Anda di halaman 1dari 11

TUGAS ESSAY

PROBLEMATIKA PERNIKAHAN DINI DI MASYARAKAT


Tugas Ini Di Buat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosioatropologi
Dosen Pengampu :
GA Eka Utarini, M.Kes

Disusun oleh :
Putu Eva Melinda/ STr-B
NIM : P07124223070

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KESEHATAN DENPASAR
JURUSAN KEBIDANAN
2023
PROBLEMATIKA PERNIKAHAN DINI DI MASYARAKAT

Indonesia merupakan salah satu negara yang banyak mengalami permasalahan sosial
akibat laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat setiap tahunnya. Permasalahan
muncul baik dalam operasional pemerintahan maupun sumber daya manusia. Banyak
permasalahan yang muncul di masyarakat, salah satunya adalah pernikahan dini. Di negara-
negara di dunia, masih terdapat permasalahan terkait perkawinan anak, misalnya saja di
negara kita perkawinan anak semakin tidak terkendali. Hal ini disebabkan banyak faktor baik
internal maupun eksternal yang menyebabkan tingginya angka pernikahan dini di Indonesia.
Apalagi bagi remaja yang belum siap menerima perubahan yang begitu cepat. Pada saat yang
sama, lingkungan budaya yang lebih kuat dapat mempengaruhi kepribadian atau jiwa masa
kanak-kanak. Namun psikologi masa kanak-kanak atau remaja tidak bisa disaring dan mudah
dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi dengan cepat. Akibatnya, banyak anak kecil yang
tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
Pernikahan dini sendiri ialah suatu bentuk ikatan atau pernikahan yang salah satu atau
kedua pasangan tersebut masih berusia di bawah 18 tahun atau masih dalam pendidikan di
sekolah menengah keatas. Suatu pernikahan disebut pernikahan dini, jika kedua pasangan
atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun. Undang-undang negara kita telah
mengatur batas usia perkawinan. Dalam undang-undang perkawinan bab II pasal 7 ayat 1
disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria mancapai umur 19 (sembalin
belas) tahun dan pihak perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) tahun.
Kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia pernikahan ini tentunya
melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini dimaksudkan agar kedua belah pihak
benar-benar siap dan matang secara fisik, psikis dan mental. Dari sudut pandang kedokteran,
pernikahan dini mempunyai dampak negatif baik bagi ibu maupun anak yang dilahirkan.
Menurut para sosiolog, ditinjau dari sisi sosial, pernikahan dini dapat mengurangi
harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda
dan cara pikir yang belum matang. Melihat pernikahan dini dari berbagai aspeknya memang
mempunyai banyak dampak negatif. Oleh karenanya, pemerintah hanya mentolerir
pernikahan di atas umur sembilan belas tahun untuk wanita.
Menikah di usia muda akan membawa banyak permasalahan yang tidak diinginkan
karena aspek psikologis yang belum matang. Tidak jarang pasangan putus karena usia
pernikahan yang terlalu muda. Memang keharmonisan keluarga tidak hanya ditentukan oleh
usia, karena segala sesuatunya diserahkan kepada setiap orang. Namun usia seringkali
mempengaruhi cara seseorang berpikir dan bertindak. Generasi muda cenderung tegas dalam
menghadapi kesulitan, tak jarang konflik dan pertengkaran berujung pada perceraian.
Apalagi, pasangan yang menikah dini juga belum matang secara sosial ekonomi. Pada
umumnya mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap, sehingga perekonomian sulit, sehingga
terjadi konflik dalam keluarga. Ketidakstabilan emosi dan ketidaktahuan pasangan yang
menikah dini.

Di Negara Indonesia pernikahan dini telah menjadi suatu fenomena nesional budaya
yang kemudian berpengaruh besar terhadap pola kehidupan masyarakat di Indonesia.
