Disusun oleh :
Epistemologi Gender
Episteme berasal dari bahasa Yunani yang dapat diartikan menjadi knowledge,
pengetahuan. Maka, epistemologi gender adalah ilmu yang mempelajari gender. Sebelum
membahas gender, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan seks. Seks
dapat diartikan sebagai perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang secara biologis
memiliki ciri-ciri tersendiri. Secara kodrati, keduanya memiliki fungsi-fungsi organisme
yang berbeda. Perbedaan inilah yang berpengaruh dan berkaitan dengan faktor sosial,
geografis dan kebudayaan suatu masyarakat, sehingga melahirkan konsep gender. Dalam
bahasa Inggris, kata gender yaitu pengelompokkan kata benda atau kata ganti yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
menyatakan sifat laki-laki dan perempuan. Kata gender diartikan kelompok laki-laki,
perempuan atau perbedaan jenis kelamin. Namun, di Indonesia kata gender termasuk
kosa kata dibidang ilmu sosial, maka gender merupakan istilah. Gender (genus) adalah
sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor
sosial maupun kebudayaan, tergantung pada waktu (tren) dan tempatnya. Kantor Menteri
Negara Urusan Peranan Wanita mendefinisikan gender sebagai konsep hubungan sosial
yang membedakan arti pada kepentingan dan pemusatan fungsi-fungsi dan peran antara
pria dan wanita.
Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda
dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau
kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata
gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (John M. Echols dan
Hassan Shadily, 1983: 265). Kata gender bisa diartikan sebagai perbedaan yang
tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria Neufeldt
(ed.), 1984: 561).
dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas, dan emosi,
serta faktor-faktor nonbiologis lainnya. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara
etimologis artinya sama sama dengan sex, yaitu jenis kelamin (John M. Echols dan
Hassan Shadily, 1983: 517). Secara umum sex digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis, sedang gender lebih
banyak berkonsentrasi kepada aspek sosial, budaya, dan aspekaspek nonbiologis lainnya.
Kalau studi sex lebih menekankan kepada perkembangan aspek biologis dan komposisi
kimia dalam tubuh seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih
menekankan kepada perkembangan aspek maskulinitas dan femininitas seseorang.
Sejarah perbedaan gender antara seorang pria dengan seorang wanita terjadi
melalui proses yang sangat panjang dan dibentuk oleh beberapa sebab, seperti kondisi
sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi kenegaraan. Dengan proses yang panjang
ini, perbedaan gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan yang bersifat
kodrati atau seolah-olah bersifat biologis yang tidak dapat diubah lagi. Inilah sebenarnya
yang menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di tengah-tengah masyarakat.
Gender memiliki kedudukan yang penting dalam kehidupan seseorang dan dapat
menentukan pengalaman hidup yang akan ditempuhnya. Gender dapat menentukan akses
seseorang terhadap pendidikan, dunia kerja, dan sektor-sektor publik lainnya. Gender
juga dapat menentukan kesehatan, harapan hidup, dan kebebasan gerak seseorang.
Jelasnya, gender akan menentukan seksualitas, hubungan, dan kemampuan seseorang
untuk membuat keputusan dan bertindak secara otonom. Akhirnya, genderlah yang
banyak menentukan seseroang akan menjadi apa nantinya.
Peduli/Responsif
Gender
kebijakan/program/kegiatan
atau
(gender
kondisi
concern/responcive),
yang
sudah
dilakukan
yaitu
dengan
Dimasukkannya konsep gender ke dalam studi wanita tersebut, menurut Sita van
Bemmelen paling tidak memiliki dua alasan. Pertama, ketidakpuasan dengan gagasan
statis tentang jenis kelamin. Perbedaan antara pria dan wanita hanya menunjuk pada
sosok biologisnya dan karenanya tidak memadai untuk melukiskan keragaman arti pria
dan wanita dalam pelabagi kebudayaan. Kedua, gender menyiratkan bahwa kategori pria
dan wanita merupakan konstruksi sosial yang membentuk pria dan wanita. (dalam
Ibrahim dan Suranto, 1998: xxvi)
Namun ironisnya, di tengah gegap gempitanya upaya kaum feminis
memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender itu, masih banyak pandangan sinis,
cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari
kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut mungkin muncul dari ketakutan kaum lakilaki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau mungkin juga muncul dari
ketidaktahuan mereka, kaum laki-laki dan perempuan akan istilah gender itu sendiri dan
apa hakekat dari perjuangan gender tersebut.
Bertolak dari fenomena tersebut maka konsep penting yang harus dipahami
terlebih dahulu sebelum membicarakan masalah perempuan ini adalah perbedaan antara
konsep seks (jenis kelamin) dengan konsep gender. Pemahaman yang mendalam atas
kedua konsep tersebut sangatlah penting karena kesamaan pengertian (mutual
understanding) atas kedua kata kunci dalam pembahasan bab ini akan menghindarkan
kita dari kemungkinan pemahaman-pemahaman yang keliru dan tumpang tindih antara
masalah-masalah perempuan yang muncul karena perbedaan akibat seks dan masalahmasalah perempuan yang muncul akibat hubungan gender, disamping itu juga untuk
memudahkan pemahaman atas konsep gender yang merupakan kata dan konsep asing ke
dalam konteks Indonesia.
Selama lebih dari sepuluh tahun istilah gender meramaikan berbagai diskusi
tentang masalah-masalah perempuan, selama itu pulalah istilah tersebut telah
mendatangkan ketidakjelasan-ketidakjelasan dan kesalahpahaman tentang apa yang
dimaksud dengan konsep gender dan apa kaitan konsep tersebut dengan usaha
emansipasi wanita yang diperjuangkan kaum perempuan tidak hanya di Indonesia yang
dipelopori ibu Kartini tetapi juga di pelbagai penjuru dunia lainnya.
Kekaburan makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan perjuangan gender
menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasa
terancam hegemoni kekuasaannya tapi juga datang dari kaum perempuan sendiri yang
tidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
Konsep gender pertama kali harus dibedakan dari konsep seks atau jenis kelamin
secara biologis. Pengertian seks atau jenis kelamin secara biologis merupakan pensifatan
atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis, bersifat
permanen (tidak dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan), dibawa sejak lahir
dan merupakan pemberian Tuhan; sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan.
Melalui penentuan jenis kelamin secara biologis ini maka dikatakan bahwa
seseorang akan disebut berjenis kelamin laki-laki jika ia memiliki penis, jakun, kumis,
janggut, dan memproduksi sperma . Sementara seseorang disebut berjenis kelamin
perempuan jika ia mempunyai vagina dan rahim sebagai alat reproduksi, memiliki alat
untuk menyusui (payudara) dan mengalami kehamilan dan proses melahirkan. Ciri-ciri
secara biologis ini sama di semua tempat, di semua budaya dari waktu ke waktu dan
tidak dapat dipertukarkan satu sama lain.
Berbeda dengan seks atau jenis kelamin yang diberikan oleh Tuhan dan sudah
dimiliki seseorang ketika ia dilahirkan sehingga menjadi kodrat manusia, istilah gender
yang diserap dari bahasa Inggris dan sampai saat ini belum ditemukan padanan katanya
dalam Bahasa Indonesia, ---kecuali oleh sebagian orang yang untuk mudahnya telah
mengubah gender menjadi jender--- merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal
dan memiliki identitas yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideologi,
politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, etnik, adat istiadat, golongan, juga faktor
sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. (Kompas, 3
September 1995)
Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dan
kultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turun temurun
maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini,
sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai
secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari
waktu ke waktu. Meskipun demikian upaya untuk mendefinisikan konsep gender tetap
dilakukan dan salah satu definisi gender telah dikemukakan oleh Joan Scoot, seorang
sejarahwan, sebagai a constitutive element of social relationships based on perceived
differences between the sexes, anda primary way of signifying relationships of power.
(1986:1067)
Sebagai contoh dari perwujudan konsep gender sebagai sifat yang melekat pada
laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya, misalnya jika
dikatakan bahwa seorang laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
cocok untuk bekerja di luar rumah dan bahwa seorang perempuan itu lemah lembut,
keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak,
memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena
itu dibentuk oleh manusia.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari
waktu ke waktu, di suatu daerah dan
maupun
budaya
masyarakat,
sehingga
perlahan-lahan
citra
tersebut
10
d) Bertingkah laku selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan
pokok yang ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan masyarakat
umumnya.
Sosialisasi Peran Gender
Pranata sosial yang kita masuki sebagai individu, sejak kita memasuki keluarga
pada saat lahir, melalui pendidikan, kultur pemuda, dan ke dalam dunia kerja dan
kesenangan, perkawinan dan kita mulai membentuk keluarga sendiri, memberi pesan
yang jelas kepada kita bagaimana orang normal berperilaku sesuai dengan gendernya.
(Mosse, 1996:63)
Karena konstruksi sosial budaya gender, seorang laki-laki misalnya haruslah
bersifat kuat, agresif, rasional, pintar, berani dan segala macam atribut kelelakian lain
yang ditentukan oleh masyarakat tersebut, maka sejak seorang bayi laki-laki lahir, dia
sudah langsung dibentuk untuk menjadi seorang laki-laki, dan disesuaikan dengan
atribut-atribut yang melekat pada dirinya itu. Demikian pula halnya dengan seorang
perempuan yang karena dia lahir dengan jenis kelamin perempuan maka dia pun
kemudian dibentuk untuk menjadi seorang perempuan sesuai dengan kriteria yang
berlaku dalam suatu masyarakat dan budaya dimana dia lahir dan dibesarkan, misalnya
bahwa karena dia dilahirkan sebagai seorang perempuan maka sudah menjadi kodrat
pula bagi dia untuk menjadi sosok yang cantik, anggun, irrasional, emosional dan
sebagainya.
Proses sosialisasi peran gender tersebut dilaksanakan melalui berbagai cara, dari
mulai pembedaan pemilihan warna pakaian, accessories, permainan, perlakuan dan
sebagainya yang kesemuanya diarahkan untuk mendukung dan memapankan proses
pembentukan seseorang menjadi seorang laki-laki atau seorang perempuan sesuai
dengan ketentuan sosial budaya setempat.
Pembedaan identitas berdasarkan gender
seseorang itu lahir. Sehingga ketika pada akhirnya dia dilahirkan ke dunia ini, dia sudah
langsung masuk ke dalam satu lingkungan yang menyambutnya dengan serangkaian
tuntutan peran gender. Sehingga seseorang terpaksa menerima identitas gender yang
sudah disiapkan untuknya dan menerimanya sebagai sesuatu hal yang benar, yang alami
dan yang baik. Akibatnya jika terjadi penyimpangan terhadap peran gender yang sudah
menjadi bagian dari landasan kultural masyarakat dimana dia hidup, maka masyarakat
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
11
pun lantas menilai hal tersebut sebagai sesuatu yang negatif bahkan mungkin sebagai
penentang terhadap budaya yang selama ini sudah mapan. Dan sampai sejauh ini yang
sering menjadi korban adalah kaum perempuan.
Sebagai contoh dalam adat budaya Jawa di Indonesia, seorang budayawan
terkemuka, Umar Kayam, mengungkapkan bahwa sebutan wanita sebagai kanca
wingking (teman di belakang) merupakan pengembangan dialektika budaya adiluhung.
Sosok budaya inilah yang berkembang di bawah ilham halus kasar yang secara tegar
menjelajahi semua sistem masyarakat Jawa. Sistem kekuasaan feodal aristokratik,
demikian Kayam, telah menetapkan wanita untuk memiliki peran atau role menjadi
penjaga nilai-nilai halus-kasar dan adiluhung di dalam rumah.(Kompas, 23 Oktober
1995)
Penjajahan kultural yang demikian panjang dan membuat perempuan lebih
banyak menjadi korban itu terus dilestarikan. Tidak jarang, alasan-alasan kultural
memberikan legitimasi sangat ampuh. Ia dicekokkan melalui pelbagai pranata sosial dan
adat istiadat yang mendarahdaging dalam jantung kesadaran anggotanya. Rasionalisasi
kultural inilah yang pada gilirannya membuat perempuan secara psikologis mengidap
sesuatu yang oleh Collete Dowling disebut Cinderella Complex, suatu jaringan rasa takut
yang begitu mencekam, sehingga kaum wanita merasa tidak berani dan tidak bisa
memanfaatkan potensi otak dan daya kreativitasnya secara penuh. (Ibrahim dan Suranto,
1998:xxvi)
Sosialisasi yang jika kita cermati pengertiannya, yaitu merupakan sebuah proses
yang membantu individu melalui belajar dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan
berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi baik sebagai individu maupun sebagai
anggota masyarakat. (Noor, 1997:102) telah juga dilakukan tidak hanya melalui lembaga
keluarga dan lembaga adat, melainkan juga oleh lembaga negara dan lembaga
pendidikan.
Pemapanan citra bahwa seorang perempuan itu lebih cocok berperan sebagai
seorang ibu dengan segala macam tugas domestiknya yang selalu dikatakan sebagai
urusan perempuan, seperti membersihkan rumah, mengurus suami dan anak, memasak,
berdandan dan sebagainya. Sementara citra laki-laki, disosialisasikan secara lebih positif,
dimana dikatakan bahwa laki-laki karena kelebihan yang dimilikinya maka lebih sesuai
jika dibebani dengan urusan-urusan laki-laki pula dan lebih sering berhubungan
dengan sektor publik, seperti mencari nafkah, dengan profesi yang lebih bervariasi
daripada perempuan. Kesemua itu disosialisasikan sejak dari kelas satu Sekolah Dasar
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
12
melalui buku-buku pelajaran di sekolah hingga Panca Dharma Wanita, yang menyatakan
bahwa tugas utama seoarang perempuan adalah sebagai pendamping suami, dan itulah
yang diyakini secara salah oleh sebagian orang sebagai kodrat wanita.
