Anda di halaman 1dari 16

KELOLA PERGURUAN TINGGI YANG BAIK DAN BERSIH

Di susun oleh kelompok 11 :

1. Yetti Fidianingsih (P07124321206)

2. Yulia Kristiani (P07124321208)

3. Yuliana Eka Rahman (P07124321209)

4. Yulianah (P07124321210)

KEMENTRIAN KESEHATAN RI POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA PRODI


PENDIDIKAN SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

2021/2022
Latar Belakang

Perguruan Tinggi, telah menjadi salah satu fokus utama tata kelola di antara organisasi
sektor publik. Tata kelola pendidikan tinggi merupakan isu kebijakan utama pada abad ke-21.
Tuntutan akuntabilitas publik pada akhirnya sering mengadopsi penerapan governance pada
perusahaan untuk diterapkan pada sektor publik, salah satunya adalah Perguruan Tinggi.
Implementasi good university governance merujuk pada implementasi good corporate
governance yang didasari oleh agency theory. Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Jensen
dan Meckling (1976), yang menyoroti perlunya governance untuk meminimalisisr perbedaan
kepentingan antara pemilik (principal) dengan pihak manajemen (agent). Pihak manajemen
dianggap memiliki informasi yang lebih dibandingkan pemilik, sehingga hal tersebut
menimbulkan asymmetric information. Pada Perguruan Tinggi, pihak manajemen (agent)
melaksanakan tugas berdasarkan kontrak atau peraturan pemerintah dan statuta Perguruan
Tinggi. Namun Eisenhardt menyatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki sifat dasar untuk
mementingkan diri sendiri (self interest). Posisi sebagai pihak yang memiliki informasi lebih,
asumsi dasar tersebut mengarah perilaku manajer atau dalam hal ini pengelola Perguruan Tinggi
akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic yang akan menguntungkan dirinya sendiri (A.
Wahyudin, A. Nurkhin, & K. Kiswanto, 2017). Pada saat yang sama stakeholders semakin
menuntut transparansi dan akuntabilitas pengelolaan Perguruan Tinggi lebih besar sebagai
dampak dari adanya otonomi Pendidikan tinggi dan fakta bahwa institusi Pendidikan tinggi
merupakan bagian dari kepentingan public (A Suci, S Maryanti, LL Van FC, A Yandra, 2020).

Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik menjelaskan


bahwa salah satu ciri badan publik adalah melakukan tugas penyelenggaraan negara dengan
memanfaatkan sebagian atau seluruh APBN/APBD dan sumbangan masyarakat. Berdasarkan hal
tersebut, seperti yang diungkap Mardiasmo (2009) bahwa Perguruan Tinggi adalah badan publik,
sehingga wajib menjalankan tata kelola yang baik, sebab Perguruan Tinggi terlibat langsung
dalam menghimpun dana public.
Good governance akhirnya berkembang dengan bertumpu pada agency theory, di mana
pengelolaan organisasi harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan
dilakukan dengan penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Upaya ini menimbulkan agency cost yang menurut teori ini mesti dikeluarkan untuk mengurangi
kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan setara dengan biaya enforcement-nya.

Beberapa kendala yang dihadapi dalam implementasi governance pada Perguruan Tinggi
masih sering kita temukan, hal ini diperkuat dengan hasil kajian Komite Pemberantasan Korupsi
yang menunjukkan bahwa masih banyak masalah terindikasi korupsi dalam sistem tata kelola
dan kelembagaan Perguruan Tinggi (KPK, 2017). Selain itu, Transparansi Internasional
Indonesia (2017) menyatakan bahwa ex-officio (rangkap jabatan) yang sering ditemukan pada
Perguruan Tinggi hanya akan melahirkan konflik kepentingan (conflict of interest) yang mana
hal ini menjadi salah satu sumber terjadinya korupsi di institusi Perguruan Tinggi.
Kasus rangkap jabatan di Perguruan Tinggi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan
secara terang-terangan diatur dalam statuta. Kekuasaan eksekutif para pimpinan Perguruan
Tinggi disatukan dengan kekuasaan pengawasan dalam fungsi senat, jelas hal ini akan berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
(2013) menyebutkan bahwa kenyataannya penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia masih
menghadapi sejumlah kendala, baik dari segi kebijakan, implementasi, pengawasan, maupun
evaluasi. Kendala tersebut antara lain terkait persoalan akses, mutu, anggaran dan pembiayaan,
relevansi, tata kelola Perguruan Tinggi serta persoalan lainnya. Sementara Henard & Mitterle (2010)
menyatakan bahwa otonomi untuk membuka area peningkatan dan kompetisi, dibatasi oleh pengaruh
kebijakan pendidikan tinggi yang digerakkan negara dan intervensi yang terus meningkat terkait
jaminan mutu eksternal.
Penerapan tata kelola Perguruan Tinggi yang baik bukan semata mematuhi perundang-
undangan yang berlaku, namun juga upaya untuk terus melakukan inovasi dan penyempurnaan
secara berkelanjutan dalam penerapan prinsip-prinsip Good University Governance (GUG).
Governance mengacu pada sarana dan tindakan di mana entitas secara kolektif memutuskan hal-hal
kebijakan dan strategi. Secara umum, sistem governance dipahami terdiri dari prosedur eksplisit dan
implisit yang mengalokasikan berbagai wewenang dan tanggung jawab partisipan untuk membuat
keputusan institusional (GE Kaplan, 2004). GUG merupakan sistem yang mengatur dan
mengendalikan Perguruan Tinggi guna menciptakan nilai tambah (value added) bagi Perguruan
Tinggi, sehingga saling memberi manfaat bagi semua stakeholders
Model Governance Untuk Perguruan Tinggi
Terdapat dua mekanisme dalam penerapan governance yaitu mekanisme intern dan
mekanisme ekstern. Mekanisme tersebut berguna untuk menyelesaikan konflik agensi yang
terjadi di dalam suatu organisasi (C De Silva Lokuwaduge, 2011):
1. Mekanisme Eksternal Governance, meliputi:
a. Otoritas regulasi: Kepatuhan terhadap tata kelola rasional untuk pendidikan tinggi digunakan
sebagai proxy untuk pengaruh otoritas.
b. Pengaruh Stakeholder: Persentase dana pemerintah terhadap total pendanaan Perguruan Tinggi
digunakan sebagai pengaruh stakeholder.
2. Mekanisme Internal Governance, meliputi:
a. Ukuran Dewan: Jumlah anggota (diangkat dan dipilih) dalam dewan;
b. Dewan Independen: Persentase anggota luar untuk ukuran dewan;
c. Dewan komite: Keberadaan dan proses audit, komite nominasi dan remunerasi;
d. Pertemuan Dewan: Jumlah pertemuan dewan yang diselenggarakan sepanjang tahun. Variabel
ini digunakan sebagai proxy untuk proses dewan;
e. Transparansi dalam pelaporan: Pelaporan informasi anggota dewan dan indikator kinerja
dalam laporan tahunan selain persyaratan wajib pelaporan keuangan.

