Anda di halaman 1dari 33

ISLAM SEBAGAI MANHAJUL HAYAH

TINGKATAN ISLAM

AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH SEBAGAI SUMBER ISLAM


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Makalah

Mata Kuliah Islamic Word View

Nama Dosen Pengampu : Dr. Ahmad Mulyadi Kosim, M.Ag.

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1

HARITS JAWAS 211105011413

NURI PUSPASARI 211105010264

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS AGAMA


ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan nikmat dan rahmat-Nya,sehingga
Kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Islamic Word
View yang berjudul “ISLAM SEBAGAI MANHAJUL HAYAH” Kami berharap
makalah ini dapat menambah wawasan untuk yang membacanya. Kami menyadari masih
banyak sekali kekurangan dalam penulisan makalah ini, maka dari itu, kami berharap
kritik dan sarannya dari para pembaca untuk melengkapi makalah ini.

Saya ucapkan terimakasih kepada Bapak Ahmad Mulyadi Kosim yang telah
membantu Kami dalam membuat makalah ini serta kepada pihak-pihak lainnya yang
telah membantu.

Bogor, 11 Februari 2022

Kelompok 1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dinul Islam adalah minhajul hayah (pedoman hidup) bagi seluruh umat manusia.
Ia adalah ajaran yang sempurna yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Hal ini ditegaskan
dalam firman-Nya,

ِ ‫ْاليَ ْو َم أ َ ْك َم ْلتُ لَ ُك ْم دِينَ ُك ْم َوأَتْ َم ْمتُ َعلَ ْي ُك ْم نِ ْع َمتِي َو َر‬


ِ ْ ‫ضيتُ لَ ُك ُم‬
‫اْلس ََْل َم دِينًا‬

“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-
Maidah, 5: 3).

Mengenai ayat di atas, ‘Aidh Al-Qarni dalam At-Tafsirul Muyassar berkata: “Ketahuilah
bahwa Allah Ta’ala telah menyempurnakan agama-Nya untuk kalian dengan
menurunkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, mengajarkan syariat Islam, dan menjelaskan
yang halal dan haram. Oleh karena itu tidak boleh ada penambahan dalam agama ini.
Barangsiapa mengerjakan suatu amal yang tidak berdasar pada agama kita maka
amalnya itu tertolak. Allah Ta’ala telah mencukupkan nikmat-Nya kepada kalian dengan
mengutus Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menurunkan wahyu kepadanya.
Ia merupakan nikmat terbesar dan karunia teragung dari Rabb semesta alam.”

B. RUMUSAN MASALAH

1. APA ITU MANHAJ AL-HAYAH ?

2. APA ITU DEFINISI ISLAM, IMAN, IHSAN ?

3. BAGAIMANA ISLAM SEBAGAI MAHAJ AL-HAYAH ?

4. APA SAJA SUMBER ISLAM ?

C. TUJUAN PENULISAN
1. AGAR MENGETAHUI APA ITU MANHAJ AL-HAYAH

2. AGAR MENGETAHUI DEFINISI ISLAM , IMAN, IHSAN

3. AGAR MENGETAHUI ISLAM SEBAGAI MANHAJ AL-HAYAH

4. AGAR MENGETAHUI SUMBER ISLAM


BAB II

PEMBAHASAN

A. MANHAJ AL-HAYAH

Manhaj al-hayah adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber


kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan


sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaiknya meninggalkan sesuatu.
Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah (mandub), mubah,
makruh, atau haram.

Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia


sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan manusia sepanjang hidupnya.

Juga yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga),
keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-
hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer (al-haajat adh-dharuriyyah).

Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan
mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan
sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan di akhirat
nanti (Thaahaa : 124 – 126).

Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala
sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup
manusia secara keseluruhan.

Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak,
dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.

B. DEFINISI ISLAM DAN TINGKATANNYA

B.1. DEFINISI ISLAM

Islam secara etimologi (bahasa) berarti tunduk, patuh, atau berserah diri. Adapun
menurut terminologi (istilah syari'at), apabila dimutlakkan berada pada dua pengertian:
Pertama: Apabila disebutkan sendiri tanpa diiringi dengan kata iman, maka
pengertian Islam mencakup seluruh agama, baik ushul (pokok) maupun furu' (cabang),
juga seluruh masalah 'aqidah, ibadah, keyakinan, perkataan dan perbuatan. Jadi
pengertian ini menunjukkan bahwa Islam adalah mengakui dengan lisan, meyakini
dengan hati dan berserah diri kepada Allah Subhanahu wata’ala atas semua yang telah
ditentukan dan ditaqdirkan, sebagaimana firman Allah tentang Nabi Ibrahim pada surat
Al Baqoroh ayat 131, Ali Imran ayat 19, dan Ali ‘imran ayat 85.

Menurut para ulama’, definisi Islam adalah:

"Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya, tunduk dan patuh
kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik dan para pelakunya.”

Kedua: Apabila kata Islam disebutkan bersamaan dengan kata iman, maka yang
dimaksud İslam adalah perkataan dan amal-amal lahiriyah yang dengannya terjaga diri
dan harta seseorang, baik dia meyakini Islam atau tidak. Sedangkan kata iman berkaitan
dengan amal hati. Jadi setiap Mukmin adalah Muslim, karena ia adalah orang yang
mewujudkan iman yang kuat dalam hatinya dan melaksanakan İslam. Tetapi tidak setiap
muslim adalah mukmin, karena terkadang imannya masih lemah dan ia belum
mewujudkannya dengan amal-amal anggota badan secara sempurna. Sebagaimana firman
Allah dalam surat Al Hujuraat ayat 14.

Islam memiliki 2 makna :

1. Makna Umum : Islam adalah berserah diri kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya,
tunduk dan patuh kepada-Nya dengan ketaatan, dan berlepas diri dari perbuatan syirik
dan para pelakunya.

Semua para nabi dan rasul dakwahnya dan agamanya adalah Islam dengan makna
yang diatas.

2. Makna Khusus : Agama yang diutus dengannya Nabi Muhammad 

Makna ini memiliki 3 tingkatan, yaitu sebagai berikut :

B.2. TINGKATAN ISLAM

Tingkatan pertama : Islam

Yaitu Amal-amal Dzhahir (lahir/tampak), diwakili oleh rukun islam :

1. Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya
Allah, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.

2. Menegakkan shalat.

3. Membayar zakat.
4. Puasa di bulan Ramadhan.

5. Menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu menuju ke sana.

Tingkatan kedua : Iman

 Iman memiliki 2 makna

1. Makna Umum : Agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad 

2. Makna Khusus : Amal bathin (hati, keyakinan, aqidah), dan diwakili oleh rukun iman
yang enam.

 Definisi Iman :

Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap
ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) –semoga Allah merahmati
mereka- demikian juga para pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama
mutakallimin berpendapat bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati,
pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf –semoga
Allah merahmati mereka- menjadikan amal termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu
iman bisa bertambah dan berkurang, sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang.

Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan
perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan
berkurang dengan sebab kemaksiatan.” Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata,
“Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah dengan melakukan amal, dan ia
berkurang dengan sebab meninggalkan amal.” Bahkan Imam
Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan lebih dari seribu orang
ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah melihat mereka berselisih
bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan berkurang.”

Dengan demikian dalam pandangan ahlus sunnah definisi iman memiliki 5


karakter : keyakinan, ucapan, amal, bisa bertambah, dan bisa berkurang. Atau bisa
diringkas menjadi 3 : keyakinan, ucapan, dan amal. Karena amal bagian dari iman, secara
otomatis iman bisa bertambah dan berkurang. Atau bisa diringkas lebih sedikit lagi
menjadi 2 : ucapan dan amal, sebab keyakinan sudah termasuk dalam amal yaitu amal
hati.

 Kadar yang wajib dalam kita beriman :

1. Iman Kepada Allah : Kadar yang wajib dalam kita beriman kepada Allah adalah yaitu
kita mengimani tentang adanya Allah Subhanahu wata’ala, dan Allah sebagai Rabb kita,
yang berhak diibadahi, yang memiliki nama-nama yang indah dan sifat-sifatnya yang
tinggi.

2. Iman kepada Malaikat-malaikatNya : Kadar yang wajib dalam kita beriman kepada
Malaikat adalah kita meyakini dan mengimani bahwasannya para malaikat merupakan
salah satu ciptaan Allah Subhanahu wata’ala, dan bahwa sebagian dari mereka ada yang
turun menyampaikan wahyu kepada para Rasul atas perintah dari Allah subhanahu
wata’ala.

3. Iman kepada Kitab-kitab Allah Subhanahu wata’ala : Kadar yang wajib dalam kita
beriman kepada Kitab-kitab adalah, kita meyakini dan mengiani bahwasannya Allah
Subhanahu wata’ala menurunkan kepada Rasul yang Dia kehendaki kitab-kitabnya, yan
kitab tersebut merupakan Kalam/FirmanNya, tujuannya untuk berhukum ditengah
manusia pada apa-apa yang mereka perselisihkan dengan kitab tersebut, dan semua kitab
tersebut dihapus dengan datangnya al-Qur’an.

4. Iman kepada Rasul : Kadar yang wajib dalam kita beriman kepada Rasul adalah kita
meyakini dan mengimani bahwasannya Alah Subhanahu wata’ala mengutus kepada
manusia Rasul-rasul dari kalangan mereka, yang tugas para Rasul ini yaitu mengajak
manusia untuk beribadah kepada Allah saja, dan bahwa penutup dari para Nabi dan Rasul
adalah Nabi Muhammad SAW.

5. Iman kepada Hari Akhir : Kadar yang wajib dalam beriman kepada hari akhir adalah
kita harus mengimani dan meyakini bahwasannya nanti ada hari kebangkitan yaitu hari
kiamat, tujuan dari hari kebangkitan/kiamat yaitu untuk membalas amalan-amalan
makhluq, siapa yang berbuat baik maka ia mendapatkan surga, dan siapa yang berbuat
jahat, maka ia akan mendapatkan neraka.

6. Iman kepada Taqdir yang baik maupun yang buruk : Kadar yang wajib dalam beriman
kepada Taqdir adalah yaitu kita harus meyakini dan mengimani bahwasannya Allah
Ta’ala telah mentaqdirkan segala sesuatu yang baik maupn yang buruk, dan bahwasannya
tidak ada sesuatu yang terjadi kecuali atas kehendak dan ciptaannya.1

Tingkatan ketiga : Ihsan

Makna Ihsan :

Kata ihsan (berbuat baik) merupakan kebalikan dari kata al isaa-ah (berbuat
buruk), yakni perbuatan seseorang untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan menahan
diri dari dosa. Dia mendermakan kebaikan kepada hamba Allah yang lainnya baik
melalui hartanya, kehormatannya, ilmunya, maupun raganya.

