Anda di halaman 1dari 10

A.

Pengertian Sewa Rahim


Sewa Rahim yaitu usaha manusia untuk mengadakan pembuahan dengan
mempertemukan antara sel telur atau ovum dengan spermatozoa antara suami istri
dalam sebuah gelas kemudian di implementasikan kedalam Rahim wanita yang
disewa rahimnya sesuai dengan perjanjian, yang mengakibatkan adanya hubungan
kasih saying antara wanita yang mengandung (di sewa rahimnya) dengan anak
yang dikandungnya.1 Dalam pengertian lain sewa Rahim adalah, menggunakan
Rahim wanita lain untuk mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah
disenyawakan dengan benih laki-laki (sperma) (yang kebiasaannya suami istri),
dan janin itu dikandung oleh wanita tersebut sehingga dilahirkan. Kemudian anak
itu diberikan semula kepada pasangan suami istri itu untuk memeliharanya dan
anak tersebut dikira anak mereka. Pengertian ini dikenal dengan sewa rahim
karena lazimnya pasangan suami istri yang ingin memiliki anak ini akan
membayar sejumlah uang kepada ibu yang menguruskan kerja mencari ibu yang
sanggup mengandungkan anak dari benih mereka dan dengan syarat ibu sewa
tersebut menyerahkan anak tersebut setelah dilahirkan atau pada masa yang
dijanjikan.
B. Bentuk Sewa Rahim
a. Bentuk pertama benih istri (ovum) disenyawakan dengan benih suami
(sperma), kemudian dimasukan kedalam rahim wanita lain. Kaidah ini
digunakan dalam keadaan istri memiliki benih yang baik, tetapi rahimnya
dibuang karena pembedahan, kecacatan yang teruk, akibat penyakit yang
kronik atau sebab-sebab yang lain.
b. Bentuk kedua: ovum istri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan
suaminya) dan dimasukan kedalam rahim wanita lain. Keadaan ini apabila
suami mandul dan istri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi
benih istri dalam keadaan baik.
c. Bentuk ketiga: sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain,
kemudian dimasukan kedalam rahim wanita lain. Keadaan itu berlaku
apabila istri ditimpa penyakit pada ovary dan rahimnya tidak mampu

1
Isdj.pdii.go.id./admin/jurnal/611083344_1693.pdf, diakses pada 27 November 2017,
pukul 21.59 WIB.
memikul tugas kehamilan, atau istri telah mencapai tahap putus haid
(menopause)
d. Bentuk keempat: sperma suami dan ovum istri disenyawakan kemudian
dimasukan kedalam rahim istri yang lain dari suami yang sama. Dalam
keadaan ini istri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari istri
yang tidak boleh hamil.
C. Pendapat para cendekiawan tentang sewa rahim
1. Pendapat yang mengharamkan:
a. Menurut Mutamar Tarjih Muhammadiyah Tahun 1980
Tidak dibenarkan menurut hukum Islam, sebab menanam benih pada wanita lain
haram hukumnya sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

" "
Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyirami
airnya ke lading orang lain. Demikian pula di haramkan karena (1) Pembuahan
semacam itu termasuk kejahatan yang menurunkan martabat manusia, dan (2)
Merusak tata hukum yang telah dibina dalam kehidupan masyarakat.2
b. Pendapat Munas Alim Ulama (NU) Di Sukororejo Sitobondo Tahun 1983
Tidak sah dan haram hukumnya menyewakan rahim bagi suami istri yang cukup
subur dan sehat menghendaki seorang anak. Namun kondisi rahim sang istri tidak
cukup siap untuk mengandung seorang bayi. Selain hadis di atas para ulama beserta
munas berdasarkan hadis nabi yang terdapat pada tafsir Ibnu Katsir juz 3/326
Rasulullah bersabda:Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik dibandingkan
seseorang menaruh spermanya di rahim wanita yang tidak halal baginya3
c. Menurut Yusuf Qordhowi
Penyewaan rahim tidak diperbolehkan, larangan ini dikarenakan cara ini akan
menimbulkan sebuah pertanyaan yang membingungkan, siapakah sang ibu dari
bayi tersebut, apakah si pemilik sel telur yang membawa karakteristik keturunan,
ataukah yang menderita dan menanggung rasa sakit karena hamil dan melahirkan?
padahal, ia hamil dan melahirkan bukan atas kemauannya sendiri.4