Indonesia menepati peringkat ke-37 memiliki jumlah pernikahan di bawah umur dan ke-2 di
Asia Tenggara. Presentase angka kejadian pernikahan dini di Indonesia mengalami kenaikan
menjadi 15,66% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 14,18%. Tentu hal ini bukanlah
suatu kebanggaan kerena hal ini mempengaruhi kepadatan penduduk Indonesia, karena
pernikahan berpotensi terhadap jumlah kelahiran yang tinggi.
Jawa Barat adalah satu diantara provinsi lain dengan angka perkawinan dibawah umur
yang cukup tinggi yaitu sebesar 20,93%. Provinsi lainnya adalah Jawa Timur (20,73%) dan
Kalimantan Selatan sebanyak 22,77%, Sebagai perbandingan, %tase pernikahan dini di Jawa
Barat pada tahun 2017 mencapai 17,28%. Angka tersebut lebih rendah dari Jawa Timur
(18,44%) dan Kalimantan Selatan (21,53%). Maka dari itu, peningkatan pernikahan usia dini
pada tahun 2018 di Jawa Barat lebih signifikan dilihat dari presentase nya.
Di Jawa Timur, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia pada tahun
2017 diketahui bahwa kasus perkawinan anak, kasus kekerasan berbasis gender dan seksual,
dan tingkat pengetahuan terkait hak kesehatan seksual dan reproduksi, menjadi 3 fakta yang
saling berkaitan satu sama lain. Realitas tersebut tidak mengejutkan, merujuk data dari
Pengadilan Agama, yang diperoleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan
Kependudukan (DP3AK) Jatim, selama pandemi COVID-19 sepanjang 2020 terjadi 9.453
kasus perkawinan anak. Pada tahun 2020, di Jember tercatat 1066 perkawinan anak usia di
bawah 19 tahun yang tersebar di 31 Kecamatan dengan rincian 402 anak perempuan dan 664
anak laki-laki (Kemenag Jember, 2021). Fakta ini diperkuat dengan permohonan dispensasi
perkawinan usia anak yang termuat dalam Bank Data Perkara Peradilan Agama tahun 2020,
yang menyatakan bahwa Kabupaten Jember menempati ranking 2 nasional dalam jumlah
usulan dispensasi perkawinan usia anak dengan jumlah 1.469 usulan dispensasi dengan 1.451
putusan usulan dikabulkan. Data ini menunjukkan tingkat keinginan masyarakat Jember
menyelenggarakan dan mendaftarkan perkawinan pada usia di bawah 19 tahun sangat tinggi.
Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan
Keluarga Berencana (DPPPA-Dalduk KB) Provinsi Sulawesi Selatan mencatat, tingkat
pernikahan anak di Sulsel relatif tinggi dalam kurun empat tahun terakhir. Pada 2021 saja,
ada 3.713 peristiwa perkawinan anak di Sulsel. Dengan rincian, 3.183 perempuan dan 530
laki-laki. Tertinggi dipegang oleh Kabupaten Wajo dengan 707 peristiwa, masing-masing 624
perempuan dan 83 laki-laki.
Wahana Visi Indonesia (WVI) mencatat sebanyak 24,71% anak di Papua menikah di
bawah umur 19 tahun. WVI bahkan mencatat ada anak yang menikah pada usia 10 tahun.
Data tersebut dihimpun dari hasil penelitian WVI di empat kabupaten/kota yakni Jayapura,
Jayawijaya, Biak Numfor, dan Asmat. kabupaten Asmat angka pernikahan anak di bawah
umur hampir mendekati 30 %. Asmat menjadi daerah tertinggi dengan angka perkawinan
anak di bawah umur di Papua. Kemudian disusul oleh Jayapura yang mencapai 21,87 %,
Jayawijaya 18,23 %, dan Biak Numfor sebanyak 17,93 %.