Sedangkan L.Trakman (2008: 66-74), secara spesifik memaparkan tentang model governance
pada universitas ke dalam lima model sebagai berikut:

1. University governance oleh staf akademik


Model tata kelola universitas yang paling tradisional mengasumsikan bahwa universitas diatur
oleh staf akademik, yang kadang-kadang diidentifikasi dengan collegial governance. Hal ini
biasanya dilakukan dengan memberikan kekuasaan tata kelola yang luas untuk senat universitas
atau perwakilan fakultas, atau keduanya. Alasan untuk model ini adalah bahwa staf akademik
biasanya yang siap dalam memahami tujuan akademik dan aspirasi universitas dan bagaimana
mencapainya.
Kritikan yang sering diarahkan pada model faculty governance ini adalah yang berhubungan
dengan masalah akademik. Staf sering memiliki keterampilan yang kurang dalam menentukan
tata kelola kebijakan, yang berhubungan dengan para pemangku kepentingan yang tidak terlibat
langsung dalam mengajar atau penelitian dan dalam memikul tanggung jawab untuk keuangan
dan personil dalam manajemen yang kompleks dan sistem keuangan.

2. Corporate Governance
Model corporate governance saat ini lazim ditemukan di universitas-universitas. Berkonsentrasi
pada tanggung jawab anggaran dan manajerial tata kelola universitas, model corporate
governance didasarkan pada model bisnis untuk universitas. Hal ini juga didasarkan pada alasan
efisiensi organisasi, sebagai reaksi terhadap kritikan bahwa Perguruan Tinggi negeri dianggap
kurang berhasil atau secara keuangan tidak efisien dan pada asumsi bahwa pemodelan corporate
governance dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan ini.
Beberapa Perguruan Tinggi negeri di luar Amerika Serikat telah bergerak secara struktural lebih
dekat dengan model corporate governance, dengan pimpinan dan dewan senat yang lebih kecil
dan mewalikan secara langsung tata kelola universitas, pada CEO, chief operating officer dan
chief financial officer untuk mengambil porsi sebagai tim manajemen senior.
3. Trustee Governance

Model ini mengacu pada tata kelola yang didasari hubungan atas 'trust' antara wali amanat yang
bertindak dalam kepercayaan untuk, dan atas nama, kepercayaan penerima manfaat. Model
perwalian ini diartikulasikan secara struktural melalui mekanisme tanggung jawab berdasarkan
kepercayaan. Akibatnya, wali amanat memiliki kewajiban perwalian untuk melepaskan
kepercayaan mereka dengan itikad baik sepenuhnya 'terhadap penerima manfaat dari
kepercayaan tersebut. Model ini masih agak kabur. Mereka juga cenderung bekerja di permukaan
dalam tata kelola universitas. Model ini biasanya dijalankan untuk menopang pemasaran dan
promosi pengembangan institusi.

4. Stakeholder Governance

Model ini, terjadi ketika tata kelola dipegang oleh beragam pemangku kepentingan termasuk,
antara lain, mahasiswa, Staf akademisi, alumni, mitra perusahaan, pemerintah dan masyarakat
luas. Berbeda dari faculty governance, memberikan tata kelola pada beberapa perwakilan tidak
terbatas pada staf akademik. Berbeda dari corporate governance, stakeholder governance
menyusun otoritas tata kelola yang representative, berbeda dengan professional dan dewan yang
berfokus pada bisnis; dan mandat stakeholder yang diberikan melampaui pengelolaan yang
efisien dan tanggung jawab anggaran dari dewan corporate governance

5. Amalgam models of governance


Model campuran dari tata kelola universitas ini mencakup beberapa kombinasi dari staf
akademik, corporate, dan stakeholder governance. Karakteristik model amalgam ini meliputi
tanggung jawab tata kelola:
a. membangun basis pengetahuan bagi seluruh masyarakat;
b. Laba dalam kegiatan nirlaba;
c. Pengeluaran yang bijaksana, tepat dan lengkap atas dana yang disediakan oleh pemerintah
untuk tujuan tertentu;
d. menghasilkan inovasi yang mendukung pembangunan ekonomi;
e. memastikan kebebasan bagi staf akademik untuk memberikan komentar publik dan
memberikan nasihat tentang isu-isu di bidang keahlian mereka;
f. membangun massa kritis di daerah-daerah disiplin atau profesional di mana universitas
berusaha untuk unggul; dan,
g. menyediakan lingkungan di mana siswa memiliki kesempatan, apa pun latar belakang mereka,
untuk mencapai semua yang mungkin bagi mereka.

