Anda di halaman 1dari 9

KENAIKAN ANGKA PERNIKAHAN DINI DI KECAMATAN KARAS

SELAMA MASA PANDEMI COVID-19

Oleh
ANGGUN RETNO MUZDALIFAH

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA NASIONAL


KECAMATAN KARAS
2021
ABSTRAK
Pernikahan di usia dini menimbulkan dampak negatif terhadap remaja baik
dalam aspek fisik, psikologis dan biologis. Pernikahan di usia dini sangat erat
kaitannya dengan tradisi yang ada di lingkungan masyarakat seperti perjodohan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan yang mendasari terjadinya
pernikahan diusia dini yang semakin meningkat. Metode penelitian yang digunakan
adalah studi pustaka dan analisis kuantitatif data yang diperoleh dari dinas terlait.
PENDAHULUAN
Al-Bahra dan Efgivia (2012) menyebutkan remaja dikenal sebagai sosok
dengan rasa ingin tahu yang sangat besar dan pada masa ini, remaja sedang dalam
proses mencari identitas, mencoba sesuatu yang baru dalam dirinya. Remaja
merupakan masa – masa rentan dimana merupakan masa transisi untuk mencari jati
dirinya, sehingga terkadang menyebabkan remaja terjerumus ke hal negative yang
akhirnya mengharuskan seorang remaja tersebut menikah di usia dini.
Pernikahan di usia dini menimbulkan dampak negatif terhadap remaja baik
dalam aspek fisik, psikologis dan biologis. Pernikahan di usia dini sangat erat
kaitannya dengan tradisi yang ada di lingkungan masyarakat seperti perjodohan, tak
menutup kemungkinan juga disebabkan karena factor ekonomi dan juga adanya
kejadian yang tidak diinginkan.
Pada masa pandemic yang telah dilewati selama hampir 2 tahun ini,
menyebabkan perekonomian masyarakat mengalami krisis, sehingga dapat dikatakan
sebagai salah satu pemicu terjadinya peningkatan pernikahan di usia dini. Salah satu
yang menjadi penyumbang terbesar angka pernikahan dini di Indonesia adalah Jawa
Timur, khususnya kecamatan Karas. Maraknya pernikahan dini di Indonesia
membuat pemerintah merevisi batas usia minimal perkawinan di Indonesia menjadi
19 tahun melalui UU No. 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang – Undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan .
Dilakukannya revisi pada batasan usia minimal perkawinan tak lain menjadi
salah satu upaya pemerintah untuk membatasi melonjaknya angka pernikahan dini.
Namun ternyata pemerintah salah, Pada awal tahun 2020 penyebaran Covid-19 malah
menjadikan angka pernikahan dini di kecamatan Karas semakin melonjak.
Tak banyak para orang tua juga menjadikan perekonomian sebagai salah satu
alasan untuk menikahkan anak mereka. Kehilangan mata pencaharian berdampak
pada sulitnya kondisi ekonomi keluarga. Ditambah lagi dengan tren nikah muda juga
banyak dipicu dari televisi, berita -- berita artis atau tokoh -- tokoh masyarakat yang
menjadi inspirasi remaja untuk mengambil keputusan agar menikah diusia muda. 

METODE
Adapun metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode kuantitatif dan
kualitatif. Untuk metode kuantitatif dengan menggunakan data pernikahan di
Kecamatan Karas pada tahun 2019 hingga 2020, sedangkan untuk data kualitatifnya
dilakukan wawancara pada remaja yang mengalami pernikahan dini yang diambil
dari studi pustaka jurnal penelitian. Sebagai analisis kuantitatif, didapatkan data
sebagai berikut.
Untuk kriteria narasumber, didasarkan pada referensi jurnal penelitian yang telah ada.
Adapun untuk hasil yang didapat ialah

HASIL
Mengacu pada jurnal penelitian yang telah ada, dari hasil yang didapat menunjukkan
bahwa hasil wawancara dianalisis dengan menggunakan analisis domain. Pernyataan
informan dalam wawancara mendalam dan focus group discussion dianalisis dan
dicocokkan satu sama lain sehingga saling mendukung informasi yang ditemukan.
Tiga domain utama ditemukan dalam penelitian ini.
Hasil penelitian menemukan bahwa ada beberapa faktor yang berpengaruh
terhadap perkawinan anak, di antaranya, adalah faktor pendidikan, kurangnya
pemahaman kesehatan reproduksi pada remaja sehingga menyebabkan perilaku seks
berisiko di kalangan anak-anak, faktor ekonomi (kemiskinan), faktor budaya
(tradisi/adat), dan perjodohan.
Alasan yang ditemukan adalah remaja-remaja yang mencoba-coba melakukan
aktivitas seksual di masa berpacaran dengan pasangannya. Akan tetapi, karena kurang
terbukanya pendidikan kesehatan reproduksi yang masih dianggap sebagai
pembicaraan yang tabu, remaja kemudian terjebak dengan lingkaran yang sulit
mereka lepaskan. Manakala sudah terlambat, yang terjadi kemudian seperti efek
domino, yakni terjadi kehamilan tidak diinginkan, putus sekolah karena malu atau
di‘paksa’ mengundurkan diri oleh pihak sekolah karena melanggar tata tertib sekolah
yang berlaku.
Selain itu, ketidaksiapan secara fisik dan psikologis untuk menjadi orang tua
dapat menyebabkan anak yang dilahirkan men jadi telantar, mengalami gizi buruk,
dan dari segi sosial ekonomi berdampak pada pe ning katan pengangguran
terselubung dan me munculkan lingkaran kemiskinan yang baru. Kehamilan yang
tidak diinginkan karena faktor kurangnya pemahaman kesehatan reproduksi yang
banyak terjadi pada anak-anak menjadi salah satu faktor utama perkawinan muda.
Rendahnya keterbukaan informasi yang tepat, membuat remaja tidak mengetahui
risiko pilihan dalam menentukan yang terjadi pada reproduksinya.