2
Imam Bajuri, Penitipan Pra Embrio Pada Rahim Wanita Lain (Sewa Rahim) Menurut
Hukum Islam, (Ponorogo: Jurnal Hukum dan Ekonomi Islam, ISID, 2011), 269.
3
Tim Lajnah Talif Nasyr, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
(Keputusan muktamar, munas, konbes Nahdlatul Ulama (1926-1999), Cet. Ke-2
(Surabaya: Lajnah Talif wa Nasyr (LTN) NU dan Biantama, 2005), 489-491.
4
Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, (Jakarta: Gema Insani Press, Jilid III
Cetakan Pertama, 2002), 659-660.
2. Pendapat yang membolehkan
a. Prof. Dr. Jurnalis Udin, PAK
Apabila raihim milik istri serta program fetilisasi in vitriol transfers embrio itu
memenuhi syarat untuk mengandung embrio itu hingga lahir, penyelenggaraan
reproduksi bayi tabung yang proses kehamilannya didalam rahim wanita lain
(surrogate mother) hukumnya haram. Sebaliknya apabila; (a) rahim istrinya rusak
dan tidak dapat mengandung embrio itu, (b) belum ditemukan teknologi yang dapat
mengandungkan embrio itu di dalam tabung hingga lahir, (c) dan karena itu satu-
satunya jalan untuk mendapatkan anak dari benihnya sendiri hanyalah melalui jalan
surrogate mother maka hukumnya menyelenggarakan reproduksi bayi tabung
dengan menggunakan rahim wanita lain (surrogare mother) hukumnya mubah,
karena hal itu dilakukan selain dalam keadaan darurat juga karena keinginan
mempunyai anak sangat besar.5
b. H. Ali Akbar
Menitipkan bayi tabung pada wanita yang bukan ibunya boleh, karena si ibu
tidak bisa menghamilkannya, disebabkan karena rahimnya mengalami gangguan,
sedang menyusukan anak kepada wanita lain diperbolehkan dalam islam, malah
boleh diupahkan. Maka boleh pulalah memberikan upah kepada wanita yang
meminjamkan rahimnya.6
c. H. Salim Dimyati
Bayi tabung yang menggunakan sel telur dan sperma dari suami yang sah, lalu
embrio nya dititipkan kepada ibu yang lain (ibu pengganti), maka apa yang
dilahirkannya tidak lebih hanya anak angkat belaka, tidak ada hak mewarisi dan
diwarisi, karena anak angkat bukanlah anak sendiri, tidak boleh disamakan dengan
anak kandung.7
D. Tinjauan Fiqh Kontemporer
Dalam masalah sewa rahim ada beberapa hal yang perlu dicermati untuk
menentukan hukum yang sesuai dengan tujuan dan maksud syariat, memperhatikan
kemaslahatan serta mempertimbangkan dampak buruknya karena dalam proses
sewa rahim melibatkan beberapa pihak yang saling berhubungan, mereka yaitu,
pemilik sperma, pemilik ovum (pemilik sel telur) dan pemilik rahim, disamping itu
kata sewa dalam hal tersebut merupakan akad muamalah yang perlu pula ditinjau

