Oleh :
UNIVERSITAS UDAYANA
2019
i
Lampiran 2
LEMBAR PENGESAHAN
2. Peserta :
a. Ketua Kelompok :
NIM : 1912521019
Ketua,
NIM. 1912521019
ii
Lampiran 3
Dengan ini menyatakan bahwa karya tersebut dengan judul “Pandangan Budaya
Kesetaraan Berkeluarga di Bali Terhadap Sistem Kesetaraan Gender Khususnya
Stereotipe Peran Perempuan di Bali” adalah benar merupakan hasil karya sendiri
dan bukan merupakan plagiat karya orang lain serta belum pernah
dipublikasikan. Apabila dikemudian hari pernyataan ini tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi yang ditetapkan panitia pelaksana Pelatihan Karya
Tulis Ilmiah FISIP 2019.
NIM. 1912521019
iii
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
dalam menyelesaikan karya tulis ini memperoleh bantuan dari berbagai pihak,
seluruh pihak yang turut serta membantu menyelesaikan karya tulis ini.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih banyak kekurangan baik isi
maupun susunannya. Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi
Tim Penulis
iv
DAFTAR ISI
v
2.3.1 Teori Skema Gender………………………………………...………..….. 10
2.3.2 Teori Equilitas…………………………………………………...…….…... 11
2.4 Kerangka Pemikiran………………………………………………………...………… 16
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
Pandangan Budaya Kesetaraan Berkeluarga di Bali Terhadap Sistem
Kesetaraan Gender Khususnya Stereotipe Peran Perempuan di Bali
Oleh :
ABSTRAK
viii
Kata Kunci : Perempuan, Kesetaraan, Gender, SDGs.
ix
BAB 1
PENDAHULUAN
1
perbedaan tugas dan peran dalam kehidupan seakan sudah memiliki kewenangan
dan kelayakannya sendiri.Tidak hanya berhenti sampai tugas dan peran saja,
gender telah berdampak ke beberapa ranah yang paling menghawatirkan. Gender
itu sendiri dapat menimbulkan ketimpangan perbedaan hak. Ada yang merasakan
bahwa hal ini memang sudah menjadi kodrat bagi setiap masing-masing individu
bahwa peran mereka sudah sedemikian rupa diatur, namun tidak sedikit juga
yang merasa tidak adil akan keberbedaan hak serta peran antara kaum laki-laki
dan perempuan Sehingga seiring majunya pola pikir manusia protes-protes
terpendam itu pun muncul.
Jika kita melihat ke belakang sejenak khususnya di Indonesia, dimana
Indonesia pada masa lampau, dipandang tidak memperhatikan kesetaraan
gender. Pria dianggap lebih superior daripada wanita. Banyak akses-akses pribadi
dan sosial yang hanya didapatkan oleh pria saja. Pria pada waktu itu
diperbolehkan untuk bersekolah namun tidak untuk wanita. Pria dituntut
menjadi pandai, telaten, dan siap kerja. Lain halnya dengan wanita yang hanya
dipandang mengurusi urusan rumah tangga saja. Karena perbedaan perlakuan
tersebutlah muncul ketidakadilan atas akses sosial dan akses pengembangan
dirinya. Selain itu akibat dari ketidaksetaraan gender tersebut dalam berumah
tangga memicu beberapa masalah, karena salah satu pihak merasa tidak
mendapatkan hak yang sama, tidak memiliki kebebasan untuk turut
mengekpresikan dirinya sebagai seorang perempuan. Sehingga hal tersebut
memunculkan permasalahan baru yang membuat volume masalah yang sudah
banyak tersebut kembali muncul bahkan bisa mengganggu ketertiban. Karena hal
tersebutlah muncul sebuah gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kaum
perempuan yang tertindas, yang terpenjara karena mereka tidak memiliki hak
yang sama.
