Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,
bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan
kekayaan harta benda lainnya. Karenanya, anak sebagai amanah Tuhan harus
senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat, martabat,
dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-hak Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia telah
mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara untuk memberikan
perlindungan terhadap anak.
Anak adalah pewaris sekaligus penerus garis keturunan keluarga. Oleh
karena itu, apabila dalam suatu perkawinan belum atau tidak dikarunia anak, maka
diadakan pengangkatan anak atau adopsi. Pengertian tentang adopsi dapat dilihat
secara etimologi dan terminologi. Secara etimologi, adopsi berasal dari kata
adoptie (bahasa Belanda) atau adopt (adoption) bahasa Inggris yang berarti
pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam bahasa Arab disebut tabanni
yang menurut Muhammad Yunus diartikan sebagai mengambil anak angkat.
Pengertian secara terminologi, memberikan definisi pengangkatan anak adalah
suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan
sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang
disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku di masyarakat yang
bersangkutan. Disamping itu pengertian anak angkat adalah seorang yang bukan
keturunan suami istri, namun ia diambil, dipelihara, dan diperlakukan seperti
halnya anak keturunan sendiri.
Pengangkatan anak dilakukan dengan beberapa alasan, antara lain:
2

1. Adanya beberapa kepercayaan yang masih kuat di beberapa daerah, yang


menyatakan bahwa dengan jalan mengangkat anak nantinya akan
mendapat keturunan atau dengan perkataan lain mengangkat anak hanya
sebagai pancingan untuk mendapat keturunan sendiri.
2. Dalam suatu perkawinan dimana pasangan suami istri itu tidak mendapat
keturunan sehingga mereka khawatir akan punahnya garis keturunan
mereka, oleh karena itu mereka mengangkat anak.
3. Alasan ekonomis, dimana keluarga sianak sudah tidak sanggup lagi
memelihara dan mendidiknya, karena itu diberi kesempatan pada keluarga
lain untuk mendidiknya dan memelihara anak itu dengan jalan
mengadopsinya.
4. Karena alasan peperangan, dimana banyak anak-anak yang terlantar
karena kehilangan orangtuanya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Adopsi?
2. Bagaimanakah pengaturan mengenai lembaga pengangkatan anak dalam
sistem hukum Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini agar mahasiswa mengetahui pengertian
Adopsi, bagaimana hukum dan etika yang berlaku dalam adopsi.

D. Batasan Masalah
Kami membatasi pembahasan masalah agar tidak terlalu luas dan terfokus
pada masalah dan tujuan dalam pembuatan makalah ini. Maka kami membatasi
masalah pada ruang lingkup Adopsi.
3

E. Manfaat Penulisan
Agar Mahasiswa mampu memahami tentang bagaimana Adopsi dan
pelksanaannnya yang benar dan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas
tentang hukum yang berlaku.
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Adopsi atau Pengangkatan anak


Pengangkatan anak terjemahan dari bahasa Inggris adoption yang
berarti mengangkat anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri
dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan
istilah adopsi yang berarti pengambilan (pengangkatan) anak orang lain
secara sah menjadi anak sendiri.
Anak yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya
disebut “pengangkatan anak” dan istilah terakhir inilah yang kemudian
dalam pembahasan akan digunakan untuk mewakili istilah adopsi.
Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan hukum keperdataan,
khususnya dalam lapangan hukum keluarga.
Menurut Hilman Kusuma, S. H mengemukakan pendapatnya
dengan mengatakan : “Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap
anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan
pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”
Kemudian dikemukakan pendapat surojo wingjodipura, S. H
dengan mengatakan : “Adopsi ( mengangkat anak ) adalah suatu perbuatan
pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa
sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu
timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada diantara
orang tua dan anak.”
5

B. Jenis-jenis Adopsi

Adopsi dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Astein, 1981 ;


Costin, 1984)