5
Salim HS, Bayi Tabung Dalam Bidang Pengobatan, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet- 1,
1993), 114.
6
Umar Syihab, Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran (Semarang: Dina Utama, 1996),
141.
7
Salim HS, Bayi Tabung Dalam Bidang Pengobatan (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), 46.
lagi segi kelegalannya, bahkan jika tetap dilakukan memberikan dampak yang
buruk dan rumit, khususnya pada status anak yang dihasilkannya.
1. Akad dalam Sewa Rahim
Akad adalah pertalian atau perikatan antara ijab dan qobul sesui dengan
kehendak syariah yang menetapkan adanya akibat hukum pada obyek perikatan.
Suatu akad akan sah apabila memenuhi beberapa syarat, diantaranya yaitu shigat
(ijab-qobul), pelaku (aqidain), obyek akad (makud alaih). Sedangkan pada obyek
akad harus memenuhi lima syarat, diantaranya:
a. Harus suci, dengan syarat ini berarti obyek akad yang najis ain tidak sah
diperjual belikan dan di sewakan.
b. Mempunyai manfaat.
c. Sudah mempunyia hak milik.
d. Dapat diserahkan ketika akad.
e. Harus jelas dan diketahui oleh kedua belah pihak.8
Dalam kasus sewa rahim memang ketiga syarat tersebut terpenuhi, namun pada
obyek akadnya terdapat illat yang menjadikan syarat tersebut tidak sah. Seperti
yang dijelaskan oleh Prof. Dr. Said Agil Al-Munawwar, bahwa memang sperma
dan ovum tidak termasuk najis, namun pencampuran antara keduanya setelah
berubah menjadi alaqah (segumpal darah yang melekat pada dinding rahim), maka
ia sudah berubah menjadi najis.
Hal ini erat kaitannya dengan penyewaan rahim, sebab pemindahan sel telur
yang telah dibuahi dalam tabung gelas keadalam rahim wanita, berlangsung ketika
sudah menjadi embrio. Meskipun dalam hal ini dipersewakan bukan sperma dan
ovum melainkan rahim. Tetapi, dalam kasus seperti ini, ada hubungan timbal balik,
yakni pemilik rahim dibayar sesuai perjanjian oleh wanita lain sebagai pemilik
ovum. Berarti hukum keduannya sama.
Dalam pandangan Islam rahim wanita mempunyai kehormatan yang tinggi
dan bukan barang binaan yang boleh disewa atau diperjual belikan karena rahim
adalah anggota manusia yang mempunyai hubungan yang kuat dengan naluri dan
perasaan semasa hamil berbeda dengan tangan dan kaki yang digunakan untuk
bekerja dan seumpama yang tidak melibatkan perasaan. Lebih-lebih lagi ia
termasuk dalam lingkungan yang diharamkan karena manusia tidak berhak
menyewakan rahimnya yang akan melibatkan penentuan nasab. Selain itu, wasilah
mendapat anak adalah hak Allah SWT dan menyewa rahim termasuk pada bagian
farji sedangkan hukum asal dari farji adalah haram. Disamping itu rahim adalah

8
Maruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam (Jakarta: Elsas, 2008) 293.
organ tubuh manusia, dan organ tubuh manusia itu dilarang untuk disewa dan
diperjualbelikan karena organ tubuh bukanlah komoditif yang boleh
diperjualbelikan. Jadi, menyewakan organ tubuh termasuk rahim adalah haram
menurut syari, karena disamping akan memicu timbulnya problem sosial, juga
akan menimbulkan eksploitasi terhadap orang-orang miskin untuk menjual organ
tubuhnya demi mendapatkan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhannya.
2. Konsep Darurat Sewa Rahim
Makna darurat adalah sebuah kebutuhan yang sangat mendesak dimana tidak
mungkin dihindari yang menyebabkan seseorang menerjang dan melanggar
larangan syari yang bersifat haram. Dan kalau keharaman itu tidak di terjang maka
akan menyebabkan sesuatu yang membahayakan dirinya. Seperti yang dikatakan
oleh Izzuddin Ibn Abd al-Salam bahwa tujuan syariat adalah untuk meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadahan. Apabila diturunkan kepada tataran yang
lebih konkrit maka maslahah membawa manfaat sedangkan mafsadah
mengakibatkan kemudharatan. Kaidah tersebut kembali kepada tujuan untuk
merealisasikan maqasid al-syariah dengan menolak mafsadah, dengan cara
menghilangkan kemudharatan atau setidaknya meringankannya. Oleh karena itu,
tidak lah mengherankan apabila Ahmad Nadwi menyebutkan penerapan kaidah
darurat meliputi seluruh materi fiqh.9
Kemudian para Ulama memberikan persyaratan bagi seorang bisa dikatakan
dalam keadaan darurat harus terdapat lima syarat, syarat-syarat tersebut adalah;
a. Kondisi bahaya besar itu telah benar-benar terjadi atau belum terjadi, namun
diyakini atau diprediksi kuat akan terjadi.
b. Tidak bisa dihilangkan dengan cara halal.
c. Ukuran melanggar larangan saat kondisi terpaksa itu harus dilakukan sekedarnya
saja.
d. Waktu melanggar larangan saat kondisi darurat ini tidak boleh melebihi waktu
darurat tersebut.
e. Melanggar sesuatu yang terlarang dalam kondisi darurat tersebut tidak akan
menimbulkan bahaya yang lebih besar.
Dalam prakteknya para ulama memberikan pengecualian pada kaidah ini,
diantaranya adalah;10 Pertama, apabila menghilangkan kemudharatan itu
mengakibatkan datangnya kemudharatan yang lain yang sama tingkatannya, maka
hal ini tidak diperbolehkan melakukan kemudharatan tersebut. Seperti seseorang
yang kelaparan mengambil makanan orang lain yang juga dalam kelaparan,

