Anda di halaman 1dari 4

MUNADHOROH HMJ IAT #Series 2

Mempersembahkan dengan tema:


Polemik childfree: Problematika Antara Intervensi Sosial Dan Otonomi
Personal Perspektif Al Qur'an

Ke aktualan Childfree menuai banyak kontroversi, khususnya di Indonesia Childfree


dianggap sebagai suatu hal yang menyimpang dan menyalahi kodrat pernikahan. Sedangkan
salah satu tujuan dilaksanakannya pernikahan dalam Islam adalah menambah keturunan, di
sisi lain pasangan suami istri yang memilih untuk 'childfree' beranggapan kelahiran anak
bukanlah satu satu nya cara menuju Sakinah Mawadah Warahmah.
Interversi Sosial ketika disandingkan dengan fenomena Childfree akan melahirkan
banyak pro kontra secara dominan. Hal ini tidak terlepas dari perspektif budaya Indonesia.
Tak bisa dipungkiri, pertanyaan "kapan punya anak" terhadap pengantin baru akan menjadi
pertanyaan beruntun sampai mereka punya anak. Lalu bagaimana dengan sebagian suami istri
yang memilih untuk "Childfree"?.
Padahal kedua belah pihak sama sama memiliki alasan yang logis.
Lalu bagaimana Childfree terhadap kewenangan pribadi prespektif Al Quran?
Fenomena childfree muncul dilatar belakangi oleh beberapa sebab salah satunya adalah
orientasi karir. Sedangkan menurut Al-Qur'an salah satu tujuan menikah adalah mendapat
keturunan. Namun ketika dipandang berdasarkan anjuran, keutamaan, serta urgensi anak
sholeh dalam sebuah keluarga, hendaknya keputusan nChildfree ini perlu dihindari dalam
kasus kepentingan karir.