Melihat fenomena masalah sosial tersebut berdampak luar biasa bagi
keberlangsungan hidup manusia bahkan dampaknya merentet ke semua lini
kehidupan baik berpengaruh pada anak, lingkungan sosial serta memunculkan
2
masalah sosial yang berkelanjutan, maka sebagai bentuk respon akan hal tersebut
PBB sebagai sebuah lembaga yang menjaga perdamaian dunia mulai
mendiskusikan dan telah melahirkan berbagai terobosan untuk menyetarakan
gender salah satunya termuat dalam program strategis PBB sendiri yaitu SDGs
(Sustainable Developtment Goals) 2030. Program ini adalah tujuan pembangunan
berkelanjutan yang dicita-citakan Negara yang tergabung di dalamnya. Program
ini memuat 17 poin penting dan kesetaraan gender termuat di dalam salah satu
poinnya, karena dunia internasional pun menganggap bahwa masalah kesetaraan
gender ini perlu mendapatkan perhatian serius sebab dampaknya yang sangat
signifikan bagi ketertiban masyarakat, apalagi stereotype yang sudah menjadi
‘pengetahuan umum’ dan cap tersendiri oleh masyarakat, sehingga dibutuhkan
komitmen dan kesadaran masyarakat untuk bersama sadar dan merubah
paradigma tersebut.
Dengan latar belakang tersebutlah, semua komponen pemerintah
khususnya tengah berusaha mewujudkan hal tersebut. Lalu bagaimana dengan
Bali sediri jika kita mengkhususkan atau memfokuskannya? Bagaimana budaya
Bali memandang hal tersebut? Bali yang terkenal kebiasaan dan adatnya, apakah
ada hal yang signifikan mengatur dan membingkainya secara khusus, serta
bagaimanakah sebenarnya di bali itu sendiri memandang kesetaraan gender
sehingga pemahaman tentang hal yang sifatnya mendasar ini bisa diperbaiki jika
terdapat kekeliruan pemahaman dan dijadikan rule of model penerapan jika
terdapat konsep yang mewadahinya.
3
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan menjelaskan pandangan budaya berkeluarga di Bali
terhadap kesejahtereaan gender khususnya stereotype terhadap peran
perempuan Bali. Penelitian ini berusaha dipaparkan secara mendalam dan apa
adanya sehingga tujuan yang kami harapkan dapat tercapai.
1.3.2 Tujuan Khusus
Menganalisis budaya berkeluarga di Bali dan menjelaskan dampak yang
ditimbulkan terhadap kesetaraan gender.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Rahmawati membahas mengenai perbedaan kedudukan antara perempuan dan
laki-laki dalam Adat Bali, di mana perempuan dianggap memiliki kedudukan yang
lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Budaya patrilineal ini dianggap
menjadi faktor penting dalam terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan
di Bali. Namun, dalam penelitian tersebut tidak ditawarkan upaya-upaya atau
solusi untuk mengikis diskriminasi tersebut.
1
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, hlm. 629
2 Hasanuddin, AH., 1984, Cakrawala Kuliah Agama, Surabaya : Al Ikhlas, hlm. 155
3 Zakiah Daradjat. 2012, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Cet. X, hlm. 35
6
karena itu, kasih sayang orang tua terhadap anak-anak hendaklah kasih sayang
yang sejati pula.4
2.2.2 Gender
Gender diartikan sebagai konstruksi sosio-kultural yang membedakan
karakteristik maskulin dan feminim. 5 Gender berbeda dengan seks atau jenis
kelamin laki-laki diacu dalam (Kodiran dkk 2001). Walaupun jenis kelamin laki-
laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin dan jenis kelamin perempuan
dengan gender feminin, kaitan antara jenis kelamin dengan gender bukan
merupakan korelasi absolut.
Dalam memahami konsep gender ada beberapa hal yang perlu dipahami,
yaitu :
1. Ketidakadilan dan diskriminasi gender
Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi yang tidak
adil akibat sistem dan struktur sosial dimana baik laki-laki dan
perempuan menjadi korbannya. Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat
diskriminasi gender meliputi :
a. Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan) perempuan.
Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang
disebabkan jenis kelaminnya.
b. Subordinasi.
Subordinasi adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Contohnya, apabila seorang istri yang hendak mengikuti tugas
belajar, ia harus mendapat izin dari suami. Namun, jika suami yang
4
Purwanto, MN., 2009, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Bandung : PT Remaja Rosdakarya,
hlm. 8
5
Mantovani, CP., 2014, Konstruksi Perempuan di Dalam Majalah MALE (Analisis
Wacana Terhadap Artikel MALEZONE di Majalah MALE edisi 21 Juni-16 Agustus
2013), Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
7
akan pergi, ia dapat mengambil keputusan sendiri tanpa harus
mendapat izin dari istri.
c. Pandangan stereotipe.