Angka pernikahan dini pada 2020 di Kalimantan Selatan dengan gerakan sosialisasi
yang intensif kembali bisa turun yakni 16,24 % dan pada tahun 2021 kembali turun di angka
15,30 %. Tiga daerah teratas yang mencatat angka perkawinan dini pada 2021 yakni
Kabupaten Kotabaru, Tapin dan Tanah Laut. Sementara tiga daerah terendah, yakni Kota
Banjarmasin, Banjarbaru dan Kabupaten Tabalong.
Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sumbar mencatat, tahun
2021 pernikahan dini melibatkan 225 laki-laki dan 929 perempuan. Sedangkan tahun
sebelumnya, hanya 153 untuk laki-laki dan 786 perempuan. Sub Koordinator Seksi
Kepenghuluan dan Fasilitasi Bina Keluarga Sakinah Kanwil Kemenag Sumbar Syafalmart
menegaskan, kebanyakan kasus yang ditemukan di lapangan memang diakibatkan dari
kehamilan yang tak diinginkan tersebut. Alasan lainnya, karena anak yang sudah dianggap
bisa mencari nafkah sendiri oleh orangtua mereka dan juga faktor ekonomi.
Perkawinan anak di Indonesia paling banyak terjadi di daerah pedesaan dengan
jumlah 27, 11% dibanding perkotaan sekitar 17,09%. Terjadinya perkawinan anak di
pedesaan ini dikarenakan masalah ekonomi yang membuar anak menjadi objek sebagai jalan
keluar dari kemiskinan keluarga. Kurangnya pendapatan dan kebutuhan yang di perlukan pun
tidak sesuai dengan pendapatan yang di dapat. Akhirnya yang harus di korbankan adalah
pendidikan anak dan anak tersebut. Kebanyakan setiap keluarga memiliki anak yang banyak.
Sehingga pendapatan yang tidak menetap, tidak mampu membiayai pendidikan anak mereka.
Orang tua mempunyai peranan dan dasar terhadap keberhasilan perkembangan anak,
sedangkan tugas dan tanggung jawab untuk hal tersebut adalah tugas bersama antara orang
tua, masyarakat dan pemerintah serta anak itu sendiri.
Selain itu, karena rendahnya tingkat pendidikan orang tua sehingga lalai dalam
mengembangkan kapasitas pribadi anaknya. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan
orang tua, anak, dan masyarakat menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anak di
bawah umur dan tidak dibarengi dengan refleksi jangka panjang atas akibat dan dampak
permasalahan yang dihadapi anak. Rendahnya tingkat pendidikan orang tua dan anak hanya
Sekolah Dasar (SD), nyatanya masih banyak anak yang belum pernah bersekolah, sehingga
orang tua akan merasa senang jika putrinya menyayanginya. , dan orang tua tidak
mengetahui akibat apa yang ditimbulkan oleh pernikahan dini ini. Tingkat pendidikan orang
tua rendah, bahkan banyak anak yang tidak bersekolah, sehingga orang tua tidak memahami
dan tidak mengetahui akibat dari pernikahan dini.
Penyebab internal terjadinya pernikahan dini di pedesaan adalah adat dan praktik
setempat bahwa pernikahan dini terjadi karena ketakutan orang tua jika anaknya dianggap
janda dan segera menikah, serta memikirkan mereka yang masih memiliki konsep pernikahan
dini untuk anak. anak-anak. Menjadi kecil adalah hal yang normal dan tidak menjadi
masalah. Menurut banyak orang, pernikahan seringkali terjadi karena sejak kecil, anak
dijodohkan oleh kedua orang tuanya. Sedangkan perkawinan anak merupakan perwujudan
segera dari hubungan kekeluargaan yang telah lama mereka idam-idamkan antara kerabat
mempelai pria dan mempelai wanita, semua itu agar hubungan kekeluargaan mereka tidak
putus. Selain itu, para orang tua juga merasa khawatir dengan putri remajanya sehingga
segera memilihkan pasangan hidup untuk anaknya. Psikologi orang tua secara tradisional
masih mendorong mereka untuk menikah sebelum usianya karena takut anaknya terlalu lama
tidak menikah. Tetangga juga malu karena mendukung pernikahan dini. Unsur ilmu agama
juga berpengaruh, sebagian masyarakat kita memahami bahwa jika seorang anak menjalin
hubungan dengan lawan jenis berarti melanggar agama. Dan orang tua mempunyai
kewajiban untuk melindungi dan mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan anak
tersebut.
