4. Yulianah (P07124321210)
2021/2022
Latar Belakang
Perguruan Tinggi, telah menjadi salah satu fokus utama tata kelola di antara organisasi
sektor publik. Tata kelola pendidikan tinggi merupakan isu kebijakan utama pada abad ke-21.
Tuntutan akuntabilitas publik pada akhirnya sering mengadopsi penerapan governance pada
perusahaan untuk diterapkan pada sektor publik, salah satunya adalah Perguruan Tinggi.
Implementasi good university governance merujuk pada implementasi good corporate
governance yang didasari oleh agency theory. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Jensen
dan Meckling (1976), yang menyoroti perlunya governance untuk meminimalisisr perbedaan
kepentingan antara pemilik (principal) dengan pihak manajemen (agent). Pihak manajemen
dianggap memiliki informasi yang lebih dibandingkan pemilik, sehingga hal tersebut
menimbulkan asymmetric information. Pada Perguruan Tinggi, pihak manajemen (agent)
melaksanakan tugas berdasarkan kontrak atau peraturan pemerintah dan statuta Perguruan
Tinggi. Namun Eisenhardt menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat dasar untuk
mementingkan diri sendiri (self interest). Posisi sebagai pihak yang memiliki informasi lebih,
asumsi dasar tersebut mengarah perilaku manajer atau dalam hal ini pengelola Perguruan Tinggi
akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic yang akan menguntungkan dirinya sendiri (A.
Wahyudin, A. Nurkhin, & K. Kiswanto, 2017). Pada saat yang sama stakeholders semakin
menuntut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Perguruan Tinggi lebih besar sebagai
dampak dari adanya otonomi Pendidikan tinggi dan fakta bahwa institusi Pendidikan tinggi
merupakan bagian dari kepentingan public (A Suci, S Maryanti, LL Van FC, A Yandra, 2020).
Beberapa kendala yang dihadapi dalam implementasi governance pada Perguruan Tinggi
masih sering kita temukan, hal ini diperkuat dengan hasil kajian Komite Pemberantasan Korupsi
yang menunjukkan bahwa masih banyak masalah terindikasi korupsi dalam sistem tata kelola
dan kelembagaan Perguruan Tinggi (KPK, 2017). Selain itu, Transparansi Internasional
Indonesia (2017) menyatakan bahwa ex-officio (rangkap jabatan) yang sering ditemukan pada
Perguruan Tinggi hanya akan melahirkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang mana
hal ini menjadi salah satu sumber terjadinya korupsi di institusi Perguruan Tinggi.
Kasus rangkap jabatan di Perguruan Tinggi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan
secara terang-terangan diatur dalam statuta. Kekuasaan eksekutif para pimpinan Perguruan
Tinggi disatukan dengan kekuasaan pengawasan dalam fungsi senat, jelas hal ini akan berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
(2013) menyebutkan bahwa kenyataannya penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia masih
menghadapi sejumlah kendala, baik dari segi kebijakan, implementasi, pengawasan, maupun
evaluasi. Kendala tersebut antara lain terkait persoalan akses, mutu, anggaran dan pembiayaan,
relevansi, tata kelola Perguruan Tinggi serta persoalan lainnya. Sementara Henard & Mitterle (2010)
menyatakan bahwa otonomi untuk membuka area peningkatan dan kompetisi, dibatasi oleh pengaruh
kebijakan pendidikan tinggi yang digerakkan negara dan intervensi yang terus meningkat terkait
jaminan mutu eksternal.
Penerapan tata kelola Perguruan Tinggi yang baik bukan semata mematuhi perundang-
undangan yang berlaku, namun juga upaya untuk terus melakukan inovasi dan penyempurnaan
secara berkelanjutan dalam penerapan prinsip-prinsip Good University Governance (GUG).
