Anda di halaman 1dari 37

TUGAS

SISTEM KOMUNIKASI INDONESIA


“GENDER DALAM KONTEKS TEORI STRUKTURAL-
FUNGSIONAL DAN TEORI SOSIAL-KONFLIK”

OLEH
DWI ASRINI (201311013)

ADMINISTRASI NEGARA

UNIVERSITAS SURAKARTA
Jl. Raya Palur Km 5 Surakarta
GENDER DALAM KONTEKS TEORI STRUKTURAL-FUNGSIONAL DAN
TEORI SOSIAL-KONFLIK

A. DEFINISI GENDER
Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda
dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan
atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata
‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis kelamin’ (John M. Echols dan
Hassan Shadily, 1983: 265). Kata ‘gender’ bisa diartikan sebagai ‘perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku.
Secara terminologis, ‘gender’ bisa didefinisikan sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan (Hilary M. Lips, 1993: 4). Definisi lain tentang
gender dikemukakan oleh Elaine Showalter. Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan
laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya. Gender bisa juga
dijadikan sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu
(Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies
Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk
membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki
dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari
tempat ke tempat yang lain (Mansour Fakih 1999: 8-9). Heddy Shri Ahimsha Putra
(2000) menegasakan bahwa istilah Gender dapat dibedakan ke dalam beberapa
pengertian berikut ini: Gender sebagai suatu istilah asing dengan makna tertentu,
Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya, Gender sebagai suatu kesadaran sosial,
Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya, Gender sebagai sebuah konsep untuk
analisis, Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat
yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas,
dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex,
meskipun secara etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John
M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis,
sedang gender lebih banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan
aspekaspek nonbiologis lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan kepada
perkembangan aspek biologis dan komposisi kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan
seorang perempuan, maka studi gender lebih menekankan kepada perkembangan
aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.

Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Gender merupakan perbedaan fungsi dan peran laki-
laki dan perempuan karena konstruksi sosial, dan bukan sekadar jenis kelaminnya.
Dengan sendirinya gender dapat berubah dari waktu ke waktu sesuai kontruksi
masyarakat yang bersangkutan tentang posisi peran laki-laki dan perempuan.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi
sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang
panjang ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan
yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi.
Inilah sebenarnya yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-
tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat
menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan
akses seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya.
Gender juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak
seseorang. Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan
seseorang untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya,
genderlah yang banyak menentukan seseorang akan menjadi apa nantinya.
Dalam upaya mengubah perilaku seseorang terhadap pemahaman gender, ada
beberapa istilah yang perlu diketahui:
a. Buta Gender (gender blind), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang tidak
memahami tentang pengertian/konsep gender karena ada perbedaan kepentingan
laki-laki dan perempuan.
b. Sadar Gender (gender awareness), yaitu kondisi/keadaan seseorang yang sudah
menyadari kesamaan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki.
c. Peka/Sensitif Gender (gender sensitive), yaitu kemampuan dan kepekaan
seseorang dalam melihat dan menilai hasil pembangunan dan aspek kehidupan
lainnya dari perspektif gender (disesuaikan kepentingan yang berbeda antara laki-
laki dan perempuan).
d. Mawas Gender (gender perspective), yaitu kemampuan seseorang memandang
suatu keadaan berdasarkan perspektif gender.
e. Peduli/Responsif Gender (gender concern/responcive), yaitu kebijakan/program/
kegiatan atau kondisi yang sudah dilakukan dengan memperhitungkan
kepentingan kedua jenis kelamin.

B. KONSEP GENDER
Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana
perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan
mana yang merupakan tuntutan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan
disosialisasikan.
Pembedaan itu sangat penting, karena selama ini kita sering kali mencampur-
adukkan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-ciri
manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah-ubah atau
diubah. Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan
kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada
perempuan dan laki- laki. Perbedaan gender dikenal sebagai sesuatu yang tidak tetap,
tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi
perempuan dan laki- laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan
yang ada dalam masyarakat.
Di lain pihak, alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis
diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan
untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap ealitas adanya relasi
kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menumbuhkan
penindasan. Dengan begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus
mengkoreksi alat analisis sosial yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong
realitas relasi sosial lelaki dan perempuan serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Jadi jelaslah mengapa gender perlu dipersoalkan. Perbedaan konsep gender secara
sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab,
fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya
perbedaan gender itu melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga masyarakat
sering lupa seaka-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi
sebagaimana permanen dan abadinya ciri-ciri biologi yang dimiliki oleh perempuan
dan laki-laki.
Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan pembedaan peran. Sifat dan
fungsi yang berpola sebagai berikut:
• Konstruksi biologis dari ciri primer, skunder, maskulin, feminim.
• Konstruksi sosial dari peran citra baku (stereotype)
• Konsruksi agama dari keyakinan kitab suci agama.
Anggapan bahwa sikap perempuan feminim dan laki – laki maskulin bukanlah
sesuatu yang mutlak, semutlak kepemilikan manusia atas jenis kelamin biologisnya.
Dengan demikian gender adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang
dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan
perkembangan zaman.
Istilah “gender” yang berasal dari bahasa Inggris yang di dalam kamus tidak
secara jelas dibedakan pengertian kata seks dan gender. Untuk memahami konsep
gender, perlu dibedakan antara kata seks dan kata gender.
1. Pengertian Seks
Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat
permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa
sejak lahir dan merupakan pemberian Tuhan, sebagai seorang laki-laki atau
seorang perempuan.
Kodrat adalah sifat bawaan biologis sebagi anugrah Tuhan Yang Maha Esa,
yang tidak dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang
melekat pada pria dan wanita. Konsekwensi dari anugrah ini, manusia yang
berjenis kelamin wanita diberikan peran kodrati yang berbeda dengan manusia
yang berjenis kelmain pria. Wanita diberikan peran kodrati : (1) menstruasi, (2)
mengandung, (3) melahirkan, (4) menyusui dengan air susu ibu dan (5)
menopause. Sedangkan pria diberikan peran kodrati membuahi sel telur wanita.
Jadi, peran kodrati wanita dengan pria berkaitan erat dengan jenis kelamin dalam
artian ini.
Seks merujuk pada pembedaan antara pria dan wanita berdasar pada jenis
kelamin yang ditandai oleh perbedaan anatomi tubuh dan genetiknya. Perbedaan
seperti ini lebih sering disebut sebagai perbedaan secara biologis atau bersifat
kodrati, dalam artian sudah melekat pada masing-masing individu semenjak lahir.
Karena itu manusia yang mempunyai kumis, jenggot, jakun, dan bentuk anatomi
tubuh lain serta gen yang tidak dimiliki wanita, adalah seorang pria. Sebaliknya,
manusia yang tidak mempunyai kumis, jenggot, jakun, tetapi mempunyai rahim,
sel telur, dan bentuk anatomi serta gen yang tidak dimiliki pria, maka ia adalah
seorang wanita. Anatomi tubuh dan faktor gen tersebut bersifat kodrati karena
bersumber langsung dari Tuhan. Karena hal-hal tersebut berasal dari Tuhan, maka
apa yang membedakan pria dan wanita secara biologis tersebut tidak dapat
dipertukarkan, seperti rahim yang tiba-tiba dimiliki pria, atau wanita bisa
berjakun, dan sebagainya. Secara kodrati, bentuk anatomi tubuh pria dan wanita
berbeda.