DAMPAK PERNIKAHAN DINI


Dari data yang didapat, pernikahan dini menyebabkan anak menjadi putus
sekolah, instabilitas di dalam membangun keluarga, terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT), serta subordinasi perempuan yang kemudian dirangkum
berdasarkan dampak ekonomi, sosial, kesehatan dan dampak psikologi. Berikut ini
adalah penjelasan singkatnya.
Dampak Ekonomi Perkawinan anak sering kali menimbulkan adanya ‘siklus
kemiskinan’ yang baru. Anak remaja (<15-16 tahun) seringkali belum mapan atau
tidak memiliki pekerjaan yang layak dikarenakan tingkat Pendidikan yang rendah.
Hal tersebut menyebabkan anak yang sudah menikah masih menjadi tanggungan
keluarga khususnya orang tua dari pihak laki – laki. Akibatnya orang tua memilki
beban ganda, selain untuk menghidupi keluarga juga harus menghidupi anggota
keluarga baru.
Ditinjau dari sisi sosial, perkawinan anak juga berdampak pada potensi
perceraian dan perselingkuhan dikalangan p sangan muda yang baru menikah. Hal ini
dikarenakan emosi yang masih belum stabil sehingga mudah terjadi pertengkaran
dalam menghadapi masalah kecil sekalipun. Adanya pertengkaran terkadang juga
menyebabkan timbulnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)/kekerasan seksual
terutama yang dialami oleh istri di karenakan adanya relasi hubungan yang tidak
seimbang.
Menikah muda berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak dan apabila
mereka melakukan aborsi, berpotensi melakukan aborsi yang tidak aman yang dapat
membahayakan keselamatan bayi dan ibunya sampai pada kematian. Perkawinan
anak juga mempunyai potensi terjadinya kekerasan oleh pasangan dan apabila terjadi
kehamilan tidak diinginkan, cenderung menutup-nutupi kehamilannya maka tidak
mendapat layanan kesehatan perawatan kehamilan yang memadai.
Dampak psikologis juga ditemukan pada penelitianini, di mana pasangan
secara mental belum siap menghadapi perubahan peran dan menghadapi masalah
rumah tangga sehingga seringkali menimbulkan penyesalan akan kehilangan masa
sekolah dan remaja. Perkawinan anak berpotensi kekerasan dalam rumah tangga yang
mengakibatkan trauma sampai kematian terutama dialami oleh remaja perempuan
dalam perkawinan.

KESIMPULAN
1. Perlu adanya penyampaian informasi dan pendidikan kesehatan reproduksi
dan seksual (PKRS) pada remaja dimasa ini, agar para remaja dapat memiliki
pemahaman akan pilihannya
2. Perlu adanya sinergitas dari masyarakat dengan organisasi terkait akan
penyampaian informasi PKRS kepada para remaja. Lembaga terkait dapat
melalui organisasi Karang Taruna, Pengajian, PKK, Komite Sekolah dan
BKKBN Kecamatan atau pun Kabupaten.
3. Melakukan penguatan tokoh masyarakat dan memberikan pengetahuan
kepada para orang tua dari para remaja
4. Meninjau ulang UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terkait hal ini, kedua
UndangUndang tersebut memiliki perbedaan mengenai ketentuan batas
minimal usia menikah sehingga terkadang masyarakat menjadi rancu dan
justru menggunakan salah satu UndangUndang tersebut (UU No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan) untuk melegalkan perkawinan anak di usia muda.
Dalam hal ini, idealnya suatu kebijakan undang-undang memiliki persamaan
sehingga tidak menimbulkan kerancuan dan tentunya melihat berbagai aspek
penting tidak hanya dari sudut pandang kesehatan saja tapi dari segi ekonomi,
pendidikan, psikologis, dan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S., Alia, M., Shamoon , Khan S. Psychological impact evaluation of early
marriages. Int J Endorsing Heal Sci Res. 2014;1(2).
Al-Bahra & Efgivia, G. (2012). Dampak Pergaulan Bebas dan Solusinya
Ningsih et al. Perilaku dan Promosi Kesehatan: Indonesian Journal of Health
Promotion and Behavior. 2020; 2(2): 46-51 DOI: 10.47034/ppk.v2i2.4127

Anda mungkin juga menyukai