Keuntungan dari model tata kelola campuran ini adalah bahwa ia mampu menggabungkan
kekuatan dari model tata kelola yang berbeda sesuai dengan kebutuhan spesifik universitas.

Penerapan Tata Kelola Perguruan Tinggi


Implementasi GUG secara lengkap mencakup pelaksanaan governance principles,
governance structure, governance process, dan governance outcomes. M A Daniri (2014)
menyatakan bahwa pelaksanaan GUG mesti diwujudkan secara utuh dan kokoh sebagai
keseluruhan bangunan rumah governance. Model penilaian ini lebih cocok diterapkan pada
Perguruan Tinggi yang berbentuk PTN-BH. Dasar pertimbangannya adalah, fungsi check and
balance-nya lebih terlihat melalui peran dan fungsi organ utama yang diatur dalam perundang-
undangan yang berlaku Penilaian governance merupakan upaya untuk mengukur dan memetakan
kondisi Perguruan Tinggi dalam menerapkan tata kelola. Langkah ini diperlukan untuk
memastikan titik awal atau untuk memahami tingkatan penerapan tata kelola Perguruan Tinggi
serta untuk mengidentifikasi areas of improvement sehingga memudahkan bagi Perguruan
Tinggi dalam mengambil langkah tindak lanjut.
Tujuan penilaian/evaluasi penerapan Good University Governance adalah:
a. Mengukur kualitas penerapan GUG pada Perguruan Tinggi melalui penilaian/evaluasi tingkat
pemenuhan kriteria GUG dengan kondisi nyata yang diterapkan di Perguruan Tinggi, melalui
pemberian skor/nilai atas penerapan GUG dan kategori kualitas penerapan GUG-nya.
b. Mengidentifikasi kekuatan dan kelemahanan penerapan GUG pada Perguruan Tinggi, serta
mengusulkan rekomendasi perbaikan untuk mengurangi celah (gap) antara kriteria GUG dengan
penerapan GUG pada Perguruan Tinggi bersangkutan.
c. Memonitor konsistensi penerapan GUG pada Perguruan Tinggi dan memperoleh masukan
untuk penyempurnaan dan pengembangan kebijakan university governance di lingkungan
Pendidikan Tinggi.

Governance Principles
Dalam rangka meningkatkan kinerja Perguruan Tinggi, melindungi kepentingan
Pemangku Kepentingan (Stakeholders), dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan serta nilai etika yang berlaku umum, Perguruan Tinggi sudah sepatutnya
wajib menerapkan prinsip-prinsip Tata Kelola yang baik dalam setiap aktivitas Perguruan Tinggi
pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
Penerapan tata kelola pada Perguruan Tinggi harus senantiasa berlandaskan pada lima prinsip
yang melekat seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 139
Tahun 2014 Pasal 63 tentang Pedoman Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi berikut ini:
a) Akuntabilitas

Akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban organ


Perguruan Tinggi sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif. Prinsip akuntabilitas
merupakan kemampuan dan komitmen untuk mempertanggungjawabkan semua kegiatan yang
dijalankan Perguruan Tinggi kepada semua pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Prinsip akuntabilitas terdiri dari akuntabilitas akademik dan nonakademik
yang wajib diwujudkan dengan pemenuhan standar nasional pendidikan tinggi. Prinsip
akuntabilitas harus melekat pada pelaksanaan otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi sebagai
bentuk kontrol yang terukur, sehingga bebas dari penyalahgunaan wewenang pengelolaan yang
diberikan kepada Perguruan Tinggi.
b) Transparansi

Prinsip transparansi berarti bahwa pengelolaan Perguruan Tinggi harus terbuka dan mampu
menyajikan informasi yang relevan, secara tepat dan akurat kepada pemangku kepentingan serta
keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan untuk mencegah terjadinya
praktik-praktik kecurangan dalam pengelolaan Perguruan Tinggi yang dapat merugikan
masyarakat.
c) Nirlaba

Prinsip nirlaba wajib dijalankan dalam seluruh aspek pendidikan di Indonesia termasuk
pendidikan tinggi. Prinsip nirlaba menekankan bahwa setiap kegiatan yang dilakukan Perguruan
Tinggi tidak bertujuan untuk mencari keuntungan atau sisa hasil usaha. Jika ada sisa hasil usaha,
seluruhnya harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan pendidikan
Perguruan Tinggi tersebut.
d) Prinsip Penjaminan Mutu