1. Adopsi Reguler
Diselenggarakan oleh masyarakat atau pelayan sosial dan mempunyai
persyaratan yang melibatkan orang tua, orang tua angkat, dan anak
yang akan diangkat. Pelayanan setelah proses adopsi membantu proses
penyesuaian antara anak dengan orang tua angkat.
2. Adopsi “Independent” (Bebas)
Adalah adopsi yang lepas dari pengawasan atau pertolongan pelayanan
yayasan sosial. Orang tua asli memberikan anaknya langsung kepada
orang tua angkat atau disimpan di tempat yang telah ditentukan, seperti
dokter atau pengacara. Adopsi bebas tidak disukai oleh kalangan
profesional karena kurang pelayanan sosialnya. Di Indonesia sendiri
pengertian adopsi bebas lebih mengarah pada adopsi yang berdasarkan
hukum adat.
3. Adopsi pasar gelap (“Black Market”)
Adopsi di pasar gelap merupakan adopsi bebas dengan cara diberikan
sejumlah uang sebagai pengganti biaya ongkos perawatan kesehatan
ibu. Seperti wanita hamil dikontrak dan sesudah lahir anaknya
diserahkan kepada pasangan yang tidak diketahui. Karena terdapat
pertukaran dengan uang bisa dikatakan sebagai penjualan bayi.

Adopsi berdasarkan kewarganegaraan orang tua angkat :


1. Domestik adoption
Pengangkatan anak antar warganegara suatu negara
2. Inter country Adoption
Pengangkatan anak penduduk asli suatu negara oleh warga negara
yang tinggal di negara lain dan selanjutnya angka pindah dari negara
6

asalnya ke negara kedua. (Committee on Adoption and Dependent


Care, 1981, Costin; 1984; Miles 1995)

C. Hak dan Kewajiban Anak Angkat


1. Hak-hak anak angkat:
a. Berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan;
b. Berhak atas nama sebagai identitas;
c. Berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi.
d. Berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh
orang tuanya;
e. Berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial;
f. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran; dan sebagainya.

2. Kewajiban anak angkat:


a. Menghormati orang tua, wali dan guru;
b. Mencintai keluarga, masyarakat dan menyayangi teman;
c. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;
d. Memunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya;
e. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

Kedudukan Anak Angkat Menurut Peraturan Pemerintah Nomor


54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Pasal 1 angka 1 PP Nomor 54 Tahun 2007 menyebutkan bahwa anak
angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan keputusan atau
penetapan pengadilan. Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
7

perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan


setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan
anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orangtua kandungnya. Orangtua angkat wajib memberitahukan kepada
anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua kandungnya.
Pemberitahuan asal-usul dan orangtua kandung tersebut dengan
memperhatikan kesiapan anak. Ketentuan ini juga diatur di dalam Pasal 40
ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Pengangkatan anak dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan adat kebiasaan artinya pengangkatan anak dilakukan dalam
satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan
dalam kehidupan bermasyarakat. Pengangkatan anak berdasarkan peratura
perundang-undangan mencakup pengangkatan anak secara langsung dan
pengangkatan anak melalui lembaga pengasuhan anak. Pengangkatan anak
berdasarkan peraturan perundang-undangan dilakukan melalui penetapan
pengadilan.
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Anak, yang disahkan pada 20
November 1959. Deklarasi ini antara lain menyebuatkan :
a. Dalam keadaan apapun anak-anak harus didahulukan dalam menerima
perlindungan dan pertolongan (Asas 8)
b. Anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk penyia-nyiaan,
kekejaman, dan penindasan. Dalam bentuk apapun, mereka tidak boleh
menjadi “bahan perdagangan”