Adapun yang dimaksud ihsan bila dinisbatkan kepada peribadatan kepada Allah
adalah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasululluah shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadist Jibril :

1
Ibnul Qoyyim, Miftaah daar as-sa’adah
َ‫َّللاَ َكأَنهكَ ت ََراهُ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ُك ْن ت ََراهُ فَإِنههُ يَ َراك‬
‫ قَا َل « أ َ ْن ت َ ْعبُدَ ه‬.‫ان‬
ِ ‫س‬ ِ ‫» قَا َل فَأ َ ْخ ِب ْرنِى َع ِن‬
َ ْ‫اْلح‬

“’Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya
Dia melihatmu.” (H.R. Muslim 102).

Dalam hadits Jibril, tingkatan Islam yang ketiga ini memiliki satu rukun.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan mengenai ihsan yaitu ‘Engkau beribadah
kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak mampu melihat-
Nya, Allah akan melihatmu.’ Itulah pengertian ihsan dan rukunnya.

Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ihsan mencakup dua


macam, yakni ihsan dalam beribadah kepada Allah dan ihsan dalam menunaikan hak
sesama makhluk. Ihsan dalam beribadah kepada Allah maknanya beribadah kepada Allah
seolah-olah melihat-Nya atau merasa diawasi oleh-Nya. Sedangkan ihsan dalam hak
makhluk adalah dengan menunaikan hak-hak mereka. Ihsan kepada makhluk ini terbagi
dua, yaitu yang wajib dan sunnah. Yang hukumnya wajib misalnya berbakti kepada orang
tua dan bersikap adil dalam bermuamalah. Sedangkan yang sunnah misalnya memberikan
bantuan tenaga atau harta yang melebihi batas kadar kewajiban seseorang. Salah satu
bentuk ihsan yang paling utama adalah berbuat baik kepada orang yang berbuat jelek
kepada kita, baik dengan ucapan atau perbuatannya.

Tingkatan Ihsan :

Pertama, tingkatan muroqobah.

Yakni seseorang yang beramal senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh
Allah dalam setiap aktivitasnya. Ini berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam َ‫( فَ ِإ ْن لَ ْم تَك ُْن ت َ َرا ُه فَ ِإ َّنهُ يَ َراك‬jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia
melihatmu).Tingkatan muroqobah yaitu apabila seseorang tidak mampu memperhatikan
sifat-sifat Allah, dia yakin bahwa Allah melihatnya. Tingkatan inilah yang dimiliki oleh
kebanyakan orang. Apabila seseorang mengerjakan shalat, dia merasa Allah
memperhatikan apa yang dia lakukan, lalu dia memperbagus shalatnya tersebut. Hal ini
sebagaimana Allah firmankan dalam surat Yunus,

ٍ ‫} َو َمات َ ُكونُ فِي شَأ ْ ٍن َو َماتَتْلُوا ِم ْنهُ ِم ْن قُ ْر َء‬


ُ ‫ان َوالَت َ ْع َملُونَ ِم ْن َع َم ٍل إِاله ُكنها َعلَ ْي ُك ْم‬
61{… ‫ش ُهودًا إِذْ ت ُ ِفيضُونَ فِي ِه‬

“Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran
dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di
waktu kamu melakukannya…” (QS. Yunus: 61)

Kedua, tingkatan musyahadah

Tingkatan ini lebih tinggi dari yang pertama, yaitu seseorang senantiasa
memeperhatikan sifat-sifat Allah dan mengaitkan seluruh aktifitasnya dengan sifat-sifat
tersebut. Inilah realisasi dari sabda Nabi ‫َّللاَ َكأَنهكَ ت ََراه‬
‫‘( أ َ ْن ت َ ْعبُدَ ه‬Kamu menyembah Allah
seakan-akan kamu melihat-Nya).Pada tingkatan ini seseorang beribadah kepada Allah,
seakan-akan dia melihat-Nya. Perlu ditekankan bahwa yang dimaksudkan di sini
bukanlah melihat dzat Allah, namun melihat sifat-sifat-Nya, tidak sebagaimana
keyakinan orang-orang sufi. Yang mereka sangka dengan tingkatan musyahadah adalah
melihat dzat Allah. Ini jelas merupakan kebatilan. Yang dimaksud adalah memperhatikan
sifat-sifat Allah, yakni dengan memperhatikan pengaruh sifat-sifat Allah bagi makhluk.
Apabila seorang hamba sudah memiliki ilmu dan keyakinan yang kuat terhadap sifat-sifat
Allah, dia akan mengembalikan semua tanda kekuasaan Allah pada nama-nama dan sifat-
sifat-Nya. Dan inilah tingkatan tertinggi dalam derajat ihsan.

B.3. MAZAYA ISLAM (KARAKTERISTIK ISLAM)

1. Syumuliyah (Komprehensif)

Mencakup dan teknologi, sosiologi, psikologi, pendidikan, ekonomi, politik,


budaya, keluarga dan lainnya. Lihat QS. Al-Anaam : 38

2. Alamiyah (Univsersal)
Berlaku sepanjang masa dan berlaku bagi setiap suku bangsa tanpa
terkecuali.Lihat QS. Al-Bayinanah : 107 dan QS. Saba : 28

3. Ilahiyyah (Rabbaniyyah)
Ajaran islam yang bersumber dari Allah yang nilai kebenarannya bersifat mutlak
dan absolut. Lihat QS. Al-Baqarah : 146

4. Insaaniyah
Ajaran islam sejalan dengan fitrah dan kebutuhan manusia tidak ada satu pun
yang bertentangan denganya.

5. Waaqiyyah
Ajaran islam adalah ajaran yang bisa menjawab dan memberikan solusi bagi
setiap problem yang terjadi dan bisa diamalkan oleh setiap manusia hanya saja yang mau
mengamalkan ajaran islalm adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Lihat
QS. Al-Baqarah : 2

6. Wasathiyyah, ajaran Islam adalah ajaran yang adil yang memperhatikan keseimbangan
hidup (dunia akhirat, material spiritual, pribadi dan masyarakat, dll). Lihat QS. Al-
Baqarah : 201

7. Al-Wudhuh
Artinya ajaran Islam itu adalah ajaran yang gamblang, jelas dan mudah dipahami.
Lihat, QS. Al-Ikhlas : 1-4

8 . Al-Jam'u baina Ast-Tsabat wal Murunah


Perpaduan antara Konsisten dan Fleksibel.
C. ISLAM SEBAGAI MANHAJ AL-HAYAH

Pertama, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek al-i’tiqodi (keyakinan).

Al-Qur’an dan sunnah telah mengajarkan prinsip-prinsip aqidah dengan terang


benderang. Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah dalam bukunya Al-Aqa’id Al-
Islamiyah mencatat bahwa aqidah Islam sekurang-kurangnya meliputi pembahasan:
ma’rifat kepada Allah, ma’rifat kepada alam yang berada di balik alam semesta
(malaikat, jin, iblis, ruh), ma’rifat kepada kitab-kitab, nabi, rasul, hari akhir dan
peristiwa-peristiwa yang mengiringinya, dan takdir.

Pokok-pokok aqidah Islam tersebut diantaranya terhimpun dalam ayat ini,

ِ ‫سو ِل ِه َو ْال ِكت َا‬


‫ب الهذِي أ َ ْنزَ َل ِم ْن قَ ْب ُل َو َم ْن‬ ُ ‫ب الهذِي ن هَز َل َعلَى َر‬ ِ ‫سو ِل ِه َو ْال ِكت َا‬ ِ ‫يَا أَيُّ َها اله ِذينَ آ َمنُوا ِآمنُوا بِ ه‬
ُ ‫اَّلل َو َر‬
‫ض ََل ًال بَ ِعيدًا‬ َ ‫س ِل ِه َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر فَقَ ْد‬
َ ‫ض هل‬ ِ ‫يَ ْكفُ ْر بِ ه‬
ُ ‫اَّلل َو َم ََلئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر‬

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan
sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-
Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya.” (QS An Nisa, 4: 136).

Dalam ayat lain disebutkan,

ِ ‫اَّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر َو ْال َم ََلئِ َك ِة َو ْال ِكت َا‬


َ‫ب َوالنهبِ ِيين‬ ِ ‫َولَ ِك هن ْال ِب هر َم ْن آ َمنَ ِب ه‬

“ … sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi … “ (QS Al-Baqarah, 2:177 ).

Kedua ayat ini menyebutkan dasar-dasar keimanan itu ada lima, yaitu iman
kepada Allah, rasul-rasul/nabi-nabi-Nya, kitab-kitab-Nya, malaikat-malaikat-Nya, dan
iman kepada hari kemudian atau hari akhir.

Keyakinan terhadap rukun iman yang berkembang di kalangan ahlus sunnah wal
jama’ah terdiri dari enam rukun. Hal ini didasarkan pada hadits Bukhari tentang
datangnya Malaikat Jibril dengan wujud manusia untuk bertanya tentang apa yang
dimaksud dengan iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
‫اْلخ ِر َوتُؤْ ِمنَ بِ ْالقَدَ ِر َخي ِْر ِه َوش َِر ِه‬
ِ ‫س ِل ِه َو ْاليَ ْو ِم‬ ِ ‫أ َ ْن تُؤْ ِمنَ بِ ه‬
ُ ‫اَّلل َو َمَلَئِ َكتِ ِه َو ُكتُبِ ِه َو ُر‬

“(Iman adalah) engkau beriman kepada Allah; malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para


Rasul-Nya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang
buruk,” (Lihat: Hadits Arbain No. 2)

Salah satu rukun yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Quran adalah
keyakinan akan takdir Allah Ta’ala. Tapi sebenarnya keyakinan ini sudah tercakup dalam
rukun Iman kepada Allah; karena urusan qadha dan qadar adalah urusan Allah. Dalam
hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan penekanan saja
bahwa segala hal tergantung kepada ketentuan atau ketetapan Allah Ta’ala, seperti
dinyatakan dalam Al-Quran,

َ‫َّللا فَ ْليَت ََو هك ِل ْال ُمؤْ ِمنُون‬


ِ ‫َّللاُ لَنَا ه َُو َم ْو َالنَا َو َعلَى ه‬
‫َب ه‬ َ ‫ُصيبَنَا ِإ هال َما َكت‬
ِ ‫قُ ْل لَ ْن ي‬

“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-
orang yang beriman harus bertawakal.’” (QS. At-Taubah, 9: 51)

Kedua, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek al-akhlaq (akhlak).