Prinsip penjaminan mutu dimaksudkan untuk menjamin adanya kegiatan sistemik bahwa untuk
memberikan layanan pendidikan tinggi yang memenuhi atau melampaui standar nasional
pendidikan tinggi serta peningkatan mutu pelayanan pendidikan secara berkelanjutan.
Pengelolaan Perguruan Tinggi harus memenuhi prinsip penjaminan mutu dengan mengacu pada
standar nasional pendidikan tinggi sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di
manapun dan dalam bentuk apapun. Hal ini menghindari praktik Perguruan Tinggi “abal-abal”
yang tidak sesuai dengan standar
nasional Perguruan Tinggi.
e) Prinsip efektivitas dan efisiensi

Prinsip efektivitas dan efisiensi berarti bahwa setiap kegiatan pengelolaan Perguruan Tinggi
harus dilakukan secara sistemik untuk memanfaatkan sumber daya dalam penyelenggaraan
pendidikan tinggi agar tepat sasaran dan tidak terjadi pemborosan. Prinsip ini menyesuaikan
dengan standar nasional Perguruan Tinggi yang direncanakan dan ditetapkan dengan tetap
bertujuan pada upaya Perguruan Tinggi.
Dalam penerapan prinsip-prinsip GUG dibutuhkan suatu bentuk penilaian (assessment) untuk
melihat sejauh mana perkembangan penerapan prinsip-prinsip GUG telah dilaksanakan dan
pengaruhnya terhadap kegiatan operasional dan kinerja Perguruan Tinggi. Penilaian faktor Tata
Kelola merupakan penilaian terhadap kualitas manajemen Perguruan Tinggi atas penerapan Tata
Kelola yang baik, dengan memperhatikan signifikansi atau materialitas suatu permasalahan
terhadap penerapan Tata Kelola pada Perguruan Tinggi secara menyeluruh, sesuai skala,
karakteristik, dan kompleksitas aktivitas Perguruan Tinggi. Penilaian dilakukan secara
komprehensif dan terstruktur yang diintegrasikan menjadi 3 (tiga) aspek governance yaitu
governance structure, governance process, dan governance outcome, sebagai suatu proses yang
berkesinambungan.

Governance Structure
Struktur governance meliputi struktur organ dan kebijakan Perguruan Tinggi. Fokus
perhatian dalam membangun struktur governance ada pada dua hal, yaitu pertama, pemetaan
fungsi atau kegiatan apa saja yang menimbulkan benturan kepentingan dan memiliki potensi
fraud yang tinggi, serta kedua, upaya memastikan bahwa mekanisme check and balance dapat
bekerja secara efektif.
Penilaian governance structure bertujuan untuk menilai kecukupan struktur dan infrastruktur
Tata Kelola Perguruan Tinggi agar penerapan prinsip Tata Kelola yang baik menghasilkan
outcome yang sesuai dengan harapan Pemangku Kepentingan (Stakeholders). Struktur
Governance mencakup struktur organ dan kebijakan Perguruan Tinggi. Struktur (hardstructure)
Tata Kelola Perguruan Tinggi adalah Rektor, Dewan Pertimbangan (MWA), Senat, komite-
komite, dan Satuan Kerja Perguruan Tinggi. Adapun yang termasuk infrastruktur (softstructure)
Tata Kelola Perguruan Tinggi antara lain kebijakan dan prosedur Perguruan Tinggi, sistem
informasi manajemen serta tugas pokok dan fungsi masing-masing struktur organisasi.
Dalam struktur governance juga meliputi beberapa aspek penting yang berperan mendukung
organ Perguruan Tinggi yaitu pengendalian internal (internal control), manajemen risiko (risk
management), dan ketaatan terhadap ketentuan yang berlalu (compliance). Menurut M A Daniri
(2014), sistem pengendalian internal dimaksudkan untuk melindungi Perguruan Tinggi terhadap
penyelewengan akademik dan non akademik (finansial dan hukum), serta untuk mengidentifikasi
dan menangani risiko dengan tujuan untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya Perguruan
Tinggi secara etis, efektif, dan efisien.
PP No. 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah menyatakan bahwa sistem
pengendalian internal merupakan proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang
dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan Perguruan Tinggi dan seluruh pegawai untuk
memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif
dan efisien, keandalam pelaporan keuangan, pengamanan aset, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang berlaku. Pengendalian internal yang efektif dimulai
dengan kepatuhan terhadap standar-standar etika yang berlaku pada Perguruan Tinggi, baik
dalam bentuk lisan atau tulisan. Komitmen pimpinan Perguruan Tinggi terhadap nilai-nilai etika
dan moral akan mempengaruhi standar perilaku Perguruan Tinggi secara keseluruhan. Adanya
kode etik bagi dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan tidak menjamin munculnya
kepatuhan jika tidak didukung langsung tindakan dan keteladanan nyata pinpinan Perguruan
Tinggi beserta jajarannya. Jadi, sistem pengendalian bukan hanya berbicara tentang do the right
thinks tetapi juga do things right.