2. Pengertian Gender
Gender berasal dari kata “gender” (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai
jenis kelamin. Namun jenis kelamin disini bukan seks secara biologis, melainkan
sosial budaya dan psikologis. Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan
perbedaan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat
sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat bersangkutan.
Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh perbedaan kelamin
seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu, pembagian peranan antara pria
dengan wanita dapat berbeda diantara satu masyarakat dengan masyarakat yang
lainnya sesuai dengan lingkungan. Peran gender juga dapat berubah dari masa ke
masa, karena pengaruh kemajuan : pendidikan, teknologi, ekonomi, dan lain-lain.
Hal ini berarti perean jender dapat ditukarkan antara pria dengan wanita.
Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya
jika dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih
pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu
lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah
(mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu
bukanlah kodrat karena itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan daerah yang lainnya. Oleh karena itulah,
identifikasi seseorang dengan menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat
universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan
dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan
rumah dan pekerjaan-pekerjaan lain yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan
kaum perempuan. Demikian juga sebaliknya seseorang dengan jenis kelamin
perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-
pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah
kekuasaan kaum laki-laki.
Disinilah kesalahan pemahaman akan konsep gender seringkali muncul, dimana
orang sering memahami konsep gender yang merupakan rekayasa sosial budaya
sebagai “kodrat”, sebagai sesuatu hal yang sudah melekat pada diri seseorang, tidak
bisa diubah dan ditawar lagi. Padahal kodrat itu sendiri menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, antara lain berarti “sifat asli; sifat bawaan”. Dengan demikian
gender yang dibentuk dan terbentuk sepanjang hidup seseorang oleh pranata-pranata
sosial budaya yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi
bukanlah kodrat.
Dua hal pokok perlu diperhatikan dalam memahami konsep gender saat ini, yaitu
ketidak-adilan dan diskriminasi genderdi satu pihak, dan kesetaraan serta kekeadilan
gender di pihak lain.
1. Ketidakadilan dan Diskriminasi Gender
Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat
dari sistem dan struktur sosial yang di dalamnya baik perempuan maupun laki-
laki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan
kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung berupa perlakuan
dan sikap, maupun tidak langsung berupa dampak suatu perundang-undangan dan
kebijakan yang menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang telah berakar dalam
sejarah dan budaya serta dalam berbagai struktur yang ada dalam masyarakat.
Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang
tertanam sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya
menimpa perempuan saja, melainkan dialami pula oleh laki-laki. Meskipun secara
agregat ketidak-adilan gender dalam berbagai bidang kehidupan ini lebih banyak
dialami oleh perempuan, namun hal itu berdampak pula terhadap laki-laki.
Bentuk-bentuk manifestasi ketidakadilan akibat diskrimainasi gender itu
meliputi marjinalisasi, sub ordinasi, pandangan stereotype, kekerasan, dan beban
kerja.
 Proses marjinalisasi (peminggiran, pemiskinan) atas perempuan maupun
atas laki-laki yang disebabkan karena jenis kelaminnya adalah salah satu
bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Contoh, banyak pekerja
perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat program pembangunan
seperti intensifikasi pertanian yang hanya memfokuskan pada petani laki-
laki. Perempuan dipinggirkan dari beberapa jenis kegiatan pertanian dan
industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak
dimiliki oleh laki-laki. Sebaliknya, banyak lapangan pekerjaan yang
memerlukan kecermatan menutup pintu bagi laki-laki karena anggapan
bahwa laki-laki kurang teliti dalam melakukan pekerjaan yang
memerlukan kecermatan dan kesabaran. Demikian pula banyak pekerjaan
yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti guru taman kanak-
kanak, sekretaris, atau perawat, dinilai lebih rendah disbanding pekerjaan
laki-laki. Hal tersebut berpengaruh pada pembedaan gaji yang diterima
perempuan.
 Sub ordinasi gender adalah keyakinan dan perlakuan yang menunjukkan
bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
disbanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang
menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah daripada
laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsir keagamaan, maupun aturan
birokrasi yang menempatkan kaum perempuan pada tatanan sub ordinat.
 Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang sering sekali bersifat negatif
secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Pandangan terhadap
perempuan bahwa tugas dan fungsinya melaksanakan pekerjaan yang
berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik adalah suatu
ketidakadilan gender. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga”
sangat merugikan mereka jika hendak aktif dalam kegiatan laki-laki
seperti politik, bisnis, atau birokrasi.
 Kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul
dalam berbagai bentuk. Kata “kekerasan” yang merupakan terjemahan
dari kata “violence” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun
integritas mental psikologi seseorang. Pelaku kekerasan yang bersumber
pada gender bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di
rumah tangga maupun di tempat umum, ada juga yang berlangsung di
dalam masyarakat dan Negara.
 Beban kerja yang merupakan diskriminasi dan ketidakadilan gender
adalah beban kerja yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin
tertentu. Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan
90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang
bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga harus
mengerjakan pekerjaan domestik.