Pelabelan (stereotipe) secara umum selalu melahirkan
ketidakadilan. Contohnya, label kaum perempuan sebagai ibu
rumah tangga sangat merugikan mereka jika hendak aktif dalam
kegiatan laki-laki, seperti kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi.
d. Kekerasan.
Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat
perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kekerasan tidak
hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan,
pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik
seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara
emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan
merasa terusik batinnya.
e. Beban kerja.
Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah
beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin
tertentu. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan
mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga,
sehingga bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, selain
bekerja di sektor publik mereka juga masih harus mengerjakan
pekerjaan domestic mereka sebagai bentuk tanggung jawab dalam
rumah tangga.6
2.2.3 Stereotip
Narwoko & Suyanto menyatakan bahwa stereotip adalah sebuah bentuk
pelabelan terhadap pihak atau kelompok tertentu yang selalu berakibat
6
Marleni, 2013, Pola dan Etos Kerja Perempuan dalam Industri Rumah Tangga di Jorong
Cangkiang Nagari Batu Taba Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten Agam, Jurnal Ilmiah Kajian
Gender, hlm 77-87
8
merugikan pihak lain dan menimbulkan ketidakadilan. 7 Stereotip adalah cara
pandang, persepsi terhadap suatu kelompok sosial dimana cara pandang tersebut
digunakan pada setiap kelompok tersebut. Stereotip juga digunakan oleh manusia
sebagai bagian dari mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) untuk
menyembunyikan keterbatasan atau untuk membenarkan perasaan serta emosi
kita yang rapuh mengenai superioritas.
Stereotip pada umumnya tidak memiliki sumber yang jelas, berasal dari
karangan - karangan suatu kelompok tertentu atau berasal dari cerita turun-
temurun mengenai prasangka negatif tentang seseorang, kelompok,
budaya, bangsa, hingga agama. Sehingga segala bentuk stereotip belum tentu
kebenarannya, bahkan ada stereotipe yang salah sekali kebenarannya. Stereotip
bisa berkaitan dengan hal positif atau hal negatif, stereotip bisa benar juga bisa
salah, dan stereotip bisa berkaitan dengan individu atau sub-kelompok.
2.2.4 Keluarga
Keluarga menurut sejumlah ahli adalah unit sosial-ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang merupakan landasan dasar dari semua institusi, merupakan
kelompok primer yang terdiri dari dua atau lebih orang yang mempunyai jaringan
interaksi interpersonal, hubungan darah, hubungan perkawinan, dan adopsi (UU
Nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10). Menurut U.S. Bureau of the Census Tahun
2000, disebutkan bahwa keluarga terdiri atas orang-orang yang hidup dalam satu
rumah tangga (Newman dan Grauerholz 2002; Rosen (Skolnick dan Skolnick
1997).
Keluarga juga dapat diartikan sebagai suatu proses, sebagai satuan
perlakukan intervensi, sebagai suatu jaringan dan tujuan akhir dari abstraksi
romantisme. Lebih jauh, Frederick Engels dalam bukunya The Origin of the Family,
Private Property, and the State, yang mewakili pandangan radikal menjabarkan
keluarga mempunyai hubungan antara struktur sosial-ekonomi masyarakat
7
Narwoko & Suyanto, 2009, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, hlm. 322
9
dengan bentuk dan isi dari keluarga yang didasarkan pada sistem patriarkhi
(Ihromi 1999).
2.2.5 Sustainable Development Goals (SDGs)
Sustainable Development Goals (SDGs), yang juga dikenal sebagai ‘tujuan
dunia’ adalah sebuah program yang dicannangkan oleh anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2015 sebagai sebuah panggilan global untuk
terjun di masyarakat dalam aksi nyata tentang kemiskinan, menyelamatkan bumi
dan memastikan semua orang di dunia ini mendapatkan kedamaian dan
kemakmuran pada 2030.
Dalam 17 rangkaian program SDGs yang terintegrasi satu sama lain, sangat
disadari bahwa sebuah aksi di suatu daerah akan memberi dampak pada daerah
lain dan peningkatan itu harus seimbang dengan 4 pilarnya yaitu dari segi sosial,
ekonomi, keadilan dan lingkungan.