Selain itu, gencarnya ekspose seks di media massa menyebabkan remaja modern kian
permisif terhadap seks sehingga remaja menjadikan media sosial sebagai sarana untuk
mencari pasangan. Paparan informasi tentang seksualitas dari media massa (baik cetak
maupun elektronik) yang cenderung bersifat pornografi dan pornoaksi dapat menjadi
referensi yang tidak mendidik bagi remaja. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan
ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari media massa tersebut.
Kelebihan pernikahan dini adalah terhindar dari perilaku seks bebas dan menginjak
usia tua tidak lagi mempunyai anak yang masih kecil.Hal ini sesuai dengan yang disampaikan
oleh informan 3 yaitu dampak positif dari pernikahan dini baik jika ditinjau dari segi agama
adalah menghindari terjadinya zina atau terhindar dari perilaku seks bebas karena kebutuhan
seksual terpenuhi, serta adanya anggapan jika menikah muda menginjak usia tua tidak lagi
mempunyai anak yang masih kecil. Selain hal tersebut, dampak positif yang ditimbulkan dari
pernikahan usia muda adalah dapat mengurangi beban orang tua karena dengan menikahkan
anaknya maka semua kebutuhan anaknya akan dipenuhi oleh suami.
Selain dampak positif, Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada
usia muda juga dapat merugikan. Pernikahan dini adalah pernikahan sebelum usia yang
tujuan persiapannya belum maksimal baik secara fisik, mental maupun materil. Oleh karena
itu, menikah dini bisa dianggap sebagai pernikahan yang terburu-buru, karena tidak
semuanya dipersiapkan dengan baik. Pernikahan dini pada perempuan tidak hanya
menimbulkan permasalahan hukum, melanggar undang-undang perkawinan, melindungi anak
dan hak asasi manusia, namun juga menimbulkan permasalahan yang dapat menjadi trauma
yang menghantui mereka seumur hidup, serta akan menimbulkan pertanyaan mengenai risiko
penyakit pada perempuan. serta mereka yang berisiko tinggi. risiko penyakit. Ini bisa
berbahaya saat melahirkan, baik bagi ibu maupun janin. Risiko penyakit akibat pernikahan
dini menyebabkan risiko lebih tinggi terkena kanker serviks, neuritis, depresi dan konflik
yang berujung pada perceraian.
Pada tahap awal pernikahan, sulit membedakan antara laki-laki dan perempuan, yang
umumnya mudah mengendalikan emosi. Keadaan emosi mereka jelas tidak stabil, sulit untuk
kembali normal. Yang terbaik adalah mengambil tindakan pencegahan sebelum masalah
terjadi, daripada menerima bimbingan setelah masalah ditemukan. Biasanya orang mulai
mengalami masalah saat ia mempunyai bayi. Ketika Anda punya bayi, itu berubah 100%.
Jika keduanya belum mempunyai anak, mereka tetap bisa menikmatinya, apalagi jika sama-
sama berasal dari keluarga yang cukup berkecukupan, keduanya tetap bisa menikmati
nikmatnya masa remaja meski sudah menjalin hubungan inti. Di usia muda, banyak
keputusan yang diambil berdasarkan emosi atau atas nama cinta sehingga menyebabkan
mereka bertindak salah.
Kestabilan emosi umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang
mulai memasukiusia dewasa. Masa remaja, boleh dibilang baru berhenti pada usia 19 tahun.