Secara garis besar konsep childfree yang memiliki variabel yaitu komitmen tidak ingin
memiliki anak. Maka dalil utama Q.S. Ali ‘Imran: 38-39 "Di sanalah Zakaria berdoa kepada
Tuhannya. Dia berkata, ‚Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari
sisiMu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa. Lalu, Malaikat (Jibril) memanggilnya
ketika dia berdiri melaksanakan salat di mihrab, ‚Allah menyampaikan kabar gembira
kepadamu dengan kelahiran. Yahya yang membenarkan kalimat dari Allah, menjadi anutan,
menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi di antara orang-orang saleh".
M. Quraish Shihab memahami ayat ini berkaitan dengan kisah Nabi Zakaria yang telah
lama menunggu kehadiran sang putra yaitu Yahya. Sifat Allah yang Maha Mendengar
diyakini oleh Nabi Zakaria Allah selalu mendengarkan doanya. Pada akhirnya penantian
berakhir ketika malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Zakaria yang telah lanjut usia.
Anak tersebut diberi nama Yahya yang akan menjadi penerus dakwah Zakaria dan
dianugerahi sifat-sifat teladan baik.
Zamakhsyari menjelaskan dalam kitabnya Al-Kasysyaf bahwa makna dzurriyyah
bermakna anak baik tunggal maupun jamak. Allah mengijabah doa Zakaria yang disampaikan
melalui malaikat Jibril sebagai berita baik Namanya Yahya dari keturunan orang saleh dan
melanjutkan kenabian kelak. Al-Qurthubi menjelaskan bahwa berita ini berupa perkataan
yang menyatakan akan lahirnya anak Bernama Yahya yeng memiliki sifat dapat menahan
terhadap hawa nafsu dan membatasi diri terhadap kemaksiatan.
Ibnu ‘Ashur mengawali penafsirannya dengan keterangan Maryam yang memerintahkan
untuk selalu berdo’a, hal ini karena‚ Allah memberikan rezeki kepada siapa saja tanpa
perhitungan apapun‛. Bagi orang-orang yang berjiwa suci dilihat dari yang mereka lihat,
maka mereka senantiasa berdo’a untuk menginginkan anak tanpa memandang usia. Landasan
keinginan Zakaria untuk memiliki seorang anak yang saleh baik di dunia.
Childfree dalam Pandangan Islam
Dari sudut pandang Islam, sudah tentu tidak ada istilah Childfree atau enggan memiliki
keturunan. Apalagi pada pasangan yang sudah menikah. Salah satu pemahaman umum
tentang kesiapan menikah adalah karena sudah Aqil baligh. Ini memang menjadi bekal yang
tak kalah penting bagi seseorang yang hendak menikah. Aqil dimaknai sebagai kesiapan
secara psikis sementara Baligh sering dimaknai sebagai kematangan secara fisik (reproduksi,
finansial dll). Dengan kata lain, seorang muslim diperbolehkan menikah dengan syarat ia
mampu memahami secara aqil baligh serta bertanggung jawab pada perintah Allah dan
larangan-Nya.
“Kenapa sih kok harus Aqil baligh?” Ya karna telah ada kesanggupan secara psikis dan
fisik untuk reproduksi. Kalau menikah kemudian tidak punya orientasi memiliki anak lantas
buat apa harus menunggu aqil baligh? Artinya bahwa aqil baligh ini memiliki fungsi penting
dalam menyiapkan pasangan untuk menikah dan mencapai tujuan dari sebuah pernikahan.
Mengutip pendapat Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya I’lamul Muwaqqi’in
menjelaskan tujuan pernikahan adalah “menjaga keberlangsungan jenis manusia, dan
melahirkan keturunan yang saleh. Alasan ini secara hakikat juga menjadi alasan
disyariatkannya pernikahan. Karenanya tidak mungkin terbayang adanya anak saleh tanpa
pernikahan, sehingga menikah adalah sebab yang menjadi perantaranya. Anak saleh
merupakan maksud syariat dan orang berakal. Jika tidak ada pernikahan, maka tidak akan
ada anak saleh”.
Upaya untuk memiliki keturunan dengan menikah menjadi sebuah ibadah dari berbagai
sisi. Pertama, mencari ridha Allah SWT dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari
cinta Nabi Muhammad SAW dengan memperbanyak populasi manusia yang dibanggakan.
Ketiga, berharap berkah dari do’a anak sholeh setelah dirinya meninggal. Keempat,
mengharap syafa’at sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya.
Adapun menikah tanpa ingin memiliki keturunan atau childfree dengan alasan
kekhawatiran dalam kemampuan finansial, alasan ini tidak cukup kuat untuk menjadi alasan
enggan memiliki keturunan. Karna perkara finansial bagi pasangan yang ingin menikah telah
Allah SWT sampaikan dalam Qur’an Surat An-Nur ayat 32 yang artinya:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya.
Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Hasil Akhir Analisa Kajian
Tren childfree memang bukanlah sebuah tren yang baru di masyarakat khususnya di
negara-negara Barat. Namun, di Indonesia istilah ini mulai banyak didengar dan dikenal
orang semenjak menjadi trending di beberapa media sosial. Meski masih termasuk ke dalam
minoritas, beberapa komunitas atau grup yang berisi orang-orang childfree mulai banyak
