Anda di halaman 1dari 2

Pertukaran Sosial Budaya

Pertukaran Sosial Budaya sebagai Indikator Saling Ketergantungan


Kehidupan masyarakat sebagai sistem sosial budaya selalu diwarnai oleh
adanya hubungan pertukaran yang menandai bahwa interaksi antara individu
masing-masing terikat dalam suatu sistem ketergantungan. Dalam hubungan
pertukaran mengandung prinsip "du ut des", bahwa saya memberi agar engkau
membalasnya. Hal ini berarti ketergantungan antar individu dilatarbelakangi oleh
adanya keterikatan terhadap nilai sosial budaya yang tumbuh dan hidup dalam
masyarakat. Keterikatan terhadap nilai sosial, artinya bahwa manusia sebagai
makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk kepentingan tidak lepas dari
keterikatannya dengan manusia lain dalam setiap usaha pemenuhan segala
kebutuhan hidupnya. Sedangkan keterikatan terhadap nilai budaya,
dimaksudkan bahwa manusia dalam hubungan sosialnya itu terikat dengan nilai-
nilai budaya yang mengandung norma-norma yang mewajibkan setiap individu
mampu berbalas budi, membalas pemberian dan kebaikan orang lain,
membalas perlakuan yang sesuai dengan tata kesopanan, tata susila, dan tata
kelakauan dan standard moral yang berlaku dalam masyarakat.
Oleh karena pertukaran sosial itu sekaligus mengandung standard nilai-nilai
budaya, maka sistem pertukaran (sistem balas membalas) dalam kehidupan
masyarakat itu merupakan cerminan dari saling ketergantungan yang bersifat
sosial budaya atau lazim disebut sebagai Sistem pertukaran Sosial Budaya.
II.19) Sebagai contoh ketergantungan masyarakat terhadap nilai-nilai budaya
dalam hubungan pergaulan sehari dapat dilihat dari kegiatan tolong menolong
dalam upacara atiaan, perkawinan, kelahiran, atau acara pesta ulang tahun.
Dalam setiap upacara itu selalu da pesan tak tertulis yang disebut telah
membudaya bahwa bagi yang hadir diharap dapat memberikan sumbangan,
baik tenaga, pikiran, peralatan/sarana, atau berupa materi atau uang.
Sebaliknya pada waktu seseorang memberikan bantuan, pertolongan atau
sumbangan terhadap orang lain, maka pada waktu yang sama dipesankan pula
bahwa agar pada waktu yang akan datang dapat membalasnya.
Bentuk bantuan atau pertolongan yang diterima sebagai tanda pembalasan
mengandung nilai tersendiri tergantung pada besar kecilnya manfaat
pemberian tersebut. Ada kecenderungan besarnya nilai pemberian itu
dihubungkan dengan status sosial dan tingkat kehormatan seseorang dalam
masyarakat. Biasanya pihak pemberi yang mampu memberikan sesuatu yang
lebih berharga adalah golongan yang memiliki kekuatan sosial dan ekonomi,
bahkan mungkin mempunyai kharisma sebagai tokoh adat. Hampir dapat
dipastikan bahwa dikemudian hari golongan ini akan mendapatkan balasan
berupa perhatian dan tempat yang lebih terhormat, khususnya bagi pihak yang
pernah menerima pemberiannya. Pada masyarakat jawa umumnya pada waktu
sambatan acara rewang atau membantu kesibukan masak memasak dalam
persiapan perkawinan, biasanya para Ibu selalu siap dengan salam tempelnya
(amplop berisi uang, jika tidak dengan bantuan lain) terhadap Ibu sahibul hajat.
Keluarga Sahibul hajat biasanya membukukan (dicatat) besarnya sumbangan-
sumbangan ini berikut dengan nama penyumbangnya sebagai acuan dalam
rencana pemberian balasan. Setelah masak memasak selesai, pada gilirannya
Ibu yang sebelumnya memberi segera akan menerima balasan (punjungan=jawa)
berupa kiriman makanan atau nasi lengkap dengan lauk pauknya.
