Anda di halaman 1dari 7

Nama : Rafi Dhaifullah

Nim. : 2005012075
Kelas : ME - 1E
Nama : Puspa Nur Jannah
Nim. : 2005012030
Kelas : ME - 1G

Makalah hubungan Iman, Islam, Ihsan dan implementasinya dalam pekerjaan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama yang diturunkan tuhan dengan perantaraan rasul-rasulnya, ialah memberi pimpinan
bagi manusia di dalam usahanya memberi nilai hidupnya sendiri. Karena dasar yang asli
daripada jiwa manusia itu, karena dia berakal dan berfikir, ialah mencari rahasia yang
tersembunyi di belakang kenyataan itu.
Banyak sudah bukti bahwa tuhan menciptakan manusia itu secara sempurna. Salah satunya
terdapat dalam surah at-tin.
Tetapi walaupun sudah banyak tuhan memberikan bukti yang amat sangat nyata, masih saja
kita dapati manusia yang seakan-akan mereka tidak mempunyai akal dan fikiran.
Oleh karena itu ALLAH mengutus seorang pemimpin yang paling sempurna dari pemimpin-
peminpin yang lain, paling luar biasa kegigihannya yang bahkan sampai-sampai imam bushiri
pengarang syair yanng berjudul qasidah burdah menulis tentang kehidupan beliau yang amat
sangat menyayat hati apabila kita menyelami kalimat demi kalimatnya dengan seksama.
ALLAH ta’ala mengutus nabi yang luar biasa tersebut dikarenakan umat manusia sudah terlalu
banyak yang lalai terhadap tuhannya, terlalu banyak penyimpangan yang mereka perbuat, dan
yang lebih memprihatinkan, mereka sudah tidak mempunyai akhlak yang baik.
Disinilah bukti nyata kasih sayang tuhan terhadap hambaNYA. Disampaikan perjalanan itu
kepada ujungnya, tidak lagi terhenti di tengah jalan karena tidak ada kesanggupan lagi.
DiberiNYA manusia itu pimpinanan. Pimpinan yang membawa mereka kembali menjadi
manusia yang diciptakan sesuai dengan kodratnya.
Di utusnya nabi akhir zaman tidak lain adalah untuk membentuk dan mengembalikan manusia
menjadi manusia yang berakhlak kembali. Memiliki imanyang akan membawa mereka kepada
keselamatan, islam sebagai jalan dan ihsan hasil dari keduanya tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman, Islam dan Ihsan
1. Iman
Kita tidak mungkin menjadi mukmin yang hakikitanpa mengenal profil nabi kita
Muhammad S.A.W.. sebab, hanya dengan itu kita tahu bagaimana seharusnya mengamalkan
agama islam ini.[1]
Membahas tentang prihal iman maka pembahasan tersebut menjurus kepada ilmu tauhid.
Ilmu tauhid tidak dapat dipisahkan dengan permasalahan keimanan. Dengan demikian,
membahas ilmu tauhid berarti juga menerangkan segala sesuatu tentang keimanan serta
rukun-rukunnya sebab yang diisyaratkan dengan tauhid ialah al-iman.[2]
Iman berasal dari kata: " ‫ " ايمان‬merupakan bentuk masdar yang fi’il madhinya adalah " ‫" امن‬
Yang menurut lughah (bahasa) artinya adalah :
‫صد قه ووثق به‬
(Membenarkan serta mempercayakan). [3]
Secara etimologi berarti:
‫ ِا ْي َما ًنا‬- ُ‫ يُْؤ مِن‬- ‫ ٰا َم َن‬-aamana-yu minu-iimaanan = Mengamankan.
ِ ‫ ٰا َم َن‬-aamana bi = Percaya.[4]
‫ب‬
Menurut para ahli kalam yang termaktub (tercantum) dalam kitab al-a’lamah as-syayid
husein affandi al-jisri at-tharabilisi yang berjudul al husunul hamidiyyah, pengertian iman
adalah sebagai berikut :
“membenarkan apa-apa yang dibawa Rasulullah SAW. Yang diketahui kedatangannya secara
pasti, maksudnya tekad membenarkan apa-apa yang dibawa nabi itu dari sisi Allah SWT, yang
diketahui secara yakin kedatangannya disertai ketundukan hati.[5]
Menurut imam bukhari sendiri, iman adalah: ‫االيمان قول وعمل يزيد وينقص‬
ucapan dan amalan (pekerjaan), bertambah dan berkurang.[6]
Menanggapi pernyataan beliau tersebut tentang bertambah serta berkurangnya
iman di jawab berbeda oleh ulama yang masuk dalam pembahasan ilmu kalam.
Apakah benar iman itu bisa bertambah serta bisa pula berkurang?
Senada dengan pernyataan tersebut imam al-asy’ari menyatakan bahwa iman itu bisa
naik serta bisa pula turun. Dapat bertambah akan tetapi dapat pula berkurang.
Pernyataan beliau tersebut menyatakan bahwa bukan pengertian iman secara esensi
yang dapat bertambah serta berkurang akan tetapi yang disebutkan beliau itu adalah
pengertian iman secara sifat.
Kemudian menurut al-bazdawi iman tidak bisa naik maupun turun atau tidak dapat
bertambah maupun berkurang. Hanya saja beliau mencontohkan bahwa iman tersebut adalah
suatu benda yang terkena cahaya yang mana cahaya tersebut akan membuat bayangan,
bayangan benda tersebut dapat berupa bayangan yang sedikit bisa pula berupa bayangan yang
banyak sesuai dengan cahaya yang di berikan kepada benda tersebut. Nah jika benda tersebut
dimisalkan dengan iman, apakah benda tadi dengan sendirinya bisa bertambah serta bisa
berkurang? Tentu tidak bukan, karena yang dapat bertambah serta berkurang adalah bayangan
dari benda tersebut dan bayangan itulah yang dimaksudkan sebagai iman yang bisa bertambah
dan berkurang.
Seseorang yang telah beriman wajib menjaga keimanannya dari segala perbuatan buruk
yang akan mengakibatkan rusaknya iman tersebut.[7]
Iman itu belumlah cukup apabila hanya diucapkan dengan lidah saja, tetapi harus disertai
dengan amal saleh, yaitu melaksanakan semua perintah syari’ah agama. Hal ini sesuai dengan
sabda Nabi Muhammad SAW.:
“Iman ialah kepercayaan (diyakini) di dalam hati, ditetapkan (diucapkan) dengan lidah,
dan dilaksanakan dengan anggota badan (perbuatan).”
Ada pula riwayat hadits yang menjelaskan tentang keagungan iman, seperti riwayat berikut.
Dikeluarkan oleh Bukhari (6443) dan Muslim (94) dari Abi Dzar r.a. ia berkata: “pada
suatu malam aku keluar rumah, tba-tiba kulihat Rasulullah s.a.w. berjalan sendirian tidak ada
seorangpun yang bersamanya, lalu aku berkata dalam hati: mungkin Rasulullah saw. Ingin
sendirian, “ Abu Dzar r.a. berkata “ aku kemudian berjalan di bawah bayang-bayang rembulan,