Governance Process
Proses governance merupakan cara atau mekanisme yang dilakukan oleh organ
Perguruan Tinggi dan jajaran di bawahnya dalam melakukan fungsi dan tugasnya untuk
mewujudkan komitmen dan struktur governance sehingga dapat tercapai governance outcome
yang sesuai dengan prinsip GUG. Penilaian governance process bertujuan untuk menilai
efektifitas proses penerapan prinsip Tata Kelola yang baik yang didukung oleh kecukupan
struktur dan infrastruktur Tata Kelola Perguruan Tinggi sehingga menghasilkan outcome yang
sesuai dengan harapan Pemangku Kepentingan. Penekanan pada proses governance adalah
memastikan bahwa proses pengambilan keputusan dan kebijakan berjalan sesuai prinsip-prinsip
GUG dan diambil semata-mata untuk kepentingan Perguruan Tinggi.
Mekanisme yang harus dipastikan dalam proses governance dapat dilihat berdasarkan dua
tingkatan, yaitu tingkatan organ dan tingkatan operasional serta proses bisnis Perguruan Tinggi.
1. Tingkatan Organ Perguruan Tinggi
a. Pelaksanaan rapat internal maupun gabungan Dewan Pertimbangan/MWA, Senat Akademik,
dan Rektor.
b. Fungsi, tugas, wewenang dan tanggung jawab Dewan Pertimbangan/MWA, Senat dan Rektor.
c. Kesesuaian aktivitas Perguruan Tinggi dengan visi, misi, nilai-nilai, dan strategi Perguruan
Tinggi.
d. Pengembangan Sumber Daya Manusia berdasarkan merit system yang berbasis kompetensi
dan integritas.
e. Program pengabdian pada masyarakat yang terintegrasi dengan strategi Perguruan Tinggi.
f. Sosialisasi pedoman GUG kepada dosen, mahasiswa, dan tenaga kependidikan secara
kontinyu.
g. Dokumentasi atas proses governance.
2. Tingkatan Operasional dan Proses Bisnis
a. Proses rekrutmen pegawai dilakukan secara terbuka dan fair.
b. Proses pengadaan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Governance Outcome
Penilaian governance outcome bertujuan untuk menilai kualitas outcome yang memenuhi
Pemangku Kepentingan Perguruan Tinggi yang merupakan hasil proses penerapan prinsip Tata
Kelola yang baik serta didukung oleh kecukupan struktur dan infrastruktur Tata Kelola
Perguruan Tinggi. Governance outcome merupakan manifestasi dari pelaksanaan governance
oleh Perguruan Tinggi yang dimulai dari governance commitment dan dilaksanakan melalui
governance structure dan governance process secara terintegrasi. Sebagai implikasi dari
governance outcome, Perguruan Tinggi mampu memelihara keberlangsungan termasuk dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan harapan dari stakeholders. Governance outcome merupakan
iindikator capaian atas pelaksanaan kegiatan Perguruan Tinggi.

Tahapan Penerapan Good University Governance


Perguruan Tinggi, khususnya yang berbentuk PTN-BH, wajib menerapkan Good
University Governance secara konsisten dan berkelanjutan dengan berpedoman pada peraturan
yang berlaku dengan tetap memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku serta Anggaran
Dasar Perguruan Tinggi. Konsekuensi dari “konsisten” dan “berkelanjutan” perlu adanya
pengukuran. Pengukuran GUG memberikan profil kekuatan penerapan GUG dan peluang bagi
perbaikan terhadap praktik-praktik yang belum sesuai ketentuan/kriteria pengukuran GUG. Hasil
pengukuran menjadi action plan bagi perguruan tinggi dalam menindaklanjuti hal-hal yang
masih harus dilakukan upaya perbaikan.
Penerapan GUG dapat dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap persiapan, implementasi, dan
evaluasi.
1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan penerapan GUG terdapat dua aktivitas yang harus dilakukan, yaitu 1)
membangun kesadaran (Awareness Building) dan 2) membuat pedoman penerapan GUG (GUG
Manual Building). Pada tahap awareness buiding diperlukan komitmen yang melibatkan segenap
manajemen puncak perguruan tinggi (Organ Utama Perguruan Tinggi). Hal ini diperlukan untuk
membangun kesadaran mengenai arti penting tata kelola Perguruan Tinggi yang Baik. Upaya ini
dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga ahli independent dari luar perguruan tinggi.
Bentuk kegiatan ini dapat dilakukan melalui seminar, lokakarya, in house training, dan diskusi
kelompok.
GUG manual building adalah proses penyusunan manual atau pedoman implementasi GUG.
Pedoman Perguruan Tinggi merupakan unsur penting yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi.
Dokumen ini menjadi rujukan bagi seluruh elemen perguruan tinggi dalam menjalankan
aktivitas. Penyusunan pedoman GUG idealnya disusun dengan keterlibatan penuh dari internal
perguruan tinggi, khususnya level top manajemen. Keterlibatan manajemen puncak akan
membuat tone at the top dalam menerapkan GUG dapat berjalan dengan baik. Manual GUG
dibedakan atas manual organ-organ Perguruan Tinggi dan manual yang berlaku untuk seluruh
civitas akademika, meliputi Pedoman Tata Kelola Perguruan Tinggi, Pedoman Perilaku (Kode
Etik), Pedoman Pengendalian Gratifikasi, Pedoman e-LHKPN, Pedoman bagi organ-organ
Perguruan Tinggi, Audit Committee Charter, Internal Audit Charter, Pedoman SPI, Pedoman
Manajemen Risiko. dan roadmap GUG.

2. Tahap Implementasi
Tahap implementasi meliputi dua langkah utama yaitu sosialisasi dan internalisasi. Sosialisasi
diperlukan untuk memperkenalkan kepada seluruh civitas akademika berbagai aspek yang terkait
dengan implementasi GUG khususnya mengenai pedoman penerapan GUG. Dengan sosialisasi
yang dilakukan secara kontinyu diharapkan pemahaman GUG akan tumbuh dan melekat dengan
baik, sehingga dapat diterapkan pada setiap aktivitas yang dilakukan oleh seluruh civitas
akademika.
Tahap internalisasi adalah tahap jangka Panjang dalam implementasi GUG. Internalisasi
mencakup upaya-upaya untuk memperkenalkan GUG di dalam seluruh lini kegiatan perguruan
tinggi melalui berbagai prosedur operasi, system kerja, dan berbagai peraturan perguruan
tinggi.Upaya ini memastikan bahwa penerapan GUG tidak hanya di permukaan saja namun
benar-benar tercermin dalam seluruh kegiatan perguruan tinggi.