Dalam materi syumuliyatul Islam kita telah mendapatkan gambaran umum bahwa
Islam telah menggariskan manhaj (pedoman) dalam aspek akhlak. Kedudukannya
demikian penting dalam dinul Islam, sebagaimana disampaikan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri,

َ ‫ِإنه َما بُ ِعثْتُ ألُت َِم َم‬


ِ َ‫صا ِل َح األ َ ْخَل‬
‫ق‬

“Bahwasanya aku diutus adalah untuk menyempurnakan kebaikan akhlak.” (HR.


Ahmad).

Islam mengatur akhlak manusia dalam semua sisinya; sebagai individu, keluarga,
dan masyarakat. Bahkan Islam mengatur pula akhlak yang berkaitan dengan makhluk-
makhluk yang tidak berakal. Diantaranya disebutkan dalam hadits dari Abu
Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ث يَأ ْ ُك ُل الث ه َرى ِم ْن‬ُ ‫ب يَ ْل َه‬


ٍ ‫ب ِم ْن َها ث ُ هم خ ََر َج فَإِذَا ه َُو بِ َك ْل‬ َ ‫ش فَنَزَ َل بِئْ ًرا فَش َِر‬ َ َ‫بَ ْينَا َر ُج ٌل يَ ْمشِي فَا ْشتَده َعلَ ْي ِه ْالع‬
ُ ‫ط‬
‫َّللاُ لَهُ فَغَفَ َر‬
‫ش َك َر ه‬َ َ‫ب ف‬َ ‫سقَى ْال َك ْل‬ َ َ‫ي ف‬ َ َ‫ْالع‬
َ ‫ط ِش فَقَا َل لَقَدْ بَلَ َغ َهذَا ِمثْ ُل الهذِي بَلَ َغ ِبي فَ َم ََل َ ُخفههُ ث ُ هم أ َ ْم‬
َ ‫س َكهُ بِ ِفي ِه ث ُ هم َر ِق‬
‫جْر‬ ْ ‫َّللا َو ِإ هن لَنَا فِي ْالبَ َهائِ ِم أَجْ ًرا قَا َل فِي ُك ِل َكبِ ٍد َر‬
ٌ َ ‫طبَ ٍة أ‬ ِ ‫سو َل ه‬ ُ ‫لَهُ قَالُوا يَا َر‬
“Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan lalu dia merasakan kehausan yang sangat
sehingga dia turun ke suatu sumur lalu minum dari air sumur tersebut. Ketika dia keluar
dia mendapati seekor anjing yang sedang menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah
karena kehausan. Orang itu berkata, ‘Anjing ini sedang kehausan seperti yang aku alami
tadi’. Maka dia (turun kembali ke dalam sumur) dan diisinya sepatunya dengan air, dan
sambil menggigit sepatunya dengan mulutnya dia naik keatas lalu memberi anjing itu
minum. Karenanya Allah berterima kasih kepadanya dan mengampuninya”. Para
sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah kita akan dapat pahala dengan berbuat
baik terhadap hewan?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Terhadap setiap
makhluk bernyawa diberi pahala”. (HR. Al-Bukhari no. 2363 dan Muslim no. 2244)

Dan di atas itu semua, Islam telah mengatur akhlak berkaitan dengan hubungan
manusia dengan Allah Ta’ala. Diantara akhlak manusia kepada Allah Ta’ala adalah
bersyukur kepadanya,

ِ ‫ت َما َرزَ ْقنَا ُك ْم َوا ْش ُك ُروا ِ ه‬


َ‫َّلل ِإ ْن ُك ْنت ُ ْم إِيهاهُ ت َ ْعبُدُون‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا ُكلُوا ِم ْن‬
ِ ‫طيِبَا‬

“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu
menyembah.” (QS. Al-Baqarah, 2: 172).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata tentang akhlak


kepada Allah Ta’ala, “Akhlak yang baik mencakup mu’amalah dengan sesama makhluk
dan juga mu’amalah seorang hamba dengan Allah. Ini harus dipahami oleh kita semua.
Akhlaq yang baik dalam bermuamalah dengan Allah mencakup tiga perkara: (1)
Membenarkan berita-berita yang datang dari Allah, (2) Melaksanakan hukum-
hukumNya, (3) Sabar dan ridha kepada takdirNya”[2]

Ketiga, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek as-suluki (sikap hidup dalam
menempuh jalan taqarrub kepada Allah Ta’ala).

Islam telah menggariskan minhaj bahwa taqarrub ila-Llah (pendekatan diri


kepada Allah) itu dilakukan dengan cara pengamalan ibadah-ibadah faraidh (wajib)
dan nawafil (sunnah), sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits qudsi berikut ini,

‫ي ِم همـا‬‫ش ْيءٍ أ َ َحبه ِإلَـ ه‬ َ ‫ِي ِب‬


ْ ‫ب َع ْبد‬ َ ‫ َو َما تَقَ هر‬، ‫ب‬ ِ ‫ َم ْن َعادَى ِلـ ْي َو ِليًّا فَقَ ْد آذَ ْنتُهُ ِب ْالـ َح ْر‬: ‫ِإ هن هللاَ تَعَالَـى قَا َل‬
ْ ‫س ْمعَهُ الهذ‬
، ‫ِي يَ ْس َم ُع بِ ِه‬ َ ُ‫ فَإِذَا أَحْ بَ ْبتُهُ ُك ْنت‬،ُ‫ي بِالنه َوافِ ِل َحتهى أ ُ ِحبهه‬ ‫ب إِلَـ ه‬ ُ ‫ِي يَتَقَ هر‬ْ ‫ َو َما يَزَ ا ُل َع ْبد‬، ‫ضتُهُ َعلَ ْي ِه‬ ْ ‫ا ْفت ََر‬
‫ َولَئِ ِن‬، ُ‫ْطيَنهه‬ ِ ‫سأَلَنِ ْي َألُع‬
َ ‫ َوإِ ْن‬، ‫ َو ِرجْ لَهُ الهتِ ْي يَ ْم ِش ْي بِ َها‬، ‫ش بِ َها‬ ُ ‫ َويَدَهُ الهتِ ْي يَب ِْط‬، ‫ْص ُر بِ ِه‬ ِ ‫ِي يُب‬ ْ ‫ص َرهُ الهذ‬َ َ‫َوب‬
‫»ا ْستَعَاذَنِـ ْي َأل ُ ِع ْيذَنهُه‬.
”Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi wali-Ku,
sungguh Aku mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah hamba-Ku mendekat kepada-
Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada hal-hal yang Aku wajibkan
kepadanya. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekat kepada-Ku dengan ibadah-ibadah
sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku menjadi
pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, menjadi tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi
kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, Aku pasti
memberinya. Dan jika ia meminta perlindungan kepadaku, Aku pasti
melindunginya.” (HR. Bukhari, no. 6502)

Mengenai orang-orang mu’min yang senantiasa meniti jalan taqarrub ini,


Allah Ta’ala berfirman,

‫وف َوالنهاهُونَ َع ِن ْال ُم ْن َك ِر‬


ِ ‫اجد ُونَ ْاْل ِم ُرونَ بِ ْال َم ْع ُر‬
ِ ‫س‬‫الرا ِكعُونَ ال ه‬
‫سائِ ُحونَ ه‬ ‫امدُونَ ال ه‬ ِ ‫التهائِبُونَ ْالعَابِدُونَ ْال َح‬
َ‫َّللا ۗ َوبَش ِِر ْال ُمؤْ ِمنِين‬
ِ ‫ظونَ ِل ُحدُو ِد ه‬ ُ ِ‫َو ْال َحاف‬

“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang
melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat
munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang
mukmin itu.” (QS. At-Taubah, 9: 112).

Islam telah menunjukkan kepada manusia berbagai jalan taqarrub Ila-Llah, agar
mereka melaluinya sesuai petunjuk itu: shalat, shaum, dzikir, tilawah qur’an, akhlakul
karimah, dan lain-lain. Semuanya dilakukan dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dilakukan dengan berlebih-
lebihan.

– ‫اج النهبِ ِى – صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ت أ َ ْز َو‬ ِ ‫َس بْنَ َمالِكٍ – رضى هللا عنه – يَقُو ُل َجا َء ثََلَثَةُ َر ْهطٍ إِلَى بُيُو‬ َ ‫أَن‬
– ‫يَسْأَلُونَ َع ْن ِعبَادَةِ النهبِ ِى – صلى هللا عليه وسلم – فَلَ هما أ ُ ْخبِ ُروا َكأَنه ُه ْم تَقَالُّوهَا فَقَالُوا َوأَيْنَ نَحْ نُ ِمنَ النهبِ ِى‬
َ ُ ‫ قَا َل أ َ َحدُ ُه ْم أ َ هما أَنَا فَإِنِى أ‬. ‫غ ِف َر لَهُ َما تَقَد َهم ِم ْن ذَ ْنبِ ِه َو َما ت َأ َ هخ َر‬
. ‫ص ِلى الله ْي َل أَبَدًا‬ ُ ‫صلى هللا عليه وسلم – قَ ْد‬
ِ ‫سو ُل ه‬
– ‫َّللا‬ ُ ‫ فَ َجا َء َر‬. ‫سا َء فََلَ أَت َزَ هو ُج أَبَدًا‬ َ ‫ َوقَا َل آخ َُر أَنَا أ َ ْعت َِز ُل ال ِن‬. ‫صو ُم الده ْه َر َوالَ أ ُ ْف ِط ُر‬ ُ َ ‫َوقَا َل آخ َُر أَنَا أ‬
‫صو ُم‬ُ َ ‫ لَ ِكنِى أ‬، ُ‫َّلل َوأَتْقَا ُك ْم لَه‬ ِ ‫صلى هللا عليه وسلم – فَقَا َل « أ َ ْنت ُ ُم الهذِينَ قُ ْلت ُ ْم َكذَا َو َكذَا أ َ َما َو ه‬
ِ ‫َّللا ِإنِى أل َ ْخشَا ُك ْم ِ ه‬
‫ْس ِمنِى » رواه البخاري‬ َ ‫سنهتِى فَلَي‬ ُ ‫ب َع ْن‬ َ ‫ فَ َم ْن َر ِغ‬، ‫سا َء‬ َ ُ ‫ َوأ‬، ‫َوأ ُ ْف ِط ُر‬
َ ِ‫ص ِلى َوأ َ ْرقُدُ َوأَت َزَ هو ُج الن‬