GENDER DAN STRATIFIKASI
Pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan gender mungkin tidak akan
mendatangkan masalah jika
(gender inequalities) baik bagi kaum laki-laki maupun bagi kaum perempuan. Meski
ketidakadilan
itu
lebih
banyak
dirasakan
oleh
kaum
perempuan,
sehingga
13
Sementara pada masyarakat dengan sistem pelapisan terbuka, setiap orang mempunyai
kesempatan untuk naik ke lapisan yang lebih tinggi tetapi juga dimungkinkan untuk
jatuh ke lapisan yang lebih rendah.
Stratifikasi Perempuan Berlandaskan Perbedaan Gender
Jika kita mengaitkan masalah gender dengan stratifikasi maka mau tidak mau kita
harus melihat kembali pada proses sosialisasi
14
bekerja
karena
pekerjaan
yang
dilakukannya,
seberapapun
15
b. Subordinasi
Pandangan berlandaskan gender juga ternyata bisa mengakibatkan
subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau
emosional berakibat munculnya sikap menempatkan perempuan pada posisi yang
tidak penting.
Subordinasi karena gender tersebut terjadi dalam segala macam bentuk yang
berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Salah satu konsekuensi dari posisi subordinat perempuan ini adalah
perkembangan keutamaan atas anak laki-laki. Seorang perempuan yang
melahirkan bayi laki-laki akan lebih dihargai daripada seorang perempuan yang
hanya melahirkan bayi perempuan. Demikian juga dengan bayi-bayi yang baru
lahir tersebut. Kelahiran seorang bayi laki-laki akan disambut dengan kemeriahan
yang lebih besar dibanding dengan kelahiran seorang bayi perempuan.
Subordinasi juga muncul dalam bentuk kekerasan yang menimpa kaum
perempuan. Kekerasan yang menimpa kaum perempuan termanifestasi dalam
berbagai wujudnya, seperti perkosaan, pemukulan, pemotongan organ intim
perempuan (penyunatan) dan pembuatan pornografi.
Hubungan subordinasi dengan kekerasan tersebut karena perempuan dilihat
sebagai objek untuk dimiliki dan diperdagangkan oleh laki-laki, dan bukan
sebagai individu dengan hak atas tubuh dan kehidupannya. (Mosse, 1996:76)
Anggapan bahwa perempuan itu lebih lemah atau ada di bawah kaum lakilaki juga sejalan dengan pendapat teori nature yang sudah ada sejak permulaan
lahirnya filsafat di dunia Barat. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi
kodrat (sic!) wanita untuk menjadi lebih lemah dan karena itu tergantung
kepada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. (Budiman, 1985: 6) Bahkan
Aristoteles mengatakan bahwa wanita adalah laki-laki yang tidak lengakap.
Demikianlah pendikotomian laki-laki dan perempuan berdasarkan hubungan
gender nyata sekali telah mendatangkan ketidakadilan gender bagi perempuan yang
termanifestasi dalam berbagai
perempuan diharuskan untuk patuh pada kodrat nya yang telah ditentukan oleh
masyarakat untuknya. Karena diskriminasi pula perempuan harus menerima stereotype
yang dilekatkan pada dirinya yaitu bahwa perempuan itu irrasional, lemah, emosional
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
16
dan sebagainya sehingga kedudukannya pun selalu subordinat terhadap laki-laki, tidak
dianggap penting bahkan tidak dianggap sejajar dengan laki-laki, sehingga perempuan
diasumsikan harus selalu menggantungkan diri dan hidupnya kepada laki-laki.
Bertolak dari kondisi demikianlah maka jika dulu Karl Marx memperjuangkan
kesamaan kelas, kini kaum feminis menggemakan perjuangannya, untuk memperoleh
kesetaraan gender. Untuk memperoleh kedudukan dan hak yang sama dengan laki-laki.
Teori-teori Gender
Secara khusus tidak ditemukan suatu teori yang membicarakan masalah gender.
Teori-teori yang digunakan untuk melihat permasalahan gender ini diadopsi dari teoriteori yang dikembangkan oleh para ahli dalam bidang-bidang yang terkait dengan
permasalahan gender, terutama bidang sosial kemasyarakatan dan kejiwaan. Karena itu
teori-teori yang digunakan untuk mendekati masalah gender ini banyak diambil dari
teori-teori sosiologi dan psikologi. Cukup banyak teori yang dikembangkan oleh para
ahli, terutama kaum feminis, untuk memperbincangkan masalah gender, tetapi dalam
kesempatan ini akan dikemukakan beberapa saja yang dianggap penting dan cukup
populer.
1. Teori Struktural-Fungsional
Teori atau pendekatan struktural-fungsional merupakan teori sosiologi yang
diterapkan dalam melihat institusi keluarga. Teori ini berangkat dari asumsi bahwa suatu
masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari
unsur-unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi
fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsur5 unsur tersebut dalam
masyarakat. Banyak sosiolog yang mengembangkan teori ini dalam kehidupan keluarga
pada abad ke-20, di antaranya adalah William F. Ogburn dan Talcott Parsons (Ratna
Megawangi, 1999: 56).
Teori struktural-fungsional mengakui adanya segala keragaman dalam kehidupan
sosial. Keragaman ini merupakan sumber utama dari adanya struktur masyarakat dan
menentukan keragaman fungsi sesuai dengan posisi seseorang dalam struktur sebuah
sistem. Sebagai contoh, dalam sebuah organisasi sosial pasti ada anggota yang mampu
menjadi pemimpin, ada yang menjadi sekretaris atau bendahara, dan ada yang menjadi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
17
anggota biasa. Perbedaan fungsi ini bertujuan untuk mencapai tujuan organisasi, bukan
untuk kepentingan individu. Struktur dan fungsi dalam sebuah organisasi ini tidak dapat
dilepaskan dari pengaruh budaya, norma, dan nilai-nilai yang melandasi sistem
masyarakat (Ratna Megawangi, 1999:
Terkait dengan peran gender, pengikut teori ini menunjuk masyarakat pra industri
yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu
(hunter) dan perempuan sebagai peramu (gatherer). Sebagai pemburu, laki-laki lebih
banyak berada di luar rumah dan bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada
keluarga. Peran perempuan lebih terbatas di sekitar rumah dalam urusan reproduksi,
seperti mengandung, memelihara, dan menyusui anak. Pembagian kerja seperti ini telah
berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil.
Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh sex (jenis
kelamin).
Menurut para penganutnya, teori struktural-fungsional tetap relevan diterapkan
dalam masyarakat modern. Talcott Parsons dan Bales menilai bahwa pembagian peran
secara seksual adalah suatu yang wajar (Nasaruddin Umar, 1999: 53). Dengan
pembagian kerja yang seimbang, hubungan suami-isteri bisa berjalan dengan baik. Jika
terjadi penyimpangan atau tumpang tindih antar fungsi, maka sistem keutuhan keluarga
akan mengalami ketidakseimbangan. Keseimbangan akan terwujud bila tradisi peran
gender senantiasa mengacu kepada posisi semula.
Teori struktural-fungsional ini mendapat kecaman dari kaum feminis, karena
dianggap membenarkan praktik yang selalu mengaitkan peran sosial dengan jenis
kelamin. Laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam
urusan domistik, terutama dalam masalah reproduksi. Menurut Sylvia Walby teori ini
akan ditinggalkan secara total dalam masyarakat modern. Sedang Lindsey menilai teori
ini akan melanggengkan dominasi laki-laki dalam stratifikasi gender di tengah-tengah
masyarakat (Nasaruddin Umar, 1999: 53).
Meskipun teori ini banyak memeroleh kritikan dan kecaman, teori ini masih tetap
bertahan terutama karena didukung oleh masyarakat industri yang cenderung tetap
memertahankan prinsip-prinsip ekonomi industri yang menekankan aspek produktivitas.
Jika faktor produksi diutamakan, maka nilai manusia akan tampil tidak lebih dari sekedar
alat produksi. Nilai-nilai fundamental kemanusiaan cenderung diabaikan. Karena itu,
tidak heran dalam masyarakat kapitalis, industri seks dapat diterima secara wajar. Yang
juga memerkuat pemberlakuan teori ini adalah karena masyarakat modern-kapitalis,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
18
menurut Michel Foucault dan Heidi Hartman (Nasaruddin Umar, 1999: 60), cenderung
mengakomodasi sistem pembagian kerja berdasarkan perbedaan jenis kelamin.
Akibatnya, posisi perempuan akan tetap lebih rendah dan dalam posisi marginal, sedang
posisi laki-laki lebih tinggi dan menduduki posisi sentral.
2. Teori Sosial-Konflik
Menurut Lockwood, suasana konflik akan selalu mewarnai masyarakat, terutama
dalam hal distribusi sumber daya yang terbatas. Sifat pementingan diri, menurutnya,
akan menyebabkan diferensiasi kekuasaan yang ada menimbulkan sekelompok orang
menindas kelompok lainnya. Perbedaan kepentingan dan pertentangan antar individu
pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dalam suatu organisasi atau masyarakat
(Ratna Megawangi, 1999: 76). Dalam masalah gender, teori sosial-konflik terkadang
diidentikkan dengan teori Marx, karena begitu kuatnya pengaruh Marx di dalamnya.
Marx yang kemudian dilengkapi oleh F. Engels, mengemukakan suatu gagasan menarik
bahwa perbedaan dan ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan tidak
disebabkan oleh perbedaan biologis, tetapi merupakan bagian dari penindasan kelas yang
berkuasa dalam relasi produksi yang diterapkan dalam konsep keluarga. Hubungan lakilakiperempuan (suami-isteri) tidak ubahnya dengan hubungan ploretar dan borjuis,
hamba dan tuan, atau pemeras dan yang diperas. Dengan kata lain, ketimpangan peran
gender dalam masyarakat bukan karena kodrat dari Tuhan, tetapi karena konstruksi
masyarakat. Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh para pengikut Marx seperti F.
Engels, R. Dahrendorf, dan Randall Collins.
Asumsi yang dipakai dalam pengembangan teori sosial-konflik, atau teori
diterminisme ekonomi Marx, bertolak belakang dengan asumsi yang mendasari teori
struktural-fungsional, yaitu: 1) walaupun relasi sosial menggambarkan karakteristik yang
sistemik, pola relasi yang ada sebenarnya penuh dengan kepentingankepentingan pribadi
atau sekelompok orang. Hal ini membuktikan bahwa system sosial secara sistematis
menghasilkan konflik; 2) maka konflik adalah suatu yang takterhindarkan dalam semua
sistem sosial; 3) konflik akan terjadi dalam aspek pendistribusian sumber daya yang
terbatas, terutama kekuasaan; dan 4) konflik adalah sumber utama terjadinya perubahan
dalam masyarakat (Ratna Megawangi, 1999: 81).
Menurut Engels, perkembangan akumulasi harta benda pribadi dan control lakilaki terhadap produksi merupakan sebab paling mendasar terjadinya subordinasi
perempuan. Seolah-olah Engels mengatakan bahwa keunggulan laki-laki atas perempuan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
19
adalah hasil keunggulan kaum kapitalis atas kaum pekerja. Penurunan status perempuan
mempunyai korelasi dengan perkembangan produksi perdagangan (Nasaruddin Umar,
1999: 62).
Keluarga, menurut teori ini, bukan sebuah kesatuan yang normatif (harmonis dan
seimbang), melainkan lebih dilihat sebagai sebuah sistem yang penuh konflik yang
menganggap bahwa keragaman biologis dapat dipakai untuk melegitimasi relasi sosial
yang operatif. Keragaman biologis yang menciptakan peran gender dianggap konstruksi
budaya, sosialisasi kapitalisme, atau patriarkat. Menurut para feminis Marxis dan sosialis
institusi yang paling eksis dalam melanggengkan peran gender adalah keluarga dan
agama, sehingga usaha untuk menciptakan perfect equality (kesetaraan gender 50/50)
adalah dengan menghilangkan peran biologis gender, yaitu dengan usaha radikal untuk
mengubah pola pikir dan struktur keluarga yang menciptakannya (Ratna Megawangi,
1999: 91).
Teori sosial-konflik ini juga mendapat kritik dari sejumlah pakar, terutama karena
teori ini terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai basis ketidakadilan yang selanjutnya
melahirkan konflik. Dahrendorf dan R. Collins, yang tidak sepenuhnya setuju dengan
Marx dan Engels, menganggap konflik tidak hanya terjadi karena perjuangan kelas dan
ketegangan antara pemilik dan pekerja, tetapi juga disebabkan oleh beberapa faktor lain,
termasuk ketegangan antara orang tua dan anak, suami dan isteri, senior dan yunior, lakilaki dan perempuan, dan lain sebagainya (Nasaruddin Umar, 1999: 64). Meskipun
demikian, teori ini banyak diikuti oleh para feminis modern yang kemudian banyak
memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme
Marxis-sosialis, dan feminisme radikal.
3. Teori Feminisme Liberal
Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki.
Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh
antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan
(distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ
reproduksi
bagi
perempuan
membawa
konsekuensi
logis
dalam
kehidupan
20
peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok
jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi
perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik.
4. Teori Feminisme Marxis-Sosialis
Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai
kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang
menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan
kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok
tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak
diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para
perempuan agar bangkit untuk merubah keadaan (Ratna Megawangi, 1999: 225).
Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor
akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini
lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya.
Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan
domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik.
Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif.
Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat
bergantung pada produk-produk yang dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya
makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang
memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan
kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum
feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki
penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sector domistik yang
dikerjakannya (Ratna Megawangi, 1999: 143).
5. Teori Feminisme Radikal
Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960-an dan
1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori
ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem
patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki
(patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki
sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
21
22
tersusun di atas tiga struktur, yaitu id, ego, dan superego. Tingkah laku seseorang
menurut Freud ditentukan oleh interaksi ketiga struktur itu. Id sebagai pembawaan sifatsifat fisik biologis sejak lahir. Id bagaikan sumber energi yang memberikan kekuatan
terhadap kedua sumber lainnya. Ego bekerja dalam lingkup rasional dan berupaya
menjinakkan keinginan agresif dari id. Ego berusaha mengatur hubungan antara
keinginan subjektif individual dan tuntutan objektif realitas sosial. Superego berfungsi
sebagai aspek moral dalam kepribadian dan selalu mengingatkan ego agar senantiasa
menjalankan fungsinya mengontrol id (Nasaruddin Umar, 1999: 46).