bertengger di beberapa media sosial seperti Facebook. Sebagai sebuah pilihan hidup childfree
bukan hanya berarti seseorang yang tidak memiliki anak melainkan hidup bebas tanpa anak.
Childfree merupakan keputusan sadar yang dibuat oleh individu untuk bertanggung jawab
kepada kehidupannya sendiri tanpa adanya kehadiran seorang anak sekalipun sudah menikah.
Keputusan untuk menjadi seorang childfree tentu tidak mudah, diperlukan berbagai
pertimbangan dan proses pengambilan keputusan agar individu dengan pilihan hidup ini
dapat mengantisipasi atau menghadapi kemungkinan yang akan terjadi di masa depan.
Individu childfree tidak dapat menghindari akan adanya kemungkinan penyesalan.
Penyesalan dalam memilih keputusan childfree biasanya hadir sebagai bentuk respon
emosional dan kognitif akan keputusan yang telah diambil. Selain, adanya kemungkinan
penyesalan pilihan hidup ini juga sarat akan tekanan. Pilihan hidup childfree memang
bukanlah sebuah pilihan yang tampak umum di masyarakat. Beberapa orang menganggap
pilihan hidup ini adalah bentuk keegoisan manusia, di mana mereka tidak mau melahirkan
seorang anak yang seyogyanya memang harus ada untuk meneruskan peradaban. Pilihan
hidup menjadi childfree juga terdengar asing dan tidak lazim terutama pada negara-negara
yang masih memegang kuat konsep keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Oleh
sebab itu, inidividu atau pasangan childfree seringkali mendapatkan tekanan sosial dari
lingkungan mereka baik itu dari keluarga, teman, atau orang-orang sekitar.
Dalam memilih childfree sebagai pilihan hidup juga diperlukan penerimaan dari
pasangan terutama bagi mereka yang memutuskan menjadi childfree sebelum menikah.
Individu dengan pilihan hidup ini harus mencari pasangan yang memiliki satu preferensi
dengan mereka atau memilih alternatif lain. Individu childfree juga sering menerima tudingan
bahwa kehidupan mereka tidak akan bahagia tanpa kehadiran anak. Namun, beberapa
individu yang menjalani pilihan hidup ini selama beberapa tahun mengungkapkan bahwa
menjadi seorang childfree memberikan pengalaman yang berharga, mereka bisa bebas dalam
menjalankan kehidupannya baik dalam segi waktu, materi, atau kepuasan lainnya.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan
childfree sebagai pilihan hidup mereka. Diantaranya pertama, faktor pribadi. Faktor pribadi
muncul dari batin atau emosi seseorang. Individu childfree dapat menentukan pilihannya,
karena pengalaman yang dialaminya sendiri atau pengalaman orang lain yang telah
membangkitkan emosi di dalam dirinya. Faktor pribadi juga muncul karena presepsi dari
individu childfree tentang anak yang berbeda dari kebanyakan individu lainnya. Beberapa
individu childfree mengaku tidak menyukai anak-anak karena perilaku dan tingkah mereka,
selain itu mereka merasa tidak memiliki naluri kepengasuhan sehingga khawatir tidak akan
dapat merawat anak dengan baik ketika menjadi orang tua.
Kedua, faktor psikologis dan medis. Beberapa individu childfree memutuskan untuk
mengambil keputusan ini dikarenakan gangguan psikologis dan medis yang mereka rasakan.
Gangguan psikologis bisa berupa trauma, fobia, atau penyakit psikis lainnya. Sementara
gangguan medis datang dari mereka yang memiliki penyakit yang dapat menurun secara
genetik.
Ketiga, faktor ekonomi. Individu dengan pilihan hidup childfree mengafirmasi bahwa
biaya yang harus dikeluarkan untuk memiliki anak sangatlah besar dan mahal. Bagi mereka
pilihan untuk tidak memiliki anak adalah pilihan yang patut diambil di tengah kondisi
ekonomi yang pas-pasan. Selain itu, mereka juga lebih memilih untuk menghabiskan materi
yang mereka hasilkan dengan kerja keras sebagai prestise untuk diri mereka sendiri.
Keempat, faktor filosofis.
Hal ini menunjukkan bahwa beberapa individu childfree memiliki pemahaman bahwa
bumi bukan tempat yang ideal lagi bagi anak-anak sehingga mereka lebih memilih untuk
membantu anak-anak yang sudah lahir dan membutuhkan bantuan daripada melahirkannya
sendiri. Kelima, faktor lingkungan. Individu childfree merasakan bahwa kerusakan alam,
pencemaran lingkungan, kelangkaan sumber daya, dan berbagai masalah alam lain muncul
akibat dari overpopulasi. Sehingga menurut mereka menjadi seorang childfree adalah
sebagian usaha untuk mengurangi overpopulasi tersebut.
Mungkin berbagai analisa diatas merupakan argumentasi yang bersifat Non final, dalam
artian semua ini hanya sebatas kajian berdasarkan konsep faktual dalam praktek
pemasyarakatan. Kita sebagai mahasiswa tafsir harus mampu menciptakan argumentasi
sendiri yang berlatar belakang Al Qur'an. Sedikit saran dari saya pribadi, mari kita gunakan
metode penafsiran maqosid dalam menyikapi fenomena sosial ini. Untuk kelanjutan
kajiannya kita simak di diskusi mendatang bersama pemateri.

Anda mungkin juga menyukai