2. Kesetaraan dan Keadilan Gender


Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi di mana porsi dan siklus
sosial perempuan dan laki-laki setara, seimbang, dan harmonis. Kondisi ini dapat
terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki.
Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan aspek konteks
dan situasi. Sifat situasional dari suatu konteks menunjukkan penerapan
kesetaraan gender tidak bias dilakukan secara sama di semua strata masyarakat.
Kesetaraan gender: Kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang
setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak
asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan. Definisi dari
USAID menyebutkan bahwa “kesetaraan gender memberi kesempatan baik pada
perempuan maupun laki-laki untuk secara setara/sama/sebanding menikmati hak-
haknya sebagai manusia, secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan,
sumberdaya dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan.”
Keadilan gender: Suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui
proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan
bagi perempuan dan laki-laki. Definisi dari USAID menyebutkan bahwa
“Keadilan gender merupakan suatu proses untuk menjadi fair baik pada
perempuan maupun laki-laki. Untuk memastikan adanya fair, harus tersedia suatu
ukuran untuk mengompensasi kerugian secara histori maupun sosial yang
mencegah perempuan dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan.
Strategi keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan
gender. Keadilan merupakan cara, kesetaraan adalah hasilnya.”
Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam keluarga, antara lain:
 Akses diartikan sebagai Kapasitas untuk menggunakan sumberdaya untuk
sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif (secara sosial,
ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya,
pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat. Contoh:
Memberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan laki-laki untuk
melanjutkan sekolah sesuai dengan minat dan kemampuannya, dengan
asumsi sumberdaya keluarga mencukupi.
 Partisipasi diartikan sebagai Siapa melakukan apa?. Suami dan istri
berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas
penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis dan bila perlu
melibatkan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.
 Kontrol diartikan sebagai Siapa punya apa?. Perempuan dan laki-laki
mempunyai kontrol yang sama dalam penggunaan sumberdaya keluarga.
Suami dan istri dapat memiliki properti atas nama keluarga.
 Manfaat. Semua aktivitas keluarga harus mempunyai manfaat yang sama
bagi seluruh anggota keluarga.
Konsep gender menjadi persoalan yang menimbulkan pro dan kontra baik di
kalangan masyarakat, akademisi, maupun pemerintahan sejak dahulu dan bahkan
sampai sekarang. Pada umumnya sebagian masyarakat merasa terancam dan terusik
pada saat mendengar kata ‟gender‟. Berdasarkan diskusi dengan berbagai kalangan,
keengganan masyarakat untuk menerima konsep gender disebabkan oleh hal-hal
sebagai berikut:
a. Konsep gender berasal dari negara-negara Barat, sehingga sebagian
masyarakat menganggap bahwa gender merupakan propaganda nilai-nilai
Barat yang sengaja disebarkan untuk merubah tatanan masyarakat khususnya
di Timur.
b. Konsep gender merupakan gerakan yang membahayakan karena dapat
memutarbalikkan ajaran agama dan budaya, karena konsep gender berlawanan
dengan kodrati manusia.
c. Konsep gender berasal dari adanya kemarahan dan kefrustrasian kaum
perempuan untuk menuntut haknya sehingga menyamai kedudukan laki-laki.
Hal ini dikarenakan kaum perempuan merasa dirampas haknya oleh kaum
laki-laki. Di Indonesia tidak ada masalah gender karena negara sudah
menjamin seluruh warga negara untuk mempunyai hak yang sama sesuai
dengan yang tercantum pada UUD 1945.
d. Adanya mind-set yang sangat kaku dan konservatif di sebagian masyarakat,
yaitu mind-set tentang pembagian peran antara laki-laki dan perempuan
adalah sudah ditakdirkan dan tidak perlu untuk dirubah (misalnya kodrati
perempuan adalah mengasuh anak, kodrati laki-laki mencari nafkah). Namun
mind-set ini sepertinya masih terus berlaku meskipun mengabaikan fakta
bahwa semakin banyak perempuan Indonesia menjadi Tenaga Kerja Wanita
(TKW) keluar negeri dan mengambil alih tugas suami sebagai pencari nafkah
utama.
C. PERAN GENDER
Gender adalah suatu konstruk yang berkembang pada anak-anak sebagaimana
mereka disosialisasaikan dalam lingkungannya. Dengan bertambahnya usia, anak-
anak mempelajari perilaku spesifik dan pola-pola aktivitas yang sesuai dan tidak
sesuai dalam terminologi budaya mereka dengan jenis kelamin mereka, serta
mengadopsi atau menolak peran-peran gender tersebut.
Peran gender sendiri diartikan sebagai ide-ide kultural yang menentukan harapan-
harapan pada laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi antara satu dengan lainnya
dalam masyarakat. Berangkat dari pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa,
peran gender akan selalu mengalami perubahan mengikuti perubahan sosial yang
dinamis. Misalnya pada masyarakat tradisional. Pembagian kerja pada masyarakat ini
dilakukan berdasarkan jenis kelamin. Pekerjaan laki-laki sesuai kapasitasnya sebagai
laki-laki, dimana secara umum dikonsepsikan sebagai orang yang memiliki otot lebih
kuat, berani dan mampu bekerjasama. Sementara pekerjaan perempuan juga di
sesuaikan dengan konsepsinya sebagai makhluk yang lemah, dengan tingkat risiko
lebih rendah, lamban dan lain-lain.
Hal tersebut senada dengan hasil penelitian George Peter Murdock. Pada
masyarakat tradisional laki-laki konsisten dengan pekerjaan yang bersifat maskulin,
seperti: tukang kayu, membuat kapal, tukang batu, mengerjakan logam menambang
dan menyamak kulit. Sedangkan perempuan lebih konsisten pada pekerjaan feminim,
yaitu: mencari kayu bakar, meramu dan menyediakan minuman dan makanan,
mencuci, mengambil air dan memasak.
Akan tetapi sebagai akibat dari pertumbuhan dan mobilisasi penduduk, urbanisasi
dan revolusi industri yang menimbulkan berbagai perubahan sosial, maka peran dan
posisi laki-laki dan perempuan juga ikut berubah. Dengan kata laain terjadi
pergeseran peran antara laki-laki dan perempuan. Perempuan semakin menyadari
bahwa di luar sektor domestik telah terjadi perkembangan yang sangat pesat. Pada
saat yang sama mereka juga menyadari norma-norma di sektor domestik telah
membatasi ruang gerak perempuan untuk berkiprah di sektor publik. Perkembangan
ekonomi global telah memberikan daya dukung terhadap peingkatan taraf hidup dan
martabat kaum perempuan, yang akhirnya secara kwalitatif dan kwantitatif
perempuan mengalami peningkatan. Inilah yang oleh Simmel dikatakan sebagai
proses sosial disosiatif. Proses sosial disosiatif adalah kontradiksi-dialektis berbagai
kekuatan (internal dan eksternal) yang menjadi penggerak perubahan sosial. Proses
sosial yang penuh dengan kontradiksi-dialektis notabene mengandung konflik dan
konflik tersebut inheren dengan kehidupan itu sendiri.
Perubahan sosial ternyata berhubungan erat dengan perubahan peran gender, yaitu
adanya faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi adanya perubahan tersebut.
Perubahan bisa terjadi secara revolutif maupun secara evolutif, hal ini terjadi karena
adanya kontrol sosial yang bisa mengendalikan perubahan tersebut. Menurut para
pakar sosiologi, perubahan sosial meliputi beberapa dimensi antara lain: dimensi
struktural, kultural dan interaksional. Dimensi struktural menampakan diri pada
perubahan status dan peranan. Perubahan status dapat diidentifikasi dari ada tidaknya
perubahan peran, kekuasaan, otoritas, fungsi, integrasi, hubungan antar status dan
arah komunikasi. Sementara perubahan cultural dapat dilihat dari ada tidaknya
perubahan dalam budaya material (teknologi) maupun non material (ide, nilai, norma,
peraturan, kaidah sosial) yang menjadi collective consciousness antar warga.
Perubahan interaksional lebih menunjuk pada konsekuensi logis dari adanya
perubahan dari kedua dimensi lainnya. Misalnya interaksi sosial sebagai konsekuensi
dari perubahan dalam dimensi struktural, bisa saja terjadi karena adanya perubahan
nilai atau kaidah sosial.
Dalam konteks peran gender, perubahan pada struktur dapat dilihat melalui peran
yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan berdasarkan pembagian kerja dan
status. Status dapat dilihat dari distribusi kekayaan, pengambilan keputusan,
penghasilan, kekuasaan dan prestise. Misalnya, peran dan posisi perempuan dikaitkan
dengan lingkup domestik dan berurusan dengan lingkup kerumahtangggan, sementara
laki-laki urusan publik atau luar rumah (pembagian kerja dalam rumah tangga). Oleh
karena itu, perempuan selalu ditempatkan dalam peran dan posisi minoritas karena
dianggap mempunyai status lebih rendah daripada laki-laki. Bagi perempuan, struktur
tersebut masih sulit untuk mengimbangi laki-laki, karena bagi perempuan yang ingin
berkiprah di ranah publik masih harus bertanggungjawab diranah domestik (beban
ganda). Perempuan dalam hal ini tidak berdaya untuk menghindar dari ranah tersebut
karena sudah menjadi persepsi budaya secara umum. Kontrol budaya yang bersifat
patriarkhi menjadi penghambat adanya perubahan peran gender.
Dalam konteks masyarakat modern, dengan berbagai perubahan dimana keluarga
dan unit rumahtangga telah berubah dari sistem keluarga besar (extended famili)
menjadi keluarga inti (nuclear family) yang menjadi salah satu ciri masyarakat
modern, sehingga peran dan fungsi suami-isteri sangat bervariasi. Menurut F. Ivan
Nye, peran suami–istri dalam keluarga nuclear dapat dikategorikan, antaralain:
segalanya pada suami; suami melebihi peran isteri; suami-isteri memiliki peran yang
sama; peranisteri melebihi suami dan ; segalanya pada isteri.
Moser mengungkapkan peranan gender adalah peranan yang dilakukan
perempuan dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur
masyarakatnya. Peranan gender mencakup :
1. Peranan produktif adalah peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki
untuk memperoleh bayaran atau upah secara tunai atau sejenisnya.
2. Peranan reproduktif adalah peranan yang berhubungan dengan tanggung
jawab pengasuhan anak dan tugas-tugas domestik yang dibutuhkan untuk
menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja yang menyangkut
kelangsungan keluarga.
3. Peranan pengelolaan masyarakat atau politik, dibagi menjadi :
a. Peranan pengelolaan masyarakat atau kegiatan sosial adalah semua
aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan
peranan reproduktif (bersifat sukarela dan tanpa upah).
b. Pengelolaan masyarakat politik atau kegiatan politik adalah peranan yang
dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal
secara politik (biasanya dibayar dan dapat meningkatkan status).
Peran gender menurut Talcott Parson.