SDGs 2019 dirangcang untuk menggantikan MDGs yang dianggap gagal
pada tahun 2015. Semua tujuan yang dicanangkan pada MDGs memang dinilai
berhasil. Namun, data yang diperoleh lebih bersifat kuantitatif, bukan hasil
kualitatif. Data yang diperoleh sebagai hasil rancangan MDGs seperti ini : "Pada
tahun 2013, angka kemiskinan di Indonesia adalah 45%, pada tahun 2014, angka
kemiskinan menurun menjadi 40%. " Data tersebut dinilai sebagai data yang
kuantitatif, karena adanya kemungkinan 5% dari angka tersebut telah meninggal,
atau jumlah penduduk Indonesia pada saat itu meningkat drastis. 8
8 Asfa, N. 2019, Dapatkah Milenial Meraih 17 Tujuan Sustainable Development Goals 2030? via
https://www.kompasiana.com/nurfadillaasfa/5cadd29b3ba7f7524c584c32/dapatkah-
millenials-meraih-17-tujuan-sustainable-development-goals-2030?page=all
10
gender muncul ketika anak-anak secara bertahap mengembangkan skema gender
tentang apa yang pantas dan apa yang tidak pantas menurut gender dalam budaya
mereka. Skema adalah struktur kognitif, jaringan asosiasi yang membimbing
persepsi satu individu. Skema gender mengatur dunia menurut perempuan dan
laki-laki. Anak-anak termotivasi secara internal untuk menerima dunia dan untuk
bertindak sesuai dengan skema mereka yang mengalami perkembangan.
Martin, Ruble, & Szkrybalo, 9 menyatakan bahwa menurut teori kognitif
sosial, gender berkembang melalui proses yang terdiri atas observasi, peniruan
(imitasi), penghargaan, dan hukuman. Menurut pandangan kognitif, interaksi
antara anak dan lingkungan sosial menjadi kunci utama untuk perkembangan
gender. Menurut Santrock10, beberapa pengkritik berpendapat bahwa penjelasan
ini kurang memperhatikan pikiran dan pemahaman si anak, serta
menggambarkan anak tersebut menerima peran gender secara pasif bahwa
gender dan seks memiliki perbedaan dari segi dimensi.
Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-
laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya
seorang laki-laki dan perempuan. Gender diartikan sebagai konstruksi
sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminim. Sependapat
juga dengan Moore11 bahwa gender berbeda dari seks dan jenis kelamin laki-laki
dan perempuan yang bersifat biologis. Istilah gender dikemukakan oleh para
ilmuwan sosial dengan tujuan menjelaskan perbedaan perempuan dan laki-laki
yang mempunyai sifat bawaan dan bentukan budaya. Gender adalah sebuah
perbedaan peran, fungsi, dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan
yang merupakan hasil konstruksi sosial yang fleksibel dan dapat berubah sesuai
dengan perkembangan zaman.
2.3.2 Teori Equilitas
9 Saguni, F., 2014, Pemberian Stereotype Gender, Jurnal Musawa, Vol. 6, No. 2, Hlm. 195-224
10 Saguni, F., 2014, Pemberian Stereotype Gender, Jurnal Musawa, Vol. 6, No. 2, Hlm. 195-224
11
Saguni, F., 2014, Pemberian Stereotype Gender, Jurnal Musawa, Vol. 6, No. 2, Hlm. 195-224
11
Secara garis besar, aliran aliran feminisme terbagi dalam 2 (dua) kluster
yaitu kluster yang merubah nature (kodrati) perempuan, dan yang melestarikan
nature perempuan. Kluster merubah nature perempuan terdiri atas aliran-aliran
Feminisme Eksistensialisme, Feminisme Liberal, Feminisme Sosialis/ Marxis dan
Teologi Feminis. Adapun kluster melestarikan nature perempuan terdiri atas
aliran-aliran Feminisme Radikal dan Ekofeminisme (Megawangi 1999). Teori
equilitas secara umum dibagi menjadi :
1) Teori Nurture
Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada
hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan
peran dan tugas yang berbeda.Perbedaan tersebut menyebabkan
perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan konstribusinya
dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perjuangan untuk persamaan dipelopori oleh orang-orang yang konsen
memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki (kaum feminis)
yang cenderung mengejar “kesamaan” yang kemudian dikenal dengan
istilah kesamaan kuantitas (perfect equality).