Dan pada usia 20-24 tahun dalam psikologis, dikatakan sebagai usia dewasa muda atau lead
edolesen. Pada masa ini biasanya mulai timbul tradisi dari gejolak remaja ke masa
dewasayang lebih stabil.
Dampak lain yang didapatkan jika melakukan pernikahan dini :
- Kemiskinan: kemiskinan sangat memungkinkan pada pernikahan dini ini karena kedua
pasangan tersebut yang menikah dini kebanyakan masih belum memiliki penghasilan
yang cukup dan bahkan masih belum bekerja. Hal inilah penyebab pernikahan di usia
dini rentan dengan kemiskinan.
- Kekerasan dalam rumah tangga: kekerasan pada pasangan dalam pernikahan dini ini
sangat rentan terjadi karena kondisi psikis kedua pasangan yang masih labil sehingga
menyebabkan emosi dan berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
- Kesehatan psikologi anak: dalam pernikahan dini ibu yang mengandung di bawah umur
akan menyebabkan terjadinya stress, trauma berkepanjangan, kurang pengetahuan dan
juga mengalami kurang kepercayaan diri.
- Masalah pada anak yang dilahirkan: pada saat seorang perempuan yang masih berada
pada masa pertumbuhan dan mengalami proses kehamilan, maka akan terjadi persaingan
nutrisi dengan janin yang dikandungnya, hal itu akan penyebab berat badan ibu hamil
sering sulit naik, dan disertai dengan anemia karena defisiensi nutrisi, serta berisiko
melahirkan bayi dengan berat lahir yang rendah. Menurut penelitian sekitar 14% bayi
yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah 17 tahun adalah bayi prematur. Anak
berisiko mengalami perlakuan kurang baik atau ditelantarkan. Berbagai penelitian jyga
menunjukkan bahwa seorang anak yang dilahirkan dari pernikahan usianya yang masih
muda berisiko mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan
perilaku, dan juga cenderung akan menjadi menikah di usia dini.
- Kesehatan Reproduksi: kehamilan ibu saat usianya kurang dari 17 tahun meningkatkan
risiko mangalami komplikasi medis, baik ibu maupun pada anak yang di kandungnya.
Kehamilan di usia yang masih sangat muda ternyata juga berkorelasi dengan angka
kematian dan kesakitan seorang ibu. sedangkan anak perempuan yang masih berusia 10-
14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan
kelompok usia 20-24 tahun, kemudian risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok
usia 15-19 tahun. Hal ini disebabkan karena organ reproduksi anak belum berkembang
dengan baik dan panggul juga belum siap untuk melahirkan. Data dari UNPFA tahun
2003, memperlihatkan 15%- 30% di antara persalinan di usia dini disertai dengan
komplikasi kronik, yaitu obstetric fistula. Fistula adalah kerusakan pada organ
kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Selain itu,
juga meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV.
Upaya Pencegahan Secara Umum :
1. Peran pemerintah
Peran Pemerintah dalam penanganan pernikahan usia dini, Diantaranya adalah melalui
pembatasan usia pernikahan. Untuk melangsungkan pernikahan telah diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 7 bahwa perkawinan diizinkan bila
laki-laki berumur 19 tahun dan perempuan berumur 16 tahun. Selain itu, pemerintah juga
mengeluarkan kebijakan tentang perilaku reproduksi manusia yang ditegaskan dalam UU
No 10 Tahun 1992 yang yang menyebutkan bahwa pemerintah menetapkan kebijakan
upaya penyelenggaraan Kelarga Bere ncana.