Aspek Model A: Pemisahan Peran Total


antara Laki-laki dan Perempuan Model B: Peleburan Total Peran

antara Laki-laki dan Perempuan


Pendidikan
Pendidikan spesifik gender, Sekolah bersama, kualitas kelas
kualifikasi professional tinggi yang sama untuk laki-laki dan
hanya penting untuk laki-laki perempuan, dan kualitas
pendidikan yang sama untuk laki-
laki dan perempuan

Profesi Tempat kerja professional bukan Karir adalahsama pentingnya


tempat utama perempuan, karir untuk laki-laki dan perempuan,
dan professional tinggi tidak oleh karena itu kesetaraan
penting untuk perempuan kesempatan untuk berkarir
professional bagi laki-laki dan
perempuan sangat diperlukan.

Pekerjaan di Pemeliharaan rumah dan Semua pekerjaan di rumah harus


Rumah pengasuhan anak merupakan dikerjakan oleh laki-laki dan
fungsi utama perempuan, perempuan, dengan demikian ada
partisipasi laki-laki pada fungsi ini kontribusi yang setara antara
hanya sebagian saja. suami dan istri.
Laki-laki tidak dapat mendominasi
Pengambilan Hanya bila ada konflik, maka laki- perempuan, harus ada kesetaraan.
Keputusan lakilah yang terakhir menangani,
misalnya memilih tempat tinggal,
memilih sekolah nak, dan
keputusan untuk membeli.

Pengasuhan Perempuan menangani sebagian Laki-laki dan perempuan


Anak dan besar fungsi untuk mendidik anak berkontribusi secara setara dalam
Pendidikan dan merawatnya tiap hari. fungsi ini.
Parson mengembangkan suatu model “keluarga inti (nuclear family) pada tahun
1955 yang memang menjadi tipe keluarga yang dominan pada saat itu dengan tradisi
peran gender yang masih sangat. Parson meyakini bahwa peran feminin adalah peran
expressive, sedangkan peran maskulin adalah peran instrumental. Parson juga percaya
bahwa aktivitas expressive dari perempuan memenuhi fungsi-fungsi 'internal', sebagai
contoh menguatkan jalinan hubungan antar anggota keluarga. Sedangkan laki-laki di
lain pihak menunjukkan pemenuhan fungsi-fungsi 'external' dari keluarga dengan
menyediapak kebutuhan keuangan keluarga. Model Parsons digunakan untuk
mengilustrasikan posisi ekstrim dari peran gender dengan menggunakan Model A
yang menggambarkan pemisahan peran gender antara laki-laki dan perempuan secara
total, dan Model B menjelaskan peleburan pembatas peran gender secara sempurna
antara laki-laki danperempuan.
Dalam kenyataan di masyarakat, posisi ekstrim (seperti Model A atau Model B)
sangat jarang ditemui. Kenyataan yang ada adalah diantara dua kutub di atas, yaitu
campuran antara Model A dan B. Model yang sangat nyata di masyararakat adalah
adanya „double burden‟ pada perempuan yang mempunyai peran ganda sebagai
pekerja dan sekaligus sebagai ibu rumahtangga. Bagaimanapun, peran gender bagi
setiap pasangan suami istri tidak baku atau kaku, pasti ada negosiasi di waktu yang
diperlukan seiring dengan perkembangan tahapan keluarga.
Pada saat anak lahir ia memiliki jenis kelamin, tetapi tanpa gender. Pada saat
lahir, jenis kelamin menentukan dasar anatomis fisik. Pada phase kehidupan
selanjutnya pengalaman, perasaan dan tingkah laku yang diasosiasikan oleh orang
dewasa, masyarakat sekitarnya serta budaya, perbedaan biologis ini memberikan bias
gender pada individu tersebut. Banyak kenyataan mengenai bagaiman anak laki-laki
dan perempuan berbeda dan bagaimana sama, yang akan dipahami sebagai konstruksi
budaya yang didasarkan pada perbedaan biologis.
Aplikasi peran gender dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat sangat
penting untuk dimengerti dan dimaknai. Karena aplikasi peran gender dapat
mempengaruhi semua perilaku manusia, seperti pemilihan pekerjaan, pemilihan
rumah, pemilihan bidang pendidikan, bahkan pemilihan pasangan dan cara mendidik
anak. Oleh karena itu sosialisasi peran gender yang tidak bias gender harus dilakukan
di dalam keluarga sejak usia dini. Sesuai dengan pendapat Schulz bahwa proses
individu belajar dan menerima suatu peran yang disebut sosialisasi ini akan berjalan
dengan baik apabila didorong dengan cara memotivasi perilaku yang diinginkan
sesuai dengan tujuan atau kurang mendorong atau bahkan melarang perilaku yang
tidak diinginkan.
Peran gender berbeda serta dapat berubah dari waktu ke waktu seperti yang
dijelaskan dalam “Konsep Gender dan Pengarusutamaan Gender, yang diutarakan
oleh Tim Pusat Studi Wanita Unud” sebagai berikut:
Contoh peran gender berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain
sebagai berikut,
a. Masyarakat Bali menganut sistem kekerabatan patrilineal, berarti hubungan
keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan dari pada
hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
b. Masyarakat Sumatra Barat menganut sistem kekerabatan matrilinear, berarti
hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu) lebih penting dari pada
hubungan keluarga dengan garis pria (ayah)
c. Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/bilateral, berarti
hubungan keluarga dengan garis pria(ayah) sama pentingnya dengan
hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu).
Jadi status dan peran pria dan wanita berbeda antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain, yang disebabkan oleh perbedaan norma sosial dan nilai sosial
budaya.
Contoh peran gender berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan
jaman sebagai berikut.
a. Pada masa lalu, menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan oleh pria,
tetapi sekarang wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa.
b. Pada masa silam, jika wanita ke luar rumah sendiri (tanpa ada yang
menemani) apalagi pada waktu malam hari, dianggap tidak pantas, tetapi
sekarang sudah dianggap hal yang biasa.
Contoh peran gender yang dapat ditukarkan antara pria dengan wanita sebagai
berikut.
a. Mengasuh anak, mencuci pakaian dan lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh
wanita (ibu) dapat digantikan oleh pria (ayah).
b. Mencangkul, menyembelih ayam dan lain-lain yang biasa dilakukan oleh pria
(ayah) dapat digantikan oleh wanita (ibu).

1. Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Yang Merupakan Konsep Seks dan


Gender
Seks dan Gender akhirnya mewujudkan pemahaman bahwa laki-laki harus
kuat, percaya diri, dominan, independen, sedangkan di lain sisi perempuan
mempunyai sifat pengasuhan, orientasinya pada suatu hubungan. Pada akhirnya
ada beberapa perilaku yang dilazimkan harus dimiliki oleh jenis kelamin tertentu,
seperti:
a. Agresivitas milik laki-laki. Dalam beberapa budaya, laki-laki
disosialisasikan berperilaku lebih agresif dari pada perempuan. Bobby
Low (1989) meneliti tentang agresivitas laki-laki yang dihubungkan
dengan kompetisi untuk menarik perhatian perempuan. Agresivitas
memiliki keuntungan karena untuk mendapatkan sumber-sumber dalam
masyarakat seperti kekayaan, status dan barang-barang. Menurut Murdock
(1981) sebagian besar masyarakat di dunia menganut sistem perkawinan
poligini.Dalam system ini agresivitas sangat dihargai dan anak laki-laki
disosialisasikan untuk bereperilaku agresif. Meski demikian hasil
penelitian Idrus (2000) menemukan temuan menarik yang
mengindikasikan bahwa perempuan memiliki tingkat agresivitas yang
lebih tinggi dibanding laki-laki.
b. Pengasuhan/Nurturance dan kepatuhan didominasi perempuan. Bila laki-
laki agresif, maka sifat pengasuhan dan patuh yang disosialisasikan bagi
perempuan. Dalam banyak budaya, perempuan dituntut memiliki sifat
kepatuhan yang tinggi terutama kepatuhan terhadap suaminya dan orang
tua mereka. Secara eksplisit dalam budaya muncul idion swargo nunut,
neroko katut (ke surga ikut, ke neraga turut). Idiom ini secara tidak
langsung mengkonstruksi fenomena masyarakat tersebut betapa isteri
(perempuan) harus mengikuti gerak yang dilakukan suami, bahkan untuk
persoalan yang sakral-pun harus merelakan dengan tingkat kepatuhan
yang dalam. Pada sisi lain, untuk banyak budaya kepatuhan penting bagi
laki-laki karena perempuan yang memiliki sifat ini akan mengikuti aturan-
aturan umum sehingga menguatkan dominasi laki-laki. Pada sisi ini,
terlepas dari jenis kelaminnya, tampaknya secara psikologis orang yang
berposisi di atas, menghendaki tingkat kepatuhan yang tinggi dari para
bawahannya, demi menjaga kekuasaan yang dimilikinya.
c. Tingkat aktivitas tinggi milik laki-laki. Laki-laki mempunyai tingkat
aktivitas yang tinggi daripada perempuan, sejak kecil disosialisasikan
dalam bentuk-bentuk permainannya. Mereka banyak melakukan kegiatan
di luar rumah, macam permainannya seperti sepak bola, basket dan banyak
aktivitas lainnya yang menuntut banyak gerak dan berada di luar rumah.
Sementara itu perempuan dicirikan dengan permainan-permainan yang
sedikit sekali memerlukan tenaga, seperti bermain pasar-pasaran.
d. Perempuan ditengarai memiliki tingkat perhatian yang tinggi atas relasi
(hubungan) dibanding dengan laki-laki. Sifat tersebut berkaitan dengan
kondisi perempuan yang lemah setelah proses kelahiran anaknya dan
adanya tuntutan untuk mengasuh, merawat anak-anaknya, yang pada
akhirnya peempuan mengembangkan dan memelihara hubungan baik. Hal
ini sangat dibutuhkan perempuan untuk ‘menjaga’ (secure) bila
perempuan mendapatkan kesulitan dalam memenuhi tuntutan pengasuhan
anak.
Meski dipahami bahwa tidak semua aktivitas dapat bertukar peran antara laki-
laki dan perempuan, namun senyampang aktivitas tersebut tidak terkait dengan
kondisi biologis jenis kelamin, maka sebenarnyalah dapat terjadi tukar peran
antara jenis kelamin yang berbeda. Kondisi inilah yang tampak belum secara arif
dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat kita, dan budaya pada akhirnya
menguatkannya dan menjadikan sesuatu yang sakral. Hingga pada akhirnya, akan
terlihat canggung tatkala ada seorang bapak yang menggendong anaknya,
sementara sang ibu berjalan lenggang, atau sulit terjadi dalam teks-teks buku
bahasa Indonesia dicontohkan perilaku seperti, ibu membaca koran, ayah
memasak di dapur. Padahal kondisi itu telah secara empirik ada dalam masyarakat
kita, meski persentasenya belum banyak.
Pada akhirnya disadari bahwa budaya memainkan peran penting dalam
kontruksi gender seseorang. Beberapa contoh hasil temuan penelitian menungkap
begitu besarnya peran budaya pada konstruksi gender yang dimilliki seseorang.
Sebut saja penelitian yang dilakukan oleh Maccoby dan Jacklin bahwa laki-laki
lebih baik dalam bidang matematika dan tugas-tugas yang membutuhkan
pemikiran sementara perempuan lebih baik dalam hal tugas-tugas yang berkaitan
dengan pemahaman verbal. Perbedaan tersebut ditunjukan setelah melalui
serangkaian tes masuk pada sekolah dasar, sampai perguruan tinggi.
Namun, beberapa kemudian Berry tidak menemukan adanya perbedaan
spasial antaar laki-laki dan perempuan dalam budaya suku bangsa Inuit di
Kanada. Menurut Berry, perbedaan gender tidaklah ada karena ‘kemampuan
spasial merupakan adaptasi yang baik/tinggi untuk laki-laki dan perempuan dalam
budaya Inuit. Anak laki-laki dan perempuan mempunyai latihan dan pengalaman
yang cukup banyak untuk mengembangkan perolehan dalam hal kemampuan
spasial.
Dalam penelitian sebelumnya Berry dan teman-temannya menemukan bahwa,
superioritas laki-laki pada spasial tertentu banyak ditemukan dalam budaya yang
ketat atau relatif homogen, agrikultur, sementara spasial perempuan banyak
ditemukan dalam budaya terbuka, nomadic dan masyarakat pengumpul dan
peramu. Dalam budaya tersebut, peran yang diberikan (roles ascribed ) bagi laki-
laki dan perempuan berlaku secara relatif fleksibel, sebagaimana anggota suatu
budaya membentuk variasi tugas-tugas yang berkaitan dengan kelangsungan
hidup kelompok.
Merujuk pada budaya yang di Indonesia, tampak ada perbedaan peran gender
antara suku bangsa yang ada. Sebagai misal beberapa suku di tanah Sumatra
memposisikan perempuan begitu tinggi, sementara suku lainnya justru sebaliknya.
Begitu juga yang terjadi di Jawa, Kalimantan, ataupun daerah-daerah lainnya di
Indonesia. Secara umum sistem patrilinial lebih dominan dibanding matrilinial,
yang secara tidak langsung memposisikan jenis kelamin tertentu memiliki
kontruksi sosial yang lebih tinggi dibanding jenis kelamin lainnya. Pada giliran
selanjutnya, posisi tersebut menentukan peran jenis yang akhirnya terbentuklah
konstruksi gender sebagaimana saat ini ada.
Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Yang Merupakan Konsep Seks dan
Gender dapat juga dilihat dari penjabaran peran gender dan seks (kodrat) yang
dapat di jabarkan sebagai berikut:
Berkaitan dengan konsep gender, dikenal ada tiga jenis peran gender yakni
peran produktif, reproduktif dan sosial. Pengertian dari masing-masing peran ini
sebagai berikut.
a. Peran produktif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang, menyangkut
pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa. Baik untuk dikonsumsi
maupun untuk diperdagangkan.
b. Peran reproduktif adalah peran yang dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan
yang berkaitan dengan pemeliharaan sumber daya manusia dan pekerjaan
urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak, memasak, mencuci pakaian dan
alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan rumah, dan lain-lain.
c. Peran sosial adalah peran yang dilaksanakan oleh seseorang untuk
berpartisipasi di dalam kegiatan sosial kemasyarakatan, seperti gotong royong
dalam menyelesaikan beragam pekerjaan yang menyangkut kepentingan
bersama.

