Anda di halaman 1dari 5

CHILDFREE, YES OR NO?

Maraknya kata childfree di kalangan dewasa muda saat ini menjadi perhatian khusus
bagi pasangan muda-mudi yang baru saja menikah. Biasanya kata ini muncul di kalangan
dewasa muda yang memilih untuk menikah tanpa memiliki anak. Belakangan ini, fenomena
yang baru saja booming di media sosial tersebut menuai pro dan kontra, membahas
sejumlah kelebihan, kekurangan, dan hak masyarakat untuk memilih apakah akan memiliki
anak atau tidak. Pasalnya, ini merupakan sesuatu yang bisa dibilang “baru” di Indonesia.

Jika tidak ingin memiliki anak, lalu mengapa menikah? Pertanyaan ini tidak baru lagi
bagi kalangan dewasa muda yang baru menikah dan memilih untuk chidlfree. Lantaran hal
ini karena tidak terlepas dari perspektif budaya masyarakat kita. Setelah mamasuki usia
yang cukup dewasa, sudah menjadi kebiasaan bagi masyarakat untuk bertanya mengenai
hubungan bahkan bertanya kepada pengantin baru “apakah sudah memiliki anak atau
belum?”

Childfree tidak sama dengan chidless. Childfree bisa dikatakan bahwa ketika
pasangan mampu secara finansial dan biologis untuk memiliki anak, mereka malah memilih
untuk tidak memiliki anak. Sementara childless biasanya digunakan untuk menggambarkan
pasangan yang ingin memiliki anak, tetapi tidak mampu karena alasan biologis tertentu
(Tessarolo, 2006).

Baru-baru ini, istilah childfree telah direklamasi oleh pasangan yang menekankan
bahwa dengan tidak memiliki anak, mereka dapat menjadi lebih aktif dan menikmati pilihan
hidup (Bartlett, 1995). Di beberapa kamus bahasa Inggris, kata childfree didefinisikan ke
dalam beberapa pengertian. Pada kamus Macmillan, childfree didefinisikan sebagai used to
describe someone who has decided not to have children (digunakan untuk menggambarkan
seseorang yang memutuskan untuk tidak punya anak). Dalam kamus Collins, childfree juga
diartikan sebagai having no children, childless, especially by choice (tidak punya anak, tanpa
anak, terutama karena pilihan). Kemudian, di dalam kamus Merriam Webster, childfree
diartikan sebgai without children (tanpa anak). Lalu, apa alasan dibalik seseorang memilih
childfree?

Tidak dimungkiri, ada banyak pasangan dewasa muda yang memutuskan untuk
berpisah ketika pasangannya tidak bisa memberi keturunan. Tetapi nyatanya, tidak semua
pasangan ini bisa atau ingin mempunyai anak dalam kehidupan pernikahan mereka. Banyak
juga pasangan yang memilih untuk tidak memiliki anak atau childfree. Pilihan childfree ini
tidak lain didasari oleh beberapa faktor. Tiap pasangan pasti memiliki alasannya sendiri,
baik itu dari kondisi medis maupun psikologis. Keputusan ini muncul lantaran bisa jadi
karena salah satu atau keduanya dari pasangan dewasa muda merasa tidak mampu untuk
menjadi orangtua nantinya.

Alasan lain dewasa muda memilih childfree adalah berkaitan dengan masalah
kesehatan. Pasangan percaya bahwa secara fisik, mereka tidak dapat memiliki anak, dan
tanpa pikir panjang mereka memutuskan untuk tidak memiliki anak bahkan tanpa perlu
mencoba. Beberapa wanita enggan mengandung karena mereka memikirkan tingginya
biaya hidup nanti jika sudah punya anak, proses melahirkan yang dianggap menyakitkan,
kekhawatiran akan tubuh yang tidak lagi bagus setelah melahirkan, ketidakmampuan dalam
mengurus anak, serta beberapa ada yang fokus untuk mengejar karir terlebih dahulu.