2) Teori Nature
Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah
kodrat sehingga tidak dapat berubah dan bersifat universal.Perbedaan
biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua
jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda.Manusia, baik
perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan
fungsinya masing-masing.Dalam kehidupan sosial, ada pembagian tugas
(division of labour), begitu pula dalam kehidupan keluarga karena tidaklah
mungkin sebuah kapal dikomandani oleh dua nakhoda. Talcott Persons
dan Bales (1979) berpendapat bahwa keluarga adalah sebagai unit sosial
yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling
melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Keharmonisan hidup
12
hanya dapat diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi
antara perempuan dan laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola
pendidikan dan pengasuhan anak dalam keluarga.
3) Teori Equilibrium
Disamping kedua aliran tersebut, terdapat paham kompromistis yang
dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada
konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan
dan laki-laki.Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum
perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam
kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, dan berbangsa.Karena itu, penerapan kesetaraan dan
keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual (yang ada
pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai situasi/keadaan),
bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (jumlah/quota) dan
tidak bersifat universal. Kesetaraan gender dapat terjadi dengan
memperhatikan masalah kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu
tertentu) dan situasi atau keadaan. Dengan kata lain laki-laki dan
perempuan harus bekerjasama karena dalam teori ini ditekankan
keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Ketidakadilan
gender termanifesatasikan dalam berbagai bentuk ketidakadialan, yakni:
1) Gender dan Marjinalisasi Perempuan
Proses marjinalisasi, yang mengakibatkan kemiskinan, sesungguhnya
banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang menimpa
kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai
kejadian, misalnya penggusuran, bencana alam atau proses
ekspliotasi. Namun ada salah satu bentuk pemiskinan atas satu jenis
kelamin tertentu, dalam hal ini perempuan, disebabkan oleh gender.
Ada beberapa perbedaan jenis dan bentuk, tempat dan waktu serta
mekanisme proses marjinalisasi kaum perempuan karena perbedaan
13
gender tersebut. Dari segi sumbernya biasa berasal dari kebijakan
pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan
kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
2) Gender dan Subordinasi
Subordinasi akibat gender terjadi dalam berbagai bentuk yang
berbeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. Di
masyarakat, pernah ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu
sekolah tinggi-tinggi, karena akhirnya mereka akan berkutat di dapur
juga. Bahkan, pemerintah pernah memiliki peraturan bahwa jika
suami akan pergi belajar dan jauh dari keluarga, maka mereka bebas
mengambil keputusan sendiri. Sedangkan bagi istri yang hendak tugas
belajar ke luar negeri harus mengantongi izin suami. Dalam rumah
tangga masih sering terdengar jika keuangan keluarga dalam keadaan
sangat terbatas, dan harus mengambil keputusan untuk
menyekolahkan anak-anaknya, maka anak laki-laki akan
mendapatkan prioritas utama. Praktik seperti itu sesungguhnya
berangkat dari kesadaran gender yang tidak adil.
3) Gender dan Stereotipe
Secara umum, stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan
menimbulkan ketidakadilan. Banyak sekali ketidakadilan terhadap
jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan, yang bersumber dari
pandangan (stereotipe) yang dicapkan kepada mereka. Misalnya,
penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek
dalam rangka memancing lawan jenisnya. Hal itu menyebabkan setiap
ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual, akan selalu dikaitkan
dengan stereotipe ini.
4) Gender dan Kekerasan
14
Kekerasan (violence) adalah serangan, invasi (assault) terhadap fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap
sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun
salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang
disebabkan oleh anggapan gender. Kekerasan yang disebabkan oleh
bias gender ini disebut gender-related violence. Pada dasarnya,
kekerasan gender disebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang
ada dalam masyarakat.