D. Pengaturan Mengenai Lembaga Pengangkatan Anak Dalam Sistem


Hukum Indonesia
1. Hukum Adat
Sistem hukum Indonesia bersumber pada hukum adat. Dalam
hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak, seperti di Bali;
8

pengangkatan anak dikenal dengan nama angkat sentana yang


dilakukan melalui upacara pemerasan. Ambil anak, kukut anak, anak
angkat adalah suatu perbutan hukum dalam konteks hukum adat
kekeluargaan (keturunan). Apabila seorang anak telah dikukut,
dipupon, diangkat sebagai anak angkat, maka ia akan didudukkan dan
diterima dalam suatu posisi yang dipersamakan baik biologis maupun
sosial yang sebelumnya tidak melekan pada anak tersebut.
Prinsip hukum adat dalam suatu perbuatan hukum adalah terang
dan tunai. Terang ialah suatu prinsip legalitas, yang berarti perbuatan
hukum itu dilakukan di hadapan dan diumumkan didepan orang
banyak, dengan resmi secara formal, dan telah dianggap semua orang
mengetahuinya. Sedangkan kata tunai, berarti perbuatan itu akan
selesai seketika pada saat itu juga, tidak mungkin ditarik kembali.
Dilihat dari aspek hukum, pengangkatan anak menurut adat tersebut,
memiliki segi persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam
hukum barat, yaitu masuknya anak angkat kedalam keluarga orangtua
yang mengangkatnya, dan terputusnya hubungan keluarga dengan
keluarga atau orangtua kandung anak angkat. Perbedaannya didalam
hukum dat diisyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti kepada
orangtua kandung anak angkat -- biasanya berupa benda-benda yang
dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan megis.
Dilihat dari segi motivasi pengangkatan anak, dalam hukum adat
lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orangtua angkat) akan
kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang tidak
mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan
kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang
diangkat itu kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung
ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan
sanak saudaranya semula.
9

2. Hukum Islam
Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut
pendapat orang Islam keturunan itu tidak bisa diganti. Agama Islam
menganjurkan agar manusia saling tolong menolong diantara
sesamanya. Salah satu cara untuk menolong sesama adalah dengan
memelihara anak-anak atau bayi-bayi terlantar yang orangtuanya tidak
mampu. Adpsi yang dilakukan berdasarkan Hukum Islam, tidak
menjadikan anak yang diangkat mempunyai hubungan dengan
orangtua angkat seperti hubungan yang terdapat dalam hubungan
darah.
Allah mengharamkan adopsi yang bertujuan untuk meneruskan
keturunan dan menjadikan anak angkat itu seperti anak kandung.
Sebab-sebab yang mengharamkannya adalah:
a. Mencampurbaurkan peraturan Allah dalam menyusun masyarakat
dan keluarga, sehingga tidak jelas tanggung jawab manusia atas
setiap hak dan kewajibannya. Maksudnya, jika anak angkat
dianggap sebagai anak kandung berarti hubungan antara anak
angkat dengan orangtua kandungnya menjadi putus. Dalam agama
Islam, meutuskan tali kekeluargaan atau silaturrahmi haram
hukumnya, apalagi melenyapkannya, karena, hubungan darah itu
adalah dari Allah semata yang telah diatur oleh-Nya sedemikian
rupa. Selain itu, anak merupakan amanat yang diserahkan oleh
Allah kepada kedua ibu bapaknya, sehingga anak itu menjadi
tanggung jawab orangtuanya.
b. Merampas hak milik orang lain, sedangkan Allah telah membagi-
bagi rezeki setiap orang.
c. Melanggar peraturan Allah SWT tentang kekeluargaan dimana
setiap keluarga itu mempunyai kehormatan sendiri dan bergaul
sesama mereka dengan sistem hidup yang telah ditentukan oleh
Allah. Maka mencampurbaurkan orang asing (bukan mahram)
dengan keluarga kita, merupakan suatu perbuatan melanggar
10

kesopanan Islam dan kehormatan keluarga, sedangkan keluarga itu


adalah satu rahasia yang perlu dijaga, diawasi dan dapat dilindungi
kecemaran dan cacat.
d. Mengambil hak anak-anak kandung baik dalam kasih sayang
maupun dalam pemberian harta pusaka. Ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah adalah manusia bertanggung jawab terhadap
keluarganya, dan harta benda dibagikan terutama sekali untuk
anak-anak kandung.
e. Tidak membedakan yang halal dan yang haram.
f. Perkawinan adalah dasar untuk mendapatkan anak yang sah.
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat diketahui bahwa yang
bertentangan dengan ajaran Islam adalah adopsi dengan memberi
status yang sama dengan anak kandung sendiri. Jadi dalam hal ini
adopsi lebih ditekankan pada perlakuan terhadap seorang anak
dalam hal kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan
segala kebutuhannya.