3. Tahap Evaluasi
Evaluasi membantu perguruan tinggi memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian
perguruan tinggi dalam menerapkan GUG sehingga dapat mengupayakan langkah-langkah
perbaikan yang diperlukan berdasarkan rekomendasi yang diberikan. Rekomendasi diberikan
sebelumnya dari aktivitas assessment, audit, atau scoring yang dapat dilakukan secara
mandatory. Tahap evaluasi harus dilakukan secara teratur untuk mengukur sejauh mana
efektifitas penerapan GUG telah dilaksanakan. Hasil evaluasi/asesmen penerapan GUG
memberikan informasi perbaikan/pengembangan penerapan GUG secara berkelanjutan
(penyempurnaan infrastruktur maupun perbaikan dalam pelaksanaannya.

Model Penilaian Penerapan Good University Governance


Penilaian pada governance structure, governance process, dan governance outcome
merupakan satu rangkaian penilaian yang terintegrasi, komprehensif, dan terstruktur sehingga
kesimpulan hasil penilaian governance outcome mencerminkan sejauh mana penerapan
governance process dan dukungan yang memadai dari governance structure, yang perlu diuji dan
dibuktikan lebih lanjut.
Penilaian terhadap penerapan Good University Governance dapat dilihat dari empat aspek, yaitu:
1. Komitmen terhadap penerapan tata kelola Perguruan tinggi yang baik secara berkelanjutan.
Tahap membangun komitmen merupakan tahap yang sangat krusial dalam penerapan
GUG pada Perguruan tinggi. Penerapan GUG secara kontinue dan berkelanjutan hanya dapat
dicapai jika terdapat komitmen yang kuat dari organ utama Perguruan tinggi dan jajaran di
bawahnya. Komitmen Perguruan tinggi tertuang dalam visi yang diperjelas dengan misi, dan
didukung oleh sumber daya manusia yang professional dengan melaksanakan praktik GUG demi
memberikan manfaat optimal dan nilai tambah bagi stakeholders.
Ada lima hal yang menjadi indikator pengukuran penilaian GUG dalam aspek komitmen,
meliputi:
1) Pernyataan sikap perguruan tinggi terhadap tata kelola perguruan tinggi yang baik
2)Pelaksanaan aturan university governance
3) Kepatuhan Perguruan Tinggi terhadap peraturan yang berlaku.
4) Perguruan Tinggi telah memperhatikan kepentingan seluruh stakeholders perguruan tinggi.
5) Ketepatan dalam penyampaian pelaporan kepada stakeholders.

2. Kebijakan Good University Governance


Beberapa hal yang menjadi indikator pengukuran penerapan GUG dari aspek kebijakan
adalah sebagai berikut:
1) Ketersediaan pedoman/kebijakan GUG dan pedoman perilaku
2) Ketersediaan kebijakan pengelolaan dan administrasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara
Negara (LHKPN)
3) Ketersediaan kebijakan pengendalian gratifikasi berdasarkan ketentuan yang berlaku.
4) Ketersediaan kebijakan system pelaporan dugaan penyimpangan pada Perguruan Tinggi yang
bersangkutan (whistle blowing system).
5) Ketersediaan kebijakan pengendalian dokumen

3. Partisipan Good University Governance


Beberapa hal yang menjadi indikator pengukuran penerapan GUG dari aspek partisipan
GUG adalah sebagai berikut:
1) Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Majelis Wali Amanah
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan
Pengelolaan Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai unsur
penyusun kebijakan yang menjalankan fungsi penetapan, pertimbangan pelaksanaan kebijakan
umum, dan pengawasan nonakademik. Tugas utama MWA adalah menetapkan kebijakan umum
universitas, mengangkat/memberhentikan pimpinan universitas, melaksanakan fungsi
pengawasan dan pengendalian umum atas pengelolaan universitas dan melakukan penilaian
kinerja pimpinan universitas. MWA menjalankan fungsi sebagai conformance role. Majelis Wali
Amanat (MWA) adalah badan tertinggi di universitas yang mewakili kepentingan pemerintah,
kepentingan masyarakat dan kepentingan universitas itu sendiri. Keanggotaan MWA terdiri
beberapa elemen, yaitu: Menteri (Bidang Pendidikan), Senat Akademik Universitas, Rektor,
Masyarakat, Karyawan dan Mahasiswa yang semuanya diangkat/diberhentikan oleh Menteri
untuk masa jabatan 5 tahun. Untuk mahasiswa, masa jabatan biasanya hanya terbatas setahun
digantikan oleh wakil dari mahasiswa yang lain yang lebih junior mengingat tugas utama mereka
yang harus menyelesaikan kegiatan perkuliahan.
Indikator yang dapat digunakan untuk menilai penerapan GUG dalam pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab MWA adalah sebagai berikut:
a. MWA melakukan pengangkatan dan pemberhentian Rektor, dari mulai penetapan pedoman,
penilaian terhadap calon Rektor, menetapkan peraturan rangkap jabatan bagi Rektor, dan
memberhentikan Rektor sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b. MWA melakukan pembagian tugas dan menetapkan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk
mendukung pelaksanaan tugas MWA.
c. MWA memberikan persetujuan atas rencana jangka panjang dan menengah, serta rencana
kerja dan anggaran tahunan yang diusulkan oleh Rektor

