kuat. Dengan adanya stigma ini, orang yang mengalami gangguan jiwa terkucilkan, dan dapat
memperparah gangguan jiwa yang diderita. Pada umumnya penderita gangguan jiwa berat
dirawat dan diberi pengobatan di rumah sakit. Setelah membaik dan dipulangkan dari rumah
sakit, tidak ada penanganan khusus yang berkelanjutan bagi penderita. Pengobatan penderita
gangguan jiwa merupakan sebuah journey of challenge atau perjalanan yang penuh tantangan
yang harus berkelanjutan. Penderita gangguan jiwa sulit untuk langsung sembuh dalam satu kali
perawatan, namun membutuhkan proses yang panjang dalam penyembuhan. Karena itu,
dibutuhkan pendampingan yang terus menerus sampai pasien benar-benar sembuh dan bisa
bersosialisasi dengan orang lain secara normal. Ketika di rumah, dukungan dari keluarga dan
lingkungan sekitar sangat dibutuhkan agar penderita bisa menjalani proses penyembuhannya
(Lestari & Wardhani, 2014). Di Indonesia, pengetahuan seseorang tentang gangguan jiwa
dipengaruhi erat oleh kultur budaya. Seseorang dengan gangguan jiwa sering dianggap terkena
guna-guna, menderita suatu dosa ataupun terkena pengaruh setan atau makhluk halus lainnya
(Hawari, 2009). Budaya sangat berpengaruh terhadap perilaku dan persepsi seseorang terhadap
individu dengan kesehatan mental. Pemahaman budaya terkait stigma sangat berdampak pada
individu dengan kesehatan mental. Pengaruh budaya sangat diperhatikan terutama dalam
melaksanakan proses keperawatan yang diungkapkan dalam midle range theory adalah
Transcultural Nursing Theory oleh Leininger . Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi
dan dikembangkan dalam konteks keperawatan Culture and social structure dimension atau
culture care merupakan pengaruh dari faktor-faktor budaya tertentu (sub budaya) yang mencakup
agama dan falsafah hidup, sosial dan keterikatan keluarga, politik dan legal, ekonomi,
pendidikan, teknologi dan nilai-nilai budaya yang saling berhubungan dan berfungsi untuk
mempengaruhi perilaku dalam konteks lingkungan yang berbeda (Kamil et al., 2017).
Dalam kehidupan sehari – hari masyarakat Minangkabau di tuntun oleh adat istiadat yang telah
di buat oleh ninik mamak mereka. Dalam sistem kekerabatan matrilineal yang di anut
masyarakat Minangkabau, mamaklah yang memegang kedudukan sebagai kepala kaum dimana
fungsi mamak dituangkan dalam istilah “ anak dipangku kamanakan dibimbiang urang
kampuang di patenggangkan” yang artinya mamak tidak hanya bertanggung jawab terhadap anak
saja, namun juga terhadap keponakan dan orang kampung. Beliau inilah yang menjadi pemimpin
suku, pelindung bagi semua anggota kaumnya dan sebagai hakim dalam memutuskan segala
permasalahan yang dihadapi oleh kaumnya (Ibrahim, 2016). Dengan kata lain, jika ada anggota
kaum dari mereka yang sakit, maka untuk pengobatannya akan dimusyawarahkan dahulu dengan
ninik mamak dari kaum tersebut. Dari hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan, dapat
disimpulkan bahwa klien rentan untuk mendapatkan stigma dari masyarakat sekitar mulai dari
labeling, stereotip, separtion dan bahkan diskrimninasi. Fungsi mamak yang dituangkan dalam
istilah “anak dipang ku kamanakan dibimbing urang kampuang di patenggangkan” yang
harusnya memberikan arahan ke anggota kaumnya untuk memberikan pengobatan yang tepat
untuk ODGJ sehingga bisa sembuh dan bisa hidup produktif.
Pada kenyataannya masyarakat Minangkabau menganggap ODGJ adalah orang sakit jiwa dan
tidak bisa disembuhkan dan tidak berguna dan tidak produktif. Dimana motto masyarakat
Minangkabau itu sendiri adalah “hiduik bajaso mati bapusako” hal ini tidak bisa ditemukan pada
ODGJ bahkan hanya akan memberikan rasa malu dan aib bagi kaum mereka sesuai dengan sifat
masyarakat Minangkabau yang menganut prinsip “sahino samalu”. Maka dari itu peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian tentang Faktor – Faktor Yang Berhubungan Dengan Stigma
Masyarakat Minangkabau Terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa Tahun 2018.