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Ada tiga orang yang mendatangi rumah-
rumah istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam menanyakan ibadah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka tatkala diberitahu, mereka merasa seakan-akan tidak berarti
(sangat sedikit). Mereka berkata: ‘Di mana posisi kami dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa
sallam, padahal beliau telah diampuni dosa-dosanya baik yang lalu maupun yang akan
datang.’ Salah satu mereka berkata: ‘Saya akan qiyamul lail selama-lamanya.’ Yang lain
berkata: ‘Aku akan puasa selamanya.’ Dan yang lain berkata: ‘Aku akan menghindari
wanita, aku tidak akan pernah menikah.’ Lalu datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wa sallam seraya bersabda: ‘Kaliankah yang bicara ini dan itu, demi Allah, sungguh aku
yang paling takut dan yang paling takwa kepada Allah. Akan tetapi aku berpuasa dan
berbuka, aku sholat, aku tidur, dan aku juga menikah. Barang siapa yang benci terhadap
sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku.’” (HR. Al-Bukhari)

Hal senada tergambar dalam hadits berikut ini,

َ‫ «يَا َع ْبد‬: ‫سله َم‬ َ ‫صلهى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫سو ُل ه‬


ِ‫َّللا‬ ُ ‫ قَا َل ِلي َر‬، ‫اص رضي هللا عنها‬ ِ ‫َع ْن َع ْب ِد ه‬
ِ َ‫َّللا ب ِْن َع ْم ِرو ب ِْن الع‬
َ
‫ َوقُ ْم‬،‫ص ْم َوأ ْف ِط ْر‬ ُ ‫ «فََلَ ت َ ْفعَ ْل‬:َ‫َّللا قَال‬ ِ ‫سو َل ه‬ ْ ‫ه‬
ُ ‫ بَلَى يَا َر‬: ُ‫ فَقُلت‬، »‫ َوتَقُو ُم الل ْيلَ؟‬،‫ار‬ َ ‫صو ُم النه َه‬ُ َ ‫ أَلَ ْم أ ُ ْخبَ ْر أنهكَ ت‬،‫َّللا‬
َ ِ‫ه‬
‫ َو ِإ هن‬،‫ َو ِإ هن ِلزَ ْو ِركَ َعلَيْكَ َحقًّا‬،‫ َو ِإ هن ِلزَ ْو ِجكَ َعلَيْكَ َحقًّا‬،‫ َو ِإ هن ِلعَ ْينِكَ َعلَيْكَ َحقًّا‬،‫سدِكَ َعلَيْكَ َحقًّا‬ َ ‫ فَإِ هن ِل َج‬،‫َونَ ْم‬
، »‫صيَا ُم الده ْه ِر ُك ِل ِه‬ َ َ
ِ َ‫ فَإِ هن ذَلِك‬،‫سنَ ٍة َع ْش َر أ ْمثا ِل َها‬ َ َ َ َ َ
َ ‫ فَإِ هن لكَ بِ ُك ِل َح‬،‫ش ْه ٍر ثَلَثة أي ٍهام‬ َ ‫وم ُك هل‬
َ ‫ص‬ ُ َ ‫بِ َح ْسبِكَ أ َ ْن ت‬
‫ َوالَ ت َِز ْد‬،‫سَلَ ُم‬ ‫َّللا دَ ُاودَ َعلَ ْي ِه ال ه‬
ِ ‫ام نَبِي ِ ه‬ َ َ ‫صي‬ ِ ‫ص ْم‬ُ َ‫ «ف‬:َ‫َّللا إِنِي أ َ ِجدُ قُ هوة ً قَال‬
ِ ‫سو َل ه‬ ُ ‫ يَا َر‬: ُ‫ي قُ ْلت‬‫ش ِددَ َعلَ ه‬ ُ َ‫ ف‬، ُ‫شدهدْت‬ َ َ‫ف‬
ُ
‫َّللا يَقو ُل بَ ْعدَ َما‬ َ
ِ ‫ ف َكانَ َع ْبدُ ه‬، »‫ف الدهه ِر‬ ْ َ ‫ص‬ َ
ْ ِ‫ «ن‬:َ‫سَل ُم؟ قال‬ َ َ ِ ‫صيَا ُم نَبِي ِ ه‬
‫َّللا دَ ُاودَ َعل ْي ِه ال ه‬ ْ
ِ َ‫ َو َما َكان‬: ُ‫ قلت‬، »‫َعلَ ْي ِه‬
ُ
‫سله َم‬َ ‫صلهى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ِ ‫صةَ النهبِي‬َ ‫ يَا لَ ْيتَنِي قَبِ ْلتُ ُر ْخ‬:‫َكبِ َر‬

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, ‘Wahai ‘Abdullah, apakah benar
berita bahwa engkau berpuasa di waktu siang lalu shalat malam sepanjang malam?’
Saya menjawab, ‘Benar, wahai Rasulullah’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Janganlah engkau lakukan itu, tetapi berpuasa dan berbukalah! Shalat
malam dan tidurlah! Karena badanmu memiliki hak yang harus engkau tunaikan,
matamu punya hak atasmu, isterimu punya hak atasmu, dan tamumu pun punya hak yang
harus engkau tunaikan. Cukuplah bila engkau berpuasa selama tiga hari setiap bulan,
karena setiap kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu
berarti engkau telah melaksanakan puasa sepanjang tahun’. Kemudian saya meminta
tambahan, lalu beliau menambahkannya. Saya mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, saya
merasa diriku memiliki kemampuan’. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Berpuasalah dengan puasanya Nabi Allah Dawud ‘alaihissallam dan jangan
engkau tambah lebih dari itu’. Saya bertanya, ‘Bagaimanakah cara puasanya Nabi
Dawud ‘alaihissallam?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Beliau
berpuasa setengah dari puasa dahr (puasa sepanjang tahun, yakni sehari berpuasa dan
sehari berbuka). Maka setelah ‘Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash sampai di usia tua ia
berkata, “Seandainya dahulu aku menerima keringanan yang telah diberikan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ” (HR. Bukhari)

Keempat, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek asy-syu’uri (perasaan).

Islam memiliki manhaj yang khas mengenai emosi manusia (rasa cinta, benci,
belas kasih, kesedihan, kegembiraan, dan lain sebagainya). Sebagai contoh, Islam telah
menggariskan manhaj yang jelas tentang prioritas cinta. Allah Ta’ala berfirman,
َ ‫ارة ٌ ت َْخش َْونَ َك‬
‫سادَهَا‬ َ ‫ِيرت ُ ُك ْم َوأ َ ْم َوا ٌل ا ْقت ََر ْفت ُ ُموهَا َوتِ َج‬
َ ‫قُ ْل إِ ْن َكانَ آبَا ُؤ ُك ْم َوأ َ ْبنَا ُؤ ُك ْم َوإِ ْخ َوانُ ُك ْم َوأ َ ْز َوا ُج ُك ْم َو َعش‬
‫َّللاُ ِبأ َ ْم ِر ِه َو ه‬ ْ ِ ‫ض ْونَ َها أ َ َحبه ِإلَ ْي ُك ْم ِمنَ ه‬
‫َّللاُ ال‬ ‫ي ه‬ َ ‫صوا َحتهى يَأ ِت‬ ُ ‫س ِبي ِل ِه فَت ََربه‬
َ ‫سو ِل ِه َو ِج َها ٍد ِفي‬ ُ ‫َّللا َو َر‬ َ ‫سا ِكنُ ت َْر‬ َ ‫َو َم‬
َ‫يَ ْهدِي ْالقَ ْو َم ْالفَا ِسقِين‬

“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum


keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah
dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.” (QS, At-Taubah, 9: 24)

Islam juga membimbing perasaan manusia agar cinta dan bencinya itu ditimbang
oleh timbangan iman. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ان ْال ُم َو َاالة ُ فِي هللاِ َو ْال ُمعَادَاة ُ فِي هللاِ َو ْال ُحبُّ فِي هللاِ َو ْالبُ ْغ‬
ِ‫ض فِي هللا‬ ُ ‫أ َ ْوث َ ُق‬
ِ ْ ‫ع َرى‬
ِ ‫اْل ْي َم‬

“Tali iman yang paling kokoh adalah memberikan loyalitas karena Allah, memusuhi
karena Allah, mencintai karena Allah, dan membenci karena Allah.” (HR. ath-Thabarani
dari Ibnu Abbas, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [2/734 no. 998])

Berkenaan dengan perasaan sedih dan gembira, Islam menuntun manusia agar
membingkai keduanya, juga dengan bingkai iman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ش َك َر فَ َكانَ َخي ًْرا لَهُ َو ِإ ْن‬ َ َ ‫ْس ذَاكَ أل َ َح ٍد ِإاله ِل ْل ُمؤْ ِم ِن ِإ ْن أ‬


َ ُ‫صابَتْه‬
َ ‫س هرا ُء‬ َ ‫َع َجبًا أل َ ْم ِر ْال ُمؤْ ِم ِن ِإ هن أ َ ْم َرهُ ُكلههُ َخ ْي ٌر َولَي‬
ُ‫صبَ َر فَ َكانَ َخي ًْرا لَه‬ َ ‫ض هرا ُء‬ َ ُ‫صابَتْه‬ َ َ‫أ‬

“Sungguh menakjubkan perkaranya orang yang beriman, karena segala urusannya


adalah baik baginya. Dan hal yang demikian itu tidak akan terdapat kecuali hanya pada
orang mukmin; yaitu jika ia mendapatkan kebahagiaan, ia bersyukur, karena (ia
mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan yang terbaik untuknya. Dan jika ia tertimpa
musibah, ia bersabar, karena (ia mengetahui) bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik
bagi dirinya.” (HR Muslim dari Shuhaib)

Ringkasnya, as-syu’uri (perasaan atau emosi) yang dimiliki manusia seluruhnya


diarahkan, dibimbing, dan dibingkai dengan nilai-nilai keimanan; bersabar dan bersyukur
kepada Allah Ta’ala.

‫ِير‬ ِ ‫ب ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن نَب َْرأَهَا ِإ هن ذَلِكَ َعلَى ه‬


ٌ ‫َّللا يَس‬ ٍ ‫ض َو َال فِي أ َ ْنفُ ِس ُك ْم ِإ هال فِي ِكت َا‬
ِ ‫صيبَ ٍة فِي ْاأل َ ْر‬
ِ ‫اب ِم ْن ُم‬
َ ‫ص‬َ َ ‫َما أ‬
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

ٍ ‫َّللاُ َال ي ُِحبُّ ُك هل ُم ْخت َا ٍل فَ ُخ‬


‫ور‬ َ ْ ‫ِل َكي ََْل ت َأ‬
‫س ْوا َعلَى َما فَات َ ُك ْم َو َال ت َ ْف َر ُحوا بِ َما آت َا ُك ْم َو ه‬

(kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang
luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri,” (QS. Al-Hadid, 57: 22-23)

Kelima, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek at-tarbawi (pendidikan).