2. Memberdayakan anak dengan informasi, keterampilan, dan jaringan pendukung lainnya
Program ini berfokus pada diri anak dengan cara pelatihan, membangun ketrampilan,
berbagi informasi, menciptakan lingkungan yang aman, dan mengembangkan jejaring
dukungan yang baik. Program ini bertujuan agar anak memiliki pengetahuan yang baik
mengenai diri mereka dan agar mereka mampu mengatasi kesulitan sosial dan ekonomi
baik secara jangka panjang maupun jangka pendek. Beberapa program yang telah
dilakukan sebelumnya yaitu: latihan keterampilan hidup tentang kesehatan, nutrisi,
keuangan, komunikasi, negosiasi, pengambilan keputusan, dan tema yang terkait lainnya.
3. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas
Keterlibatan orangtua dan komunitas adalah strategi kedua yang paling banyak
digunakan dalam penelitian. Tujuan utama dari strategi ini ialah untuk menciptakan suatu
lingkungan yang baik, disebabkan karena ditangan keluarga dan anggota masyarakat
yang tua-lah keputusan pernikahan anak dilakukan atau tidak.
4. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak
Penelitian banyak yang menemukan bahwa pendidikan bagi anak perempuan sangat
berkorelasi dengan penundaan usia menikah. Di sekolah, anak dapat mengembangkan
ketrampilan sosial sehingga memungkinkan adanya perubahan norma mengenai
pernikahan dini. Misalnya Program peningkatan kurikulum sekolah dan pelatihan guru
untuk menyampaikan materi dan topik seperti ketrampilan hidup, kesehatan seksual dan
reproduksi, HIV/AIDS, dan kesadaran peran gender.
5. Membuat dan mendukung kebijakan terhadap pernikahan dini
Program intervensi untuk menurunkan angka pernikahan dini di Indonesia dilakukan
dengan mempertimbangan faktor yang paling berpengaruh yaitu budaya kolektivis
masyarakat. Mengingat masih banyak aturan-aturan dalam budaya tertentu di Indonesia
yang melazimkan terjadinya pernikahan dini pada masyarakat setempat. Sehingga,
dengan memanfaatkan budaya koletif yang ada di masyarakat, diharapkan penanganan
yang akan diberikan untuk mencegah pernikahan dini dapat lebih efektif.

Indonesia menepati peringkat ke-37 memiliki jumlah pernikahan di bawah umur dan
ke-2 di Asia Tenggara. Presentase angka kejadian pernikahan dini di Indonesia mengalami
kenaikan menjadi 15,66% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 14,18%. Tentu hal ini
bukanlah suatu kebanggaan kerena hal ini mempengaruhi kepadatan penduduk Indonesia,
karena pernikahan berpotensi terhadap jumlah kelahiran yang tinggi.
Terjadinya perkawinan anak di pedesaan ini dikarenakan masalah ekonomi yang
membuar anak menjadi objek sebagai jalan keluar dari kemiskinan keluarga. Kurangnya
pendapatan dan kebutuhan yang di perlukan pun tidak sesuai dengan pendapatan yang di
dapat. Selain itu, karena rendahnya tingkat pendidikan orang tua sehingga lalai dalam
mengembangkan kapasitas pribadi anaknya. Rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan
orang tua, anak, dan masyarakat menyebabkan adanya kecenderungan menikahkan anak di
bawah umur dan tidak dibarengi dengan refleksi jangka panjang atas akibat dan dampak
permasalahan yang dihadapi anak.
Penyebab internal terjadinya pernikahan dini di pedesaan adalah adat dan praktik
setempat bahwa pernikahan dini terjadi karena ketakutan orang tua jika anaknya dianggap
janda dan segera menikah, serta memikirkan mereka yang masih memiliki konsep pernikahan
dini untuk anak. anak-anak.