Governance mengacu pada sarana dan tindakan di mana entitas secara kolektif memutuskan hal-hal
kebijakan dan strategi. Secara umum, sistem governance dipahami terdiri dari prosedur eksplisit dan
implisit yang mengalokasikan berbagai wewenang dan tanggung jawab partisipan untuk membuat
keputusan institusional (GE Kaplan, 2004). GUG merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan Perguruan Tinggi guna menciptakan nilai tambah (value added) bagi Perguruan
Tinggi, sehingga saling memberi manfaat bagi semua stakeholders
Model Governance Untuk Perguruan Tinggi
Terdapat dua mekanisme dalam penerapan governance yaitu mekanisme intern dan
mekanisme ekstern. Mekanisme tersebut berguna untuk menyelesaikan konflik agensi yang
terjadi di dalam suatu organisasi (C De Silva Lokuwaduge, 2011):
1. Mekanisme Eksternal Governance, meliputi:
a. Otoritas regulasi: Kepatuhan terhadap tata kelola rasional untuk pendidikan tinggi digunakan
sebagai proxy untuk pengaruh otoritas.
b. Pengaruh Stakeholder: Persentase dana pemerintah terhadap total pendanaan Perguruan Tinggi
digunakan sebagai pengaruh stakeholder.
2. Mekanisme Internal Governance, meliputi:
a. Ukuran Dewan: Jumlah anggota (diangkat dan dipilih) dalam dewan;
b. Dewan Independen: Persentase anggota luar untuk ukuran dewan;
c. Dewan komite: Keberadaan dan proses audit, komite nominasi dan remunerasi;
d. Pertemuan Dewan: Jumlah pertemuan dewan yang diselenggarakan sepanjang tahun. Variabel
ini digunakan sebagai proxy untuk proses dewan;
e. Transparansi dalam pelaporan: Pelaporan informasi anggota dewan dan indikator kinerja
dalam laporan tahunan selain persyaratan wajib pelaporan keuangan.
Sedangkan L.Trakman (2008: 66-74), secara spesifik memaparkan tentang model governance
pada universitas ke dalam lima model sebagai berikut:
2. Corporate Governance
Model corporate governance saat ini lazim ditemukan di universitas-universitas. Berkonsentrasi
pada tanggung jawab anggaran dan manajerial tata kelola universitas, model corporate
governance didasarkan pada model bisnis untuk universitas. Hal ini juga didasarkan pada alasan
efisiensi organisasi, sebagai reaksi terhadap kritikan bahwa Perguruan Tinggi negeri dianggap
kurang berhasil atau secara keuangan tidak efisien dan pada asumsi bahwa pemodelan corporate
governance dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan ini.
Beberapa Perguruan Tinggi negeri di luar Amerika Serikat telah bergerak secara struktural lebih
dekat dengan model corporate governance, dengan pimpinan dan dewan senat yang lebih kecil
dan mewalikan secara langsung tata kelola universitas, pada CEO, chief operating officer dan
chief financial officer untuk mengambil porsi sebagai tim manajemen senior.
3. Trustee Governance
Model ini mengacu pada tata kelola yang didasari hubungan atas 'trust' antara wali amanat yang
bertindak dalam kepercayaan untuk, dan atas nama, kepercayaan penerima manfaat. Model
perwalian ini diartikulasikan secara struktural melalui mekanisme tanggung jawab berdasarkan
kepercayaan. Akibatnya, wali amanat memiliki kewajiban perwalian untuk melepaskan
kepercayaan mereka dengan itikad baik sepenuhnya 'terhadap penerima manfaat dari
kepercayaan tersebut. Model ini masih agak kabur. Mereka juga cenderung bekerja di permukaan
dalam tata kelola universitas. Model ini biasanya dijalankan untuk menopang pemasaran dan
promosi pengembangan institusi.
4. Stakeholder Governance
Model ini, terjadi ketika tata kelola dipegang oleh beragam pemangku kepentingan termasuk,
antara lain, mahasiswa, Staf akademisi, alumni, mitra perusahaan, pemerintah dan masyarakat
luas. Berbeda dari faculty governance, memberikan tata kelola pada beberapa perwakilan tidak
terbatas pada staf akademik. Berbeda dari corporate governance, stakeholder governance
menyusun otoritas tata kelola yang representative, berbeda dengan professional dan dewan yang
berfokus pada bisnis; dan mandat stakeholder yang diberikan melampaui pengelolaan yang
efisien dan tanggung jawab anggaran dari dewan corporate governance
Keuntungan dari model tata kelola campuran ini adalah bahwa ia mampu menggabungkan
kekuatan dari model tata kelola yang berbeda sesuai dengan kebutuhan spesifik universitas.