Rasulullah saw. Menoleh dan melihatku, “kemudian berkata: “siapakah ini?”, aku menjawab: ”
aku Abu Dzar, “ beliau berkata: “ wahai Abu Dzar kemarilah,” abu dzar r.a. berkata: “ lalu aku
berjaalan bersamanya sejam lamanya, “ maka beliau bersabda: “ sesungguhnya orang yang
memperbanyakharta didunia mereka itulah yang akan kemiskinan pada hari kiamat, kecuali
orang yang diberi kebaikan oleh Allah subhanahu wa taala, hingga ia membelanjakan hartanya
dari samping kanan, kiri, dari depan, belakang dan selalu berbuat kebaikan, : Abu Dzar berkata:
“ aku berjalan bersama beliau sejam lamanya”, kemudian beliau berkata kepadaku: “duduklah
di sini! “, Abu Dzar berkata: “Rasulullah saw. Menyuruhku duduk di sebuah tempat luas yang
dipenuhi dengan batu, “ beliau berkata: “ tunggu di sini sampai aku kembali,” Abu Dzar r.a.
berkata: “Rasulullah saw. Pergi ke sebuah tempat yang dipenuhi batu hitam, hingga aku tidak
melihatnya, dan akupun lama menunggu beliau, tidak lama kemudian aku mendengar suaranya
ketika hendak dekat padaku, “ setelah datang dan aku tidak sabar aku langsung bertanya
kepadanya: “wahai nabi Allah ! dengan siapa kau berbicara disana?: ”, aku tidak mendengar
seorangpun yang menjawabmu?, beliau menjawab: “ itu Jibril yang sedang datang dengan
membawa wahyu “, ia berkata kepadaku: “ Wahai Muhammad! Berilah kabar gembira umatmu
dengan surga bagi siapapun yang mati dan tidak berbuat syirik kepada Allah sekalipun,“ lalu aku
bertanya: “ Wahai Jibril! Meski ia melakukan zina dan mencuri? “, Jibril menjawab: “Ya”, aku
(Abu Dzar) bertanya: “ wahai Rasulullah! Meski berzina dan mencuri?”, beliau menjawab:
“Benar”, aku bertanya lagi:” meski berzina dan mencuri?”, kemudian beliau menjawab: “ Ya,
meskipun ia meminum khomer (minuman keras)”. (demikian disebutkan dalam jam’ul fawaid
jilid 1 hal 7, dan ada tambahan dalam Riwayat Bukhari, Muslim Dan Tarmidzi dalam pertanyaan
keempat: “ meski kau tidak bisa menerimanya wahai Abu Dzar”)[8]
Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa setiap orang beriman harus mengamalkan
keimanannya dalam perbuatan lahiriah dan batiniah (keyakinan hati yang didasari oleh
keikhlasan). Bila tidak demikian, maka keimannya belum sempurna.[9]
2. Islam
Islam berasal dari kata Arab Aslama-Yuslimu-Islaman yang secara kebahasaan berarti
'Menyelamatkan'. beberapa istilah terpenting dalam pemahaman mengenai keislaman, yaitu
Islam dan Muslim. Kesemuanya berakar dari kata Salam yang berarti kedamaian. Kata Islam
lebih spesifik lagi didapat dari bahasa Arab Aslama, yang bermakna "untuk menerima,
menyerah atau tunduk" dan dalam pengertian yang lebih jauh kepada Tuhan.
Pengertian Islam bisa kita bedah dari dua aspek, yaitu aspek kebahasaan dan aspek
peristilahan. Dari segi kebahasaan, Islam berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata salima yang
mengandung arti selamat, sentosa, dan damai. Dari kata salima selanjutnya diubah menjadi
bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam kedamaian. Oleh sebab itu orang yang
berserah diri, patuh, dan taat kepada Allah swt. disebut sebagai orang Muslim.
Dari uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kata Islam dari segi kebahasaan
mengandung arti patuh, tunduk, taat, dan berserah diri kepada Allah swt. dalam upaya mencari
keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Hal itu dilakukan atas kesadaran dan
kemauan diri sendiri, bukan paksaan atau berpura-pura, melainkan sebagai panggilan dari fitrah
dirinya sebagai makhluk yang sejak dalam kandungan telah menyatakan patuh dan tunduk
kepada Allah.
Adapun pengertian Islam dari segi istilah, banyak para ahli yang mendefinisikannya di
antaranya Prof. Dr. Harun Nasution. Ia mengatakan bahwa Islam menurut istilah (Islam sebagai
agama) adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia
melalui Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul. Islam pada hakikatnya membawa ajaran-ajaran
yang bukan hanya mengenal satu segi, tetapi menganal berbagai segi dari kehidupan manusia.
Sementara itu Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa Islam adalah agama
perdamaian; dan dua ajaran pokoknya, yaitu keesaan Allah dan kesatuan atau persaudaraan
umat manusia menjadi bukti nyata bahwa agama Islam selaras benar dengan namanya. Islam
bukan saja dikatakan sebagai agama seluruh Nabi Allah, sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an,
melainkan pula pada segala sesuatu yang secara tak sadar tunduk sepenuhnya pada undang-
undang Allah.
Kemudian menurut Hamka setelah manusia menerawang, berfikir, merenung, membanding,
mengukur, menjangka, pendeknya memfilosof, akhirnya sampailah dia di ujung perjalanan. Di
dinding yang tidak tersebrangi itu. Segala macam telah dicobanya. Akhirnya yakinlah dia bahwa
memang ada sesuatu itu, dialah yang Mutlak, Dialah Yang Maha Kuasa, Dialah puncak (kata
plato). Dialah Tao, yang tak dapat diberi nama (kata Lao Tze). Maka insyaflah manusia akan
kelemahan dirinya, dan insyaf akan kemaha besarnya yang ada itu. Maka menyerahlah dia
dengan segala rela hati. Penyerahan yang demikian dalam bahasa arab dinamaiIslam.[10]
Dari pengertian Islam tersebut, adanya 3 aspek, yaitu:
a. Aspek vertikal
Mengatur antara makhluk dengan kholiknya (manusia dengan Tuhannya).Dalam hal ini manusia
bersikap berserah diri pada Allah.
b. Aspek horizontal
Mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Islam menghendaki agar manusia yang
satu menyelamatkan, menentramkan dan mengamankan manusia yang lain.
c. Aspek batiniah
Mengatur ke dalam orang itu sendiri, yaitu supaya dapat menimbulkan kedamaian, ketenangan
batin maupun kemantapan rohani dan mental.

Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetian islam adalah sebuah agama yang tidak
membebani tidak pula memanjakan pemeluknya ( agama pertengahan) yang mana tanpa ada
paksaan untuk pemeluknya menyerah atau tunduk sesuai dengan fitrahnya dan selamatlah
mereka yang taat serta benar-benar memegangnya.
3. Ihsan
Ihsan ( ‫ناسح‬I ) adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti “kesempurnaan” atau “terbaik.”
Dalam terminologi agama Islam, Ihsan berarti seseorang yang menyembah Allah seolah-olah ia
melihat-Nya, dan jika ia tidak mampu membayangkan melihat-Nya, maka orang tersebut
membayangkan bahwa sesungguhnya Allah melihat perbuatannya.[11]
Ihsan ialah melaksanakan ibadah dengan sepenuh hati karena menyadari bahwa Allah selalu
melihatnya, hingga ia merasakan berhadapan langsung dengan Allah dan bahkan ia melihat
Allah SWT. dengan hati nurani. Semua itu dilakukannya dengan ikhlas.[12]
Seseorang tidak akan merasakan nikmatnya ibadah apabila dia tidak merasa melihat dengan
tuhannya. Bila kita ingkar kepada Allah, maka akan mengalami kesesatan yang nyata. Orang
yang sesat tidak akan merasakan kebahagiaan dalam hidup. Oleh karena itu, beriman kepada
Allah sesungguhnya adalah untuk kebaikan manusia.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, disebutkan bahwa Nabi
Muhammad SAW bersabda:
“sesungguhnya Allah mewajibkan al-Ihsan dalam segala masalah, oleh karena itu jika kalian
berperang harus dengan satria, dan jika menyembelih binatang pun harus dengan cara yang
baik (tidak sadis)”.[13]
Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di Rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua
macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak sesama
makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah seolah-olah
melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya.
Sedangkan ihsan dalam hak makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka.
Ihsan kepada makhluk ini terbagi dua, yaitu:
a. Wajib
Yang hukumnya wajib, misalnya berbakti kepada orang tua dan bersikap adil dalam
bermuamalah.
b. Sunnah
Yang hukumnya sunnah, misalnya memberikan bantuan tenaga atau harta yang melebihi
batas kadar kewajiban seseorang.