3. Hukum Perdata Barat


Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) tidak
ditemukan suatu ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau anak
angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan anak diluar kawin,
yaitu seperti yang diatur dalam Buku I Bab 12 bagian ketiga BW,
tepatnya pada Pasal 280 sampai 289 yang substansinya mengatur
tentang pengakuan terhadap anak-anak diluar kawin.
Lembaga pengakuan anak diluar kawin, tidak sama dengan lembaga
pengangkatan anak. Dilihat dari segi orang yang berkepentingan,
pengakuan anak diluar kawin hanya dapat dilakukan oleh orang laki-
laki saja khususnya ayah biologis dari anak yang akan diakui.
Sedangkan dalam lembaga pengangkatan anak tidak terbatas pada ayah
biologisnya, tetapi orang perempuan atau lelaki lain yang sama sekali
tidak ada hubungan biologis dengan anak itu dapat melakukan
11

permohonan pengangkatan anak sepanjang memenuhi persyaratan


hukum.
Mengingat kebutuhan masyarakat tentang pengangkatan anak
menunjukkan angka yang meningkat, naka Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad yang isinya mengatur secara
khusus tentang lembaga pengangkatan anak tersebut guna melengkapi
Hukum Perdata Barat (BW).

E. Berdasarkan Pasal 12 PP No. 54 Tahun 2007, syarat-syarat


pengangkatan anak meliputi:
1) Syarat anak yang akan diangkat, meliputi:
a. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan
anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
2) Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12
(dua belas) tahun,sepanjang ada alasan mendesak; dan
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia
18 (delapanbelas) tahun, sepanjang anak memerlukan
perlindungan khusus.

Calon orang tua angkat harus memenuhi syarat-syarat:

a. sehat jasmani dan rohani;


b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi
55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
12

d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan


tindak kejahatan;
e. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak;
h. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau
wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam)
bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

F. Pihak yang dapat Mengajukan Adopsi


1. Pasangan Suami Istri
Ketentuan mengenai adopsi anak bagi pasangan suami istri diatur
dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran
Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan
pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial
RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk
mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan
pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-
kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku
bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
13

2. Orang tua tunggal


a. Staatblaad 1917 No. 129

Staatblaad ini mengatur tentang pengangkatan anak bagi


orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan
anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah
terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang
suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat
yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda
tersebut tidak dapat melakukannya.
Pengangkatan anak menurut Staatblaad ini hanya
dimungkinkan untuk anak laki-laki dan hanya dapat dilakukan
dengan Akte Notaris. Namun Yurisprudensi (Putusan Pengadilan
Negeri Istimewa Jakarta) tertanggal 29 Mei 1963, telah
membolehkan mengangkat anak perempuan.
b. Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini
mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara
Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang
langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat
(private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat
dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat
dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent
adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan
untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan
ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.

3. Tata cara mengadopsi


Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur
tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi
anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan
14

pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak


yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara
lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan
ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi
materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri
yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang
akan diangkat .

4. Syarat dan bentuk surat permohonan


a. Permohonan hanya dapat diterima apabila telah ada urgensi
yang memadai.
b. Permohonan dapat dilakukan secara lisan atau tertulis.
Meskipun memakai seorang kuasa, namun permohonan wajib
hadir dalam pemeriksaan sidang Pengadilan Negeri.
c. Dapat diajukan dan ditandatangani oleh pemohon atau
kuasanya.