Governance Principles
Dalam rangka meningkatkan kinerja Perguruan Tinggi, melindungi kepentingan
Pemangku Kepentingan (Stakeholders), dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan serta nilai etika yang berlaku umum, Perguruan Tinggi sudah sepatutnya
wajib menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola yang baik dalam setiap aktivitas Perguruan Tinggi
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Penerapan tata kelola pada Perguruan Tinggi harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip
yang melekat seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 139
Tahun 2014 Pasal 63 tentang Pedoman Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi berikut ini:
a) Akuntabilitas
Prinsip transparansi berarti bahwa pengelolaan Perguruan Tinggi harus terbuka dan mampu
menyajikan informasi yang relevan, secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan serta
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan untuk mencegah terjadinya
praktik-praktik kecurangan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi yang dapat merugikan
masyarakat.
c) Nirlaba
Prinsip nirlaba wajib dijalankan dalam seluruh aspek pendidikan di Indonesia termasuk
pendidikan tinggi. Prinsip nirlaba menekankan bahwa setiap kegiatan yang dilakukan Perguruan
Tinggi tidak bertujuan untuk mencari keuntungan atau sisa hasil usaha. Jika ada sisa hasil usaha,
seluruhnya harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan
Perguruan Tinggi tersebut.
d) Prinsip Penjaminan Mutu
Prinsip penjaminan mutu dimaksudkan untuk menjamin adanya kegiatan sistemik bahwa untuk
memberikan layanan pendidikan tinggi yang memenuhi atau melampaui standar nasional
pendidikan tinggi serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.
Pengelolaan Perguruan Tinggi harus memenuhi prinsip penjaminan mutu dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan tinggi sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di
manapun dan dalam bentuk apapun. Hal ini menghindari praktik Perguruan Tinggi “abal-abal”
yang tidak sesuai dengan standar
nasional Perguruan Tinggi.
e) Prinsip efektivitas dan efisiensi
Prinsip efektivitas dan efisiensi berarti bahwa setiap kegiatan pengelolaan Perguruan Tinggi
harus dilakukan secara sistemik untuk memanfaatkan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi agar tepat sasaran dan tidak terjadi pemborosan. Prinsip ini menyesuaikan
dengan standar nasional Perguruan Tinggi yang direncanakan dan ditetapkan dengan tetap
bertujuan pada upaya Perguruan Tinggi.
Dalam penerapan prinsip-prinsip GUG dibutuhkan suatu bentuk penilaian (assessment) untuk
melihat sejauh mana perkembangan penerapan prinsip-prinsip GUG telah dilaksanakan dan
pengaruhnya terhadap kegiatan operasional dan kinerja Perguruan Tinggi. Penilaian faktor Tata
Kelola merupakan penilaian terhadap kualitas manajemen Perguruan Tinggi atas penerapan Tata
Kelola yang baik, dengan memperhatikan signifikansi atau materialitas suatu permasalahan
terhadap penerapan Tata Kelola pada Perguruan Tinggi secara menyeluruh, sesuai skala,
karakteristik, dan kompleksitas aktivitas Perguruan Tinggi. Penilaian dilakukan secara
komprehensif dan terstruktur yang diintegrasikan menjadi 3 (tiga) aspek governance yaitu
governance structure, governance process, dan governance outcome, sebagai suatu proses yang
berkesinambungan.
Governance Structure
Struktur governance meliputi struktur organ dan kebijakan Perguruan Tinggi. Fokus
perhatian dalam membangun struktur governance ada pada dua hal, yaitu pertama, pemetaan
fungsi atau kegiatan apa saja yang menimbulkan benturan kepentingan dan memiliki potensi
fraud yang tinggi, serta kedua, upaya memastikan bahwa mekanisme check and balance dapat
bekerja secara efektif.
Penilaian governance structure bertujuan untuk menilai kecukupan struktur dan infrastruktur
Tata Kelola Perguruan Tinggi agar penerapan prinsip Tata Kelola yang baik menghasilkan
outcome yang sesuai dengan harapan Pemangku Kepentingan (Stakeholders). Struktur
Governance mencakup struktur organ dan kebijakan Perguruan Tinggi. Struktur (hardstructure)
Tata Kelola Perguruan Tinggi adalah Rektor, Dewan Pertimbangan (MWA), Senat, komite-
komite, dan Satuan Kerja Perguruan Tinggi. Adapun yang termasuk infrastruktur (softstructure)
Tata Kelola Perguruan Tinggi antara lain kebijakan dan prosedur Perguruan Tinggi, sistem
informasi manajemen serta tugas pokok dan fungsi masing-masing struktur organisasi.
Dalam struktur governance juga meliputi beberapa aspek penting yang berperan mendukung
organ Perguruan Tinggi yaitu pengendalian internal (internal control), manajemen risiko (risk
management), dan ketaatan terhadap ketentuan yang berlalu (compliance). Menurut M A Daniri
(2014), sistem pengendalian internal dimaksudkan untuk melindungi Perguruan Tinggi terhadap
penyelewengan akademik dan non akademik (finansial dan hukum), serta untuk mengidentifikasi
dan menangani risiko dengan tujuan untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya Perguruan
Tinggi secara etis, efektif, dan efisien.
PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan bahwa sistem
pengendalian internal merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan Perguruan Tinggi dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif
dan efisien, keandalam pelaporan keuangan, pengamanan aset, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku. Pengendalian internal yang efektif dimulai
dengan kepatuhan terhadap standar-standar etika yang berlaku pada Perguruan Tinggi, baik
dalam bentuk lisan atau tulisan. Komitmen pimpinan Perguruan Tinggi terhadap nilai-nilai etika
dan moral akan mempengaruhi standar perilaku Perguruan Tinggi secara keseluruhan. Adanya
kode etik bagi dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan tidak menjamin munculnya
kepatuhan jika tidak didukung langsung tindakan dan keteladanan nyata pinpinan Perguruan
Tinggi beserta jajarannya. Jadi, sistem pengendalian bukan hanya berbicara tentang do the right
thinks tetapi juga do things right.
Governance Process
Proses governance merupakan cara atau mekanisme yang dilakukan oleh organ
Perguruan Tinggi dan jajaran di bawahnya dalam melakukan fungsi dan tugasnya untuk
mewujudkan komitmen dan struktur governance sehingga dapat tercapai governance outcome
yang sesuai dengan prinsip GUG. Penilaian governance process bertujuan untuk menilai
efektifitas proses penerapan prinsip Tata Kelola yang baik yang didukung oleh kecukupan
struktur dan infrastruktur Tata Kelola Perguruan Tinggi sehingga menghasilkan outcome yang
sesuai dengan harapan Pemangku Kepentingan. Penekanan pada proses governance adalah
memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dan kebijakan berjalan sesuai prinsip-prinsip
GUG dan diambil semata-mata untuk kepentingan Perguruan Tinggi.
Mekanisme yang harus dipastikan dalam proses governance dapat dilihat berdasarkan dua
tingkatan, yaitu tingkatan organ dan tingkatan operasional serta proses bisnis Perguruan Tinggi.
1. Tingkatan Organ Perguruan Tinggi
a. Pelaksanaan rapat internal maupun gabungan Dewan Pertimbangan/MWA, Senat Akademik,
dan Rektor.
b. Fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pertimbangan/MWA, Senat dan Rektor.
c. Kesesuaian aktivitas Perguruan Tinggi dengan visi, misi, nilai-nilai, dan strategi Perguruan
Tinggi.
d. Pengembangan Sumber Daya Manusia berdasarkan merit system yang berbasis kompetensi
dan integritas.
e. Program pengabdian pada masyarakat yang terintegrasi dengan strategi Perguruan Tinggi.
f. Sosialisasi pedoman GUG kepada dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan secara
kontinyu.
g. Dokumentasi atas proses governance.
2. Tingkatan Operasional dan Proses Bisnis
a. Proses rekrutmen pegawai dilakukan secara terbuka dan fair.
b. Proses pengadaan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Governance Outcome
Penilaian governance outcome bertujuan untuk menilai kualitas outcome yang memenuhi
Pemangku Kepentingan Perguruan Tinggi yang merupakan hasil proses penerapan prinsip Tata
Kelola yang baik serta didukung oleh kecukupan struktur dan infrastruktur Tata Kelola
Perguruan Tinggi. Governance outcome merupakan manifestasi dari pelaksanaan governance
oleh Perguruan Tinggi yang dimulai dari governance commitment dan dilaksanakan melalui
governance structure dan governance process secara terintegrasi. Sebagai implikasi dari
governance outcome, Perguruan Tinggi mampu memelihara keberlangsungan termasuk dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan harapan dari stakeholders. Governance outcome merupakan
iindikator capaian atas pelaksanaan kegiatan Perguruan Tinggi.
Pada tahap persiapan penerapan GUG terdapat dua aktivitas yang harus dilakukan, yaitu 1)
membangun kesadaran (Awareness Building) dan 2) membuat pedoman penerapan GUG (GUG
Manual Building). Pada tahap awareness buiding diperlukan komitmen yang melibatkan segenap
manajemen puncak perguruan tinggi (Organ Utama Perguruan Tinggi). Hal ini diperlukan untuk
membangun kesadaran mengenai arti penting tata kelola Perguruan Tinggi yang Baik. Upaya ini
dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independent dari luar perguruan tinggi.
Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, in house training, dan diskusi
kelompok.
GUG manual building adalah proses penyusunan manual atau pedoman implementasi GUG.
Pedoman Perguruan Tinggi merupakan unsur penting yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi.
Dokumen ini menjadi rujukan bagi seluruh elemen perguruan tinggi dalam menjalankan
aktivitas. Penyusunan pedoman GUG idealnya disusun dengan keterlibatan penuh dari internal
perguruan tinggi, khususnya level top manajemen. Keterlibatan manajemen puncak akan
membuat tone at the top dalam menerapkan GUG dapat berjalan dengan baik. Manual GUG
dibedakan atas manual organ-organ Perguruan Tinggi dan manual yang berlaku untuk seluruh
civitas akademika, meliputi Pedoman Tata Kelola Perguruan Tinggi, Pedoman Perilaku (Kode
Etik), Pedoman Pengendalian Gratifikasi, Pedoman e-LHKPN, Pedoman bagi organ-organ
Perguruan Tinggi, Audit Committee Charter, Internal Audit Charter, Pedoman SPI, Pedoman
Manajemen Risiko. dan roadmap GUG.
2. Tahap Implementasi
Tahap implementasi meliputi dua langkah utama yaitu sosialisasi dan internalisasi. Sosialisasi
diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh civitas akademika berbagai aspek yang terkait
dengan implementasi GUG khususnya mengenai pedoman penerapan GUG. Dengan sosialisasi
yang dilakukan secara kontinyu diharapkan pemahaman GUG akan tumbuh dan melekat dengan
baik, sehingga dapat diterapkan pada setiap aktivitas yang dilakukan oleh seluruh civitas
akademika.
Tahap internalisasi adalah tahap jangka Panjang dalam implementasi GUG. Internalisasi
mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan GUG di dalam seluruh lini kegiatan perguruan
tinggi melalui berbagai prosedur operasi, system kerja, dan berbagai peraturan perguruan
tinggi.Upaya ini memastikan bahwa penerapan GUG tidak hanya di permukaan saja namun
benar-benar tercermin dalam seluruh kegiatan perguruan tinggi.
3. Tahap Evaluasi
Evaluasi membantu perguruan tinggi memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian
perguruan tinggi dalam menerapkan GUG sehingga dapat mengupayakan langkah-langkah
perbaikan yang diperlukan berdasarkan rekomendasi yang diberikan. Rekomendasi diberikan
sebelumnya dari aktivitas assessment, audit, atau scoring yang dapat dilakukan secara
mandatory. Tahap evaluasi harus dilakukan secara teratur untuk mengukur sejauh mana
efektifitas penerapan GUG telah dilaksanakan. Hasil evaluasi/asesmen penerapan GUG
memberikan informasi perbaikan/pengembangan penerapan GUG secara berkelanjutan
(penyempurnaan infrastruktur maupun perbaikan dalam pelaksanaannya.
d.MWA memberikan arahan kepada Rektor atas implementasi rencana dan kebijakan Perguruan
Tinggi.
e. MWA melaksanakan pengawasan terhadap Rektor atas implementasi rencana dan kebijakan
Perguruan tinggi.
f. MWA memantau dan memastikan bahwa prinsip-prinsip Tata Kelola Perguruan Tinggi yang
Baik telah diterapkan secara efektif dan berkelanjutan.
g. MWA menyelenggarakan rapat MWA yang efektif dan menghadiri rapat tersebut sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
h. MWA memiliki Sekretaris MWA untuk mendukung tugas kesekretariatan MWA.
i. MWA memiliki Komite MWA yang efektif.
a. Senat melakukan pembagian tugas dan menetapkan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk
mendukung pelaksanaan tugas Senat.
b. Senat memberikan pertimbangan dan persetujuan atas hal-hal yang terkait dengan kebijakan
akademik kepada Rektor.
c. Senat melaksanakan pengawasan dan evaluasi atas kebijakan, pelaksanaan tridharma
perguruan tinggi dengan mengacu pada tolok ukur yang ditetapkan dalam rencana strategis dan
menyarankan usulan perbaikan kepada Rektor.