9
A. Jazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007), 67.
10
A. Jazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana Pernada Media Group, 2007), 70.
meskipun orang yang pertama juga kelaparan. Kedua, apabila dalam
menghilangkan kemudharatan menimbulkan kemudharatan yang lain yang lebih
besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal ini lebih tidak diperbolehkan. Selain
itu, dalam menghilangkan kemudharatan dilarang melampaui batas dan betul-betul
tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah satu-satunya
jalan.
Seperti yang penulis sampaikan bahwa salah satu tujuan dari sewa rahim adalah
untuk memperoleh anak dengan bantuan teknologi kedokteran yang disebabkan
karena rahim si istri tidak bisa memproses janinnya. Namun dalam sewa rahim
harus dibedakan antara hajat dan darurat, jangan sampai orang yang terpaksa itu
melanggar prinsip-prinsip syariah yang pokok, berupa memelihara hak-hak orang
lain, menciptakan keadilan, menunaikan amanah, dan menghindari kemudharatan.
E. Tinjauan Yuridis
Pasangan yang menginginkan anak atau keterunan dengan metode kehamilan
diluar alami harus merupakan pasangan terikat dalam ikatan perkawinan yang
sah. Hal ini berdasarkan pada:
1. a. UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (lama) Pasal 16 ayat (1)
menyatakan: Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya
terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan;
b. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1)
menyatakan: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-
undang kesehatan yang baru dengan yang lama adalah pada kata upaya
terakhir. Pada undang-undang kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya
terakhir dihilangkan. Hal ini berarti seiring dengan perkembangan budaya dan
pemikiran manusia serta kemajuan teknologi yang ada, untuk melakukan
metode kehamilan diluar alamiah dapat langsung dilakukan apabila didapatkan
indikasi medik ataupun terdapat kelainan medis.
c. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (baru) pasal 127 ayat (1)
menyatakan: upaya kehamilan di luar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh
pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan. Perbedaan antara undang-
undang kesehatan yang baru dengan yang lama adalah pada kata upaya
terakhir. Pada undang-undang kesehatan yang baru kata-kata tentang upaya
terakhir dihilangkan. Hal ini berarti seiring dengan perkembangan budaya dan
pemikiran manusia serta kemajuan teknologi yang ada, untuk melakukan
metode kehamilan diluar alamiah dapat langsung dilakukan apabila didapatkan
indikasi medik ataupun terdapat kelainan medis.
2. Hasil pembuahan luar rahim (In Vitro Fertilization) harus dikembalikan kepada
wanita (sang istri) dimana sel telur (ovum) tersebut berasal. Hal ini berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu dalam UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (baru) dalam pasal 127 ayat (1) huruf (a), dijelaskan: asil
pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan
dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
3. Oleh tenaga medis dan fasilitas yang ditunjuk atau yang telah ditentukan. Hal
ini diatur dalam undang-undang yaitu: a. UU No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, dalam pasal 2 huruf (b) dan (c), dijelaskan: dilakukakan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan pada fasilitas
kesehatan tertentu. b. Permenkes RI No. 73 /Menkes/PER/II/1999 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi Buatan,pada pasal 3 ayat (1)
dan (2), dijelaskan:
a. Penyelanggaraan pelayanan teknologi reproduksi buatan,hanya dapat
dilakukan di rumah sakit umum pemerintah kelas A,B dan rumah sakit umum
swasta kelas utama.
b. Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan tekologi reproduksi buatan
harus:
- Memenuhi persyaratan tenaga, sarana dan prasarana;
- Memiliki bagian infertilitas;
- Menggunakan dan menerapkan metode pelayanan teknologi reproduksi buatan
yang telah terbukti manfaatnya. Dengan demikian ada beberapa alasan sehingga
perjanjian pada praktik surrogate mother berdasarkan ketentuan perjanjian yang
diatur dalam KUHPerdata dapat dikatakan tidak sah karena tidak memenuhi
ketentuan mengenai adanya sebab yang halal diantaranya adalah:
1. Melanggar peraturan perundang-undangan yang ada (hukum positif), seperti
yang telah dijelaskan dalam Bab 3 pada point surrogate mother berdasarkan aspek
hukum kesehatan:
a) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan , dalam pasal 127 ayat (1).
b) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi
dalam pasal 43 ayat (3).
c) Permenkes No.73/Menkes/PER/II/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan
Teknologi Reproduksi Buatan, dalam Pasal 4.
d) SK Dirjen Yan Medik Depkes Tahun 2000 tentang Pedoman Pelayanan Bayi
Tabung di Rumah sakit.
2. Bertentangan dengan kesusilaan:
a) Tidak sesuai dengan norma moral dan adat-istiadat atau kebiasaan umumnya
masyarakat Indonesia atau di lingkungan masyarakat Indonesia.
b) Bertentangan dengan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Meskipun salah satu diantara kepercayaan atau agama tersebut membolehkan
untuk dilakukannya sewa rahim, yaitu pada agama Hindu. Namun pada
konsepnya. Sewa rahim atau iatnya dalam agama Hindu tidak dapat disamakan
dengan sewa rahim karena dilakukan dengan secara sukarela tanpa menuntut
bayaran.
3. Pasal 1339 KUHPerdata yang menjelaskan perjanjian-perjanjian tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi untuk
segala sesuatu yang menurut sifatnya perjajian, diharuskan oleh kepatutan,
kebiasaan atau undang-undang. Sehingga pasal ini menegaskan bahwa dalam
menentukan suatu perjanjian, para pihak tidak hanya terikat terhadap apa yang
secara tegas disetujui dalam perjanjian tersebut, tetapi juga terikat oleh
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.
5. Bertentangan dengan pokok-pokok perjanjian atau perikatannya itu sendiri,
dimana rahim itu bukanlah suatu benda (menurut hukum kebendaan) dan tidak
dapat disewakan (menurut hukum sewa menyewa) yang terdapat pada
KUHPerdata. Persyaratan lain yang masih menjadi polemik adalah mengenai
suatu hal tertentu. Dalam pasal 1332 KUHPerdata menentukan bahwa objek
dalam perjanjian adalah barang barang yang dapat diperdagangkan. Sedangkan
yang menjadi objek dalam perjanjian sewa rahim disini adalah rahim dalam tubuh
wanita surrogate yang merupakam organ manusia yang tidak dapat disamakan
dengan barang. Selain rahim tidak dapat disamakan dengan benda, perjanjian
sewa rahim juga tidak dapat disamakan dengan perjanjian sewa menyewa yang
diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian ini tidak dapat disamakan dengan perjanjian
sewa menyewa karena tidak terdapat dua unsur pokok dari perjanjian sewa
menyewa , yakni objek yang berupa benda serta harga. Objek dari perjanjian ini
tidak dapat merujuk kepada rahim, sebab tidak dapat ditentukan perihal
penyerahan, pembebanan, dan daluarsa dari objek tersebut. Dengan kata lain,
perjanjian ini tidak dapat dikatakan sebagai perjanjian sewa rahim maupun sewa
menyewa rahim.11
Adanya sewa rahim ini juga berdampak pada anak yang dilahirkan. Akibat
hukum yang dapat terjadi terhadap anak hasil dari sewa rahim ini adalah terhadap
status anak dan hak waris anak. Persoalan mengenai anak hasil sewa rahim ini
membuat kebingungan dalam menentukan status anak. Secara biologis, anak hasil
sewa rahim ini memang merupakan anak dari pasangan suami istri yang

11
Sista Noor Elvina, Perlindungan Hak Untuk Melanjutkan Keturunan dalam Surrogate Mother,
dalam Artikel Ilmiah, (Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2012), Hlm. 13.
mempunyai sel telur dan sperma, namun karena dilahirkan melalui ibu yang
berbeda yang secara biologis atau genetik bukan merupakan ibunya, dan dalam
peraturan disebutkan bahwa sah tidaknya anak dilihat dari status perkawinan ibu
yang melahirkannya. Sedangkan untuk hak waris anak hasil dari sewa rahim dapat
ditentukan berdasarkan status anak tersebut berdasarkan status perkawinan
wanita yang menjadi ibu pengganti (surrogate mother). Jadi apabila dikaitkan
berdasar KUHPerdata, hak waris anak hasil sewa rahim yaitu:
1. Anak diluar perkawinan yang tidak diakui (bila wanita surrogate-nya berstatus
gadis atau janda). Berarti ibu yang melahirkan tidak terikat pada perkwinan yang
sah, menurut:
a. Pasal 43 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya.
b. Pasal 288 KUHPerdata: Untuk ibu yang melahirkan si anak dapat menyelidiki
siapa ibunya.
c. Untuk bapak biologisnya (karena status anak zina) anak dilarang menyelidikinya
(pasal 287 KUHPerdata) Dengan demikian untuk hak waris anak, hanya
berhubungan (perdata) dengan ibunya atau keluarga ibunya saja, sementara hak
waris terhadap bapak biologisnya, anak tidak berhak menuntut hak waris dari
bapak biologisnya (pasal 869 KUHPerdata) selama si bapak harus memberi nafkah
secukupnya sesuai dengan kemampuannya (pasal 867 dan 868 KUHPerdata).
2. Anak sah (bila wanita surrogate masih berstatus istri dari suaminya yang terikat
dalam perkawinan yang sah):
a. Pasal 42 UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: anak sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah
b. Pasal 250 KUHPerdata: anak yang diahirkan atau dibesarkan selama
perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya, maka anak tersebut adalah
anak sah pasangan tersebut dan berhak mendapat hak waris penuh sesuai dengan
hukum waris yang berlaku dari suami wanita surrogate. Tetapi bila suami dari ibu
pengganti tersbut tidak mengakui, maka status anak tersebut jatuhnya menjadi
anak zina dan pewarisannya sama seperti point diatas dengan cara
menyangkalkan berdasarkan:
1) Pasal 251,252 dan 253 KUHPerdata dengan mengajukan ke pengadilan untuk
dilakukan tes darah (golongan darah atau tes DNA) dan 2) Pasal 44 UU No 1 Tahun
1974: seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya
bila mana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat
dari perzinahan tersebut. Dan, pengadilan memberikan keputusan tentang
sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan.
Hukum waris di Indonesia menjelaskan bahwa warisan akan diberikan
kepada seseorang yang merupakan kerabat atau ahli waris dari sang pewaris
ataupun bukan kerabat yang diberikan melalui hibah. Pada dasarnya, adanya sewa
rahim ini dilakukan atas adanya perjanjian baik tertulis ataupun tidak tertulis
antara pasangan suami istri dengan sang ibu pengganti sampai dengan lahirnya
anak tersebut. Perjanjian tersebut hanya berlaku sampai lahirnya anak saja, dan
tidak sampai kepada hubungan anak dengan ibu penggantinya.

Anda mungkin juga menyukai