5. Isi surat permohonan


a. Perlu secara jelas diuraikan dasar yang mendorong diajukannya
pengesahan/pengangkatan anak.
b. Permohonan dilakukan terutama untuk kepentingan calon anak
yang bersangkutan, dan digambarkan kemungkinan kehidupan
hari depan si anak setelah pengangkatan anak terjadi.
c. Isi petitum (permohonan) bersifat tinggal, yakni tidak seperti
petitum yang lain; cukup dengan “agar si anak dari B
ditetapkan sebagai anak angkat dari C” atau “agar
pengangkatan anak yang telah dilakukan permohon C terhadap
anak B yang bernama A dinyatakan sah”, tanpa ditambah
tuntutan lain seperti “agar ditetapkan anak bernama A tersebut
ditetapkan sebagai ahli waris dari C”
15

6. Beberapa ketentuan bagi perbuatan, pengangkatan anak antar WNI


yang harus dipenuhi:
a. Pengangkatan anak oleh seseorang yang terikat dalam
perkawinan/belum menikah “single parent adoption”
diperbolehkan.
b. Bila si anak dalam asuhan yayasan telah diizinkan bergerak di
bidang kegiatan pengangkatan anak.
c. Yayasan di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari
Menteri sosial atau pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut
diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

7. Pemeriksaan di Pengadilan
a. Pengadilan Negeri perlu mendengar langsung:
 Calon orang tua angkat
 Orang tua yang sah/walinya
 Badan/Yayasan yang mengasuh, bila anak berasal dari
Badan/Yayasan tersebut.
 Calon anak angkat kalau sudah bisa diajak bicara
 Pihak kepolisian setempat

b. Alat-alat bukti yang diperlukan antara lain:


 Surat-surat tentang kelahiran dan lain-lain
 Surat keterangan dari kepolisian tentang calon orang tua
angkat dan calon anak angkat

c. Putusan terhadap Permohonan Pengesahan/pengangkatan anak


merupakan “PENETAPAN”
16

8. Skema prosedur penyerahan bayi/ anak

A. Penyerahan Langsung

Orsos/ panti yang


Orang tua/ wali Instansi
diberikan izin
keluarga Sosial
mensos

B. Penyerahan Tidak Langsung


1. Identitas orang tua jelas

RS, RSB, Orsos/ panti yang


RB, Instansi diberikan izin
Puskesmas Sosial mensos

2. Identitas orang tua tidak jelas

Orang tua
yang Instansi
Kepolisian
menemuka Sosial
n

Orsos/ panti yang


diberikan izin
mensos

Orang tua yang akan mengangkat anak melalui organisasi sosial/


yayasan yang ditunjuk oleh Menteri Sosial harus membuat permohonan
pengangkatan anak yang ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Sosial setempat disertai dengan syarat-syarat yang telah
ditentukan. Selanjutnya dari organisasi sosial mengadakan wawancara
17

dengan calon orang tua angkat tentang persyaratan pengangkatan anak,


prosedur dan keadaan calon anak angkat. Setelah memenuhi persyaratan,
petugas sosial yang bersangkutan mengadakan kunjungan rumah kepada
calon orang tua angkat. Setelah memenuhi persyaratan, kantor wilayah
Departemen Sosial memberikan izin pengasuhan keluarga..

Kantor wilayah Departemen Sosial bersama Tim PIPA (Tim


Pertimbangan Perizinan pengangkatan Anak) wilayah mengadakan
penelitian dan penelaahan berkas-berkas permohonan dan pembahasan,
guna menentukan pemberian izin atau penolakan permohonan
pengangkatan anak tersebut. Setelah memenuhi persyaratan maka Kantor
wilayah Departemen Sosial setempat memberikan surat izin/ menolak
pengangkatan anak kepada organisasi sosial/ yayasan.