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan qudwah (contoh)


bagaimana aktivitas tarbiyah dilaksanakan, yakni dengan tilawah; membacakan wahyu
Allah Ta’ala, tazkiyah; membersihkan ruhani sehingga bersih dari segala kemusyrikan,
keraguan, kebimbangan, dan nafsu syahwat, membersihkan akhlak;
serta ta’lim; mengajarkan berbagai hukum yang ada pada Al-Qur’an dan As-Sunnah,
menyampaikan kabar tentang apa yang belum pernah diketahui yang berhubungan
dengan perkara agama dan dunia serta hal-hal ghaib yang terjadi pada masa lalu dan pada
masa yang akan datang.

Allah Ta’ala berfirman,

‫َاب َو ْال ِح ْك َمةَ َويُعَ ِل ُم ُك ْم َما لَ ْم ت َ ُكونُوا‬


َ ‫وال ِم ْن ُك ْم يَتْلُو َعلَ ْي ُك ْم آيَاتِنَا َويُزَ ِكي ُك ْم َويُعَ ِل ُم ُك ُم ْال ِكت‬
ً ‫س‬ُ ‫س ْلنَا فِي ُك ْم َر‬
َ ‫َك َما أ َ ْر‬
َ‫ت َ ْعلَ ُمون‬

“…Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah


mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta
mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah: 151)

Keenam, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek al-ijtima’i (kemasyarakatan).

Islam menggariskan berbagai pedoman dalam hidup bermasyarakat. Sebagai


contoh, dalam kehidupan bertetangga, Islam menghubungkannya dengan masalah
keimanan. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫اَّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر فَ ْليُ ْك ِر ْم َج‬


ُ‫اره‬ ِ ‫َم ْن َكانَ يُؤْ ِمنُ ِب ه‬
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia muliakan
tetangganya” (HR. Bukhari 5589, Muslim 70)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ُ ‫ِي َال يَأ ْ َمنُ َج‬


ُ‫ارهُ بَ َوائِقَه‬ ْ ‫ الهذ‬:َ‫س ْو َل هللاِ؟ قَال‬
ُ ‫ َو َم ْن يَا َر‬:َ‫ قِ ْيل‬. ُ‫ َوهللاِ َال يُؤْ ِمن‬، ُ‫ َوهللاِ َال يُؤْ ِمن‬، ُ‫َوهللاِ َال يُؤْ ِمن‬

“Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapa
itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: “Orang yang tetangganya tidak aman dari
bawa’iq-nya (kejahatannya)” (HR. Bukhari 6016, Muslim 46)

Mengenai kehidupan bertetangga ini disinggung pula dalam firman Allah Ta’ala,

‫ار ذِي ْالقُ ْربَ ٰى‬ ِ ‫ين َو ْال َج‬ َ ‫سانًا َوبِذِي ْالقُ ْربَ ٰى َو ْاليَت َا َم ٰى َو ْال َم‬
ِ ‫سا ِك‬ َ ْ‫ش ْيئًا ۖ َوبِ ْال َوا ِلدَي ِْن إِح‬
َ ‫َّللاَ َو َال ت ُ ْش ِر ُكوا بِ ِه‬
‫َوا ْعبُدُوا ه‬
‫ورا‬
ً ‫خ‬ُ َ ‫ف‬ ً
‫َاال‬ ‫ت‬ ْ
‫خ‬ ‫م‬ َ
‫ك‬ ‫ن‬ْ
ُ َ‫ِ بُّ َ ان‬‫م‬ ‫ُح‬ ‫ي‬ َ
‫ال‬ َ ‫ه‬
‫َّللا‬ ‫ن‬‫ه‬ ‫إ‬ ۗ ‫م‬
ِ ْ َ‫ك‬ُ ُ ‫ن‬‫ا‬‫م‬ ‫ي‬
ْ َ ‫أ‬ ْ
‫ت‬ َ
‫ك‬ َ ‫ل‬‫م‬َ َ َ ِ ِ ‫ار ْال ُ ِ َ ه ِ ِ ِ َ ِ َ ِ ه‬
‫ا‬ ‫م‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ب‬‫س‬ ‫ال‬ ‫ْن‬ ‫ب‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ب‬ ْ
‫ن‬ ‫ج‬ ْ
‫ال‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫اح‬ ‫ص‬ ‫ال‬ ‫و‬ ‫ب‬ ُ ‫ن‬ ‫ج‬ ِ ‫َو ْال َج‬

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan
berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang memiliki hubungan kerabat dan tetangga yang bukan kerabat,
teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (QS. An Nisa, 4: 36)

Syaikh Abdurrahman As Sa’di menjelaskan ayat ini: “Tetangga yang lebih dekat
tempatnya, lebih besar haknya. Maka sudah semestinya seseorang mempererat
hubungannya terhadap tetangganya, dengan memberinya sebab-sebab hidayah, dengan
sedekah, dakwah, lemah-lembut dalam perkataan dan perbuatan serta tidak memberikan
gangguan baik berupa perkataan dan perbuatan.

Dalam kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, Islam bahkan telah menggariskan


ketentuan pergaulan muslim dengan non muslim secara bijak. Allah Ta’ala berfirman,

َ‫َّللا‬ ُ ‫ار ُك ْم أ َ ْن تَبَ ُّرو ُه ْم َوت ُ ْق ِس‬


‫طوا إِلَ ْي ِه ْم إِ هن ه‬ ِ ‫َّللاُ َع ِن الهذِينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم فِي الد‬
ِ َ‫ِين َولَ ْم ي ُْخ ِر ُجو ُك ْم ِم ْن ِدي‬ ‫َال يَ ْن َها ُك ُم ه‬
َ‫ِطين‬ِ ‫ي ُِحبُّ ْال ُم ْقس‬

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah,
60: 8)
Ketujuh, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek as-siyasah (politik).

Di dalam ajaran Islam, perkara agama tidak dapat dipisahkan dengan perkara
kehidupan manusia dalam seluruh aspeknya. Termasuk masalah as-siyasah. Hal ini
tergambar dalam firman Allah Ta’ala berikut ini,

‫ف الهذِينَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم َولَيُ َم ِكن هَن‬ ِ ‫ت لَيَ ْست َْخ ِلفَنه ُه ْم ِفي ْاأل َ ْر‬
َ َ‫ض َك َما ا ْست َْخل‬ ‫ع ِملُوا ال ه‬
ِ ‫صا ِل َحا‬ َ ‫َّللاُ الهذِينَ آ َ َمنُوا ِم ْن ُك ْم َو‬
‫َو َعدَ ه‬
َ‫ش ْيئًا َو َم ْن َكفَ َر بَ ْعدَ ذَلِك‬ َ ‫ضى لَ ُه ْم َولَيُبَ ِدلَنه ُه ْم ِم ْن بَ ْع ِد خ َْوفِ ِه ْم أ َ ْمنًا يَ ْعبُدُونَنِي َال يُ ْش ِر ُكونَ ِبي‬ ْ ‫لَ ُه ْم دِينَ ُه ُم الهذِي‬
َ َ ‫ارت‬
ْ
َ‫فَأولَئِكَ ُه ُم الفَا ِسقُون‬ ُ

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum
mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah
diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka,
sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembahku-
Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-
Nuur, 24: 55)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat ini merupakan janji Allah Ta’ala untuk
menjadikan umat Muhammad menjadi pemimpin bumi, pemimpin manusia dan penguasa
mereka.

Ustadz Imam Fauzi dalam tulisannya yang berjudul: Hubungan Pemimpin dan
Rakyat, mengatakan: ”Khilafah Islam (kepemimpinan Islam, red.) tidaklah hanya
bermakna kemenangan, penguasaan dan kepemilikan. Akan tetapi khilafah yang
sesungguhnya itu ialah kesempatan untuk melakukan ishlah (perbaikan), ta’mir
(pemakmuran), dan bina’ (pembangunan) dalam rangka realisasi program yang telah
Allah tetapkan bagi perjalanan manusia di atas dunia ini.”

Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa khilafah di muka bumi adalah kemampuan
untuk membangun dan memakmurkan bumi, bukan untuk menghancurkan dan
membinasakan; untuk menegakkan keadilan dan ketenteraman bukan untuk menzalimi
dan menindas lawan. Khilafah adalah peluang untuk menaikkan derajat kemanusiaan,
bukan untuk menjatuhkan manusia kepada tingkatan hewan.

Diantara tujuan pokok siyasah Islam terungkap dalam firman Allah Ta’ala berikut,

ِ ‫وف َونَ َه ْوا َع ِن ْال ُم ْن َك ِر َو ِ ه‬


ُ‫َّلل َعاقِبَة‬ ِ ‫الز َكاة َ َوأ َ َم ُروا بِ ْال َم ْع ُر‬ ‫ض أَقَا ُموا ال ه‬
‫ص ََلة َ َوآَت َُوا ه‬ ِ ‫الهذِينَ إِ ْن َم هكنها ُه ْم فِي ْاأل َ ْر‬
ِ ‫ْاأل ُ ُم‬
‫ور‬
“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah
dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. Al
Hajj, 22: 41)

Yakni mengokohkan peribadahan kepada Allah Ta’ala, yang disimbolkan dengan


menegakkan shalat, mewujudkan kepedulian sosial dan kesejahteraan yang disimbolkan
dengan penunaian zakat, dan menjalankan kontrol sosial yang disimbolkan dengan amar
ma’ruf nahi munkar.

Islam memerintahkan kepada para pemimpin untuk memelihara amanah yang


dibebankan kepadanya dan menetapkan hukum secara adil. Sementara itu rakyat harus
taat kepada ulil amri yang berasal dari mereka sendiri dengan syarat ulil amri tersebut
telah mentaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka pun menjadikan ketaatan kepada ulil
amri sebagai tahapan lanjutan dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Selain itu,
mereka juga diharuskan meredam perselisihan dengan cara mengembalikannya kepada
konstitusi syar’i, yakni kepada Allah dan Rasul-Nya yakni Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terangkum dalam firman-Nya,

‫اس أ َ ْن ت َ ْح ُك ُموا بِ ْالعَ ْد ِل إِ هن ه‬


ُ ‫َّللاَ نِ ِع هما يَ ِع‬
‫ظ ُك ْم ِب ِه‬ ِ ‫َّللاَ يَأ ْ ُم ُر ُك ْم أ َ ْن ت ُ َؤدُّوا ْاأل َ َمانَا‬
ِ ‫ت إِلَى أ َ ْه ِل َها َوإِذَا َح َك ْمت ُ ْم بَيْنَ النه‬ ‫إِ هن ه‬
ُ‫سو َل َوأُو ِلي ْاأل َ ْم ِر ِم ْن ُك ْم فَإِ ْن تَنَازَ ْعت ْم‬ ُ ‫الر‬ َ
‫َّللاَ َوأ ِطيعُوا ه‬ َ ُ َ ‫ه‬
‫يرا يَا أيُّ َها الذِينَ آ َمنوا أ ِطيعُوا ه‬ َ ً ‫ص‬ِ َ‫س ِميعًا ب‬ َ
َ َ‫َّللاَ كان‬ ‫إِ هن ه‬
ً ‫سنُ ت َأ ْ ِو‬
‫يَل‬ َ ْ‫اَّلل َو ْاليَ ْو ِم ْاْلَ ِخ ِر ذَلِكَ َخي ٌْر َوأَح‬
ِ ‫سو ِل إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِ ه‬ ُ ‫الر‬ ِ ‫ش ْيءٍ فَ ُردُّوهُ إِلَى ه‬
‫َّللا َو ه‬ َ ‫فِي‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa, 4: 58-59)

Oleh karena itu, surat An-Nisa ayat 58-59 ini telah dijadikan landasan utama oleh
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menulis kitabnya As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi
Ishlahir Ra’i war Ra’iyyah.