5) Gender dan Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara
dan rajin, serta tidak cocok untuk manjadi kepala rumah tangga,
menyebabkan perspektif bahwa semua pekerjaan dalam rumah
tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Konsekuensinya,
banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk
menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya, mulai dari
membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, hingga
mengurus anak. Di kalangan keluarga miskin beban yang sangat berat
ini harus ditanggung oleh perempuan sendiri. Telebih-lebih jika si
perempuan tersebut harus bekerja, maka ia harus memikul beban
kerja ganda.
15
2.4. Kerangka Pemikiran
BUDAYA
BERKELUARGA BALI
Isu Kesetaraan
Gender
Masyarakat
Konservatif
Pro Kontra
Para Ahli
(Antropolog, Agama Hindu, Organisasi
Pemberdayaan Perempuan)
SDGs 2030
16
Penjelasan
Dari bagan tersebut dapat kita lihat bahwa penulis mengamati sebuah
permasalah dari sudut pandang budaya berkeluarga di Bali. Dari sana kita bisa
ambil sebuah kerangka berpikir yang mana awal mula penelitian ini dilakukan
mengacu pada visi dunia di tahun 2030 yang ditetapkan oleh Negara-negara yang
ikut dalam PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Salah satu poinnya adalah tentang
kesetaraan gender itu sendiri. Penulis berusaha mengambil contoh terkait kasus
kesetaraan gender dan menemukan sebuah peradigma yang unik di salah satu
daerah yaitu Pulau Bali. Melalui hal tersebut, penulis ingin mengamati bagaimana
budaya berkeluarga di Bali memandang kesetaraan gender dan bagaimana
praktiknya di masyarakat.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
18
Suyanto, 2013: 171). Penelitian yang akan kami lakukan bertempat di Kota
Denpasar yaitu kampus Universitas Udayana sebenarnya tidak ada alasan khusus
untuk hal ini karena menganggap pola sistem berkeluarga di Bali secara garis
besar hampir sama di setiap daerah sehingga kami memilih melakukan penelitian
di Universitas Udayana agar lebih mudah di jangkau serta jarak yang relative
dekat.
19
dari sumber tertulis yang terbagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber
dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi (Moleong, 2014: 159). Data
tambahan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai tulisan seperti buku, jurnal,
skripsi, tesis, artikel, maupun data-data lain yang berkaitan dengan budaya
berkeluarga di Bali itu sendiri serta sistem gender dalam berkeluarga secara
umum.
20
tambahan agar data atau informasi yang diperoleh peneliti tidak hanya sebelah
pihak saja melainkan di dapat dari sudut pandang yang berbea-beda.
21
benar mencari data yang akurat. Observasi dilakukan selama proses
pengumpulan data di lapangan terhadap para informan yang telah ditentukan
sebelumnya sehingga penulis mampu menggambarkan fenomena atau fakta
sosial yang tarjadi kemudian menjadikan observasi tersebut sebagai landasan
penelitian. Observasi dilakukan dengan cara mengamati bagaimana kehidupan
berkeluara di Bali itu sendiri yang melibatkan suami istri terkait peran yang
mereka lakukan masing-masing. Adapun hal yang penulis observasi yaitu apa saja
yang biasanya di keluhkan oleh perempuan di Bali dalam kehidupan berkeluarga.
Dalam penelitian ini, observasi berbentuk participant as observer, dimana peneliti
dalam melakukan pengumpulan data menyatakan terus terang kepada sumber
data, bahwa ia sedang melakukan penelitian (Sugiyono, 2013: 228). Data yang
diperoleh dari proses observasi, kemudian digunakan sebagai bekal penelitian
lebih lanjut dengan menggunakan tahap wawancara.