Dampak lain yang didapatkan jika melakukan pernikahan dini :
1. kemiskinan sangat memungkinkan pada pernikahan dini ini karena kedua pasangan
tersebut yang menikah dini kebanyakan masih belum memiliki penghasilan yang
cukup dan bahkan masih belum bekerja
2. Kekerasan pada pasangan dalam pernikahan dini ini sangat rentan terjadi karena
kondisi psikis kedua pasangan yang masih labil sehingga menyebabkan emosi dan
berdampak pada Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
3. Kesehatan psikologi anak dalam pernikahan dini ibu yang mengandung di bawah
umur akan menyebabkan terjadinya stress, trauma berkepanjangan, kurang
pengetahuan dan juga mengalami kurang kepercayaan diri
4. Masalah pada anak yang dilahirkan: pada saat seorang perempuan yang masih berada
pada masa pertumbuhan dan mengalami proses kehamilan, maka akan terjadi
persaingan nutrisi dengan janin yang dikandungnya, hal itu akan penyebab berat
badan ibu hamil sering sulit naik, dan disertai dengan anemia karena defisiensi
nutrisi, serta berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir yang rendah
5. Kesehatan Reproduksi, kehamilan ibu saat usianya kurang dari 17 tahun
meningkatkan risiko mangalami komplikasi medis, baik ibu maupun pada anak yang
di kandungnya.

Upaya pencegahan secara umum :


1. Peran Pemerintah dalam penanganan pernikahan usia dini, Diantaranya adalah melalui
pembatasan usia pernikahan
2. Memberdayakan anak dengan informasi, keterampilan, dan jaringan pendukung
lainnya
3. Mendidik dan menggerakkan orangtua dan anggota komunitas
4. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan formal bagi anak
5. Membuat dan mendukung kebijakan terhadap pernikahan dini
Bagi pemuda dan pemudi yang ingin menikah harus mempertimbangkan beberapa hal
seperti persiapan fisik, mental, keilmuan, agama dan umum serta persiapan ekonomi. Orang
tua selalu berkepentingan terhadap pendidikan anaknya, baik pendidikan agama maupun
pendidikan formal maupun nonformal, agar dapat bertumbuh dan menikah pada usia yang
sesuai. Selain itu, orang tua hendaknya selalu memperhatikan pergaulan anaknya agar
terhindar dari segala pergaulan bebas yang dapat berujung pada pernikahan dini.
DAFTAR PUSTAKA

Evy Nurachma dkk. (2018). Pengaruh Pasangan Pernikahan Dini Terhadap Pola Pengasuh
Anak. Tanggerang: T.tp
Husnul Fatimah dkk. (2021). Pernikahan Dini dan Upaya Pencegahannya. Yogyakarta : CV.
MIne
Martyan Mita Rumekti dan V. Indah Sri Pinasti. (2016). Peran Pemerintah Daerah (Desa)
dalam Menangani Maraknya Fenomena Pernikahan Dini Di Desa Plosokerep
Kabupaten Indramayu. Jurnal Pendidikan Sosiologi
Nadiratul Laeli. (2021). Fenomena Sosial Pernikahan Dini di Desa Pace Kecamatan Silo
Kabupaten Jember. Jurnal Kajian Perempuan & Keislaman Vol. 14, No. 2
Nasution, Rosramadhana. (2016). Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom:
Subaltern Perempuan pada Suku Banjar dalam Perspektif Poskolonial. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Nuriah Hikmah. (2019). Faktor-Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Pernikahan Dini di
Desa Muara Wis Kecamatan Muara Wis Kabupaten Kutai Kartanegara. eJournal
Sosiatri-Sosiologi, 7 (1)
Salsabila Adelia Siswianti, Putri Azzahroh, Anni Suciawati. (2022). Analisis Kejadian
Pernikahan Dini Di Desa Cogreg Kecamatan Parung Kabupaten Bogor Tahun 2021.
Jurnal Kebidanan Vol. 11 No. 2
Yanti, Hamidah, Wiwita. (2018). Analisis Faktor Penyebab dan Dampak Pernikahan Dini di
Kecamatan Kandis Kabupaten Siak. Jurnal Ibu dan Anak. Volume 6, Nomor 2

Anda mungkin juga menyukai