d.MWA memberikan arahan kepada Rektor atas implementasi rencana dan kebijakan Perguruan
Tinggi.
e. MWA melaksanakan pengawasan terhadap Rektor atas implementasi rencana dan kebijakan
Perguruan tinggi.
f. MWA memantau dan memastikan bahwa prinsip-prinsip Tata Kelola Perguruan Tinggi yang
Baik telah diterapkan secara efektif dan berkelanjutan.
g. MWA menyelenggarakan rapat MWA yang efektif dan menghadiri rapat tersebut sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
h. MWA memiliki Sekretaris MWA untuk mendukung tugas kesekretariatan MWA.
i. MWA memiliki Komite MWA yang efektif.

2) Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Rektor


Rektor adalah pemimpin Perguruan tinggi sebagai unsur pelaksanan akademik yang
menjalankan fungsi pengelolaan Perguruan Tinggi dan bertanggung jawab kepada MWA. Rektor
dalam melakukan tugasnya berdasarkan kepercayaan, jadi harus berbuat bona fide, untuk
kepentingan Perguruan tinggi secara keseluruhan dan bukanlah untuk kepentingan sekelompok
orang. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Rektor harus bertolak dari landasan bahwa
tugas dan kdudukan yang diperolehnya berdasarkan dua prinsip dasar, yaitu pertama
kepercayaan yang diberikan Perguruan tinggi kepadanya (fiduciary duty), dan kedua prinsip yang
merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan Rektor (duty of skill and care). Kedua
prinsip ini menuntut Rektor untuk bertindak dengan itikad baik, penuh kehati-hatian, semata-
mata untuk kepentingan dan tujuan Perguruan tinggi.
Indikator yang dapat digunakan dalam menilai penerapan GUG dari aspek pelaksanaan tugas dan
tanggung jawab Rektor adalah sebagai berikut:
a. Rektor melakukan pembagian tugas/fungsi, wewenang dan tanggung jawab secara jelas.
b. Rektor menyusun rencana Perguruan tinggi.
c. Rektor berperan dalam pemenuhan target kinerja
akademik dan nonakademik Perguruan tinggi.
d. Rektor melaksanakan pengendalian operasional dan keuangan terhadap implementasi rencana
dan kebijakan perusahaan.
e. Rektor melaksanakan pengurusan Perguruan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan Anggaran Dasar.
f. Rektor melakukan hubungan yang bernilai tambah bagi Perguruan tinggi dan stakeholders,
termasuk prosedur tertulis yang menampung dan menindaklanjuti keluhan-keluhan stakeholders.
g. Rektor memonitor dan mengelola potensi benturan keperntingan Wakil Rektor dan
manajemen di bawah Rektor, termasuk menetapkan kebijakan untuk mencegah benturan
kepentingan.
h. Rektor memastikan Perguruan tinggi melaksanakan keterbukaan informasi dan komunikasi
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan penyampaian informasi kepada organ
utama lainnya secara tepat waktu.
i. Rektor menyelenggarakan rapat Rektor dan menghadiri rapat koordinasi dengan organ utama
lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, meliputi pedoman, penyelenggaraan,
kehadiran, evaluasi terhadap hasil rapat sebelumnya, dan menindaklanjuti arahan dan atau
keputusan MWA.
j. Rektor menyelenggarakan pengawasan intern yang berkualitas dan efektif.
k. Rektor menyelenggarakan fungsi Sekretaris Perguruan Tinggi yang berkualitas dan efektif,
dilengkapi dengan faktor-faktor pendukung keberhasilan tugasnya
3. Pelaksanaan Tugas dan Tanggung Jawab Senat
Senat akademik menjalankan fungsi penetapan kebijakan, pemberian pertimbangan, dan
pengawasan di bidang akademik. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur penerapan
Good University dari aspek ini sebagai berikut:

a. Senat melakukan pembagian tugas dan menetapkan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk
mendukung pelaksanaan tugas Senat.
b. Senat memberikan pertimbangan dan persetujuan atas hal-hal yang terkait dengan kebijakan
akademik kepada Rektor.
c. Senat melaksanakan pengawasan dan evaluasi atas kebijakan, pelaksanaan tridharma
perguruan tinggi dengan mengacu pada tolok ukur yang ditetapkan dalam rencana strategis dan
menyarankan usulan perbaikan kepada Rektor.

4. Pengungkapan Informasi dan Transparansi


Signaling Theory menunjukkan bagaimana asimetri informasi dapat dikurangi oleh pihak yang
lebih banyak memiliki informasi dengan mengirimkan sinyal kepada pihak lain. Pengungkapan
informasi diyakini dapat menjadi sinyal yang meminimalisir kekhawatiran pihak stakeholder.
Dengan sinyal ini, stakeholders dapat memberikan kepercayaannya kepada Perguruan tinggi
dalam pengambilan keputusan. transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan proses
pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan
mengenai Perguruan tinggi. Keterbukaan dalam batas-batas tertentu digunakan untuk
mendapatkan kepercayaan setiap pihak. Keterbukaan informasi pun menjadi sarana dalam
memaksimalkan pengawasan stakeholders terhadap Perguruan tinggi (Cadbury Committee,
1992).
Indikator yang dapat digunakan dalam menilai penerapan Good University Governance dari
aspek pengungkapan informasi dan transparansi adalah sebagai berikut:
a. Perguruan tinggi menyediakan bagi stakeholder akses atas informasi Perguruan tinggi yang
relevan, memadai, dan dapat diandalkan secara tepat waktu dan berkala.
b. Kelengkapan penyajian Laporan tahunan.

Dari indicator pengukuran atas setiap aspek yang dinilai dapat diturunkan menjadi parameter,
dan setiap parameter dapat diturunkan menjadi beberapa faktor uji kesesuaian. Atas masing-
masing factor uji kesesuaian dilakukan pengumpulan data melalui reviu dokumen, kuesioner,
wawancara, dan observasi. Kriteria yang harus diperhatikan dalam penggunaan dokumen sebagai
sumber data saat reviu dokumen adalah (a) keterkaitan (relevansi) dan (b) kecukupan dokumen
dan informasi yang terkandung dalam mendukung fakta yang akan diukur oleh suatu parameter.
Kriteria yang akan diuji kesesuaian penerapannya dilakukan penilaian terhadap: 1)
SOP/aturan/kebijakan; 2) Diseminasi/sosialisasi; 3) Pemahaman para partisipan; 4)Rencana
Pelaksanaan; 5) Pelaksanaan proses; 6) Keluaran/Output; dan 7) Kualitas keluaran/output yang
dihasilkan.
Pendekatan evaluasi yang digunakan dapat melalui pendekatan kualitatif atau pendekatan
kuantitatif. Pendekatan kualitatif tidak menggunakan skor, biasanya sangat dipengaruhi perilaku
asesor dalam memahami suatu kondisi. Hasil evaluasi bersifat subjektif karena penarikan
kesimpulan bias bervariasi di antara asesor. Sedangkan pendekatan kuantitatif menggunakan
skor, secara psikologis lebih memberikan pengaruh bagi pihak yang dievaluasi dan
memungkinkan teridentifikasinya weakness area, namun demikian dalam penetapan bobot dan
skor dapat timbul perdebatan karena beragamnya cara yang digunakan. Hasil dari penilaian
tersebut akan menunjukkan tingkat/klasifikasi kualitas penerapan GUG berdasarkan pemenuhan
parameter/scorecard.

DAFTAR PUSTAKA
Widyaningsih.,A.2020. Model Penilaian Implementasi Tata Kelola PerguruanTinggi.
Universitas Pendidikan Indonesia.

A Suci, S Maryanti, LLVan FC, A Yandra. (2020). Dilema Ex-Officio Terkait Pencegahan Korupsi
Dan Penjaminan Mutu Di Perguruan Tinggi Swasta. Jurnal Penjaminan Mutu., Vol 6. No. 1.

A. Wahyudin, A. Nurkhin, & K. Kiswanto. (2017). Hubungan Good University Governance


Terhadap Manajemen Keuangan Perguruan Tinggi. Jurnal Keuangan dan Perbankan, 21(1): 60-69.

Cadbury Committee. (1992). Report of The Committee on The Financial Aspects of Corporate
Governance. First published December 1992. Diakses dari
https://ecgi.global/sites/default/files//codes/documents/cadbury.pdf

F. Hēnard & A. Mitterle. (2010). Governance and Quality Guidelines in Higher Education. A Review
of Governance Arrangements and Quality Assurance Guidelines. OECD.

GE Kaplan. (2004). Do Governance Structures Matter? New Directions For Higher Education, No.
127, Fall 2004 © Wiley Periodicals, Inc.

MC Jensen & WH Meckling. (1976). Theory of the firm: Managerial behavior, agency costs and
ownership structure. Journal of Financial Economics, volume 3 , Issue 4, October 1976, Pages 305-
360. https://doi.org/10.1016/0304-405X(76)90026-X

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2013. Otonomi dan Tata Kelola
Perguruan Tinggi. Diakses dari http://www.manajemenpendidikantinggi.net/index.php/e-library.

KPK. (2017). Menguatkan Tata Kelola Transparansi Informasi Publik di Perguruan Tinggi. Komisi
Pemberantasan Korupsi. Diakses dari https://acch.kpk.go.id/id/ragam/riset-publik

C De Silva Lokuwaduge (2011) Governance and performance: an empirical study of Australian


universities. PhD thesis, Victoria University. Diakses dari
http://vuir.vu.edu.au/19377/1/Chitra_De_Silva.pdf

M.A. Daniri. (2014). Lead By GCG. Gagas Bisnis Indonesia.Jakarta

Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Andi.

OECD. 2017. Benchmarking higher education system performance: Conceptual framework and data,
Enhancing Higher Education System Performance, OECD Paris.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah. Diakses dari
http://www.bpkp.go.id/public/upload/unit/sakd/files/PP60Tahun2008_SPIP.pdf

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan


Pendidikan Tinggi Dan Pengelolaan Perguruan Tinggi

Torres, R. M. D. la T., & Melgoza, E. E. T. (2010). 1.1. Ideas preliminares. Derecom, 4(1), 1–13.
L Trakman. (2008). Modeling University Governance. Higher Education Quartley. Vol. 62, issue 1-
2. https://doi.org/10.1111/j.1468-2273.2008.00384.x

Transparansi International Indonesia. (2017). Buku Panduan Pencegahan dan Pengendalian Konflik
Kepentingan di Perguruan Tinggi. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Anda mungkin juga menyukai