2. Sosialisasi Peran Gender


Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki
keluarga pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia
kerja dan kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri,
memberi pesan yang jelas kepada kita bagaimana orang “normal” berperilaku
sesuai dengan gendernya.
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah
bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian
lain yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki
lahir, dia sudah langsung dibentuk untuk “menjadi’ seorang laki-laki, dan
disesuaikan dengan atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula
halnya dengan seorang perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin
perempuan maka dia pun kemudian dibentuk untuk “menjadi” seorang perempuan
sesuai dengan kriteria yang berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana
dia lahir dan dibesarkan, misalnya bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang
perempuan maka sudah menjadi “kodrat” pula bagi dia untuk menjadi sosok yang
cantik, anggun, irrasional, emosional dan sebagainya.
Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara,
dari mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan,
perlakuan dan sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan
memapankan proses pembentukan seseorang “menjadi” seorang laki-laki atau
seorang perempuan sesuai dengan ketentuan sosial budaya setempat.
Pembedaan identitas berdasarkan gender tersebut telah ada jauh sebelum
seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan ke dunia ini, dia
sudah langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang menyambutnya dengan
serangkaian tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima
identitas gender yang sudah disiapkan untuknya dan menerimanya sebagai
sesuatu hal yang benar, yang alami dan yang baik. Akibatnya jika terjadi
penyimpangan terhadap peran gender yang sudah menjadi bagian dari landasan
kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat pun lantas menilai hal
tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai penentang
terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang sering
menjadi korban adalah kaum perempuan.
Sebagai contoh dalam adat budaya Jawa di Indonesia, seorang budayawan
terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan wanita sebagai kanca
wingking (teman di belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya
adiluhung. Sosok budaya inilah yang berkembang di bawah ilham “halus – kasar”
yang secara tegar menjelajahi semua sistem masyarakat Jawa. Sistem kekuasaan
feodal aristokratik, demikian Kayam, telah menetapkan wanita untuk memiliki
peran atau role menjadi “penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung” di dalam
rumah.
Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah
proses yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana
bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu
maupun sebagai anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak
hanya melalui lembaga keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga
negara dan lembaga pendidikan.
Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai
seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan
sebagai “urusan perempuan”, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan
anak, memasak, berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki,
disosialisasikan secara lebih positif, dimana dikatakan bahwa laki-laki karena
kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai jika dibebani dengan “urusan-
urusan laki-laki” pula dan lebih sering berhubungan dengan sektor publik, seperti
mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi daripada perempuan.
Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar melalui buku-
buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan bahwa
tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai “pendamping” suami, dan itulah
yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai “kodrat wanita.”

D. TEORI GENDER
Dalam Women’s Studies Encyclopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran,
prilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex
And Gender: An Introduction mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya
terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for woman and men).
Membahas permasalahan gender berarti membahas permasalahan perempuan dan
juga laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan mengenai gender,
termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori yaitu teori
nurture dan teori nature. Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori
yang diilhami dari dua konsep teori tersebut yang merupakan kompromistis atau
keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium.
1. Teori Nurture
Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil
konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.
Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan
kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam
perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan
sebagai kelas proletar.
2. Teori Nature
Menurut teori nature adanya pembedaan laki-laki dan perempuan adalah
kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan
implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas
yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang
tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.
Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa kelemahan
konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan
dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidak-adilan
gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-adilan gender dalam
berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan
gender ini berdampak pula terhadap laki-laki.
3. Teori Equilibrium
Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan
keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan
keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki-laki. Pandangan ini
tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena keduanya
harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan
keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut,
maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan
kepentingan dan peran perempuan dan laki-laki secara seimbang. Hubungan
diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan
komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. R.H. Tawney menyebutkan
bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat,
pilihan, atau budaya pada hakikatnya adalah realita kehidupan manusia.