Organisasi sosial menyerahkan berkas persyaratan pengangkatan


anak kepada Pengadilan setempat untuk mendapatkan Surat penepatan
Pengangkatan Anak dan Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri setempat
mengadakan sidang-sidang Penetapan Pengangkatan Anak, setelah sidang
dikeluarkan Surat Penetapan Pengangkatan Anak dari Pengadilan Negeri
setempat.

Selama dalam proses, petugas Kantor Wilayah Departemen Sosial


dan organisasi sosial mengadakan kunjungan rumah secara mendadak
(tidak memberitahu sebelumnya) selama 2-3 kali, untuk mengetahui/
memantau perkembangan anak selama dalam proses pengasuhan anak.
Pengadilan Negeri setempat memberikan tembusan salinan penetapan
Pengadilan kepada Departemen Sosial dan Kantor Wilayah Departemen
Sosial setempat.
18

G. Akibat hukum pengangkatan anak


1. Hukum Islam:
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam
melarang praktek pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis
seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum
sekuler dan praktek masyarakat jahiliyah; yaitu pengangkatan anak
yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat
terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat
memiliki hak waris sama hak waris anak kandung, orang tua angkat
menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya
mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban
untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-
lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.

Dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat


hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan
hubungan waris mewaris dengan orang tua angkat. Ia tetap menjadi
ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai
nama dari ayah kandungnya (M. Budiarto, S.H, Pengangkatan Anak
Ditinjau Dari Segi hukum, AKAPRESS, 1991).

2. Perwalian
Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh pengadilan,
maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sejak
saat itu pula, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih pada
orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan beragama
Islam, bila dia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya
hanyalah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya.
19

3. Waris
Khazanah hukum kita, baik hukum adat, hukum Islam maupun
hukum nasional, memiliki ketentuan mengenai hak waris. Ketiganya
memiliki kekuatan yang sama, artinya seseorang bisa memilih hukum
mana yang akan dipakai untuk menentukan pewarisan bagi anak
angkat.

4. Hukum Adat

Bila menggunakan lembaga adat, penentuan waris bagi anak


angkat tergantung kepada hukum adat yang berlaku. Bagi keluarga
yang parental, -Jawa misalnya-, pengangkatan anak tidak otomatis
memutuskan tali keluarga antara anak itu dengan orangtua
kandungnya. Oleh karenanya, selain mendapatkan hak waris dari
orangtua angkatnya, dia juga tetap berhak atas waris dari orang tua
kandungnya. Berbeda dengan di Bali, pengangkatan anak merupakan
kewajiban hukum yang melepaskan anak tersebut dari keluarga
asalnya ke dalam keluarga angkatnya. Anak tersebut menjadi anak
kandung dari yang mengangkatnya dan meneruskan kedudukan dari
bapak angkatnya (M. Buddiarto, S.H, Pengangkatan Anak Ditinjau
Dari Segi Hukum, AKAPRESS, 1991).

5. Peraturan Per-Undang-undangan

Dalam Staatblaad 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan


anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak
angkat, dijadikan sebagai anak yang dilahirkan dari perkawinan orang
tua angkat dan menjadi ahli waris orang tua angkat. Artinya, akibat
pengangkatan tersebut maka terputus segala hubungan perdata, yang
berpangkal pada keturunan karena kelahiran, yaitu antara orang tua
kandung dan anak tersebut.
20