Salah satu bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat
jelek kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.[14]

B. Hubungan antara Iman, Islam dan Ihsan


Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar akidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan
melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan
cara ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.
Untuk mempelajari ketiga pokok ajaran agama tersebut, para ulama mengelompokkannya
lewat tiga cabang ilmu pengetahuan. Rukun Islam berupa praktek amal lahiriah disusun dalam
ilmu Fiqh, yaitu ilmu mengenai perbuatan amal lahiriah manusia sebagai hamba Allah. Iman
dipelajari melalui ilmu Tauhid (teologi) yang menjelaskan tentang pokok-pokok keyakinan.
Sedangkan untuk mempelajari ihsan sebagai tata cara beribadah adalah bagian dari ilmu
Tasawuf.
QS Ali-Imran ayat 19 :

Artinya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang
yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena
kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka
Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.”
Di dalam ayat tersebut dijelaskan kata Islam dan selalu diikuti dengan kata addin yang artinya
agama. Addin terdiri atas 3 unsur yaitu, iman, Islam, dan ihsan. Dengan kata lain dapat
dinyatakan bahwa iman merupakan keyakinan yang membuat seseorang ber-Islam dan
menyerahkan sepenuh hati kepada Allah dengan menjalankan syareatnya dan meninggalkan
segala yang dilarang oleh syariat Islam.
Selain itu iman, islam, dan ihsan sering juga diibaratkan hubungan diantara ketiganya adalah
seperti segitiga sama sisi yang sisi satu dan sisi lainya berkaitan erat. Segitiga tersebut tidak
akan terbentuk kalau ketiga sisinya tidak saling mengait. Jadi manusia yang bertaqwa harus bisa
meraih dan menyeimbangkan antara iman, islam dan ihsan.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

· Iman adalah ucapan yang disertai dengan perbuatan diiringi dengan ketulusan niat dan
dilandasi dengan Sunnah.
· Islam adalah inisial seseorang masuk ke dalam lingkaran ajaran Ilahi.
· Ihsan adalah cara bagaimana seharusnya kita beribadah kepada Allah.
Islam, Iman dan Ihsan adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.
Iman adalah keyakinan yang menjadi dasar aqidah. Keyakinan tersebut kemudian diwujudkan
melalui pelaksanaan kelima rukun Islam. Sedangkan pelaksanaan rukun Islam dilakukan dengan
cara ihsan, sebagai upaya pendekatan diri kepada Allah.

Anda mungkin juga menyukai