Menurut Freud kondisi biologis seseorang adalah masalah takdir yang tidak dapat
dirubah. Pada tahap phallic stage, yaitu tahap seorang anak memeroleh kesenangan pada
saat mulai mengidentifikasi alat kelaminnya, seorang anak memeroleh kesenangan erotis
dari penis bagi anak laki-laki dan clitoris bagi anak perempuan. Pada tahap ini (usia 3-6
tahun) perkembangan kepribadian anak laki-laki dan perempuan mulai berbeda.
Perbedaan ini melahirkan pembedaan formasi social berdasarkan identitas gender, yakni
bersifat laki-laki dan perempuan (Nasaruddin Umar, 1999: 41).
Pada tahap phallic seorang anak laki-laki berada dalam puncak kecintaan
terhadap ibunya dan sudah mulai mempunyai hasrat seksual. Ia semula melihat ayahnya
sebagai saingan dalam memeroleh kasih sayang ibu. Tetapi karena takut ancaman dari
ayahnya, seperti dikebiri, ia tidak lagi melawan ayahnya dan menjadikannya sebagai
idola (model). Sebaliknya, ketika anak perempuan melihat dirinya tidak memiliki penis
seperti anak laki-laki, tidak dapat menolak kenyataan dan merasa sudah terkebiri. Ia
menjadikan ayahnya sebagai objek cinta dan menjadikan ibunya sebagai objek irihati.
Pendapat Freud ini mendapat protes keras dari kaum feminis, terutama karena
Freud mengungkapkan kekurangan alat kelamin perempuan tanpa rasa malu. Teori
psikoanalisa Freud sudah banyak yang didramatisasi kalangan feminis. Freud sendiri
menganggap kalau pendapatnya masih tentatif dan masih terbuka untuk dikritik. Freud
tidak sama sekali menyudutkan kaum perempuan. Teorinya lebih banyak didasarkan
pada hasil penelitiannya secara ilmiah. Untuk itu teori Freud ini justeru dapat dijadikan
pijakan dalam mengembangkan gerakan feminisme dalam rangka mencapai keadilan
gender. Karena itu, penyempurnaan terhadap teori ini sangat diperlukan agar dapat
ditarik kesimpulan yang benar.
Defenisi Konsep
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
23
perempuan
yang
mengasumsikan
bahwa
munculnya
permasalahan
ketidakmampuan kaum perempuan untuk bersaing dengan laki-laki tetapi pada dasarnya
perempuan adalah makluk rasional yang memiliki kemampuan sama dengan laki-laki,
sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Adapun konsep persamaan
(equality) dan keadilan (justice) adalah:
Persamaan (Equality). Persamaan adalah suatu konsep yang menunjukkan
bahwa semua manusia sama dimata hukum. Persamaan juga menunjukkan bahwa
setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perlakuan yang adil
terutama persamaan hak bagi perempuan harus ditegakkan di dalam suatu negara.
Persamaan dan perbedaan keduanya istilah yang kaya, kompleks dan diperjuangkan
dalam hak-hak mereka sendiri, persamaan dan perbedaan telah menggambarkan
perbedaan dan perspektif yang bersaing dalam teori feminis.
Jika seseorang memperluas kerangka analisa ideologi dan geografis dengan
perspektif kronologis, maka seseorang dapat melukiskan jalur teori feminis sehubungan
dengan persamaan dan perbedaan sebagaimana dimulai dengan persamaan (equality),
peralihan pada perbedaan, kemudian pergerakan terhadap resolusi dikotomi. Beberapa
komentator telah memilih melambangkan tahapan feminisme ini sebagai feminisme
gelombang-gelombang.
Orang lain melihat pergerakan dari persamaan ke perbedaan sebagai internal
terhadap feminisme gelombang kedua. Misalnya, Nancy Fraser menganggap bahwa
perubahan terjadi dalam pergerakan wanita Amerika Serikat pada akhir era 1970an.
Karena setiap cerita kronologis ini menggangap sesuatu dari perasaan dalam perdebatan
feminis, maka masing-masing lebih skematis dan menanamkan dirinya 1. Gelombang
pertama, yang di tandai oleh komitmen terhadap persamaan (equality). 2. Gelombang
kedua, oleh komitmen terhadap perbedaan. 3. Gelombang ketiga, komitmen terhadap
keragaman.
dalam
kerangka
normatif
tertentu.
Memungkinkan
juga
untuk
24
jelas mengkarakteristikan momen saat ini terhadap teorisasi gender. Status perspektif
keragaman ketiga adalah kompleks tidak dimaksudkan untuk meliputi semua upaya yang
dilakukan untuk mlebihi alat untuk mensistensikan perspektif persamaan dan perbedaan.
Lebih dipahami sebagai negosiasi kompleks dari pola dasar yang ada dari pada artikulasi dari
pola dasar yang baru.
Orang-orang yang mendekati teori gender dan politik dari perspektif persamaan
sangat meyakini bahwa gender akan menjadi tidak relevan secara politik atau tidak
berhubungan, kenyataan bahwa pria dan wanita pada umumnya berbeda. Alasan yang
tidak cukup untuk memperlakukan mereka secara berbeda dalam lingkungan politik.
Proyek pemerintahan apapun yang benar-benar melaksanakan prinsip-prinsip persamaan
liberal harus melebihi anggapan sexist tentang perbedaan Gender yang telah meneliti
perbedaan tehadap wanita, untuk memberikan kepada wanita hak-hak yang sama dengan
pria dan untuk memungkinkan wanita berpartisipasi seperti halnya pria dalam
lingkungan publik. Perbedaan gender dipasang sebagai sebuah manifestasi seksisme,
sebagai penciptaan yang digunakan untuk menasionalisasikan persamaan antara pria dan
wanita. Anggapan yang luas bahwa wanita tidak rasional sepenuhnya digunakan secara
berulang kali sebagai justifikasi untuk melanjutkan pengeluaran mereka dari
kewarganegaraan penuh.
Gagasan bahwa wanita tidak dapat memiliki kemampuan rasional, abstrak, yang
menguniversalisasikan bentuk pemikiran yang dibutuhkan untuk terlibat dalam arena
penelitian dan politik publik perlu ditemui dengan penegasan kesamaan wanita dengan
pria. Sebagaimana yang dijelaskan Fraser, dari perspektif persamaan, maka perbedaan
gender terlihat tidak memungkinkan untuk lepas dari seksisme. Tugas-tugas politik
selanjutnya akan lebih jelas, tujuan feminisme adalah untuk melepaskan belenggu
perbedaan dan membentuk persamaan yang membawa pria dan wanita dibawah
sebuah ukuran umum. Dari perspektif persamaan tersebut.
Keadilan (Justice) Mengenai keadilan (justice) dalam literatur gender, dalam teori
politik disamakan dengan etika keadilan. Pertama, etika keadilan adalah perspektif yang
lebih tepat dan memungkinkan. Menurut pandangan tidak dari manapun dan oleh karena itu
pada dasarnya netral sehubungan dengan masalah gender. Kedua, etika keadilan adalah
sebuah produk dari jiwa pria dan secara intrinsik bergender. Ketiga, etika keadilan adalah
sebuah bentuk pemikiran moral yang terbatas secara khusus dan spesifik secara historis yang
memainkan peranan signifikan dalam proses pengenderaan identitas sosial.
25
Etika keadilan ini dikecam secara luas dalam teori politik feminis. Dari perspektif
pertama para ahli teori tidak mengecam etika keadilan itu sendiri. Mereka menganggap
bahwa tingkatan aplikasinya harus diperluas hingga meliputi bentuk-bentuk hubungan
sosial dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa ini adalah bentuk pemikiran moral
dan bentuk yang khusus bagi pria. Ada bentuk lain yang diambil dari dalam pendekatan
kedua adalah pemikiran moral yang disebut etika kepedulian yang harus juga dikenal,
Bahkan dikatakan bahwa wanita lebih memungkinkan mengadopsi etika kepedulian ini
dibandingkan pria, bahwa hak istimewa yang diberikan pada etika keadilan adalah untuk
suara moral yang berbeda dari para wanita. Dengan kata lain ini adalah strategi universal.
Berbeda dengan konsepsi yang dibedakan gender kedua tentang pemikiran moral,
para ahli teori gender yang mendekati perdebatan ini dari perspektif ketiga adalah
penting dari pergerakan ke bentuk-bentuk pemikiran moral yang terbagi dan untuk
menyelenggarakan antitesisnya dari etika keadilan. Mereka menganggap bahwa etika
keadilan adalah bukan salah satu dari dua bentuk pemikiran moral yang memungkinkan
tentang bentuk universal tunggal dari pemikiran moral. Oleh karena itu, model keadilan
dari pemikiran moral tidak hanya berbeda dengan model kepedulian ini. Dengan
mengetahui bahwa model kepedulian hanya ada dalam hubungan sebagai pengingat
model keadilan, maka adopsi setiap model bekerja untuk mengabadikan dualisme hirarki
dari perdebatan moral yang dihasilkan oleh etika keadilan yang merupakan strategi
pergantian.
Untuk memahami sepenuhnya isu-isu dalam politik secara khusus sebagai lawan
dari perdebatan dan relevansinya dengan politik secara khusus sebagai lawan dari
perdebatan moral, terlebih dahulu harus mempertimbangkan etika keadilan dan etika
kepedulian. Selanjutnya kita akan merenungkan dua isu tambahan yang telah menjadi
pusat pada perdebatan keadilan dan kepedulian sifat hubungan antara dua etika dan dua
gender. Ini menyebabkan pertimbangan dari beberapa strategi yang berbeda yang
diadopsi untuk melebihi dikotomi keadilan dan kepedulian. Apa yang telah muncul
dalam teori feminis akan dilambangkan sebagai perspektif etika keadilan adalah
sebuah artikulasi tertentu tentang objektivisme moral.
Immanuel Kant, dengan jelas memperdebatkan kerangka historis, universal untuk
mendasarkan klaim-klaim moral. Kant berusaha menjelaskan dan membentuk dasar
objektif dari moralitas. Dia menolak semua usaha untuk mendasarkan moralitas pada
pengalaman dan bekerja untuk membentuk eksistensi dari hukum moral dasar, universal,
objektif untuk semua sifat rasional. Yang mengkarakteristikan imperialitas sebagai
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
26
konsepsi pemikiran moral yang menganggap bahwa agar agen melepaskan egoisme, dan
mencapai objektivisme, dia harus mengadopsi sudut pandang universal yang sama untuk
semua agen rasional. Penekanan terhadap pelepasan dari konteks, sebagaimana dengan
rasionalisme, dipandang sebagai alat yang mempertinggi kekhususan emosional yang
menarik dan pencapaian sudut pandang universal.
Ketidakadilan Gender
Merupakan bentuk perbedaan perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti
pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih. Ketidakadilan gender dapat bersifat :
Langsung (Perbedaan perlakuan secara terbuka, baik disebabkan perilaku atau sikap
norma/nilai maupun aturan yang berlaku). Tidak Langsung (Seperti peraturan sama,
tetapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin tertentu). Sistemik (Ketidakadilan
yang berakar dalam sejarah atau struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang
bersifat membeda-bedakan).
Adapun bentuk diskriminasi gender :
Asma Barlah, penulis buku Cara Quran Membebaskan Perempuan mengatakan inti dari
ketidaksetaraan gender adalah pencampur-adukan antara biologis (jenis kelamin) dan
makna sosialnya (gender). Begitu juga Marshall Sahlin berpendapat bahwa ketidakadilan
gender merupakan subordinasi hal simbolik dibawah hal alamiah.
Al-Quran (Islam) dan Kesetaraan
Shahin Iravani dalam tulisannya menyebutkan Islam selalu mempunyai definisi
sendiri tentang hak-hak perempuan, juga sebuah definisi yang jelas mengenai posisi
perempuan. Meskipun memiliki perbedaan biologis tetapi mempunyai kedudukan yang
sama secara etis-moral. Menurut Al-Quran, alasan kesetaraan dan keserupaan kedua jenis
kelamin adalah bahwa keduanya diciptakan untuk hidup bersama dalam kerangka saling
mencintai dan mengakui satu sama lain. Dalam Al-Quran laki-laki dan perempuan justru
bersumber dari diri yang sama, pada saat yang bersamaan dan dengan cara yang sama,
artinya keduanya adalah setara dan berasal dari sumber yang sama.
27
28
memuaskan untuk mengikuti dan bertingkah laku sesuai norma sosial tersebut, namun
jika tidak sesuai, maka tingkah laku dapat disesuaikan dengan kondisi (Wood et al., 1997
dalam Baron&Byrne, 1979).
Androgynous
Kebanyakan dari kita melihat maskulinitas dan femininitas sebagai dua hal yang
berada di dua ujung kutub dari satu kontinum (Storm, 1980 dalam Spencer&Jeffrey,
1993 ). Oleh karena itu kita berasumsi bahwa semakin maskulin seseorang, maka
semakin kurang feminin ia dan begitu pula kebalikannya. Sehingga, seorang pria yang
memiliki sifat stereotipikal feminin seperti pengasuhan, tenderness, dan emosional sering
dilihat sebagai kurang maskulin dibanding pria lain. Perempuan yang bersaing dengan
laki-laki dalam dunia bisnis diterima bukan hanya lebih maskulin tapi juga kurang
feminin dibanding wanita lain.