H. Faktor yang Mempengaruhi terhadap Keberhasilan Adopsi


1. Karakter orang tua angkat
Faktor yang terpenting untuk keberhasilan pemindahan anak angkat
adalah sikap dan kebiasaan orang tua angkat (Costin,1984). Sejak
calon orang tua angkat melamar, seharusnya melalui penilaian
psikologis dan kejiwaan serta status kesehatan apakah pantas menjadi
orang tua angkat (Steinhuer,1990). Beberapa karakter orang tua angkat
yang perlu diperhatikan: Usia orang tua angkat, adanya anak lain
dirumah, agama, status perkawinan, kematangan emosi dan
penyesuaian sosial (Costin,1984:Steinhauer.1990:Miles,1995)
2. Karakter anak yang diangkat
Pada umumnya anak laki-laki lebih banyak mengalami gangguan
emosi dan kecemasan dibandingan dengan anak wanita. Steinhauer
(1990) memberikan alasan, meningkatnya kelainan genetik, perawatan
yang kurang masa prenatal / perinatal pada ibu yang tidak menikah,
kecanduan alkohol dan obat –obatan yang berpengaruh terhadap
perkembangan janin, pengabaian, penyalahgunaan dan kekurangan
cinta kasih. Menurut Costin (1984), bahwa latar belakang anak angkat
sebelum diangkat tidak bermakna terhadap keberhasilan dari adopsi.
3. Kemampuan masing masing untuk saling memberi dan menerima satu
sama lain. Kterikatan antara anak dengan orang tua angkat anatara lain
:
a. Penilaian, pencocokan dam pemindahan.
Penilaian keadaan anak yang diangkat sesuai dengan yang
diinginkan serta harus didukung oleh seluruh keluarga, proses
pemindahan tidak tergesa-gesa selama proses adopsi dibutuhkan
waktu untuk perkenaslan dan penyesuaian antara anak dengan
keluarga baru (Steinhauer.1990:Miles,1995)
b. Usia pengangkatan anak
Secara umum anak-anak usia 8 bulansampai 4 tahun dapat
mentoleransi perpisahan dan akan melupakannya, apabila anak
21

lebih muda dari 6 tahun untuk memutuskan atau menolak


pemindahan selama adopsi tergantung orang tuanya.Perundang -
undangan mengharapkan agar anak-anak dapat membuat keputusan
sendiri pada usia 12 tahun (Steinhauer.1990).
Anak angkat harus diberitahu tentang mengapa adopsi dan itu
merupakan yang terbaik untuk perkembangannya dan diterangkan
sesuai dengan usianya sehingga dapat dimengerti.
c. Kebanggaan anak angkat yang mempunyai dua pasang orang tua
harus dibina kebanggaan anak, berbeda dengan orang lain karena
kelebihan mempunyai dua pasang orang tua.
Faktor- faktor yang berhubungan dengan kurang berhasilnya adopsi :
1. Riwayat pemisahan yang berat dan pemindahan yang sering.
Anak- anak dengan riwayat pemisahan yang berat dengan sering
berpindah-pindah khususnya saat usia dibawah 2 tahun merupakan
uresiko tinggi kegagalan adopsi. Beberapa anak sering memiliki
masalah disekolah, senang bergaul dan membuat hubungan diluar
rumah, sehingga mengganggu hubungan dan timbul ketegangan
dengan orang tua angkat.
2. Anak – anak didiagnosis mempunyai kelainan beresiko tinggi untuk
gagalnya proses adopsi.
3. Anak yang diambil dari penempatan yang telah lama dihuninya.
Biasanya oleh karena berbagai pertimbangan ekonimi dan
kemanusiaan atau psikologis, orang tua asuh mengusshakan proses
adaptasi permanen. Dilain pihak anak merasa telah dibentuk dengan
kasih sayang serta berkembang secara memuasakan dan mantap dan
layak mendapat dukungan.
4. Anak dengan ikatan emosi yang kuat.
Bila anak mempunyai emosi yang kuat dengan keluarga kandung atau
orang tuanya, adopsi mudah goyah kecuali dengan kasih kasih sayang.
22

5. Adopsi yang salah satu/ kedua orang tua angkat mempunyai


pengharapan yang berlebihan. Ternyata anaknya tidak mampu dan
tidak sesuai dengan keiinginan orang tua angkat.
6. Anak yang telah berkembang kepribadiaannya sebelum adopsi.
7. Usia saat diadopsi.

