak merasa melihat dengan
tuhannya. Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang yang sesat
tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada Allah sesungguhnya
adalah untuk kebaikan manusia.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW
bersabda:

“sesungguhnya Allah mewajibkan al-Ihsan dalam segala masalah, oleh karena itu jika kalian
berperang harus dengan satria, dan jika menyembelih binatang pun harus dengan cara yang baik (tidak
sadis)”.[13]

Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua macam, yakni
ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama makhluk. Ihsan dalam
beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi
oleh-Nya.

Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka.

Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu:

a. Wajib

Yang hukumnya wajib, misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam bermuamalah.

b. Sunnah

Yang hukumnya sunnah, misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar
kewajiban seseorang.

Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek
kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.[14]

B. Hubungan antara Iman, Islam dan Ihsan

Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah
keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan
kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara ihsan, sebagai upaya
pendekatan diri kepada Allah.

Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran agama tersebut, para ulama mengelompokkannya lewat tiga
cabang ilmu pengetahuan. Rukun Islam berupa praktek amal lahiriah disusun dalam ilmu Fiqh, yaitu ilmu
mengenai perbuatan amal lahiriah manusia sebagai hamba Allah. Iman dipelajari melalui ilmu Tauhid
(teologi) yang menjelaskan tentang pokok-pokok keyakinan. Sedangkan untuk mempelajari ihsan
sebagai tata cara beribadah adalah bagian dari ilmu Tasawuf.
QS Ali-Imran ayat 19 :

Artinya:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah
diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di
antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat
hisab-Nya.”

Di dalam ayat tersebut dijelaskan kata Islam dan selalu diikuti dengan kata addin yang artinya agama.
Addin terdiri atas 3 unsur yaitu, iman, Islam, dan ihsan. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa iman
merupakan keyakinan yang membuat seseorang ber-Islam dan menyerahkan sepenuh hati kepada Allah
dengan menjalankan syareatnya dan meninggalkan segala yang dilarang oleh syariat Islam.

Selain itu iman, islam, dan ihsan sering juga diibaratkan hubungan diantara ketiganya adalah seperti
segitiga sama sisi yang sisi satu dan sisi lainya berkaitan erat. Segitiga tersebut tidak akan terbentuk
kalau ketiga sisinya tidak saling mengait. Jadi manusia yang bertaqwa harus bisa meraih dan
menyeimbangkan antara iman, islam dan ihsan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
· Iman adalah ucapan yang disertai dengan perbuatan diiringi dengan ketulusan niat dan dilandasi
dengan Sunnah.

· Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi.

· Ihsan adalah cara bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allah.

Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Iman adalah
keyakinan yang menjadi dasar aqidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan
kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan cara ihsan, sebagai upaya
pendekatan diri kepada Allah.

DAFTAR PUSTAKA

http://blognya-anak.blogspot.com/2012/10/v-behaviorurldefaulttvmlo.html

http://ichapedeh.wordpress.com/2012/01/25/pengertian-ihsan/

http://wakakak1.blogspot.com/2012/03/kata -ihsan-berbuat-baik-merupakan.html
http://www.dimensialquran.co.cc/2011/03/iman.html

http://jakhinjj.blogspot.com/2016/04/makalah-hubungan-antara-iman-islam-dan.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai