Anda di halaman 1dari 6

NAMA : NURAENI

TINGKAT/PRODI : 4A S1 KEPERAWATAN

TUGAS KEPERAWATAN KELUARGA

TREND DAN ISSUE CHILDFREE

A. Latar belakang
Childfree, akhir-akhir ini ramai menjadi perbincangan. Pilihan untuk childfree
memang banyak menjadi perdebatan di masyarakat. Pro dan kontra muncul di kalangan
masyarakat. Ada yang beranggapan bahwa perempuan berhak memilih atas tubuhnya,
tetapi ada juga yang berpendapat bahwa kodrat perempuan adalah memiliki anak.
Tomas Frejka, seorang peneliti dalam risetnya yang berjudul "Childlessness in the
United States" menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak
mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an.
Sementara itu, International Business Times melaporkan bahwa Australian
Bureau of Statistic menilai akan lebih banyak pasangan berkeluarga yang memilih
untuk tidak punya anak di antara tahun 2023-2029. Alasannya beragam, mulai dari latar
belakang permasalahan keluarga, pertimbangan pengasuhan anak di masa depan
bahkan hingga isu lingkungan.

B. Pengertian Childfree
Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu
anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Penggunaan istilah Childfree untuk
menyebut orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak ini mulai muncul di
akhir abad 20.
Childfree adalah sebuah istilah yang merujuk pada orang atau pasangan yang memilih
untuk tidak memiliki anak.

Keputusan untuk tidak memiliki anak tersebut dinilai pro kontra karena
mendapatkan komentar dari berbagai kalangan. Berikut ini beberapa pendapat mengenai
childfree.

1) Menurut Psikolog

Melansir Currypsychology, Dr. Shannon Curry, seorang psikologi klinis


dan direktur Curry Psychology Group di Orange County, California
mengatakan bahwa tekanan sosial yang dialami seorang wanita untuk
menikah dan memiliki anak sangatlah besar. “Umumnya pandangan orang
sekitar cenderung mengatakan bahwa jika Anda tidak memiliki anak, maka
Anda akan kehilangan pengalaman hidup sebagai seorang ibu yang utuh,”
ungkapnya.

Curry juga menambahkan, bahwa persepsi akan kesulitan di usia tua


karena tidak ingin memiliki anak hanya sebuah mitos belaka. Menurutnya
tidak membesarkan anak juga tidak berarti Anda orang tua yang egois.
“Faktanya, tidak ada bukti yang mendukung keyakinan yang maknanya sangat
luas ini,” pungkasnya.

2) Menurut pandangan Islam

Dari sudut pandang Islam, sudah tentu tidak ada istilah Childfree atau
enggan memiliki keturunan. Apalagi pada pasangan yang sudah menikah.
Salah satu pemahaman umum tentang kesiapan menikah adalah karena sudah
Aqil baligh. Ini memang menjadi bekal yang tak kalah penting bagi seseorang
yang hendak menikah. Aqil dimaknai sebagai kesiapan secara psikis
sementara Baligh sering dimaknai sebagai kematangan secara fisik
(reproduksi, finansial dll). Dengan kata lain, seorang muslim diperbolehkan
menikah dengan syarat ia mampu memahami secara aqil baligh serta
bertanggung jawab pada perintah Allah dan larangan-Nya.

Mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lâmul


Muwaqqi’in menjelaskan tujuan pernikahan adalah “menjaga
keberlangsungan jenis manusia, dan melahirkan keturunan yang saleh. Alasan
ini secara hakikat juga menjadi alasan disyariatkannya pernikahan. Karenanya
tidak mungkin terbayang adanya anak saleh tanpa pernikahan, sehingga
menikah adalah sebab yang menjadi perantaranya. Anak saleh merupakan
maksud syariat dan orang berakal. Jika tidak ada pernikahan, maka tidak akan
ada anak saleh”.

Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, KH. Mahbub


Maafi mengatakan pasangan yang mengikuti tren childfree hukum
pernikahannya sah, namun syarat nikahnya tidak terpenuhi. Pendapat ini
sejalan dengan pesan Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan untuk
menikahi wanita yang subur. “Manusia disuruh untuk berketurunan apabila
mereka menikah,” terangnya.

Kiai Mahbub juga mengatakan ketika sepasang suami istri telah


merencanakan enggan untuk memiliki keturunan padahal secara biologis
mereka mampu, maka pasangan tersebut telah menabrak syarat utama dari
pernikahan. Selain itu bagi Muslimah, hamil dan melahirlan merupakan
kodrat yang harus dijalani sebagai seorang wanita.

3) Menurut Kesehatan

Mengutip Time, studi yang diterbitkan oleh American Journal of Human


Biology pada 2006 menyatakan sebanyak 116 ibu yang melahirkan pada tahun
1886 hingga 2002 kehilangan 95 minggu masa kehidupan mereka akibat
melahirkan seorang anak. Hipertensi, diabetes, serta penyakit lainnya terkait
kehamilan menjadi alasan pemicu rentang hidup yang pendek. Selain itu
kebutuhan gizi dan nutrisi selama kehamilan dan menyusui membuat para ibu
enggan untuk memenuhinya.

C. Faktor Faktor Utama Memilih Childfree

Ada beberapa faktor utama kenapa banyak sekali pasangan yang memilih untuk
childfree, yang pertama seperti tidak siap menjadi orang tua, faktor ekonomi, faktor
lingkungan bahkan faktor fisik diri sendiri maupun fisik pasangan.

Victoria Tunggono selaku penulis buku ‘Childfree & Happy’ berkata, “Saya pikir,
kalau mau menjadi orang tua itu tidak hanya siap dalam hal materi dan fisik saja, tetapi
juga harus ada kesiapan mental dari seorang yang ingin atau yang sudah menjadi orang
tua untuk bagaimana melayani anaknya kelak. Bukan hanya orang tua harus melayani,
tetapi juga harus di dasari oleh keinginan dari masing-masing pribadi.”

Dari wawancaranya terhadap 14-16 orang yang memutuskan childfree, Victoria


mengungkapkan ada 5 alasan pokok mereka mengambil sikap seperti itu. Yaitu isu fisik
(sakit turunan), psikologis (kesiapan/ masalah mental), ekonomi, lingkungan hidup (dunia
sudah terlalu padat), dan alasan personal.

1. Isu Fisik

“Fisik tidak mampu, misalkan dia punya penyakit turunan atau dia secara
fisik tidak bisa punya anak, tidak mampu dan ya itu. Karena fisik diri sendiri
atau fisik pasangan, dia sudah menikah tapi dia melihat tidak mampu kayanya
gak deh mendingan gak usah dari pada ribet.”

2. Kondisi Psikologis

“Jadi yang tadi psikologis itu karena saya punya kelainan masalah mental
jadi saya tidak mau. Saya aja belum selesai dengan diri saya sendiri saya
sudah harus punya anak, akhirnya kan nanti jadi toxic dan orang-orang
memilih childfree itu mereka sadar bahwa mereka secara mental tidak mampu
maka mereka memilih untuk childfree.”
3. Ekonomi

“Dia merasa selama hidup itu cukup berkekurangan dan dia merasakan
gimana rasanya harus berbagi satu mungkin ya satu piring nasi untuk kakak
beradik 7 orang yang merasa susahnya seperti itu dengan usia kakak adik yang
terlalu dekat, dan dia merasa oh hidup susah dengan kekurangan uang. Jadi
ada juga faktor keuangan.”

4. Faktor Lingkungan

“Jadi dia merasa oh hidup ini dunia ini sudah terlalu padat, ada yang
bilang sudah global warming dan sebagainya, dan dia tidak mau menambah
kerusakan alam dengan satu lagi jiwa.”

5. Alasan Personal

“Dan yang terakhir adalah tentang keputusan sendiri, itu yang seperti saya
yang melihat dari orang sekitar lalu jadi bukan alasan-alasan yang keturunan
dan sebagainya atau alasan yang lebih prinsipil, tapi ini memang keputusan
aja yang kayak emang nggak mau gitu.”

Memilih childfree dalam hubungan pernikahan harus didasari oleh


keputusan bersama. Jika salah satu pasangan hanya satu saja yang memilih
childfree dan yang satunya lagi tidak, itu akan menumbuhkan konflik di dalam
hubungan tersebut.

Banyak pasangan suami istri yang memilih untuk childfree karena mereka
merasa lemah, baik dari fisik diri sendiri, fisik pasangan, dalam hal mengurus
dan membesarkan anak. Permasalahan yang hadir dalam mengurus anak
biasanya hadir karena masalah pola asuh dan pola didik.

Jika melihat berbagai alasan yang dikemukakan, siapakah yang paling


berperan dalam membentuk konsep childfree yang mereka pilih? Bukankah
alasan tersebut menjadi bukti bahwa mereka tidak mendapatkan gambaran
ideal dari sebuah keluarga? Tentunya hal ini dimulai dari pola asuh dalam
keluarga itu sendiri dan lingkungan masyarakat tempat mereka tinggal.
Karena disanalah pertamakalinya nilai-nilai agama dan budaya tersebut
diperkenalkan.

Dari berbagai alasan tersebut  juga dapat disimpulkan  bahwa mereka yang
memilih untuk hidup tanpa anak merasa tidak siap menjadi orang tua.
Sehingga mereka tidak siap dengan resiko yang akan muncul di kemudian
hari. Alih-alih berusaha untuk meminimalisir resiko mereka lebih memilih
untuk tidak memiliki anak sama sekali. Ketidaksiapan menjadi orang tua ini
menunjukkan ada kesalahan pada pola asuh yang mereka terima. Karena salah
satu tujuan pengasuhan adalah mempersiapkan anak untuk dapat menjadi
orang tua yang bertanggung jawab kelak.

D. Faktor Keluarga dan Parenting


Salah satu pihak yang perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan
childfree adalah keluarga besar. Dia menilai pernikahan pada prinsipnya tidak hanya
melibatkan dua individu saja, tetapi juga dua keluarga besar. Sehingga, keputusan untuk
tidak memiliki anak sebaiknya disampaikan ke orang tua masing-masing.

Apabila keputusan tersebut tidak dapat diterima, tentu dapat menjadi tekanan
sosial bagi pasangan. Jika sebaliknya maka pasangan akan lebih mudah menghadapi
tekanan sosial dari masyarakat di luar keluarga. Ketidak yakinan akan kemampuan dalam
merawat dan mengasuh anak juga menjadi salah satu kekhawatiran yang sering kali
dialami. Sehingga, pembekalan yang penting diberikan di masa persiapan nikah adalah
membangun parenting self-efficasy pada keduanya.

Anda mungkin juga menyukai