I. Peranan Dokter Anak dalam Proses Adopsi


Peranan dokter anak dalam proses adopsi ada tiga faktor :
1. Terhadap anak (Habernaken, 1998; Comitte on Adoption and
Dependent care, 1981):
a. Menjelang adopsi dokter anak mempunyai tugas untuk
mengevaluasi keadaan anak termasuk kondisi fisik, kelainan
bawaan, tingkat perkembangan, tabiat dan keadaan mental serta
kebiasaan. Keadaan ini bila memungkinkan disertai dengan riwayat
genetic.
b. Bila memeriksa anak-anak yang termasuk golongan “Hard to
place” bermasalah) yang akan diadopsi, dokter harus berhati-hati
dalam menilai kondisi fisik, tingkat perkembangan dan keadaan
emosi anak. Dokter harus menjamin pemeriksaan dan konsultasi
yang memadai dengan yayasan serta calon orang tua angkat
menyangkut masalah yang akan dihadapi dalam jangka waktu
lama.
c. Dokter anak harus menjadi penasehat dan dokter keluarga yang
mengadopsi anak yang termasuk golongan “Hard to place”.
d. Pada anak angkat cendurung rendah diri, merasa tidak aman dan
merasa berbeda dengan yang lain, hiperaktif, dan anti sosial. Pada
anak yang lebih besar cenderung memberontak dan kurang
berprestasi. Pada kasus demikian dokter perlu merujuk ke psikiater.
2. Terhadap orang tua kandung
23

Dokter anak memegang peranan bila remaja putri hamil dan tidak
sanggup untuk memelihara anaknya sendiri serta menginginkan
anaknya diadopsi. Dokter anak perlu mengetahui hal-hal yang
berhubungan dengan dampak dari rasa kehilangan orang tua kandung
terhadap anaknya yang akan berlangsung lama. Selanjutnya dokter
anak membimbing dalam melupakan kesedihan, menghilangkan rasa
marah dan bersalah.
3. Terhadap orang tua angkat
Orang tua angkat perlu diberi pengartian tentang kebutuhan dasar
anak, meliputi asih, asuh, dan asah sehingga dapat mencapai tumbuh
kembang yang optimal.
24

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Pengangkatan anak menurut adat yaitu masuknya anak angkat
kedalam keluarga orangtua yang mengangkatnya, dan terputusnya
hubungan keluarga dengan keluarga atau orangtua kandung anak angkat.
Hukum Islam tidak mengenal lembaga adopsi, karena menurut pendapat
orang Islam keturunan itu tidak bisa diganti. Dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) tidak ditemukan suatu ketentuan yang mengatur
masalah adopsi atau anak angkat. BW hanya mengatur tentang pengkuan
anak diluar kawin.
Pengangkatan anak yang dimaksud dalam PP Nomor 54 Tahun
2007 adalah bertujuan untuk kepentingan terbaik bagi anak dalam rangka
mewujudkan kesejahteraan anak dan perlindungan anak, yang
dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan
darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya.

B. Saran
Diharapkan Mahasiswa mampu memahami tentang adopsi dan
hukum hukum yang berkaitan dengan adopsi agar di masyarakat.
Diharapkan dapat memberikan penjelasan yang lebih luas tentang
pengangkatan anak/ adopsi yang baik selain itu lebih banyak
menyediakan referensi-referensi buku tentang etika dan hukum peraturan
dalam perundang undangan.
25

DAFTAR PUSTAKA

Yanti.2012. http://yantipaic.blogspot.com/2012/01/makalahstatus-anak-
angkat-anak-pungut.html. Diakses tanggal 15 Maret 2014

Rachmiamrinal.2009.http://rachmiamrinal.blogspot.com/2009/06/adopsi.h
tml. Diakses tanggal 15 Maret 2014

Riyanto.2011.http://anandadianariyanto.wordpress.com/2011/06/25/adop
si-dalam-pandangan-islam-dan-undang-undang-di-indonesia/. Diakses tanggal 15
Maret 2014

Narendra,Moersintowati B,dkk.2005.Tumbuh Kembang Anak dan


Remaja.Jakarta.CV Sagung Seto

Setiawan.2010.Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan.Jakarta..CV Trans


Info Medic

Anda mungkin juga menyukai