E. TEORI STRUKTURAL-FUNGSIONAL
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang
diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa
suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini
mencari unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat,
mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur-unsur
tersebut dalam masyarakat.
Kedudukan seseorang dalam keluarga akan menentukan fungsinya, yang masing-
masing berbeda. Namun perbedaan fungsi ini tidak untuk memenuhi kepentingan
individu yang bersangkutan, tetapi untuk mencapai tujuan organisasi sebagai
kesatuan. Tentunya, struktur dan fungsi ini tidak akan pemah lepas dari pengaruh
budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem masyarakat itu. Struktural-
fungsional berpegang bahwa sebuah struktur keluarga membentuk kemampuannya
untuk berfungsi secara efektif, dan bahwa sebuah keluarga inti tersusun dari seorang
laki-Iaki pencari nafkah dan wanita ibu rumah tangga adalah yang paling cocok untuk
memenuhi kebutuhan anggota dan ekonomi industri baru.
Dalam teori struktural-fungsional, peran masing-masing anggota keluarga sangat
ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang
secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan
keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota
keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding
saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-
laki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota
keluarga perempuan. Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di
masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di
tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestic tanggungjawab ibu/istri.
Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi
tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu
bertahan dalamkesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-
pasar tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah,
sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi
keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat
ekonomi keluargatersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap
sebagai pelengkap saja(pencari nafkah tambahan).
Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga
tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap
ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada
suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan
pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri.
Kesetaraan gender dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan peran antara laki-
laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-
peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja.
Perhatian teori struktural fungsional terhadap relasi gender dalam institusi
keluarga oleh Parsons adalah sebagai reaksi dari pemikiran-pemikiran tentang
lunturnya fungsi keluarga karena adanya modernisasi. Menurut Parsons, keluarga
adalah ibarat hewan berdarah panas yang dapat memelihara temperatur tubuhnya agar
tetap konstan walaupun kondisi lingkungan berubah. Hal ini bukan berarti keluarga
selalu bersifat statis dan tidak bisa berubah, akan tetapi selalu beradaptasi mulus
dengan lingkungan atau dalam bahasa Parson disebut dengan dynamic equilibrium.
Menurut teori ini dalam konteks relasi gender, pembagian peran secara seksual
adalah wajar. Suami mengambil peran instrumental, membantu memelihara sendi-
sendi masyarakat dan keutuhan fisik keluarga dengan jalan menyediakan bahan
makanan, tempat pelindungan dan menjadi penghubung keluarga dengan dunia luar,
the world outside the home. Sementara isteri mengambil peran eksspresif membantu
mengentalkan hubungan, memberikan dukungan emosional dan pembinaan kwalitas
yang menopang keutuhan keluarga serta menjamin kelancaran urusan rumah tangga.
Menurut teori ini, jika terjadi tumpang tindih dan penyimpangan fungsi antara satu
dan lainya, maka sistem keutuhan keluarga akan mengalami ketidak-seimbangan.
Dengan kata lain kerancuan peran gender akan mengakibatkan ketidakharmonisan
dalam rumahtangga, atau bahkan perceraian.
Keseimbangan akan menciptakan sebuah sistem sosial yang tertib (social order).
Ketertiban akan tercipta kalau ada struktur atau strata dalam keluarga, dimana
masing-masing individu mengetahui posisinya dan patuh pada sistem nilai yang
melandasi struktur tersebut. Untuk mewujudkan keseimbangan tersebut maka tiga
elemen utama dalam struktur internal keluarga harus saling terkait, antara lain: status
sosial, peran sosial dan norma sosial.
Berdasarkan status sosial, keluarga dibagi dalam tiga struktur utama yaitu
bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Dalam struktur ini, masing- masing mempunyai
status sosial yang memberikan identitas pada masing-masing individu. Misalnya,
suami/ bapak adalah kepala rumahtangga, isteri adalah ibu rumahtangga dan lain-lain.
Sedangkan peran sosial adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dapat
memotivasi tingkahlaku seseorang yang menduduki status sosial tertentu. Setiap
ststus sosial tertentu mempunyai fungsi dan peran yang diharapkan terkait
interaksinya dengan individu lain dalam keluarga. Misalnya, seorang yang berstatus
sabagai kepala rumahtangga, diharapkan mempunyai peran instrumental,yaitu
menjamin kelangsungan hidup dan melindungi kelurganya. Sedangkan status ibu
rumahtangga, mempunyai peran emosional atau ekspresif yang bisa memberikan
kelembutan, kasih sayang dan cinta dan tentunya berperan dalam lingkup domestik.
Peran sosial ini sangat dipengaruhi oleh norma-norma budaya dimana mereka berada.
Norma sosial dalam institusi keluarga menurut pandangan aliran ini menjadi
sesuatu yang penting, karena sebagai standar tingkahlaku dalam kehidupan
berkeluarga. Norma sosial ini sebagai aturan main dalam pembagian tugas sesuai
dengan struktur keluarga sehingga semua bisa berjalan secara teratur. Menurut Levy,
dengan pembagian tugas ini dimaksudkan agar fungsi keluarga tidak terganggu
sehingga relasi antara suami –isteri bisa berjalan secara seimbang. Konflik dalam
keluarga akan terjadi apabila antar anggota keluarga tidak memenuhi kesepakatan
siapa yang akan memerankan tugas apa.
Masyarakat yang berfungsi adalah masyarakat yang stabil, harmoni dan sempurna
dari segala segi termasuk dari segi kerjasama, persatuan, hormat menghormati dan
sebagainya. Singkatnya masyarakat fungsional ialah masyarakat yang mempunyai
sikap positif. Kehidupan masyarakat fungsional senantiasa seimbang dan disenangi
oleh yang lain. Mereka mudah gaul antara satu sama lain. Sebaliknya masyarakat
tidak fungsional ialah masyarakat yang tidak berfungsi. Masyarakat tidak berfungsi
merujuk kepada masyarakat yang senantiasa mempunyai masalah seperti tidak puas
terhadap pemerintah, kacau balau, tidak menunjukkan sikap tidak kerjasama dan
selalu porak peranda, Mereka mempunyai sikap individualistik, Masyarakat juga
tidak menghormati orang tua maupun yang muda dan tidak memiliki nilai-nilai moral
yang baik, Mereka senantiasa bersikap negatif sepanjang kehidupan di alam semesta.
Harmoni dan stabilitas dalam keluarga, menurut teori fungsional stuktural sangat
ditentukan oleh efektifitas konsensus nilai-nilai. Sistem ini senantiasa bekerja dan
berfungsi untuk menciptakan keseimbangan (equilibrium). Meskipun konflik
sewaktu-waktu bisa muncul tetap dalam batas yang wajar dan bukan merupakan
ancaman yang bakal merusak sistem sosial. Sebagimana dikemukakan oleh Talcot
Parsons dan Robert Bales, bahwa relasi gender dalam institusi keluarga lebih
merupakan pelestarian keharmonisan ketimbang bentuk persaingan. Pola relasi
gender dalam konteks teori ini ditentukan oleh:
Pertama, kekuasaan dan status. Laki-laki memiliki kekuasaan dan status lebih
tingi dibandingkandengan perempuan. Perempuan dinilai mempunyai perilaku lembut
dan laki berpenampilan dan berprilakutegar dan jantan sehingga memiliki status dan
kekuasaan lebih besar.
Kedua, komunikasi non verbal. Komunikasi antara laki-laki dan perempuan
dalam masyarakat berlangsung dalam suasana yang disebut Nancy Henlley sebagai
kemampuan kurang (less powerful) bagiperempuan dan kemampuan lebih (more
powerful) bagi laki-laki. Dalam suasana selalu dikontrol, perempuan dengan
subordinasinya menampilkan diri dengan serba hati-hati, sedangkan laki-laki dengan
otoritas yang dimiliki menampilkan diri lebih terbuka dan komunikatif. Sehingga
dalam relasi gender laki-laki memiliki skor lebih unggul dalam penentuan norma-
norma masyarakat.
Ketiga, pembagian kerja. Relasi kuasa dan status yang berbeda antara laki-laki
dan perempuan menjadidasar pembagian kerja dalam rumahtangga. Dalam
masyarakat tradisional maupun modern, kondisi ini tetap terjadi walaupun dalam
konteks yang berbeda. Urusan-urusan produktif seakan- akan menjadi tugas laki-laki
dan reprodutif menjadi tugas perempuan. Laki-laki dikonsepsikan mengurusi urusan
publik dan perempuan urusan domestik.
Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena
dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis
kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam
urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini
akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai
teori ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di tengah-
tengah masyarakat.
Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih tetap
bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung tetap
memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek
produktivitas. Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak
lebih dari sekedar alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung
diabaikan. Karena itu, tidak heran dalam masyarakat kapitalis, “industri seks” dapat
diterima secara wajar. Yang juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena
masyarakat modern-kapitalis, menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman,
cenderung mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis
kelamin. Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi
marginal, sedang posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.