Masalah urgensi kepemimpinan dan siyasah pun tergambar dalam hadits-hadits


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diantaranya adalah disebutkan di dalam hadits dari
Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
‫ض هإال أ َ هم ُروا َعلَ ْي ِه ْم أ َ َحدَ ُه ْم‬
ِ ‫الَ يَ ِح ُّل ِلثََلَث َ ٍة يَ ُك ْونُ ْونَ بِفََلَةٍ ِمنَ األ َ ْر‬.

“Tidak boleh bagi tiga orang yang berada di padang pasir (tanah yang kosong) kecuali
mereka mengangkat salah seorang sebagai amir.” (HR Ahmad)

Diriwayatkan juga,

‫سفَ ٍر فَ ْليُ َؤ ِم ُروا أ َ َحدَ ُه ْم‬


َ ‫إِذَا خ ََر َج ث َ ََلثَةٌ فِي‬

“Apabila ada tiga orang yg keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaknya mereka
menunjuk salah seorang dari mereka sebagai pemimpin” (HR. Abu Daud No.2241).

Jika urusan safar saja Islam ikut mengambil bagian untuk menetapkan adanya pemimpin,
maka tidak syak lagi bagi urusan yang lebih urgen dan lebih besar dari itu seperti
kenegaraan. Maka, adalah hal yang mustahil Islam luput dari hal-hal besar seperti politik
dan negara.

Hadits lain,

ُ‫ َو َم ْن أَهَانَهُ أَهَانَهُ هللا‬،ُ‫ فَ َم ْن أ َ ْك َر َمهُ أ َ ْك َر َمهُ هللا‬،‫ض‬ َ ‫س ْل‬


ِ ‫طانُ ِظ ُّل هللاِ فِي ْاأل َ ْر‬ ُّ ‫ال‬.

“Sulthan (pemimpin kaum muslimin) adalah naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa
yang memuliakannya, maka Allah akan muliakan pula ia. Dan barangsiapa yang
menghinakannya, maka Allah akan hinakan pula ia” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
‘Aashim no. 1024; hasan lighairihi).

Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits ini hanyalah gambaran umum manhaj Islam yang
berkaitan dengan siyasah. Pembahasan rinci tentang hal ini telah banyak ditulis oleh para
ulama Islam sejak lama, misalnya Imam Abul Hasan Al Mawardi menyusun kitab Al-
Ahkam As-Sulthaniyah. Begitu pula Imam Abu Ya’ala dengan judul yang sama. Imam Al
Haramain menyusun kitab Al-Ghiyats. Imam Ibnu Taimiyah menyusun kitab As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah. Sedangkan muridnya, Imam Ibnul Qayyim menyusun kitab Ath-Thuruq
Al Hukmiyah. Imam As Suyuthi menyusun kitab Al-Asathin fi ‘Adamil Muji’ As Salathin.
Ibnu Syidad menyusun kitab An-Nawadir As-Sulthaniyah, dan lain sebagainya.

Kedelapan, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek al-iqtishadi (ekonomi).

Islam menghargai aktivitas ekonomi. Bahkan menyebutnya sebagai bagian dari


amal fi sabilillah, seperti diungkapkan dalam hadits berikut ini,
ِ ‫س ْو ِل هللاِ ص ِم ْن َجلَ ِد ِه َو نَش‬
،‫َاط ِه‬ ُ ‫اب َر‬ ُ ‫ص َح‬ ْ َ‫ َم هر َعلَى النهبِي ِ ص َر ُج ٌل فَ َرأَى ا‬:َ‫ب ب ِْن عُجْ َرة َ قَال‬ ِ ‫َع ْن َك ْع‬
‫َارا‬
ً ‫صغ‬ ِ ‫ ا ِْن َكانَ خ ََر َج يَ ْسعَى َعلَى َولَ ِد ِه‬:‫هللا ص‬ ِ ‫س ْو ُل‬ ُ ‫ فَقَا َل َر‬،‫هللا‬ َ ‫هللا لَ ْو َكانَ هذَا ِفى‬
ِ ‫س ِب ْي ِل‬ ِ ‫س ْو َل‬ ُ ‫ يَا َر‬:‫فَقَالُ ْوا‬
‫ َو ا ِْن َكانَ خ ََر َج‬،‫هللا‬ِ ‫سبِ ْي ِل‬ َ ‫ َو ا ِْن َكانَ خ ََر َج يَ ْسعَى َعلَى اَبَ َوي ِْن‬،ِ‫سبِ ْي ِل هللا‬
َ ‫ فَ ُه َو فِى‬،‫ش ْي َخي ِْن َك ِبي َْري ِْن‬ َ ‫فَ ُه َو فِى‬
‫ان‬ ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
‫س ِب ْي ِل ال ه‬
َ ‫ َو ا ِْن َكانَ خ ََر َج يَ ْسعَى ِريَا ًء َو ُمفَاخ ََرة ً فَ ُه َو فِى‬،‫هللا‬ َ ‫يَ ْسعَى َعلَى نَ ْف ِس ِه يُ ِعفُّ َها فَ ُه َو فِى‬.
ِ ‫س ِب ْي ِل‬

Dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Ada seorang laki-laki lewat di
hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka para shahabat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam melihat kuat dan sigapnya orang tersebut. Lalu para shahabat
bertanya, ‘Ya Rasulullah, alangkah baiknya seandainya orang ini ikut (berjuang) fi
sabilillah’. Lalu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Jika ia keluar untuk
bekerja mencarikan kebutuhan anaknya yang masih kecil, maka ia fi sabilillah. Jika ia
keluar bekerja untuk mencarikan kebutuhan kedua orang tuanya yang sudah lanjut usia
maka ia fi sabilillah. Jika ia keluar untuk bekerja mencari kebutuhannya sendiri agar
terjaga kehormatannya, maka ia fi sabilillah. Tetapi jika ia keluar untuk bekerja karena
riya’ (pamer) dan kesombongan maka ia di jalan syaithan’”. (HR. Thabrani, Shahihul
Jami’ No. 1428, dishahihkan oleh Al-Albani).

Islam menetapkan pedoman bahwa berekonomi adalah amalan mulia jika diiringi
dengan niat yang lurus dan tidak menyebabkan lalai dari peribadahan kepada
Allah Ta’ala,

ُ ُ‫ب ِفي ِه ْالقُل‬


‫وب‬ ُ ‫الز َكا ِة ۙ يَخَافُونَ يَ ْو ًما تَتَقَله‬
‫ص ََل ِة َو ِإيت َِاء ه‬ َ ‫ِر َجا ٌل َال ت ُ ْل ِهي ِه ْم ِت َج‬
ِ ‫ارة ٌ َو َال بَ ْي ٌع َع ْن ِذ ْك ِر ه‬
‫َّللا َو ِإقَ ِام ال ه‬
‫صار‬ َ ‫َو ْاأل َ ْب‬

“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut pada hari
(pembalasan) yang (pada saat itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-
Nur, 24:37).

Bahkan Allah Ta’ala memerintahkan aktivitas ekonomi ini dapat berjalan


sebagaimana mestinya dan tidak menghendaki manusia menghabiskan waktu hanya
untuk ibadah ritual. Allah Ta’ala berfirman,

‫َّللا َوذَ ُروا ْالبَ ْي َع ۚ ٰذَ ِل ُك ْم َخي ٌْر لَ ُك ْم ِإ ْن‬


ِ ‫ص ََل ِة ِم ْن يَ ْو ِم ْال ُج ُمعَ ِة فَا ْسعَ ْوا ِإلَ ٰى ِذ ْك ِر ه‬ َ ‫يَا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا ِإذَا نُود‬
‫ِي ِلل ه‬
َ‫ُك ْنت ُ ْم ت َ ْعلَ ُمون‬

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian
itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak- banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah, 62: 9-10)
Islam pun menetapkan patokan-patokan akhlak dalam berekonomi; Islam
mengharamkan kolusi dan korupsi serta sikap curang dan tamak,

َ‫اس يَ ْست َْوفُونَ َو ِإذَا َكالُو ُه ْم أ َ ْو َوزَ نُو ُه ْم ي ُْخس ُِرون‬ َ ‫َو ْي ٌل ِل ْل ُم‬
ِ ‫ط ِففِينَ الهذِينَ ِإذَا ا ْكت َالُوا َعلَى النه‬

“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang), (yaitu)
orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi,
dan apabila mereka menakar atau menimbang (untuk orang lain), mereka
mengurangi.” (QS. Al-Muthaffifin, 83: 1-3)

Tidak dibenarkan pula aktivitas ekonomi tersebut mengandung unsur riba.


Allah Ta’ala berfirman,

ِ ‫َّللاُ ْالبَ ْي َع َو َح هر َم‬


‫الربَا‬ ‫َوأ َ َح هل ه‬

“Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al-Baqarah, 2: 275).

Salah satu prinsip manhaj Islam berkaitan dengan ekonomi yang tidak boleh
dilupakan adalah prinsip bergulirnya harta secara merata. Hal ini disebutkan dalam
firman Allah Ta’ala,

ِ َ‫َك ْي َال يَ ُكونَ دُولَةً بَيْنَ ْاأل َ ْغنِي‬


‫اء ِم ْن ُك ْم‬

“Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kalian.” (QS. Al-Hasyr, 59: 7).

Islam menghendaki agar harta tidak beredar diantara orang-orang kaya saja,
artinya diperlukan adanya pemerataan harta dalam kegiatan distribusi. Jadi harta itu
bukan milik pribadi sepenuhnya, akan tetapi di dalam ssebagian harta kita itu ada hak
milik orang muslim lainnya yang tidak mampu.