Beberapa ilmuwan behavioral berargumen bahwa maskulinitas dan femininitas
sebenarnya membandingkan dua dimensi kepribadian yang berdiri sendiri (Bem, 1975;
Spence at al.,1975; Helmreich et al, 1979 dalam Spencer&Jeffrey, 1993). Orang yang
memiliki maskulinitas tinggi, baik laki-laki maupun wanita dapat pula memiliki sifat
feminin dan kebalikannya. Orang yang mempertunjukkan keasertifan dan keterampilan
instrumental yang bersifat maskulin berjalan beriringan dengan pengasuhan dan
kerjasama yang bersifat feminin yang cocok dengan maskulinitas dan femininitas peran
gender. Mereka ini disebut telah menunjukkan psychological androgyny. Orang yang
tinggi dalam assertiveness dan keterampilan instrumental hanya cocok dengan stereotipe
maskulin. Orang yang tinggi dalam sifat seperti pengasuhan dan kerjasama cocok dengan
stereotipe feminin. Orang yang rendah di pola stereotipe maskulin dan feminin dilihat
sebagai undifferentiated merujuk pada stereotipe peran gender. Orang yang
psychologically androgynous mampu untuk memanggil range yang lebih luas dari sifat
maskulin dan feminin untuk menemukan tuntutan dari berbagai macam situasi dan untuk
mengekspresikan hasrat dan bakat mereka.
Terdapat pula bukti bahwa sifat feminin, seperti pengasuhan dan sensitivitas,
muncul untuk memprediksi keberhasilan dalam hubungan intim-dengan laki-laki sebaik
dengan perempuan. Laki-laki androgynous lebih mungkin untuk mengekspresikan
perasaan cintanya kepada pasangannya dan lebih dapat menerima kesalahan
29
pasangannya daripada tipe maskulin (Coleman & Ganong, 1985 dalam Spencer&Jeffrey,
1993 ).
Remaja maskulin dan androgynous dari kedua gender cenderung untuk lebih
popular dan memiliki harga diri yang tinggi dibanding remaja lain (Lamke, 1982 dalam
Spencer&Jeffrey, 1993) . Hal ini tidak mengejutkan, merupakan hal yang biasa bahwa
remaja laki-laki lebih sejahtera apabila memiliki stereotipe sifat maskulin. Namun yang
lebih mengejutkan, adalah para remaja perempuan juga lebih sejahtera ketika mereka
mempertunjukkan stereotip sifat maskulin, seperti assertiveness dan kemandirian.
Terlihat bahwa perempuan muda tidak beresiko apabila orang lain mempertanyakan
femininitas mereka apabila mereka mempertunjukkan sifat maskulin, menyediakan lebih
banyak bukti bahwa konstelasi dari sifat yang kita sebut maskulinitas dan femininitas
merupakan kelompok yang berdiri sendiri.
Laki-laki dan perempuan yang psychologically androgynous lebih merasa
nyaman dengan seksualitas mereka daripada laki-laki maskulin dan wanita feminin
(Wolfish & Mayerson, 1980 dalam Spencer&Jeffrey, 1993).
Dari berbagai macam sudut pandang, kita telah memeriksa bahwa laki-laki
termasuk dalam kelompok standardisasi menunjukkan dengan jelas minat yang berbeda
dalam mengeksploitasi dan berpetualang, di outdoor, dan secara fisik memiliki pekerjaan
yang sibuk, dalam bidang perlengkapan dan mesin, ilmu sains, fenomena fisik, dan
penemuan. Di pihak lain perempuan dalam kelompok kita telah menunjukkan dengan
jelas minat yang berbeda pada pekerjaan domestik dan pada objek dan pekerjaan estetik,
mereka secara berbeda memilih pekerjaan yang menetap dan pekerjaan indoor, pekerjaan
tersebut
lebih
ministrative
secara
langsung,
khususnya
bagi
orang
muda,
30
dikatakan lebih baik dibandingkan individu yang menganut tipe gender pada umumnya
(Major, Carnevale,&Deaux, 1981 dalam Baron&Byrne 1979), lebih kreatif dan optimis
(Norlander, Erixon,&Archer, 2000 dalam Baron&Byrne 1979), lebih ,mudah
menyesuaikan diri (Williams&DAlessandro, 1994 dalam Baron&Byrne 1979), lebih
baik
dalam
beradaptasi
dengan
permintaan
dari
situasi
yang
berbeda-beda
31
Seiring semakin tuanya usia dunia ini, cerita panjang mengenai perbedaan lakilaki dan perempuan dimana laki-laki lebih superior dibanding perempuan sudah
terbentuk. Contohnya pada tradisi Judeo-Christian dimana laki-laki didisain sebagai
pemilik dari keluarganya (Wolf, 1992 dalam Baron&Byrne 1979). Selain itu pada
konteks nonreligi, terdapat buku anak-anak yang menghadirkan tokoh laki-laki dan
perempuan dari berbagai umur sesuai dengan stereotip gender tradisionalnya, contohnya
pada tayangan sesame street. Sementara pada masa sekarang, pembedaan gender terus
berlanjut pada permainan-permainan komputer dan software lainnya, seperti Barbie
fashion design untuk anak perempuan. Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan
bertahannya stereotip gender dan superioritas laki-laki dan mempengaruhi tingkah laku
serta harapan pada laki-laki dan perempuan.
Indikasi bahwa stereotip gender mulai luntur adalah penelitian bahwa mahasiswa
sekarang ini sudah sering tidak mempedulikan stereotip gender dan tidak memperhatikan
perbedaan gender (Swim, 1994 dalam Baron&Byrne 1979). Contohnya pada tahun 1931
mahasiswa Amerika lebih asertif dalam hal berkencan dibanding perempuan, sedangkan
pada tahun 2001 sudah tidak ada perbedaan. Contoh lainnya adalah pada tahun 1970
sudah mulai muncul buku-buku yang tidak lagi membedakan gender, seperti buku He
Bear, She Bear (1974) yang mengandung pesan : Theres nothing that we cannot try. We
can do all this things you see, wether we are he or she.
Teori Gender Expectations
Gender expectations atau pengharapan akan jender membawa kita untuk lebih
memilih laki-laki untuk posisi otoritas dan meletakkan wanita pada peran sub-ordinat
atau hanya sebagai pelengkap. Di dalam keluarga, kelompok dan organisasi sosial, pria
mempunyai status yang lebih tinggi daripada wanita (Betz & Fitzgerald, 1987; England,
1979; Kanter, 1977; Lovdal, 1989; Needleman & Nelson, 1988; Scanzoni, 1982 dalam
Beal & Sternberg, 1999). Peran status tinggi memerlukan dominansi, kecerdasan,
rasionalitas, objektifitas, inisiatif, kepemimpinan, dan penetapan keputusan (Secord,
1982 dalam Beal & Sternberg, 1999). Perlu dicatat bahwa karakteristik tersebut mirip
dengan stereotipe maskulin, karena hanya laki-laki yang terlihat memiliki peran autoritas
, mereka butuh memperlihatkan tingkah laku mereka agar dikarakterkan maskulin (Beal
& Sternberg, 1999).
Sebaliknya, peran pelengkap memberikan kesempatan yang kecil untuk memiliki
tingkah laku tersebut di atas. Mereka dianjurkan untuk bersifat tergantung (superior
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
32
mengatur penghasilan dan pekerjaan mereka, dan pelengkap tersebut harus menunggu
perintah pihak superior), menyesuaikan dan memiliki rasa hormat terhadap keputusan
pihak superior, sensitif terhadap kebutuhan pihak superior, serta merawat pihak superior
tersebut (Secord, 1982; Snodgrass, 1985, 1992 dalam Beal et. al., 1999). Pada zaman
dahulu, semua wanita dilihat dalam posisi sub-ordinat atau pelengkap. Lalu, tingkah laku
yang dibutuhkan untuk peran tersebut dikarakteristikan sebagai feminin (cf. Rothbart,
Fulero, Jensen, Howard, & Birrell, 1978; both Unger, 1976,1978, and Henley, 1977
dalam Beal et. al., 1999). Sebagai akibat dari stereotipe-nya dan peran tingkah laku
mereka, wanita lalu dilihat secara alami hanya cocok untuk posisi sub-ordinat. Dan
seperti juga wanita, karena hanya laki-laki yang diharapkan untuk peran status yang
tinggi, sikap mereka disebut sebagai maskulin, dan hanya laki-laki yang diharapkan
untuk cocok dalam posisi otoritas.
Pengukuran mengenai orientasi nilai menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
nilai berdasarkan perbedaan kohort. Misalnya Laki-laki dan perempuan yang berusia
sekitar 20 sampai 30 tahun memiliki orientasi yang kurang pada keluarga dan lebih
berorientasi pada karir dan menjadi lebih berorientasi pada keluarga di usia 30 sampai
40. Perbedaan tersebut tentunya dipengaruhi oleh keadaan sosiokultural dan budaya.
Menurut Helson (1993 dalam Papalia, 2003) menyatakan bahwa menurut
pandangan Jung, kualitas tertinggi dari wanita pada usia 50an diasosiasikan dengan
otonomi dan keterlibatan dalam hubungan intim (intimate relationship). Menurut
Gutmann, peran gender tradisional menekankan pada keamanan dan kesejahteraan
perkembangan anak, dimana ibu berperan sebagai pengasuh dan ayah penyedia sumber
daya. Ketika masa pengasuhan anak sudah berlalu, yang berlaku bukan lagi sekedar
menyeimbangkan peran laki-laki dan perempuan, namun sudah mengarah pada
pembalikan peran, atau yang disebut juga dengan gender crossover.
Sex-role ideology
Kepercayaan normatif atau preskriptif mengenai sifat hubungan peran yang tepat
antara perempuan dan laki-laki disebut sex-role ideology. Dalam masyarakat tradisional,
laki-laki biasanya dipandang lebih dominan dan/atau lebih penting dibandingkan
perempuan, sedangkan di masyarakat modern, seseorang melihat pergerakan lebih
menuju pada hubungan yang lebih egaliter. Mereka mengharapkan variasi menyeberangi
negara dalam kepercayan yang umum maupun tipikal mengenai ketepatan variasi
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
33
pelaksanaan sosial yang melibatkan perempuan dan laki-laki, seperti tanggung jawab
dalam mengurus anak atau bekerja di luar rumah, dievaluasi sepanjang skala
modern/tradisional. Tambahannya, sepertinya beralasan untuk mengharapkan bahwa
terdapat variasi terukur pada sex-role ideology diantara banyak individu pada negara
tertentu dan variasi ini terkait secara sistematik dengan self-concept dari individu.
Sebuah hipotesis prori yang beralasan bahwa semakin maskulin laki-laki dan semakin
maskulin perempuan akan memegang kepercayaan secara relatif akan peran sex yang
bersifat tradisional, sedangkan orang yang lebih androgynous, dari kedua sex, secara
relatif lebih egaliter.
Self Concept pada Laki-laki dan Perempuan
Berdasarkan stereotip seks ditinjau dari kebudayaan, dikatakan bahwa laki-laki
dan perempuan secara psikologis berbeda dalam beberapa dimensi dan model yang
disediakan oleh stereotip tersebut akan mendorong laki-laki dan perempuan untuk
menggambarkan diri mereka secara berbeda. Sebuah penelitian menemukan bahwa anak
belajar tentang stereotip seks sejak usia awal. Kebanyakan anak usia 5 tahun telah
mempelajari beberapa komponen utama dari stereotip seks dan semakin meningkat
selama usia awal sekolah hingga usia 11 tahun. Anak tumbuh dalam masyarakat yang
percaya bahwa laki-laki dan perempuan berbeda secara psikologis dan hal ini akan
mendorong anak untuk mempersepsikan diri mereka dengan cara yang kongruen dengan
model gender mereka.
Kebanyakan masyarakat memberikan sosialisasi yang berbeda, anak laki-laki
diperlakukan secara berbeda dan didorong untuk terlibat dalam jenis kegiatan tertentu
sedangkan anak perempuan didorong untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang berbeda
dengan anak laki-laki. Keterlibatan dalam kegiatan-kegiatan itu dan asosiasi terhadap
reward memberikan alasan lain bagi perempuan untuk mempersepsikan dirinya berbeda
dengan laki-laki dan hal ini menimbulkan harapan yang berbeda terhadap ideal selves
laki-laki dan perempuan..
Ada banyak studi yang mempertanyakan tentang perbedaan self concept antara
laki-laki dan perempuan dan diantaranya ditemukan bahwa perbedaan self concept di
dalam kedua kelompok gender yaitu antara perempuan dan perempuan atau laki-laki
dengan laki biasanya lebih besar daripada rata-rata perbedaan antara kedua kelompok
34
gender yaitu antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan kepribadian antar perempuan
dan antar laki-laki lebih besar daripada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Psychological Androginy
Isu penting dalam psikologi androgin adalah pertanyaan tentang perbedaan self
esteem individu dalam skor androgin. Hasil penelitian menemukan bahwa jika
dihadapkan dengan atribut positf dari maskulin atau feminin, orang yang mempunyai
self esteem yang tinggi cenderung menyeleksi sejumlah besar atribut positif yang
diasosiasikan dengan laki-laki maupun atribut yang diasosiasikan dengan perempuan dan
inilah yang diklasifikasikan sebagai androgynous sedangkan orang dengan self esteem
yang rendah cenderung hanya memilih sedikit dari atribut positif maskulin atau feminin
sehingga digolongkan sebagai undifferentiated. Penemuan lain membuktikan bahwa
individu androgynous mempunyai self esteem yang lebih tinggi dibandingkan dengan
individu undifferentiated atau sex-differentiated khususnya individu dengan tipe feminin
(Bem, 1997; Kelly & Worell, 1977; Spence et al,1975). Akan tetapi, ketika dihadapkan
dengan atribut laki-laki dan perempaun yang keduanya mempunyai nilai positif dan
negatif, self esteem individu androgynous akan menjadi berkurang
Analisis Gender dan Sex
Teori yang mendukung dalam penelitian ini adalah teori gender sebagai alat
analisis sosial konflik yang memusatkan perhatian pada ketidakadilan struktural dan
disebabkan oleh keyakinan gender yang mengakar dan tersembunyi di berbagai tempat,
seperti tradisi masyarakat, keyakinan beragama, serta kebijakan dan perencanaan
pembangunan. Kata Gender sendiri berasal dari bahasa atau kata Inggris yang berarti
suatu pemahaman sosial budaya tentang apa dan bagaimana lelaki dan perempuan
seharusnya berprilaku.