F. TEORI SOSIAL-KONFLIK
Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama
dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya,
akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang
menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu
pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat.
Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang diidentikkan dengan teori
Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya. Marx yang kemudian
dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik bahwa perbedaan
dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak disebabkan oleh
perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang berkuasa
dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan laki-laki
perempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis,
hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan
peran gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena
konstruksi masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx
seperti F. Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.
Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori
diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori
struktural-fungsional, yaitu:
1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang sistemik, pola
relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingan-kepentingan pribadi
atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa system sosial secara
sistematis menghasilkan konflik;
2) maka konflik adalah suatu yang tak terhindarkan dalam semua sistem sosial;
3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang terbatas,
terutama kekuasaan; dan
4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan dalam masyarakat
Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan kontrol laki-
laki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi
perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas
perempuan adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan
status perempuan mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan.
Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan
seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang
menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi
sosial yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap
konstruksi budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. (Ratna Megawangi, 1999:
81).
Tokoh lain adalah Collins dan Dahrendorf, yang mencoba menerapkan teori Marx
dan Enggels secara lebih sistematis mengenai pola relasi antara suami-isteri. Dengan
mengkritik model keluarga struktural-fungsional, Collins mengemukakan bahwa
keluarga structural-fungsional dijadikan institusi untuk melanggengkan sistem
patriarkhi, dimana kedudukan suami-isteri dan anak-anak tetap dalam posisi vertikal
sebagai struktur yang ideal. Padahal struktur vertikal justru berpotensi untuk
timbulnya konflik yang berkepanjangan. Keluarga ideal menurut Collin adalah yang
berlandaskan pada companion-ship, dimana relasi suami-isteri bersifat horisontal
(tidak hierarkhis). Sedangkan Dahrendorf, menegaskan bahwa peran yang
dilembagakan oleh institusi keluarga akan menciptakan pola relasi yang opresif,
karena kedudukan perempuan dianggap sebagai “ budak kecil tercinta”.
Menurut teori ini, situasi konflik dalam institusi keluarga tidak dianggap sebagai
sesuatu yang abnormal atau disfungsional, akan tetapi sebagai sesuatu yang alami
dalam proses sosial. Seorang suami yang mempunyai kedudukan sebagai kepala
keluarga akan menimbulkan konflik terbuka dengan istrinya yang berkedudukan
sebagai ibu rumahtangga. Hal tersebut adalah wajar dan alamiah, karena menurut
pandangan teori ini siapa yang mempunyai kekuasaan akan menindas pada siapa yang
ada di bawahnya.
Hubungan yang penuh konflik dalam institusi keluarga terjadi karena setiap
individu cenderung memenuhi kepentingan pribadi (self interest) dan konflik pasti
mewarnai keluarga, karena kesatuan individu dalam keluarga bukan dibentuk melalui
asas harmoni melainkan dengan pemaksaan. Jika kesadaran isteri (perempuan) yang
dalam teori ini digambarkan sebagai kaum proletar meningkat dan konflik tidak dapat
dikendalikan maka yang terjadi adalah perubahan. Dalam konteks keluarga,
perubahan bisa kearah positif maupun negative.
Tawney dikutip Megawangi (1999) mengakui adanya keragaman pada manusia,
entah itu biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan, cocok dengan
paradigma inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui faktor spesifik
seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut
“person-regarding equality”. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama
kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini
disebut “kesetaraan kontekstual”. Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan
(sameness) yang sering menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada
kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu.
Pemahaman tentang perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan masing-
masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah keluarga
terbentuk. Sistem patriarkat yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga
didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu
membatasi adanya peran partisipatif antar anggota keluarga telah menyebabkan
terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan. Relasi gender dalam keluarga dapat
dibangun jika masing masing individu saling memahami perbedaan dan kebutuhan
yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membeda-
bedakan peran gender.
Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga,
didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing
individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan.
Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi
lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masing-masing
anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya
keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada
salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai
institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang
berkualitas dapat tercapai.
Teori sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama karena
teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang
selanjutnya melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya
setuju dengan Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena
perjuangan kelas dan ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan
oleh beberapa faktor lain, termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan
isteri, senior dan yunior, laki-laki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin
Umar, 1999: 64). Meskipun demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis
modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme,
seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, 2001, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang
Press
Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997
Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing
Company.
Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender. Bandung: Mizan. Cet. I.
Echols, John M. dan Hassan Shadily (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia. Cet. XII.
Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia, 1997
Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Qur’an. Jakarta:
Paramadina. Cet. I.
Engle, Patrice L, 1998, Upaya Untuk Meraih Kesetaraan Gender dan Untuk Mendukung
Anak-anak, dalam Jurnal Perempuan, No. 05, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Sadli, Saparinah. “Identitas Gender dan Peranan Gender” dalam
Ihromi, T. O. Kajian Wanita Dalam Pembangunan. Jakarta:
Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Suharti, Retno. Gender dan Permasalahannya. Jakarta: Bul Psikologi, 1995.
Neufeldt, Victoria (ed.) (1984). Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s
New World Clevenland.
Noerhadi, Toeti H, 1998, Mitra Sejajar Dalam Pembangunan: Tantangan Atau Jebakan,
Jurnal Perempuan, No.5, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Anda mungkin juga menyukai