Islam menekankan perlunya membagi kekayaan kepada masyarakat melalui


kewajiban membayar zakat, mengeluarkan infaq, serta adanya hukum waris, dan wasiat
serta hibah. Aturan ini diberlakukan agar tidak terjadi konsentrasi harta pada sebagian
kecil golongan saja. Hal ini berarti pula agar tidak terjadi monopoli dan mendukung
distribusi kekayaan serta memberikan latihan moral tentang pembelanjaan harta secara
benar.[5]

Kesembilan, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek al-askari (kemiliteran).


Islam memerintahkan agar umat ini selalu berada dalam kondisi siap siaga dan
mampu mempersiapkan kekuatan sehingga musuh merasa gentar.

‫َّللا َو َعد هُو ُك ْم َوآخ َِرينَ ِم ْن دُونِ ِه ْم َال‬ ِ ‫اط ْال َخ ْي ِل ت ُ ْر ِهبُونَ ِب ِه َعد هُو ه‬
ِ َ‫ط ْعت ُ ْم ِم ْن قُ هو ٍة َو ِم ْن ِرب‬ َ َ ‫َوأ َ ِعدُّوا لَ ُه ْم َما ا ْست‬
ْ ُ ‫ف ِإلَ ْي ُك ْم َوأ َ ْنت ُ ْم َال ت‬
َ‫ظلَ ُمون‬ ِ ‫سبِي ِل ه‬
‫َّللا ي َُو ه‬ َ ‫ش ْيءٍ فِي‬ َ ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم ُه ْم ۚ َو َما ت ُ ْن ِفقُوا ِم ْن‬
‫ت َ ْعلَ ُمونَ ُه ُم ه‬

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan
dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu
menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu
tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada
jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya
(dirugikan).” (QS. Al-Anfal, 8: 60)

Kekuatan militer harus dipersiapkan guna menjaga kehormatan, tanah air, dan
wilayah kaum muslimin. Allah Ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk berperang
manakala ada pihak-pihak yang melanggar perjanjian damai dan memiliki niat jahat
terhadap umat Islam,

َ‫ُور قَ ْو ٍم ُمؤْ ِمنِين‬


َ ‫صد‬ُ ‫ف‬ ُ ‫َّللاُ بِأ َ ْيدِي ُك ْم َوي ُْخ ِز ِه ْم َويَ ْن‬
ِ ‫ص ْر ُك ْم َعلَ ْي ِه ْم َويَ ْش‬ ‫قَاتِلُو ُه ْم يُعَ ِذ ْب ُه ُم ه‬

“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menghancurkan mereka dengan (perantaraan)


tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap
mereka, serta melegakan hati orang-orang yang beriman.” (QS. At-Taubah, 9: 14)

Kekuatan militer dibutuhkan untuk menangkal upaya menjatuhkan kehormatan,


tempat-tempat suci agama, dan tanah air.

َ‫َّللاَ َال ي ُِحبُّ ْال ُم ْعتَدِين‬


‫َّللا الهذِينَ يُقَاتِلُونَ ُك ْم َو َال ت َ ْعتَدُوا إِ هن ه‬ َ ‫َوقَاتِلُوا فِي‬
ِ ‫سبِي ِل ه‬

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah
kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah, 2: 190)

Kekuatan militer harus diperkokoh agar umat ini mampu mencegah terjadinya
fitnah. Yaitu intimidasi dalam hal agama,

‫عد َْوانَ ِإ هال َعلَى ه‬


َ‫الظا ِل ِمين‬ ُ ‫َّلل فَإِ ِن ا ْنت َ َه ْوا فَ ََل‬ ِ َ‫َوقَاتِلُو ُه ْم َحتهى َال ت َ ُكونَ فِتْنَةٌ َويَ ُكون‬
ِ ‫الدينُ ِ ه‬
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu
hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak
ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah, 2:
193)

Kekuatan militer juga diperlukan guna melindungi penyebaran dakwah Islam.


Siapa saja yang menghalangi jalan dakwah haruslah diperangi.

‫ير‬
ٌ ‫ص‬ِ َ‫َّللاَ بِ َما يَ ْع َملُونَ ب‬ ِ ‫الدينُ ُكلُّهُ ِ ه‬
‫َّلل فَإِ ِن ا ْنت َ َه ْوا فَإِ هن ه‬ ِ َ‫َوقَاتِلُو ُه ْم َحتهى َال ت َ ُكونَ فِتْنَةٌ َويَ ُكون‬

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha
Melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfal, 8: 39)

Dengan kekuatan militer, berbagai gangguan terhadap umat dan dakwah Islam
harus disingkirkan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Maksudnya, menurut An-
Nasafi dan Al-Maraghi, adalah tegaknya agama Islam dan sirnanya agama-agama yang
batil.

Kesepuluh, Islam adalah minhajul hayah dalam aspek al-jina’i (hukum pidana)

Risalah Islam telah menentukan hukum hudud dan ta’zir bagi pelanggaran-
pelanggaran jinayah (pidana). Hudud adalah hukuman-hukuman atas kejahatan yang
telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, diantaranya adalah:

1. Membunuh hukumannya adalah qishash atau diyat.

ُ‫ي لَه‬ ُ ‫اص فِي ْالقَتْلَى ْال ُح ُّر بِ ْال ُح ِر َو ْالعَ ْبدُ بِ ْالعَ ْب ِد َو ْاأل ُ ْنثَى بِ ْاأل ُ ْنثَى فَ َم ْن‬
َ ‫ع ِف‬ ُ ‫ص‬ َ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ْال ِق‬
َ ِ‫يَا أَيُّ َها الهذِينَ آ َمنُوا ُكت‬
ُ‫يف ِم ْن َربِ ُك ْم َو َر ْح َمةٌ فَ َم ِن ا ْعتَدَى بَ ْعدَ ذَلِكَ فَلَه‬ ٌ ‫ان ذَلِكَ ت َ ْخ ِف‬ ٍ ‫س‬َ ْ‫وف َوأَدَا ٌء ِإلَ ْي ِه ِبإِح‬ ِ ‫ع ِب ْال َم ْع ُر‬ َ ‫ِم ْن أ َ ِخي ِه‬
ٌ ‫ش ْي ٌء فَ ِاتبَا‬
َ‫ب لَعَله ُك ْم تَتهقُون‬ ُ
ِ ‫اص َحيَاة ٌ يَا أو ِلي ْاأل َ ْلبَا‬ ِ ‫ص‬ َ ‫َعذَابٌ أ َ ِلي ٌم َولَ ُك ْم فِي ْال ِق‬

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan
dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan
cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang
sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai
orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah, 2: 178-179)
2. Mencuri hukumannya adalah potong tangan kalau semua syaratnya terpenuhi.

ٌ ‫َّللاُ َع ِز‬
‫يز َح ِكي ٌم‬ ‫َّللا َو ه‬ َ ‫طعُوا أ َ ْي ِديَ ُه َما َجزَ ا ًء بِ َما َك‬
ِ ‫سبَا نَ َك ًاال ِمنَ ه‬ َ ‫ارقَةُ فَا ْق‬
ِ ‫س‬‫ار ُق َوال ه‬
ِ ‫س‬‫َوال ه‬

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Maidah, 5: 38)

3. Berzina hukumannya adalah 100 kali cambuk, kalau semua persyaratan terpenuhi.

‫َّللا إِ ْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُونَ بِ ه‬


ِ‫اَّلل‬ ِ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ِمائَةَ َج ْلدَةٍ ۖ َو َال ت َأ ْ ُخ ْذ ُك ْم بِ ِه َما َرأْفَةٌ فِي د‬
ِ ‫ِين ه‬ ‫الزانِيَةُ َو ه‬
ِ ‫الزانِي فَاجْ ِلدُوا ُك هل َو‬ ‫ه‬
َ‫طائِفَةٌ ِمنَ ْال ُمؤْ ِمنِين‬َ ‫َو ْاليَ ْو ِم ْاْل ِخ ِر ۖ َو ْليَ ْش َه ْد َعذَابَ ُه َما‬

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan
hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan
orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nur, 24: 2)

Ini adalah hukuman zina bagi mereka yang tidak pernah menikah. Sedangkan hukuman
zina bagi mereka yang sudah menikah adalah hukuman rajam.

‫ الَ يَ ِح ُّل دَ ُم ْام ِر ٍ ُم ْس ِل ٍم يَ ْش َهدُ أ َ ْن‬:‫س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:َ‫ي هللاُ َع ْنهُ قَال‬ ِ ‫َع ِن اب ِْن َم ْسعُ ْو ٍد َر‬
َ ‫ض‬
‫ار ُق‬ َ ‫ف‬ ‫م‬ ْ
‫ال‬ ‫ه‬‫ن‬ ‫ي‬
ْ
ِ ُ ِِ ِِ ِ َ ِ ِ ُ‫د‬‫ل‬ ُ‫ك‬ ‫ار‬‫ه‬ ‫ت‬‫ال‬‫و‬ ‫س‬ ْ
‫ف‬ ‫ه‬ ‫ن‬‫ال‬ ‫ب‬ ‫س‬ ْ
‫ف‬ ‫ه‬ ‫ن‬ ‫ال‬‫و‬ ،‫ي‬
َ ِ ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ه‬
‫الز‬ ‫ب‬
ُ ِ ‫ي‬‫ه‬ ‫ث‬ ‫ال‬ :ٍ
‫ث‬ َ ‫َل‬ َ ‫ث‬ ‫ى‬ ‫د‬ ‫إ‬ ‫ب‬ ‫ه‬
َ ْ‫ِ ِ ِ ِح‬‫ال‬‫إ‬ ‫هللا‬ ُ
‫ل‬ ‫و‬ْ ُ َ ‫الَ ِإلَهَ ِإاله هللاُ َوأ َ ِن‬
‫س‬ ‫ر‬ ‫ي‬
‫] ِل ْل َج َما َع ِة [رواه البخاري ومسلم‬

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu di antara
tiga perkara: orang yang telah menikah berzina, jiwa dengan jiwa, dan orang yang
meninggalkan agamanya berpisah dari jama’ah“ (HR. Bukhari dan Muslim).