Secara estimologis, gender berasal dari bahasa latin (Italy) yaitu Genus yang
berarti tipe atau jenis. Perbedaan seks antara laki-laki dan perempuan yang berproses
pada budaya yang menciptakan perbedaan gender. Gender dapat diartikan sebagai
perbedaan-perbedaan sifat, peranan, dan status antara laki-laki dan perempuan yang tidak
berdasarkan biologis tetapi berdasarkan pada relasi sosial budaya yang dipengaruhi oleh
struktur masyarakat yang lebih luas.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
35
Perbedaan krusial antara seks dan gender adalah kalau gender secara umum
digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi
sosial budaya dan psikologis, maka seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi fisik dan anatomi biologis. Istilah seks
(dalam kamus bahasa Indonesia berarti Jenis Kelamin) lebih banyak berkonsentrasi
kepada aspek biologis seseorang, meliputi komposisi kimia dan hormon dalam tubuh,
anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya.
Sebagai hasil konstruksi sosial budaya, gender menjadi konsep yang dinamis
antara ruang dan waktu. Penelitian sejarah telah membuktikan bahwa konstruksi sosial
gender sepanjang waktu berubah-ubah. Terkadang hampir tanpa terasa dinamikanya,
namun di lain waktu menjadi isu yang sangat menarik untuk diperdebatkan. Gender juga
dapat menjadi komoditas politik, pengalaman sejarah menunjukkan pemerintah kolonial,
pengabar injil berkulit putih serta pengusaha telah membawa konsep gender dari struktur
sosial mereka mencoba mengintroduksikannya pada masyarakat pribumi. Kegiatan ini
menyebabkan dampak yang merusak bagi posisi dan kedudukan kaum perempuan
pribumi yang berujung pada hilangnya hak, akses terhadap pekerjaan, kedudukan dan
pengambilan keputusan dilingkungan Negara maupun keluarga. Terkadang penguasa
kolonial juga menggunakan konsep gender untuk kepentingan ekonomi mereka, semisal
untuk mempertahankan akses mereka terhadap tenaga kerja perempuan.
Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai konsekuensi
wajar dari perbedaan biologis. Secara biologis, laki-laki dan perempuan memang
berbeda. Untuk merubah prilaku sebagai akibat perbedaan biologis ini merupakan suatu
hal yang tidak mungkin. Perkembangan hasil-hasil penelitian ilmu sosial menunjukkan
bahwa laki-laki dan prempuan berbeda tidak hanya sekedar akibat dari perbedaan
biologis antara keduanya. Namun lebih dari itu, proses sosial dan budaya telah turut
mempertajam perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pembahasan mengenai gender, melahirkan tiga teori yaitu:
1. Teori Nurture : Menurut teori ini perbedaan laki-laki dan perempuan pada hakekatnya
adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda. Konstruksi sosial budaya selama ini menempatkan perempuan dan laki-laki
dalam kelas yang berbeda. Laki-laki selalu lebih superior dibandingkan perempuan.
Menurut teori nurture, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakikatnya
adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang
berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
36
2. Teori Nature : Menurut teori nature, perbedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat
37
nakhoda. Talcott Persons dan Bales (1979) berpendapat bahwa keluarga adalah
sebagai unit sosial yang memberikan perbedaan peran suami dan isteri untuk saling
melengkapi dan saling membantu satu sama lain. Keharmonisan hidup hanya dapat
diciptakan bila terjadi pembagian peran dan tugas yang serasi antara perempuan dan
laki-laki, dan hal ini dimulai sejak dini melalui pola pendidikan dan pengasuhan anak
dalam keluarga. Aliran ini melahirkan paham struktural fungsional yang menerima
perbedaan peran, asal dilakukan secara demokratis dan dilandasi oleh kesepakatan
(komitmen) antara suami-isteri dalam keluarga, atau antara perempuan dan laki-laki
dalam kehidupan masyarakat.
3. Teori Keseimbangan : Selain dua teori yang bertolak belakang tersebut, terdapat teori
yang berusaha memberikan kompromi yang menekankan pada konsep kemitraan dan
keharmonisan dalam hubungan laki-laki dan perempuan namun menuntut perlunya
kerjasama yang harmonis antara keduanya. Disamping kedua aliran tersebut, terdapat
paham kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang
menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara
perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum
perempuan dan laki-laki karena keduanya harus bekerjasama dalam kemitraan dan
keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa. Karena
itu, penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah
kontekstual (yang ada pada tempat dan waktu tertentu) dan situasional (sesuai
situasi/keadaan), bukan berdasarkan perhitungan secara matematis (jumlah/quota)
dan tidak bersifat universal.
38
Jadi, dalam pembahasan gender dikenal tiga pendekatan, yaitu teori nature, teori
nurture, dan teori equilibrium, seperti dalam skema berikut :
39
paling tidak ditingkat ideology tugas perempuan adalah mengurus rumah tangga dan
tugas laki-laki adalah mencari nafkah.
Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap
laki-laki dan perempuan. Misalnya: Perempuan dikenal dengan lemah lembut, cantik,
emosional, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Ciri-iri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki
yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari
sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
Hilary M. Lips dan S.A. Shield, membedakan teori strukturalis dan teori
fungsionalis. Teori strukturalis condong ke sosiologi, sedangkan teori fungsionalis lebih
condong ke psikologis namun keduanya mempunyai kesimpulan yang sama. Dalam teori
itu, hubungan antara laki-laki dan perempuan lebih merupakan kelestarian, keharmonisan
daripada bentuk persaingan. Sistem nilai senantiasa bekerja dan berfungsi untuk
menciptakan keseimbangan dalam masyarakat, misalnya laki-laki sebagai pemburu dan
perempuan sebagai peramu. Perempuan dengan fungsi reproduksinya menuntut untuk
berada pada peran domestik. Sedangkan laki-laki memegang peran publik. Dalam
masyarakat seperti itu, stratifikasi peran gender ditentukan oleh jenis kelamin (sex).
Hilary Lips, membedakan kata sex sebagai (ciri-ciri biologis, fisik tertentu, jenis
kelamin biologis) Sex merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan
secara biologis (kodrat), individu dilahirkan sebagai seorang laki-laki atauseorang
perempuan. Gender lebih mendekatkan arti jenis kelamin dari sudut pandang sosial.
The Oxford Encyclopedia Of The Modern World (Esposito, 1995) menyatakan,
gender adalah pengelompokkan individu dalam tata bahasa yang digunakan untuk
menunjukkan ada tidaknya kepemilikan terhadap satu ciri jenis kelamin tertentu. Illch
(1998) menyatakan, gender merupakan salah satu diantara tiga jenis kata sandang dalam
tata bahasa, yang kurang lebih berkaitan dengan pembedaan jenis kelamin, yang
membeda-bedakan kata benda menurut sifat penyesuaian dan diperlukan ketika kata-kata
benda itu dipakai dalam sebuah kalimat. Kata-kata benda dalam bahasa Inggris biasanya
digolong-golongkan menurut gender maskulin, feminin, dan netral.
Fredrich Engels, melengkapi pendapat Marx bahwa perbedaan dan ketimpangan
gender tidak disebabkan oleh perbedaan jenis kelamin (biologis) akan tetapi merupakan
divine creation. Engles memandang masyarakat primitif lebih bersikap egaliter karena
ketika itu belum dikenal dengan adanya surplus penghasilan. mereka hidup secara
nomaden sehingga belum dikenal dengan adanya pemilikan secara pribadi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
40
Oakley (1972) menyatakan dalam Sex, Gender and Society memberi makna
gender sebagai perbedaan jenis kelamin yang bukan biologis jenis kelamin (sex)
merupakan kodrat Tuhan dan oleh karenanya secara permanen dan Universal berbeda.
Sementara Gender adalah behavioral differences antara laki-laki dan perempuan yang
socially constructed, yakni perbedaan yang bukan kodrat ataubahkan ciptaan Tuhan,
melainkan diciptakan oleh kaum lelaki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya
yang panjang.
Caplan (1987) menyatakan dalam The Cultural Construction of Sexuality
menegaskan bahwa perbedaan prilaku antara laki-laki dan perempuan selain secara
biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural . Oleh karena
itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke
kelas, sementara jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Perbedaan gender
(gender differences) yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role)
sesungguhnya tidaklah menimbulkan masalah, atau tidak perlu digugat. Kalau secara
biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ reproduksinya bias hamil, melahirkan
dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan
pendidikan anak, sesungguhnya tidak ada masalah dan tidak perlu digugat. Persoalannya
adalah ternyata peran gender tradisional perempuan dinilai lebih rendah dibanding peran
gender laki-laki. Selain itu ternyata peran gender melahirkan masalah yang perlu digugat,
yakni ketidakadilan yang ditimbulkan oleh peran gender dan perbedaan gender
tersebut.
Manifestasi ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi gender adalah
sebagai berikut:
1. Terjadinya marginalisasi (kemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun
tidak setiap marginalisasi perempuan yang disebabkan oleh ketidakadilan gender,
yang dipersoalkan dalam analisis gender adalah marginalisasi yang disebabkan oleh
perbedaan gender. Misalnya banyak perempuan desa tersingkirkan dan menjadi
miskin, akibat dari program pertanian revolusi hijau yang hanya memfokuskan pada
petani laki-laki.
2. Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis sex yang umumnya pada kaum perempuan.
Dalam rumah tangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat tanpa
menganggap penting kaum perempuan. Misalnya, anggapan karena perempuan toh
nantinya akan ke dapur, mengapa harus sekolah tinggitinggi.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
41
3.
4.
5. Karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, banyak perempuan
menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (burden). Dengan
kata lain peran gender perempuan yang menjaga dan memelihara kerapian tersebut
telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa mereka
harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan pekerjaan domestik.
Sosialisasi peran gender tersebut menjadikan rasa bersalah bagi perempuan yang
tidak melakukannya, sementara bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan
tanggung jawabnya, bahkan dibanyak tradisi dilarang untuk berpartisipasi.
Kesemua manifestasi ketidakadilan gender tersebut di atas adalah saling
berkaitan dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan
itutersosialisasi baik kaum lelaki maupun perempuan secara mantap, yang lambat laun
baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran
gender itu seolah-olah menjadi kodrat. Lambat laun terciptalah suatu struktur dan sistem
ketidakadilan gender yang diterima dan sudah tidak lagi dapat dirasakan adanya
sesuatu yang salah. Analisis gender di atas memberi perangkat teoritik untuk memahami
sistem ketidakadilan gender. Kedua jenis kelamin baik pria maupun perempuan, bisa
menjadi korban dari ketidakadilan gender tersebut.
Namun karena mayoritas yang menjadi korban ketidakadilan gender adalah kaum
perempuan, seolah-olah analisis gender hanya menjadi alat perjuangan kaum perempuan.
Analisis gender justru menjadi alat gerakan feminisme untuk menjelaskan sistem
ketidakadilan. Tanpa analisis gender gerakan feminisme akan menjadi reduksionisme,
yang lebih memusatkan perhatian perubahan sosial bagi kaum perempuan belaka.
Analisis gender membantu memahami bahwa pokok persoalannya adalah sistem dan
struktur yang tidak adil, baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan
mengalami dehumanisasi karena sistem ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
42
lanjut,
analisis
gender
ini
memungkinkan
gerakan
feminisme
memfokuskan pada relasi (struktur) gender serta keluar dari pemikiran yang
memfokuskan pada perempuan. dengan demikian, yang menjadi agenda utama setiap
usaha perubahan sosial tidak sekedar menjawab kebutuhan praktis atau merubah kondisi
kaum perempuan, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis kaum perempuan, yakni
memperjuangkan posisi kaum perempuan, termasuk konterhegemoni dan konter
discourse terhadap ideologi gender yang telah mengakar dalam keyakinan baik kaum
perempuan maupun kaum laki-laki. Dalam teori ini yang dianggap sesuai dengan teori
gender adalah teori gerakan feminisme.
Gerakan Feminisme
Gerakan feminisme, kata feminisme dipelopori pertama kali oleh aktivis sosialis
utopis, yaitu Charles Fourier pada tahun 1837. kemudian pergerakan Center Eropa
feminisme ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak adanya publikasi dari
John Stuart Mill, yaitu The Subjection of Woman (1869). Pada awalnya gerakan ini
memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pengekangan terhadap
kebebasan kaum perempuan. Dimana feminisme merupakan suatu gerakan politik di
beberapa negara barat yang memiliki perempuan sebagai fokus perhatiannya. Gerakan
feminisme sesungguhnya berangkat dari asumsi dan kesadaran bahwa kaum perempuan
pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi. Oleh karena itu, harus ada upaya mengakhiri
penindasan dan pengeksploitasian tersebut.
Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan dirugikan
dalam semua bidang dengan dinomorduakan oleh kaum laki-laki khususnya dalam
masyarakat yang sifatnya patriarki. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan,
dan lebih-lebih politik hak-hak kaum perempuan lebih inferior ketimbang apa yang dapat
dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris
cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di
rumah (domestik). Inti dari pandangan feminisme adalah: bahwa setiap perempuan juga
perlu mempunyai hak untuk dapat memilih apa yang menurutnya baik bukan yang
ditentukan kaum laki-laki.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
43
Sejarah lahirnya gerakan feminisme sebagai filsafat dan gerakan yang dapat dilacak
dalam sejarah kelahirannya. Dengan lahirnya era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh
Lady Mary Wortley dan Marquis De Condorcep. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk
perempuan pertama kali didirikan di Middlesburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun
1785. Menjelang abad ke 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan
perhatian, pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu dimana ada masamasa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Suasana demikian diperparah dengan
adanya fundamenatalisme agama yang cenderung melakukan operasi terhadap kaum
perempuan. Sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan
kaum laki-laki atau yang lazim disebut dengan kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar
perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah merdeka.