3.6.2. Wawancara
Teknik pengumpulan data selanjutnya yakni wawancara. Wawancara
merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu
(Sugiyono, 2010: 231). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara
tidak terstruktur dengan golongan wawancara bebas, dimana wawancara tidak
terikat oleh sistematika daftar pertanyaan tertentu, melainkan lazimnya hanya
terarahkan oleh pedoman wawancara saja sehingga peneliti bisa secara bebas
mengembangkan wawancaranya (Sutinah & Suyanto, 2013: 78). Sebelum
melaksanakan proses wawancara penulis meminta kesempatan terlebih dahulu
untuk melakukan proses wawancara dan wawancara dilakukan secara santai dan
terbuka dengan terlebih dahulu mengajukan pertanyaan kunci untuk selanjutnya
dikembangkan sehingga suasana wawancara tidak kaku dan memberikan rasa
keterbukaan dari para informan. Adapun tempat dilaksanakannya wawancara
yakni disesuaikan dengan keinginan dan kenyamanan para informan. Hasil
22
wawancara kemudian diolah sehingga menjadi sebuah data dan pandangan
dalam penelitian
3.6.3. Dokumentasi
Penelitian ini menggunakan data pelengkap, baik dari buku-buku ilmiah,
laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah yang relevan, sumber tertulis, arsip,
dokumen berupa gambar maupun video, serta informasi lain yang dapat
menunjang penelitian. Dokumentasi terpenting kami berasal dari pandangan ahli
dalam menjelaskan bagaimana budaya berkeluarga di Bali dari segi historis dan
konsep sehingga dapat kami jadikan alasan utama yang menyebabkan fenomena
yang kami teliti ini terjadi serta penelitian yang serupa juga merupakan sumber
dokumentasi pendukung untuk menyempurnakan pandangan.
23
penelitian yang akan penulis lakukan menggunakan sistem wawancara dimana
informan yang penulis jadikan sebagai narasumber disesuaikan dengan tema
yang penulis angkat serta berusaha menghadirkan informan yang bersifat multi
disiplin dalam artian dari berbagai sudut pandang, setelah wawancara selesai
dilakukan, data yang terkumpul di olah kembali dengan menyederhanakannya
sehingga kembali didapatkan poin yang dapat memperkuat fakta, data yang telah
diolah sedemikian rupa dimana akan didapatkan hasil yang sudah merupakan
bagaian dari beberapa proses baik itu pengenalan secara umum sampai
penyederhanaan yang disesuaikan dengan fakta dan teori dari para ahli sehingga
mendukung penelitian yang penulis lakukan dan terakhir akan ditarik
kesimpulan untuk merangkum keseluruhan penelitian dan di harapkan
menghasilkan kesimpulan yang realistis dan sesuai dengan apa yang di jadikan
bahan penelitian sehingga menghasilkan penelitian yang bersifat ilmiah dan
dapat dipercaya.
24
DAFTAR PUSTAKA
Hasanuddin, AH., (1984), Cakrawala Kuliah Agama, Surabaya : Al Ikhlas, hlm. 155
Ivan Nye et.all, (1976), Role Structure and Analysis of the Family, Published in
Cooperation With The National Council On Family Relations, London: Sage
Library of Social Research, hlm. 1-14.
Marleni, (2013), Pola dan Etos Kerja Perempuan dalam Industri Rumah Tangga di
Jorong Cangkiang Nagari Batu Taba Kecamatan Ampek Angkek Kabupaten
Agam, Jurnal Ilmiah Kajian Gender, hlm 77-87
Narwoko & Suyanto, (2009), Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, hlm. 322
Pradhita, J., (2017), Stereotip, Jurnal Ilmiah, Universitas Jember : Jawa Timur
25
Puspitawati, H., (2010), Analisis Structural Equation Modelling Tentang Relasi
Gender, Tingkat Stres, Dan Kualitas Perkawinan Pada Keluarga Penerima
Program Keluarga Harapan (PKH), Jurnal Studi Gender & Anak, Vol. 5, No.
2, hlm. 328-345
Putri & Lestari, (2015), Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan
Suami Istri Jawa, Jurnal Penelitian Humaniora, Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta : Yogyakarta, 16 [1] hlm 72-76
Saguni, F., (2014), Pemberian Stereotype Gender, Jurnal Musawa, Vol. 6, No. 2,
Hlm. 195-224
Suardiman, SP., (2014), Psikologi Sosial, Yogyakarta
Umar, M., (2015), Peranan Orang Tua Dalam Peningkatan Prestasi Belajar Anak,
Jurnal Ilmiah Edukasi Vol 1, Nomor 1, hlm. 20-27
Zakiah, D., (2012) , Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, Cet. X, hlm. 35
Zayyadi, A., (2012), Perempuan Bekerja (Tinjauan Gender Equality Dalam Peran
Keluarga), Jurnal Yin Yang, Vol. 7 No.2, hlm. 40-53
26