Penyebab yang bersifat psikologis berupa, kebanyakan dewasa muda mengaku


tidak siap untuk memiliki anak karena anggapan bahwa anak kecil itu menyebalkan dan
menjengkelkan. Oleh karena itu, dengan memiliki anak nantinya akan memberikan masalah
terhadap kesehatan mental mereka. Banyak juga dewasa muda yang memutuskan untuk
tidak memulai sebuah keluarga karena hubungan masa kecil mereka yang tidak bahagia
dengan orang tua. Mereka sadar bahwa mereka tidak mampu secara mental dalam
mengurus anak sehingga memutuskan untuk tidak memiliki anak. Pasangan dewasa muda
ini takut jika suatu hari nanti mereka akan mewariskan “toxic relationship” yang mereka
rasakan selama waktu kecil bersama orangtua atau takut nantinya trauma yang menghantui
sejak kecil bisa memengaruhi kualitas dalam mengurus anak.

Penyebab selanjutnya berasal dari faktor ekonomi. Beberapa pasangan yang


mengaku tidak adanya tanda-tanda perubahan ekonomi yang mengarah ke hal positif
berpendapat, mengurus diri sendiri saja sudah membutuhkan perjuangan yang besar dari
segi finansial, jadi bagaimana mungkin untuk memiliki anak yang mana membutuhkan biaya
yang tidak sedikit?

Faktor pendidikan dan karier juga berperan dalam alasan seseorang memilih untuk
childfree. Semakin tinggi pendidikan perempuan, semakin lama mereka menghabiskan
waktu untuk bersekolah. Mereka juga cenderung mengejar karier. Hal ini akhirnya
menyebabkan usia pernikahan mereka menjadi lambat atau bahkan memutuskan untuk
tidak menikah. Sebagian yang memilih menikah juga memilih untuk childfree. Berbagai
alasan mereka kembangkan, seperti khawatir akan karier mereka nantinya terhambat. Hal
ini sering terjadi di Negara Korea Selatan. Pada sensus 2015, yang dikutip dari BBC, kurang
dari seperempat (23%) wanita Korea Selatan berusia 25 hingga 29 tahun yang mengatakan
mereka sudah menikah, turun tajam dari sebanyak 90% dibanding tahun 1970. Pasangan
dewasa muda yang berfokus pada pengembangan karier mereka masing-masing cenderung
memiliki hubungan yang kurang harmonis dan miniman keintiman emosional. Mereka hanya
merasa diuntungkan secara finansial dan merasa tidak perlu khawatir dalam membesarkan
anak. Alih-alih untuk biaya pengasuhan anak nantinya, mereka memilih untuk tidak memiliki
anak dan malah berinvestasi atau menggunakan uang untuk hal-hal lain.

Penyebab lainnya adalah berupa perubahan iklim. Childfree juga sering dikaitkan
dengan perubahan iklim. Mengutip dari Washington Post, survei Pew Research Center
tahun 2021 terhadap orang dewasa di Amerika yang hidup tanpa anak, 5 persen dari
mereka menyebutkan alasan khusus untuk childfree adalah perubahan iklim atau
lingkungan.

Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, juga angkat bicara mengenai fenomena ini. Beliau
mengatakan bahwa pilihan untuk childfree kurang baik secara makro dalam konteks
masyarakat luas. Beliau menjelaskan, tedapat dua dampak dari fenomena tersebut bagi
kehidupan. Childfree mengakibatkan pertumbuhan penduduk menjadi minus. Kondisi ini bisa
berdampak buruk bagi ketersediaan tenaga kerja suatu masyarakat.

Pertama, fenomena childfree dapat menyebabkan krisis demografi. Jika mayoritas


masyarakat dari suatu negara memegang prinsip chlidfree, maka negara tersebut akan
mengalami zero growth atau bahkan minus growth, yang mana lama-kelamaan dapat
menyebabkan penduduk di negara tersebut semakin habis. Kondisi tersebut juga akan
berdampak pada rasio ketergantungan atau rasio beban tanggungan (dependency ratio),
yaitu angka yang menyatakan perbandingan antara banyaknya penduduk usia non produktif
(penduduk di bawah 15 tahun dan penduduk di atas 65 tahun) dengan banyaknya penduduk
usia produktif (penduduk usia 15-64 tahun).

Kedua, fenomena childfree dapat berdampak pada sisi kesehatan. Beliau


menjelaskan, perempuan yang memiliki tubuh gemuk, tensi tinggi, kencing manis akan lebih
berisiko menderita kanker endometrium (endometrium adalah bagian dari rongga rahim).
Lebih lanjut beliau menjelaskan manfaat kehamilan, dimana saat perempuan mengandung,
maka siklus menstruasinya beristirahat selama sembilan bulan. Setelah melahirkan dan
menyusui, produksi ASI juga beliau sebut dapat mengurangi risiko penyakit.

Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN, Eni Gustina,
menilai bahwa fenomena childfree di Indonesia masih berada di taraf wajar dan belum
mengkhawatirkan. Mengutip data dari World Population Prospects Tahun 2022, indonesia
berada di urutan kelima dalam daftar angka kelahiran anak tertinggi di wilayah Asia
Tenggara. Kemudian berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Angka kelahiran
atau total fertility rate (TFR) di Indonesia tercatat sebesar 2,1 pada tahun 2022, yang artinya
bahwa setiap satu orang perempuan rata-rata melahirkan dua orang anak selama masa
subur atau masa aktif reproduksinya.

Seorang pakar ekonomi University of Toronto, David Foot juga berpendapat bahwa
kecenderungan childfree berkolerasi dengan pendidikan perempuan. Semakin tinggi
pendidikan, maka semakin besar keinginan untuk tidak memiliki anak atau membatasi
jumlah anak. Mereka biasanya tinggal di daerah urban, bekerja di bidang manajemen atau
menjadi professional, memiliki pola hubungan gender yang tidak konvensional, dan kurang
religius.

Terdapat perdebatan di antara penganut childfree dan penentangnya. Para


penentang berpendapat, mereka yang menjalani hidup childfree adalah orang yang egois
karena tidak mau menghasilkan keturunan baru yang akan mewarisi mereka. Argumen
tersebut dibalas oleh penganut chidlfree bahwa manusia saat ini sudah sangat egois
dengan memikirkan dirinya sendiri ketika diluar sana masih banyak anak-anak yang
terlantar. Keinginan memiliki anak dalam jumlah sedikit, banyak, atau bahkan memilih untuk
tidak memiliki anak bukan hanya sekedar urusan pribadi (karier, me time, well-being, dan
lainnya) melainkan merupakan tanggung jawab yang terkait dengan jumlah populasi negara,
baik dari segi lingkungan, sosial, ekonomi, atau yang lainnya.

Seiring perkembangan zaman, generativitas tidak hanya terbatas pada pernikahan


dan membentuk keluarga. Dewasa muda yang memilih untuk hidup sendiri dan tidak
memiliki anak mengekspresikan generativitasnya melalui berbagai kegiatan yang
menyibukkan mereka, seperti bekerja full time maupun part time, menjadi sukarelawan, dan
berpartisipasi dalam keadaan sosial, politik, atau agama.

Childfree sendiri merupakan sebuah pilihan, bukan trend yang menuntut untuk diikuti
oleh kaum dewasa muda. Pilihan pasangan untuk childfree di awal pernikahan tidak
menutup kemungkinan untuk mengubah keputusan mereka di masa depan. Dengan
pertimbangan yang panjang, umumnya pasangan dewasa muda ini memilih untuk
mengadopsi anak dari panti asuhan ketimbang memiliki anak melalui proses biologis.

Childfree dan memiliki anak bukan hitam di atas putih, bukan juga keputusan yang
salah ataupun keputusan yang benar. Keputusan untuk childfree atau tidak memiliki anak
harus benar-benar dipertimbangkan dengan matang, bukan sekedar mengikuti trend dan
takut dihakimi masyarakat sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Nugroho, D. A et al., (2022, Maret). Tren Childfree dan Unmarried di kalangan Masyarakat
Jepang. Research Gate, 1(11), 1023-1030.
https://www.researchgate.net/publication/360625518_Tren_Childfree_dan_Unmarrie
d_di_kalangan_Masyarakat_Jepang.

Nobel, K. (2023, Maret 3). Childfree: Generasi tanpa Keturunan. Pillar.


https://www.buletinpillar.org/isu-terkini/childfree-generasi-tanpa-keturunan.

Childfree Lebih Menguntungkan atau Merugikan?. (2023, Maret 16). Bkkbn.


https://www.orangtuahebat.id/childfree-lebih-menguntungkan-atau-merugikan/.

Childfree dalam Sudut Pandang Kesehatan dan Perspektif Islam. (2023, Februari 10). West
Java Today. https://www.westjavatoday.com/childfree-dalam-sudut-pandang-
kesehatan-dan-perspektif-islam.

Anda mungkin juga menyukai