Biasanya mereka itu dari kalangan wanita karir yang sukses, punya prestasi, punya
background dan pendidikan yang tinggi. Mereka tetap giat berjuang atas nama semua
perempuan yang masih terpasung atau tidak memiliki hak setara dengan laki-laki atau
perempuan yang tertindas. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era
Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII yang kemudian
melanda Amerika Serikat dan keseluruhan dunia.
44
pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya
ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminisme Perancis seperti
Helena Cixous dan Julia Kristeva bersama dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida.
Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak
didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan White Anglo-Amerika-Feminist, dia
menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva
memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh
Foucault dan Derrida.
Secara spesifik, banyak feminisme-individualis kulit putih, meskipun tidak
semua, mengarahkan objek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga.
Meliputi Afrika, Asia, da Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah
terjadi pretense universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial,
agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik
dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa
penelitian feminisme barat yang menjebak perempuan sebagai objek.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks All
Women. Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa
karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih
terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah
jajahan sebagai subjek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih
mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di
rumah-rumah kulit putih.
Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik
agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD-II, banyak
pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja.
Terbukti kebangkitan semua Negara-Negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari
kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu
kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia
ketiga masih dalam kelompok yang bisu.
Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat
bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga menjadi objek
analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, dan relasi sosial. Dalam gerakan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
45
feminisme ini ada beberapa aliran feminisme yang berkaitan, yaitu aliran feminisme
liberal dan aliran radikal.
Aliran Feminisme Liberal
Teori feminisme liberal pertama kali dirumuskan oleh Mary Wollstonecraft
(1759-1799) dalam tulisan The Vindication of The Right of Woman dan John Stuart
Mill dalam tulisannya The Subjection of Women, kemudian Betty Frei dan dalam
tulisannya The Feminim Mystique dan The Second State. Mereka menekankan
bahwa subordinasi perempuan berakar dalam keterbatasan hukum adat sehingga
menghalangi perempuan untuk masuk ke lingkungan publik.20 Masyarakat
beranggapan bahwa perempuan dipengaruhi oleh kondisi alamiah yang dimilikinya,
karena kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik dibanding laki-laki. Oleh
karena itu, perempuan dianggap tidak mampu menjalankan peran di lingkungan publik.
Anggapan inilah yang disangkal oleh feminisme liberal. Menurut mereka, manusia,
perempuan atau laki-laki diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama dan harus pula
mempunyai kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Menurut perspektif ini,
jika leluasa berperan diluar rumah, perempuan pun akan dapat mengembangkan dirinya
secara optimal. Jadi, bukan kondisi alamiah perempuan yang menyebabkan mereka
kurang memiliki intelektualitas dan kemampuan fisik seperti laki-laki, melainkan
persepsi masyarakatlah yang menentukan bagaimana seorang laki-laki dan perempuan
berfikir, bertindak, dan berperasaan agar perempuan dapat berkembang seperti laki-laki.
Perempuan harus berpendidikan sama seperti laki-laki. Dalam tradisi feminisme liberal,
penindasan perempuan dikenal sebagai kurangnya kesempatan dan pendidikan mereka
secara individual atau kelompok. Cara pemecahan untuk merubahnya, yaitu menambah
kesempatan bagi perempuan terutama melalui institusi-institusi pendidikan dan
partisipasi perempuan.
Perubahan-perubahan sosial tersebut menyediakan argumen-argumen politik
maupun moral untuk gagasan-gagasan mengenai kemajuan, kontrak, sifat dasar dan
alasan yang memutuskan ikatan-ikatan dan norma-norma tradisional. Akar teori
feminisme liberal ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasional, oleh sebab itu
asumsi dasar dari feminisme liberal berakar pada pandangan bahwa kebebasan (freedom)
dan kesetaraan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat
46
dan publik. Perempuan adalah makhluk rasional kemampuannya sama dengan laki-laki,
sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki .
Pada intinya kaum feminisme liberal menganggap bahwa perempuan dan lakilaki memang diciptakan sama dan mempunyai hak yang sama pula untuk memajukan
dirinya dalam berbagai hal oleh sebab itu aliran ini berupaya mempercepat tercapainya
kesetaran dan keadilan dalam berbagai bidang. Melalui suatu perdebatan terbentuklah
teorisasi feminisme secara jelas dan meyakinkan perdebatan persamaan dan
perbedaan. Persamaan dan perbedaan, keduanya adalah istilah yang kaya, kompleks dan
diperjuangkan dalam hak-hak mereka sendiri. Orang-orang yang berkepentingan dalam
menggambarkan posisi ideologi telah memetakan pencarian persamaan kedalam bentukbentuk feminisme liberal atau sosialis dan mencari perbedaan ke dalam bentuk
feminisme radikal atau kultural.
Salah satu tokoh feminisme liberal adalah Naomi Wolf, menurutnya feminisme
liberal adalah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan
secara penuh dan individual. Bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality)
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Menurut Wolf
setiap manusia memiliki kapasitas untuk berfikir dan bertindak secara rasional. Untuk
itu, perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing didunia dalam
kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan setara dengan laki-laki.
Perempuanlah yang harus membekali diri dengan bekal pendidikan dan pendapatan
(ekonomi). Setelah perempuan mempunyai kekuatan dari segi pendidikan, pendapatan,
perempuan harus terus menuntut persamaan (equality) haknya serta saatnya perempuan
bebas berkehendak tanpa tergantung pada laki-laki. Wolf memaparkan isu persamaan
(equality) hak antara laki-laki dan perempuan serta perluasan hak-hak individu.
keterlibatan perempuan dalam industrialisasi dan program pembangunan yang populer
disebut women in development. Intinya ialah semua aksi pergerakan perempuan
dilakukan sedikit demi sedikit tanpa mengganggu status quo kekuasaan.
Pada akhirnya laki-laki harus dipaksa memberikan tempat pada perempuan dalam
segala kehidupan. Dengan menekankan bahwa untuk mengatasi rintangan sosial yang
dihadapi perempuan diperlukan campur tangan pemerintah. Karena aliran feminisme
liberal memandang sampai sekarang campur tangan pemerintah masih kurang peduli
dengan masalah perempuan tersebut. Selain aliran feminisme liberal, ada salah satu
aliran yang harus diperhatikan dalam gerakan feminisme yaitu aliran feminisme radikal.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
47
48
49
50
51
kode dan konvensi-konvensi suatu komunitas, dan dengan demikian disahkan atau
ditolak (Cavallaro, 2001 : 110-111).
Julia Kristeva dan Roland Barthes menyatakan bahwa teks dibentuk oleh kodekode dan konvensikonvensi budaya serta mewujudkan ideologi tertentu. Lebih jauh
Kristeva dan Barthes memperlihatkan hubungan antara teks dan tubuh, memperlihatkan
keterkaitan antara tekstualitas dan fisikalitas. Kristeva memperkenalkan symbolic, yaitu
tanda-tanda yang dihubungkan dengan simbol-simbol kekuasaan dominan dan menekan
tubuh dengan menundukkan dorongan-dorongan pada hukum abstrak. Secara seksual,
simbolik memapankan perbedaan-perbedaan yang ketat antara maskulinitas dan
feminitas, heteroseksual dan homoseksual; secara kultural, simbolik mengharuskan
individu-individu untuk patuh pada struktur politik, agama, kekeluargaan, hukum, dan
ekonomi (Cavallaro, 2001 : 120-121). Melalui konsep hegemoni, Antonio Gramci
mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang memungkinkan sebuah sistem dalam
mempertahankan kekuasaannya.
Hegemoni berkembang dengan cara meyakinkan kelompok-kelompok sosial
yang subordinat agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh
kelompok yang berkuasa seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara universal dan
melekat dalam kehidupan manusia. Kaum perempuan, juga kaum gay dan kaum kulit
berwarna, dipandang menyimpang dari norma-norma patriarkal, heteroseksual, dan
masyarakat kulit putih. Perempuan dipandang sebagai Liyan berdasarkan jenis kelamin
biologisnya, posisi gendernya dalam suatu budaya, serta berdasarkan latar bealkang
etnis, pendidikan, profesi, kelas sosial, dan kemampuan serta ketidakmampuan fisik
maupun psikologisnya (Cavallaro, 2001 : 223-224).
Pendekatan Feminisme Dalam Studi Gender
Kritik para feminist terhadap sexism di dalam wacana dan praktek ilmu social
menghasilkan beraneka macam formulasi. Tetapi secara umum terdapat tiga hal penting
(Stanley dan Wise 1983:17, 1990:21). Pertama, pendekatan feminis di dalam riset ilmu
social memfokuskan pada kelompok perempuan, riset harus dilakukan oleh peneliti
perempuan yang feminis untuk para perempuan. Kedua, peneliti feminis melihat bahwa
ada perbedaan pandangan antara metode-metode kwantitatif yang cenderung bersifat
maskulin dan metode-metode kwalitatif yang dipakai feminis. Yang ketiga adalah bahwa
penelitian feminis memang memiliki tujuan politis yakni untuk mengubah kehidupan
kaum perempuan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
52
53
penulisan novel Inggris. Ia, seperti halnya kritikus sastra lainnya, berasumsi bahwa
perintis novel Inggris adalah para pengarang laki-laki. Pada awal risetnya, Dale Spender
dipengaruhi oleh anggapan bahwa sebelum Jane Austen tidak pernah ana novelis
perempuan. Perlu diketahui bahwa sejarah tentang penulis novel Inggris banyak
dipengaruhi oleh tulisan Ian Watt (1957), The Rise of the Novel. Watt hanya
memfokuskan pengamatannya pada para penulis pria saja sehingga tradisi penulisan
novel seolah-olah hanya dirintis oleh para penulis pria. Tidak mengherankan bahwa
Dale Spenderpun juga memfokuskan penelitiannya kepada novel-novel yang ditulis
perempuan sejak tahun 1800an, yakni ketika novel Sense and Sensibility (1811) ditulis.
Namun ketika ia tengah menjalani proses penelitian, Spender berubah pikiran karena ia
telah menemukan 100 novelis perempuan yang menulis karya jauh sebelum tahun 1800,
tepatnya tahun 1600an. Karya-karya mereka tersisih tak dikenal. Penemuannya ini
memberikan petunjuk bahwa kesuksesan Jane Austen tidak bisa dilepaskan dari sebuah
tradisi penulisan novel yang telah dirintis oleh para penulis perempuan jauh sebelum
Jane Austen sendiri menulis karyanya.
Anehnya, keseratus penulis perempuan tersebut tidak dikanonisasi. Para penulis
sejarah sastra ternyata telah menyingkirkan karya-karya para pelopor novel perempuan
dalam buku sejarah sastra mereka. Tidak diketahui secara pasti alasan mereka mengapa
jumlah novel yang sebegitu banyak disingkirkan. Padahal, berdasarkan penelusuran
sejarah yang dilakukan Spender (1986) banyak dari karya-karya tersebut yang
mendapatkan respon positip baik dari para pembacanya maupun dari kalangan
intelektual.
Penelitian seperti yang dilakukan oleh Spender ini bagaikan membuka tabir dari
sebuah realita, atau membongkar harta karun milik perempuan yang terkubut. Penelitian
seperti ini sungguh sangat penting untuk melengkapi gap yang telah diciptakan oleh para
peneliti terdahulu yang sangat dipengaruhi oleh persepsi yang bias gender.
Ada beberapa sebab mengapa peneliti perempuan gagal menemukan sesuatu yang
bermanfaat bagi perempuan. Pertama, karena mereka masih memakai ukuran dan norma
penelitian tradisional yang cenderung sexis atau bias gender. Kenyataan ini nampaknya
cukup rasional karena guru dan supervisor mereka adalah para peneliti/pakar laki-laki.
Kedua, mereka belum mampu secara konsisten menggunakan perspektip perempuan
dalam penelitiannya. Ketiga, dan yang paling penting, adalah bahwa mereka belum
menyadari tentang perlunya seorang peneliti untuk mengambil standpoint, yang oleh
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
54
Dorothy Smith disebut the standpoint of women (standpoin perempuan). (Smith 1987:
78-88).
Pendapat Dorothy Smith tentang standpoint perempuan ini didukung oleh banyak
kalangan feminis. Mereka menganggap bahwa feminisme tidak hanya sekedar sebuah
perspektip (cara memandang sesuatu), atau bahkan bukan sekedar sebuah epistemologi
(cara mengetahui sesuatu), melainkan juga merupakan sebuah ontologi, yakni
keberadaan seseorang di dunia ini. (Stanley 1990: 14; Weedon 1987).
The standpoint of women diharapkan bisa sangat bermanfaat bagi para peneliti
ilmu sosial agar mereka tidak terjebak pada kesimpulan-kesimpulan yang cenderung
memarginalkan perempuan. Standpoint perempuan tidak sekedar berkaitan dengan jenis
kelamin peneliti (perempuan) tetapi lebih pada kemampuan peneliti untuk menyadari,
memahami dan merasakan posisi perempuan di dalam wacana kehidupan sehari-hari.
Untuk menjelaskan tentang the standpoint of women, Smith mengambil analogi
dari konsep Hegel di dalam The Phenomenology of Mind, tentang hubungan antara
kesadaran majikan dan tenaga kerja buruhnya. Seperti dijelaskan oleh Smith (1987:79),
Hegel menganalisa bahwa di dalam hubungan antara majikan dan buruh, seorang
majikan yang menginginkan/membutuhkan sesuatu tidak perlu membuat barang itu
sendiri. Obyek yang dikehendaki telah disediakan oleh pembantu atau buruh yang
digajinya. Dengan menyediakan apa yang dibutuhkan oleh majikannya, buruh selalu
berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan majikannya. Jadi di dalam hubungan
antara buruh dan majikan, buruh tersebut bukan merupakan subyek yang memiliki
otonomi. Di dalam kesadarannya, buruh hanya mengetahui keberadaan majikan,
pelayanan yang ia berika, serta kaitan antara majikan dan obyek yang dikehendaki
majikannya. Sebaliknya, di dalam kesadaran majikan terdapat kesadaran tentang dirinya
sebagai subyek, kemudian obyek yang diinginkannya, dan buruh yang berfungsi sebagai
sarana untuk memenuhi obyek yang dibutuhkannya tersebut.