Dari indicator pengukuran atas setiap aspek yang dinilai dapat diturunkan menjadi parameter,
dan setiap parameter dapat diturunkan menjadi beberapa faktor uji kesesuaian. Atas masing-
masing factor uji kesesuaian dilakukan pengumpulan data melalui reviu dokumen, kuesioner,
wawancara, dan observasi. Kriteria yang harus diperhatikan dalam penggunaan dokumen sebagai
sumber data saat reviu dokumen adalah (a) keterkaitan (relevansi) dan (b) kecukupan dokumen
dan informasi yang terkandung dalam mendukung fakta yang akan diukur oleh suatu parameter.
Kriteria yang akan diuji kesesuaian penerapannya dilakukan penilaian terhadap: 1)
SOP/aturan/kebijakan; 2) Diseminasi/sosialisasi; 3) Pemahaman para partisipan; 4)Rencana
Pelaksanaan; 5) Pelaksanaan proses; 6) Keluaran/Output; dan 7) Kualitas keluaran/output yang
dihasilkan.
Pendekatan evaluasi yang digunakan dapat melalui pendekatan kualitatif atau pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif tidak menggunakan skor, biasanya sangat dipengaruhi perilaku
asesor dalam memahami suatu kondisi. Hasil evaluasi bersifat subjektif karena penarikan
kesimpulan bias bervariasi di antara asesor. Sedangkan pendekatan kuantitatif menggunakan
skor, secara psikologis lebih memberikan pengaruh bagi pihak yang dievaluasi dan
memungkinkan teridentifikasinya weakness area, namun demikian dalam penetapan bobot dan
skor dapat timbul perdebatan karena beragamnya cara yang digunakan. Hasil dari penilaian
tersebut akan menunjukkan tingkat/klasifikasi kualitas penerapan GUG berdasarkan pemenuhan
parameter/scorecard.
DAFTAR PUSTAKA
Widyaningsih.,A.2020. Model Penilaian Implementasi Tata Kelola PerguruanTinggi.
Universitas Pendidikan Indonesia.
A Suci, S Maryanti, LLVan FC, A Yandra. (2020). Dilema Ex-Officio Terkait Pencegahan Korupsi
Dan Penjaminan Mutu Di Perguruan Tinggi Swasta. Jurnal Penjaminan Mutu., Vol 6. No. 1.
Cadbury Committee. (1992). Report of The Committee on The Financial Aspects of Corporate
Governance. First published December 1992. Diakses dari
https://ecgi.global/sites/default/files//codes/documents/cadbury.pdf
F. Hēnard & A. Mitterle. (2010). Governance and Quality Guidelines in Higher Education. A Review
of Governance Arrangements and Quality Assurance Guidelines. OECD.
GE Kaplan. (2004). Do Governance Structures Matter? New Directions For Higher Education, No.
127, Fall 2004 © Wiley Periodicals, Inc.
MC Jensen & WH Meckling. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and
ownership structure. Journal of Financial Economics, volume 3 , Issue 4, October 1976, Pages 305-
360. https://doi.org/10.1016/0304-405X(76)90026-X
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013. Otonomi dan Tata Kelola
Perguruan Tinggi. Diakses dari http://www.manajemenpendidikantinggi.net/index.php/e-library.
KPK. (2017). Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi. Komisi
Pemberantasan Korupsi. Diakses dari https://acch.kpk.go.id/id/ragam/riset-publik
OECD. 2017. Benchmarking higher education system performance: Conceptual framework and data,
Enhancing Higher Education System Performance, OECD Paris.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah. Diakses dari
http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/sakd/files/PP60Tahun2008_SPIP.pdf
Torres, R. M. D. la T., & Melgoza, E. E. T. (2010). 1.1. Ideas preliminares. Derecom, 4(1), 1–13.
L Trakman. (2008). Modeling University Governance. Higher Education Quartley. Vol. 62, issue 1-
2. https://doi.org/10.1111/j.1468-2273.2008.00384.x
Transparansi International Indonesia. (2017). Buku Panduan Pencegahan dan Pengendalian Konflik
Kepentingan di Perguruan Tinggi. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004