Hukuman rajam tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an karena ayatnya sudah di-
nasakh (dihapus), tetapi hukumnya tetap berlaku sebagaimana dicontohkan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Hukuman zina ini -juga hukum pidana lainnya- hanya dijatuhkan jika perkaranya
disampaikan ke hadapan hakim. Namun jika dirahasiakan, urusannya diserahkan kepada
Allah Ta’ala. Hal ini berdasarkan hadist Zaid bin Aslam, bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫َاب ه‬
ِ‫َّللا‬ َ ‫ص ْف َحتَهُ نُ ِق ْم َعلَ ْي ِه ِكت‬
َ ‫فَإِنههُ َم ْن يُ ْبدِي لَنَا‬

“Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan


atasnya hukum Allah.” (Hadits Shahih Riwayat Malik dan Ahmad)

Setelah menerapkan hukum rajam kepada Al-Aslami (seseorang dari bani Aslam),
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫َّللا فَإِنههُ َم ْن يُ ْبد ِْلنَا‬


‫ص ْف َحتَهُ نُ ِق ْم‬ ِ ‫َّللا َو ْليُتُبْ ِإلَى ه‬
ِ ‫َّللاُ َع ْن َها فَ َم ْن أَلَ هم فَ ْليَ ْستَتِ ْر بِ ِستْ ِر ه‬ َ ُ ‫اجْ تَنِبُوا َه ِذ ِه ْالقَاذ‬
‫ورة َ الهتِي نَ َهى ه‬
‫َّللا َع هز َو َج هل‬
ِ ‫َاب ه‬ َ ‫َعلَ ْي ِه ِكت‬

“Jauhilah perbuatan menjijikkan yang Allah larang ini. Siapa yang pernah
melakukannya, hendaknya dia merahasiakannya dengan tabir yang Allah berikan
kepadanya, dan bertaubat kepada Allah. Karena siapa yang kesalahannya dilaporkan
kepada kami, maka kami akan tegakkan hukuman seperti dalam kitab Allah.” (HR.
Hakim 3/272, al-Baihaqi dalam as-Shughra 2719 dan dishahihkan ad-Dzahabi).

Oleh karena itu, bagi orang yang mengetahui terjadinya tindakan jinayah, diperbolehkan
baginya untuk mengingatkan dan menasehati pelakunya agar segera bertaubat dan tidak
melaporkannya kepada hakim/pengadilan. Dalilnya adalah hadist Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda.

ِ‫َّللاُ فِي الدُّ ْنيَا َو ْاْل ِخ َرة‬


‫ست ََرهُ ه‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫ست ََر ُم ْس ِل ًما‬

“Barang siapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia
dan akhirat “ (HR Muslim)

4. Hukuman menuduh zina hukumannya adalah 80 kali cambuk.

‫ش َهادَة ً أَبَدًا‬ ُ ‫ت ث ُ هم لَ ْم يَأْتُوا بِأ َ ْربَعَ ِة‬


َ ‫ش َهدَا َء فَاجْ ِلدُو ُه ْم ث َ َمانِينَ َج ْلدَة ً َو َال ت َ ْقبَلُوا لَ ُه ْم‬ َ ‫َوالهذِينَ يَ ْر ُمونَ ْال ُم ْح‬
ِ ‫صنَا‬
َ‫َوأُولَئِكَ ُه ُم ْالفَا ِسقُون‬

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh
itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-
lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur, 24: 4)
5. Hukuman kejahatan serangan terhadap ketentraman umum, masyarakat atau
negara adalah hukuman mati, salib potong kaki, pembuangan, dan lain-lain; kalau
syarat-syaratnya terpenuhi.

‫ط َع أ َ ْيدِي ِه ْم‬
‫صلهبُوا أ َ ْو تُقَ ه‬
َ ُ‫سادًا أ َ ْن يُقَتهلُوا أ َ ْو ي‬
َ َ‫ض ف‬ِ ‫سولَهُ َويَ ْسعَ ْونَ فِي ْاأل َ ْر‬ ‫اربُونَ ه‬
ُ ‫َّللاَ َو َر‬ ِ ‫إِنه َما َجزَ ا ُء الهذِينَ يُ َح‬
‫ي فِي الدُّ ْنيَا َولَ ُه ْم فِي ْاْل ِخ َرةِ َعذَابٌ َع ِظي ٌم‬ ٌ ‫ض ذَلِكَ لَ ُه ْم ِخ ْز‬ِ ‫َوأ َ ْر ُجلُ ُه ْم ِم ْن ِخ ََلفٍ أ َ ْو يُ ْنفَ ْوا ِمنَ ْاأل َ ْر‬

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-


Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri
(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” (QS. Al-Maidah, 5: 33)

Sedangkan ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak ditentukan oleh


Allah Ta’ala. Hukuman ini bersifat pengajaran terhadap berbagai perbuatan yang tidak
dihukum dengan hukuman hudud, atau hukuman terhadap kejahatan yang sudah pasti
ketentuan hukumnya hanya saja syaratnya tidak cukup (misalnya saksi tidak cukup dan
sebagainya).

Pelaksanaan hukuman ta’zir ini diserahkan kepada penguasa yang akan


menjatuhkan hukuman. Hakim atau penguasa memiliki kebebasan untuk menetapkan
hukuman ta’zir kepada pelaku tindak pidana yang hukumannya tidak disebutkan dalam
Al-Quran ini.

Satu hal yang harus diperhatikan bahwa penegakkan hukum jinayah ini
ditegakkan jika pemerintah telah benar-benar melakukan tindakan preventif dan menutup
jalan-jalan menuju perbuatan pidana. Had pencurian termasuk ayat yang terakhir turun,
yakni setelah tonggak-tonggak masyarakat Islam tegak (ukhuwah, takaful (saling
menanggung), ta’awun (tolong-menolong), zakat, membantu fakir-miskin, melarang
kezaliman, dan lain-lain).

Begitupun had zina ditegakkan di dalam masyarakat Islam pada masa lalu setelah
syariat yang berisi tindakan preventif ke arah zina telah ditegakkan, yaitu: larangan
penyebaran berita tuduhan zina (24: 19), etika berkunjung (24: 7), izin memasuki kamar
ortu (24: 58), menundukkan pandangan dan aturan berpenampilan (24: 30 – 31), perintah
menikah (24: 32).

D. SUMBER HUKUM ISLAM


Kehadiran hukum islam ternyata memiliki maksud dan tujuan. Salah satunya
untuk menyatukan perbedaan. Mengingat banyak interpretasi tentang ajaran islam.
Interpretasi yang timbul inilah yang memicu terjadi perbedaan pendapat, konflik,
pemahaman radikal dan sifat keegoisan masing-masing golongan.
Maka dari itu, hukum islam hadir sebagai penengah. Kenapa penengah? Karena
hukum islam disusun berdasarkan pada sumber hukum islam. Adapun sumber hukum
islam yang digunakan, mengacu sebagai berikut.
D.1 Al-Qur’an

Secara bahasa (etimologi) :

Al-Quran berasal dari bahasa arab yaitu qur’an, dimana kata “qur’an” – – sendiri
merupakan akar kata dari ‫ قرآنا يقرأ قرأ‬. Kata ‫ قرآنا‬secara bahasa berarti bacaan atau sesuatu
yang dibaca berulang-ulang. Arti ini mempunyai makna anjuran kepada umat Islam untuk
membaca Alquran. Alquran juga bentuk mashdar dari ‫ قراءة‬yang berarti menghimpun dan
mengumpulkan. Dikatakan demikian sebab seolah-olah Alquran menghimpun beberapa
huruf, kata, dan kalimat secara tertib sehingga tersusun rapi dan benar.
Secara istilah (Terminologi) :

“Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad ‫عليه هللا صلى‬
‫وسلم‬, dengan Firman-Nya yang merupakan sebuah mukjizat, dibuka dengan surat al-
Fatihah, dan ditutup dengan surat an-Naas, yang tertulis di dalam Mushaf, dan dinukil
secara mutawatir”.

D.2. Hadits
Hadis menurut pengertian bahasa mempunyai beberapa arti, yaitu “jadid” (sesuatu yang
baru) lawan kata dari “qadiim” (sesuatu yang lama). “qarib” (dekat) lawan kata dari
“ba’id” (jauh), dan “khabar” (berita) yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan,
dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.

Sedangkan hadis menurut istilah, ada perbedaan pendapat antara ahli Hadis dan
Ahli Ushul. Menurut ahli Hadis ialah “seluruh perkataan, perbuatan, dan hal ihwal
tentang Nabi Muhammad SAW. sedangkan menurut yang lainnya ialah segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi, baik yang berupa perkataan, perbatan, maupun ketetapannya”.

Sedangkan ahli Ushul, definisi hadis ialah “semua perkataan, perbuatan, taqrir
Nabi Muhammad SAW. yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya”. 2

2
Nur Kholis, Kuliah Ulumul Hadis: pengantar Studi Hadith, (Yogyakarta: Semesta Ilmu, 2013) cet. 1, hlm. 1-
3.
Dalam sejarah penghimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan
yang agak lamban dan bertahap dibandingkan perkembangan kodifikasi Al-Qur’an. Hal
ini wajar saja karena Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW. sudah tercatat
seluruhnya, sekalipun sangat sederhana, dan mulai dibukukan pada masa Abu Bakar,
Khalifah pertama dari Khulafa’ ar-Rasyidiin sekalipun dalam penyempurnaannya
dilakukan pada masa Utsman bin ‘Affan yang disebut dengan tulisan Utsmani.
Sedangkan penulisan hadis pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa
pembukuannya pun terlambat sampai pada masa abad ke-2 hijriyah dan mengalami
kejayaan pada abad ke-3 hijriyah. .3

3
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012) cet.1, hlm. 46
BAB III

PENUTUP

1. Dinul Islam adalah minhajul hayah (pedoman hidup) bagi seluruh umat manusia. Ia
adalah ajaran yang sempurna yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Hal ini ditegaskan dalam
firman-Nya, dalam surat Al Maidah ayat 3.

2. Manhaj al-hayah adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau
sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaiknya
meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah
(mandub), mubah, makruh, atau haram. Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk
menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan
manusia sepanjang hidupnya.

3. Islam memiliki 3 tingkatan : Islam-Iman-Ihsan

4. Sumber hukum islam ada 2 : Al-Qur’an dan As-Sunnah


DAFTAR PUSTAKA

Yudi. 2020, Apa itu manhaj Al hayat. https://www.islampos.com/apa-itu-manhaj-al-


hayat-223854/

MUI. 2020, Apa Makna Islam. https://mui.or.id/tanya-jawab-keislaman/28357/apa-


makna-islam/

Muhammad, Ekonomi Mikro dalam Prespektif Islam (Yogyakarta : PBFE-Yogyakarta,


2004 hal. 310).

Tarbawiyah. 2018, Minhajul Hayah (pedoman hidup). https://tarbawiyah.com/minhajul-


hayah-pedoman-hidup/

Mianoki, Dr Adika. 2021. Meraih Derajat Ihsan. https://muslim.or.id/4101-meraih-


derajat-ihsan.html

Khon, Abdul Majid. 2012. Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah) cet.1

Nur Kholis. 2013 Kuliah Ulumul Hadis: pengantar Studi Hadith, (Yogyakarta: Semesta
Ilmu) cet. 1

Anda mungkin juga menyukai