Bilamana
konsep
Hegel
tentang
buruh
dan
majikandipakai
untuk
55
ada. Jadi praktek riil yang membuat terjadinya tindakan menguasai itu tidak
nampak. Perempuan berada di luar hubungan extralocal kekuasaan itu. Mereka,
pada umumnya, berada dan berfungsi di dalam proses kerja yang menopang
kekuasaan dan memiliki peran penting bagi kelangsungan kekuasaan itu.
Dari sudut pandang yang berkuasa (sudut pandang patriarki), kegiatan riil seharihari, dan organisasi kerja keseharian yang menopang keberadaan kelas penguasa
(patriarki) dan kekuasaannya tidak terlihat. Jadi dari sudut pandang patriarki, aktivitas
sehari-hari perempuan yang menopang keberadaan seluruh sistem patriarki dianggap
tidak perlu, tidak ada artinya, bahkan tidak ada. Padahal, posisi yang menyangkut hal-hal
rutin seperti pekerjaan rumah tangga, melahirkan dan mengasuh anak merupakan posisi
yang diduduki perempuan. Posisi ini menopang dan memungkinkan laki-laki menguasai
dunia konseptual yang abstrak. Oleh karena itu, berdasarkan logika patriarki atau ilmu
sosial tradisional, perempuan yang memasuki dunia konseptual seperti misalnya menjadi
peneliti atau intelektual ilmu sosial harus melepaskan diri dari konteks yang berkaitan
dengan semua hal yang dilakukannya sehari-hari.
Yang diusulkan oleh Smith (1987:84) adalah agar peneliti perempuan memiliki
standpoint yang spesifik perempuan. Artinya, ia tidak boleh melepaskan diri daro locus
kehidupannya sehari-hari. Sebagai peneliti feminis, ia harus menjadi subyek yang
memiliki kesadaran ganda (bercabang). Di satu sisi ia memiliki kesadaran tentang dunia
yang dialaminya (di dalam tubuhnya), dan di sisi lain ia juga memiliki kesadaran tentang
dnia abstraksi yang berada di luar eksistensi dirinya. Konsep Dorothy Smith tentang
standpoint perempuan yang cukup kompleks ini dijelaskan secara lebih sederhana oleh
Stanley (1990: 34) sebagai berikut:
Peneliti feminis harus selalu melihat perempuan sebagai pihak yang
secara aktip ikut membentuk sekaligus menginterpretasi proses dan
hubungan sosial yang ada di dalam realitas keseharian mereka.
Dengan kata lain, untuk memiliki standpoint yang sama dengan obyek yang diteliti,
seorang peneliti feminis harus berada pada posisi yang sama kritisnya dengan mereka
yang kehidupan sehari-harinya sedang diamat.
Namun, standpoint perempuan ini jangan disalahpahami sebagai perspektip atau
pandangan hidup. Ia juga tidak dimaksudkan untuk menggeneralisir suatu pengalaman
tertentu. Standpoint perempuan adalah suatu metode yang ketika dipakai untuk mencari
tahu tentang sesuatu hal akan memberikan ruang kepada subyek, yang selama ini
ditiadakan, beserta pengalaman-pengalaman riilnya yang dianggap tidak pernah ada.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
56
Kementerian
Negara
Pemberdayaan
Perempuan
dalam
www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132
di seluruh universitas di Indonesia. Feminisme pun seolah-olah telah menjadi global
theology dan semakin mengakar pengaruhnya di Indonesia setelah masuk dalam 10
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
57
program PKK dan diresmikannya UU Pemilu 2003 Pasal 65 Ayat 1 yang menyatakan
batas minimal keterwakilan perempuan sebagai anggota DPR/DPRD dari setiap partai
adalah 30%.
Dalam paparan pengantarnya, Henri Shalahuddin menegaskan bahwa tuntutan
kesetaraan gender oleh kaum feminis sebenarnya muncul sebagai respon atas kondisi
lokal terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi dan sosial yang dihadapi
masyarakat Barat. Dalam masyarakat Barat telah terjadi perdebatan sengit yang
menuntut penafsiran ulang terhadap Alkitab yang dipandang turut memberi andil sebagai
penyebab utama dalam merendahkan martabat wanita,"tegas Henri, panggilan akrab
Henri Shalahuddin.
Ia juga menulis dalam makalah yang diberikan kepada peserta bahwa dalam
perkembangannya, gerakan feminis ini memiliki 3 bentuk pandangan terhadap Alkitab,
pertama; yaitu bentuk radikal yang menolak seluruh wibawa Alkitab, karena Alkitab
dihasilkan oleh kaum laki-laki untuk menguhkan dominasinya terhadap kaum wanita.
Kedua, berbentuk neo-ortodok yang menerima Alkitab sebatas sebagai wahyu (profetis)
dan fungsinya sebagai pelayanan, paling tidak, sejauh Alkitab berpihak pada kaum
tertindas dan wanita. Ketiga, berbentuk kritis yang berusaha mengungkap kesetaraan
posisi dan peran murid-murid perempuan dalam kehidupan Yesus dan jemaat-jemaat
Paulinius. Kesetaraan status wanita banyak tersembunyi dalam teks Perjanjian Baru dan
semakin kabur dengan budaya patriarki
Henri juga mengutip beberapa ayat-ayat Alkitab yang secara tekstual cenderung
menindas perempuan. Diantaranya: larangan bagi perempuan untuk mengajar dan
memerintah laki-laki (I Timotius 2:12); perempuan dipersalahkan karena dialah yang
terlebih dulu terbujuk makan buah terlarang (I Timotius 2:13-14); anak keturunan
perempuan menerima kutukan Tuhan atas rayuan Hawa kepada Adam (Kejadian 3:16,
Firman-Nya kepada perempuan itu: Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat
sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu; namun engkau akan
berahi kepada suamimu dan ia akan berkuasa atasmu); tidak ada hak bagi perempuan
berbicara dalam gereja (I Korintus 14:34-35), dan lain-lainnya.
Bahkan menurut Henri, pada awalnya para filsuf Elightment hanya memfokuskan
pada masalah ketidakadilan kelas sosial dan tidak membahas masalah gender. J.J.
Rousseau misalnya, menggambarkan perempuan sebagai mahkluk yang tolol, sembrono
dan dilahirkan untuk melengkapi laki-laki. Termasuk Declaration of the Right of Man
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
58
and of the Citizen, yang menjelaskan tentang kewarganegaraan Perancis pasca revolusi
1789, ditengarai gagal memberikan status yang sah terhadap perempuan.
Henri menyayangkan, ternyata pengetahuan terhadap hal-hal yang mendasar
seperti ini tidak menjadi rujukan bagi para pemikir, sarjana dan akademisi muslim
sebelum berinteraksi dengan peradaban Barat lebih lanjut. Mereka terkesan tidak perduli
dengan kondisi yang berbeda antara masyarakat Barat dengan Masyarakat islam. Dalam
Islam sendiri tidak pernah ada tuntutan kesetaraan gender seperti yang terjadi sekarang,
karena Islam telah menempatkan kedudukan perempuan sebagaimana fitrahnya. Bahkan
jika ditilik dari sejarah, justru Islam satu-satunya agama yang memberikan kedudukan
terhormat kepada wanita.
Sedang Idrus Romli banyak menyoroti kekeliruan FK3 dalam soal gender.
Menurut intelekual mudah NU ini, kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok FK3
adalah tidak menggunakan metodologi yang daiapaki oleh para ulama dalam memahami
persaoalan wanita. "Kita tidak bisa sembarangan menafsirkan Al-Qur'an atau hadits,
tetapi harus mengikuti metodologi ulama yang sudah teruji,"ujarnya. (Mk) Sedang Idrus
Romli banyak menyoroti kekeliruan FK3 dalam soal gender. Menurut intelekual mudah
NU ini, kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok FK3 adalah tidak menggunakan
metodologi yang daiapaki oleh para ulama dalam memahami persaoalan wanita. "Kita
tidak bisa sembarangan menafsirkan Al-Qur'an atau hadits, tetapi harus mengikuti
metodologi ulama yang sudah teruji,"ujarnya. (Mk) Sedang Idrus Romli banyak
menyoroti kekeliruan FK3 dalam soal gender. Menurut intelekual mudah NU ini,
kekeliruan yang dilakukan oleh kelompok FK3 adalah tidak menggunakan metodologi
yang daiapaki oleh para ulama dalam memahami persaoalan wanita. "Kita tidak bisa
sembarangan menafsirkan Al-Qur'an atau hadits, tetapi harus mengikuti metodologi
ulama yang sudah teruji,"ujarnya.
Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Umar ibn al-Khattab r.a,
hendak mengadukan akhlak isterinya. Sesampainya di sana, dia berdiri menunggu di
depan pintu. Tiba-tiba dia mendengar isteri Umar sedang ngomel-ngomel memarahi
beliau. Umar pun hanya terdiam, tidak membalas omelan isterinya. Lelaki itu pun pulang
dan berkata pada dirinya: "Jika saja seorang Amirul Mukminin seperti ini, lalu
bagaimana dengan diriku?" Tidak lama berselang, Umar keluar dan melihat lelaki itu
sedang meninggalkan rumahnya, lalu memanggilnya: "Apa keperluanmu?!" Dia
menjawab: "Wahai Amirul Mukminin, saya datang bermaksud untuk mengadukan akhlak
isteriku yang suka memarahiku kepadamu. Lalu aku mendengar isterimu tengah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
59
memarahimu. Maka aku berkata pada diriku sendiri: "Jika Amirul Mukminin saja sabar
menghadapi omelan isterinya, lalu kenapa saya harus mengeluh?" Maka Umar berkata:
"Wahai saudaraku, sesungguhnya saya bersabar, karena memang isteriku mempunyai hak
atasku. Dialah yang telah memasak makanan buatku, mencuci pakaianku dan menyusui
anakku, padahal kesemuanya itu tidak diwajibkan atasnya. Di samping itu, dia telah
mendamaikan hatiku untuk tidak terjerumus kedalam perbuatan yang diharamkan. Oleh
karena itu, aku bersabar atas segala pengorbanannya". "Wahai Amirul Mukminin,
isteriku pun demikian", kata lelaki tadi. Maka Umar pun menasehatinya: "Bersabarlah
wahai saudaraku, karena omelan istrimu itu hanyalah sebentar" Demikianlah kedudukan
perempuan dalam Islam, sehingga sang khalifah pun memberikan suri tauladan yang
baik dalam berinteraksi dengan mereka.
Namun ternyata tidak sedikit umat Islam yang tidak perduli dengan teladan yang
diberikan tokoh-tokoh terkemuka umat Islam dan justru terkesima dengan paham-paham
yang berasal dari Barat. Paham feminisme dan kesetaraan gender misalnya, yang
merupakan respon atas kondisi lokal terkait dengan masalah politik, budaya, ekonomi
dan sosial yang dihadapi masyarakat Barat dalam menempatkan perempuan di ruang
publik, justru marak didengung-dengungkan di dunia Islam. Padahal umat Islam
memiliki tradisi, khazanah keilmuan dan latar belakang permasalahan yang berbeda
dengan Barat. Ini tentu tidak terlepas dari hegemoni Barat, yang memang pada zaman ini
menjadi sebuah kawasan yang sedang maju dalam bidang teknologi, persenjataan dan
pembangunan fisik-empirik lainnya, sehinga mempengaruhi kawasan-kawasan yang
belum maju. Hal ini sudah menjadi sunnatullah bahwa pihak yang kalah akan meniru
yang menang, sebagaimana disindir oleh Ibnu Khaldun (1332-1406M) dalam
pernyataannya: "Si Pecundang akan selalu meniru pihak yang mengalahkannya, baik
dalam slogan, cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadatnya".
Derasnya arus globalisasi budaya, menyebabkan gerakan feminisme di Barat
menyebar cepat ke seluruh pelosok dunia. Feminisme atau paham kesetaraan gender
semakin kuat pengaruhnya, terlebih setelah digelarnya Konferensi PBB IV tentang
perempuan di Beijing tahun 1995. Di Indonesia, hasil konferensi tersebut dilaksanakan
oleh para feminis, baik melalui lembaga pemerintah, seperti tim Pengarusutamaan
Gender DEPAG, Departemen Pemberdayaan Perempuan, maupun melalui LSM-LSM
yang kian menjamur. Di ranah pendidikan tinggi, telah didirikan institusi-institusi Pusat
Studi Wanita (PSW/PSG). Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dalam
www.mennegpp.go.id, melaporkan jumlah PSW hingga tahun 2005 telah mencapai 132
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
60
61
62
budaya dan agama, yang secara kultural dikhususkan dan berbicara tentang isu-isu yang
relevan dengan wanita dalam sebuah masyarakat.
Sedangkan pengertian paham kesetaraan jender --seperti yang dikutip Nasaruddin
Umar dari Women's Studies Encyclopedia--, adalah "konsep kultural yang berupaya
membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik
emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat". Ada
beberapa definisi jender lainnya yang dia kutip, namun mempunyai pengertian yang
tidak jauh berbeda, yang pada intinya tidak terlepas dari tiga kata kunci: laki-laki,
perempuan dan kebudayaan.
1) Pengantar Kajian Gender yang ditulis oleh Tim Penulis Pusat Studi Wanita (PSW)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku yang diterbitkan atas kerjasama dengan
McGill-ICIHEP ini merupakan kumpulan makalah yang menjadi bahan pengajaran
mata kuliah gender di tingkat universitas. Buku ini menguraikan sejarah, konsep dan
perkembangan fahaman feminisme, sejarah pergerakan perempuan di Indonesia,
metode penelitian berasaskan gender, analisis gender, dan kajian gender dalam Islam.