Nilai balasan kiriman yang diterima itu disesuaikan dengan nilai bantuan
yang diberikan sebelumnya, umpamanya jika pemberian Rp10.000,00 maka akan
menerima nasi telor, jika pemberian Rp20.000,00 maka akan menerima balasan
berupa nasi daging, dan seterusnya. Contoh-contoh pertukaran sosial budaya
lain dapat dilihat pada berbagai aktivitas dan pergaulan dalam masyarakat,
seperti dalam diskusi, jika pembahas terkesan sombong, sukar menerima
pendapat pemrasaran, terkesan membantai tanpa solusi, atau mengecilkan
gagasan yang diajukan pemrasaran, maka pada gilirannya tatkala ia menjadi
pemrasaran akan mendapat perlakuan yang setara atau bahkan lebih tajam
lagi. Dalam contoh ini dapat dimengerti bahwa terdapat ketergantungan tentang
nilai pembalasan/pertukaran antar individu atau kelompok masyarakat.
Dalam prakteknya tidak lepas dari standard nilai sosial budaya seperti etika
tepo seliro, sikap emosi, yang diwujudkan dalam bentuk perlakuan yang
dianggap setimpal. Bagaimana dengan perasaan seseorang yang kehilangan
pacar atau kekasih yang dicintainya?, tentu sangat menderita karena kesulitan
untuk melepaskan diri dari belenggu ketergantungan cinta yang menusuk jantung,
disamping karena tak semudah itu untuk mencari orang lain sebagai pengganti
cinta yang hilang itu. Dalam kondisi ini tidak hanya satu atau dua kasus saja
yang terjadi, bahwa dalam proses berburu cinta seseorang akan cepat sekali jatuh
cinta terhadap orang lain yang secara umum memiliki postur tubuh dan kriteria
sikap perilaku yang dianggap mirip dengan yang selama ini hilang.
Dengan begitu seakan telah menemukan kembali jati dirinya melalui
hubungan cinta dengan kekasihnya yang baru. Peran pengganti seperti ini sama
artinya dengan pertukaran yang bersifat simulatif, yaitu menganggap suatu
obyek atau suatu peristiwa sebagai yang sebenarnya. Anggapan ini bersumber
dari penilaian meralui perasaan dan ciptaan dan rekayasa menghilangkan
keraguan menjadi suatu kepastian atau keyakinan tertentu. Contohnya,
seseorang ayah yang kehilangan isteri menggantikannya dengan isteri baru
yang disebut "Ibu Tiri". Maknanya bagi anak-anaknya adalah Ibu kandung
ditukar dengan Ibu tiri. Anggapan seorang ayah Ibu tiri dapat menggantikan
posisi Ibu kandung dari anak-anaknya, meskipun dalam kenyataanya di pihak
anak-anak sebaliknya menganggap mustahil Ibu tiri bisa menggantikan Ibu
kandungnya. Mengapa demikian?, karena ada perbedaan kepentingan dan
ketergantungan antara ayah dan Ibu tiri dengan antara anak dan Ibu tiri.
Ketergantungan antara ayah terhadap Ibu tiri jauh lebih besar dibanding
ketergantungan antara anak terhadap Ibu tiri. Dalam konsep peribahasa
"bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian" juga mempunyai makna
sebagai pertukaran sosial budaya, karena didalamnya terkandung suatu nilai
harapan bahwa suatu penderitaan pada suatu masa akan ditukar dengan
kebahagiaan, ekaligus berfungsi memacu untuk membiasakan diri bekerja
keras dalam setiap perjuangan kearah kemajuan.
Begitu juga halnya dengan perilaku berdekat-dekat dengan penguasa,
berbaik-baik, bersopan-sopan, merayu-rayu, berlutut-lutut, mendukung-dukung,
menyangjung-sanjung (umumnya disebut penjilat), yang kesemuanya ditujukan
agar bapak senang. Apa harapan imbalan dari pengorbanan perilaku
menyenangkan penguasa semacam ini?, mungkin dimaksudkan agar bisa ditukar
dengan imbalan materi, jabatan, atau mungkin dianggap sebagai investasi
pertolongan di masa mendatang.

Anda mungkin juga menyukai