2) Pengarusutamaan Gender dalam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ditulis
oleh Andayani, dkk., dan diterbitkan oleh Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta yang bekerjasama dengan Mc.Gill IISEP. Buku ini menguraikan panduan
(guidance) untuk melaksanakan kaedah pengarusutamaan gender dalam strategi
pembelajaran dan sistem manajemen di UIN Sunan Kalijaga.
3) Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Tafsir Gender ditulis oleh
Aksin Wijaya. Buku ini asalnya merupakan tesis master di IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Dia menguraikan perlunya memandang al-Quran secara terpisah, antara
kedudukannya yang sakral-absolut di satu sisi dan yang profan-fleksibel/relatif di sisi
lain. Menurut Aksin bahwa yang sakral dalam al-Qur'an hanyalah pesan Tuhan yang
ada di dalamnya, dan itu pun masih belum jelas, karena masih dalam tahap pencarian.
Oleh sebab itu tidak salah jika manusia bermain-main dengan mushaf al-Quran.
4) Prof. Dr. Siti Musdah Mulia menulis beberapa elemen dasar ajaran Islam yang
mengukuhkan landasan teori gender melalui bukunya yang berjudul Gender Dalam
Perspektif Islam. Di dalam bukunya yang diterbitkan oleh Kementerian Negara
Pemberdayaan Perempuan ini, dia menguraikan prinsip-prinsip tauhid dan ajaran
Islam yang tidak membedakan jenis kelamin dan pengakuan terhadap hak-hak
perempuan sebagai pintu masuk untuk menjustifikasi kesetaraan gender. Di samping
itu dia juga menjelaskan perlunya penafsiran ulang terhadap al-Qur'an dan al-Hadith.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
63
Ini karena tafsiran yang ada merupakan rekayasa dan konspirasi ulama untuk
menempatkan perempuan sebagai korban, baik di dalam rumah tangga maupun di
ranah publik. Penolakan terhadap formalisasi shari'ah di beberapa kawasan di
Indonesia juga dibincangkan untuk menjamin adanya keadilan terhadap hak-hak
perempuan.
5) Dra. Hj. Sri Suhandjati Sukri (editor) mengedit kumpulan makalah yang diterbitkan
dalam buku berjudul: Bias Jender Dalam Pemahaman Islam (Jilid I) dan Pemahaman
Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Jilid II). Buku ini menguraikan adanya
ketidakadilan jender dalam memahami teks-teks keagamaan. Kedua buku ini ditulis
oleh para dosen IAIN Walisongo Semarang dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
merupakan aktivis di dalam Pusat Studi Jender (PSJ). Dengan menggunakan metode
kritik sejarah dan hermeneutika, pemahaman terhadap al-Qur'an dan al-Hadith yang
dipandang merugikan perempuan, dipermasalahkan kembali. Isu-isu berkenaan
dengan hak perempuan sebagai wali kawin, imam shalat, pemimpin negara dan rumah
tangga, relativitas batasan aurat perempuan, kebolehan perempuan pergi tanpa
mahram, kesaksian perempuan setengah laki-laki, menolak perbedaan lelaki dan
perempuan di dalam aqqah, air kencing bayi dan hak waris dibahas dalam perspektif
gender.
6) Isu-Isu Gender Dalam Kurikulum Pendidikan Dasar & Menengah diedit oleh
Waryono Abdul Ghafur, M.Ag dan Drs. Muh. Isnanto, M.Si. Buku ini mengkritisi
buku-buku pelajaran agama, khususnya Fiqh, Tafsir dan Hadith yang diajarkan di
berbagai sekolah dasar hingga menengah yang dianggapnya menindas perempuan.
Buku yang diterbitkan atas kerjasama antara PSW UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
dan McGill IISEP Jakarta ini merupakan salah sebuah upaya untuk menghilangkan
unsur-unsur patriarkhisme dalam kurikulum pendidikan. Isu-isu yang diangkat sebagai
bentuk benih-benih penindasan terhadap perempuan di antaranya yaitu adanya
ilustrasi gambar anak-anak yang sedang mengerjakan ahrah, shalat berjama'ah,
adhn, iqmah, puasa, tadarrus al-Qur'an, imam, aktivitas membangun masjid,
memotong hewan kurban dan lain-lain didominasi laki-laki. Di samping itu, buku ini
juga memaparkan kritik terhadap pembedaan lelaki dan perempuan dalam gerakan
shalat, pakaian irm, kurangnya ditampilkan perawi hadith dari kalangan perempuan,
dst. Metode pembahasan yang digunakan dalam buku ini adalah analisis gender dan
tafsir hermeneutika.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
64
65
atas munculnya ketidakadilan jender, seperti pembakuan tanda huruf, tanda baca dan
Qir'at; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata ganti (amr); penetapan
batasan pengecualian; penetapan arti huruf 'af, pengaruh riwayat isra'iliyyat,
ketidakadilan jender dalam struktur bahasa Arab, kamus bahasa Arab, metode tafsir,
dan pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh. Kemudian dia mengusulkan
perlunya metode dan pendekatan baru dalam memahami teks-teks wahyu, seperti
metode kritik sejarah dan tafsir hermeneutis.
12) Srinthil, Media Perempuan Multikultural: merupakan jurnal yang membahas
masalah-masalah perempuan dan hubungannya dengan agama dan realitas sosial.
Edisi IV jurnal ini misalnya, mengangkat tema: "Ketika Aurat Dikuasai Surat". Di sini
diuraikan tentang hak dan kebebasan perempuan yang dirampas oleh aturan-aturan
agama dan perundang-undangan negara, termasuk hak perempuan berekspresi dalam
bidang seni, hak memiliki suami lebih dari seorang, hak melakukan kawin kontrak
(kawin mut'ah), dan isu-isu lainnya terkait dengan ketidakadilan gender dalam
perkawinan.
13) Jurnal Perempuan merupakan media akademik yang terbit setiap 3 bulan untuk
mendukung perjuangan kesetaraan gender. Kajian jurnal ini mencakup isu-isu gender
yang dipandang merugikan perempuan, baik berkenaan dengan realitas sosial,
pemikiran keagamaan, budaya, ekonomi atau politik. Sebagai media untuk menolak
hegemoni patriarkhi, maka isu-isu yang dikaji berasaskan analisis dan perspektif
gender, termasuk kajian tentang pemikiran Islam, seperti metode penafsiran, fiqh,
ilmu hadith dan seumpamanya.
14) Diah Ariani Arimbi menulis tesis Ph.D di Fakulti Art and Social Sciences University
of New South Wales berjudul Reading the Writings Contemporary Indonesian Muslim
Women Writers: Representation, Identity and Religion of Muslim Women in
Indonesian Fictions. Tesis ini menguraikan isu-isu perempuan tentang kesetaraan
gender di Indonesia yang didasarkan pada tulisan-tulisan empat tokohnya.
Pembahasan dalam tesis ini dititikberatkan pada masalah bagaimana permasalahan
gender dikonstruksi dan bagaimana konsepsi-konsepsi tentang identitas, peranan
(role) dan status perempuan Indonesia dibentuk, baik sebelum atau sesudah zaman
kemerdekaan. Selain penerbitan buku-buku karya pengusung feminisme lokal, juga
dilakukan penterjemahan buku feminisme manca negara. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
66
15) Buku "Women and Gender in Islam: Historical Roots of a Modern Debate" karya
Leila Ahmed telah diterjemahkan dengan judul Wanita dan Gender dalam Islam:
Akar-akar Historis Perdebatan Modern. Dalam bukunya ini, Leila menguraikan
tentang akar-akar sejarah yang menjadi perdebatan hingga kini tentang pandangan
Islam terhadap perempuan. Pembahasan buku ini dimulai dari kondisi kawasan Timur
Tengah sebelum Islam, zaman kedatangan Islam dan penghargaannya terhadap
perempuan. Selain itu juga dibahas masalah penafsiran dan kejumudan Islam abad
pertengahan, sehingga munculnya wacana perubahan sosial dan intelektual berkenaan
dengan hak dan kebebasan perempuan.
16) "Women's Rebellion & Islamic Memory" karya Fatima Mernissi telah diterjemahkan
dengan judul: Pemberontakan Wanita! Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam
Sejarah Muslim. Buku ini menguraikan fenomena ketidakadilan sosial dan budaya
yang dihadapi perempuan di negara-negara muslim. Mernissi lebih banyak mengkaji
isu-isu fiqh, masalah kesehatan, politik dan peranan sosial yang dipandang merugikan
perempuan. Sebagai justifikasi atas idenya tentang kesetaraan gender, dia
memaparkan kisah-kisah kepahlawanan para perempuan sejak masa Sahabat dan
peran sosial mereka.
17) "Islam and Democracy, Fear of the Modern World" karya Fatima Mernissi ini telah
diterbitkan dalam edisi Indonesia berjudul Islam dan Demokrasi: Antologi Ketakutan.
Mernissi menguraikan sejarah hitam peradaban Islam yang dipenuhi dengan
pembunuhan politik, karena ketakutan para penguasa terhadap kebebasan berfikir.
Buku ini juga menganalisis ketakutan di kalangan umat saat ini untuk membahas
wacana demokrasi dan hak asasi manusia yang disebabkan adanya trauma sejarah
dalam menempatkan perempuan di balik jilbab dan tembok-tembok pergundikan.
18) Karya Fatima Mernisi lainnya juga telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia
berjudul Menengok Kontroversi Peran Wanita Dalam Politik. Di buku ini dia
menjelaskan masalah peran politik kaum perempuan dan realitas ketidakadilan
terhadapnya. Pembahasan isu perempuan dalam berpolitik dalam buku ini lebih
terfokus kepada jilbab yang merupakan indikasi perampasan hak dan kebebasan
perempuan di ruang publik.
19) Haideh Moghissi menulis buku berjudul: Feminisme dan Fundamentalisme Islam.
Buku ini adalah terjemahan dari judul aslinya, "Feminism and Islamic
Fundamentalism, The Limits of Postmodern Analysis". Haideh memamparkan realitas
sosial di kawasan Iran dan Timur Tengah tentang masalah hak dan kebebasan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
67
perempuan. Kajian buku ini didasarkan pada analisis postmodernis dan menempatkan
fundamentalisme dalam Islam sebagai "rival antagonis" pembahasan untuk
mengekalkan adanya kekecewaan muslim feminis dan seruan kepada perubahan
sosial.
20) Budhi Munawar Rachman dkk menulis buku Rekonstruksi Fiqh Perempuan yang
diterbitkan atas anjuran Pusat Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII). Buku ini
adalah kumpulan kertas kerja yang dibentangkan dalam seminar nasional berjudul
"Rekonstruksi Fiqh Perempuan dalam Peradaban Masyarakat Modern" di UII
Yogyakarta. Ringkasnya, buku ini menguraikan perlunya perubahan fiqh konvensional
yang dianggap membelenggu kaum perempuan dalam mengembangkan perannya di
berbagai sektor kehidupan secara makro. Hal ini dikarenakan bangunan fiqh yang
sarat dengan norma dan doktrin di satu sisi dan di sisi lainnya bernuansa permasalahan
zaman klasik, sehingga fiqh klasik dipandang tidak relevan dan menghambat
aktualisasi potensi kaum perempuan dalam transformasi sosial.
68
dengan mereka dalam peradaban; (tidak perduli) apakah itu baik atau buruk, manis atau
pahit, dan yang disukai atau yang dibenci dari mereka". (1982:54).
Bagi kalangan feminis-liberal, usaha menundukkan al-Qur'an dalam paham
kesetaraan jender ala Barat, biasanya tidak menolak ayat-ayat al-Qur'an secara langsung.
Tetapi dilakukan dengan memberikan penafsiran ayat-ayat melalui metode kritik sejarah.
Metode kritik sejarah (historical criticism) adalah kritik sastera yang mengacu pada bukti
sejarah atau berdasarkan konteks di mana sebuah karya ditulis, termasuk fakta-fakta
tentang kehidupan pengarang/penulis serta kondisi-kondisi sejarah dan sosial saat itu.
Ide mendudukkan al-Qur'an dalam persepsi jender tidak dilontarkan secara
sederhana dan serampangan, tapi ide ini dikaji melalui riset khusus dalam jenjang
kesarjanaan tertinggi di perguruan tinggi Islam negeri yang dibimbing oleh para profesor
dari lintas agama dan negara, serta menghabiskan waktu 6 tahun, dan kononnyadengan kajian kepustakaan di 27 negara, yang bahan-bahan pustakanya tidak hanya
berbahasa Arab dan Inggris, tapi juga Ibrani, seperti yang dilakukan oleh Nasaruddin
Umar.
Dalam kasus Nasaruddin Umar, misalnya seperti yang dijelaskan dalam disertasi
S3-nya yang telah dipublikasikan dengan tema "Argumentasi Kesetaraan Jender:
Perspektif al-Qur'an", ketika hendak memaparkan adanya bias jender dalam pemahaman
teks, Nasaruddin melakukan beberapa langkah metodologis, seperti berikut:
a. Mendudukkan teks al-Qur'an setara dengan teks naskah-naskah lainnya yang tidak
memiliki makna kesucian, Nasaruddin menulis: "Dalam menganalisa sebuah teks,
baik teks al-Qur'an maupun teks naskah-naskah lainnya, ada beberapa pertanyaan
filologis yang perlu diperhatikan, antara lain: Dari mana teks itu diperoleh?
Bagaimana autentitas dan orisinalitas teks itu? Teks aslinya dari bahasa apa? Siapa
yang menterjemahkannya? Terjemahan dari bahasa asli atau bahasa lain? Jarak waktu
penerjemah dengan teks-teks terjemahan? Atas sponsor siapa teks dan penerjemahan
itu? Setiap bahasa mempunyai latar belakang budaya; bagaimana latar belakang
budaya teks itu?"
b. Melakukan kritik terhadap metode-metode khazanah tafsir dan 'Ulum al-Qur'an yang
telah digali sejak zaman Sahabat dalam berinteraksi dengan al-Qur'an. Tentang
kritiknya ini, Nasaruddin menganalisa beberapa faktor yang menurutnya- turut
memberi peran bias jender dalam pemahaman teks al-Qur'an, seperti pembakuan
tanda huruf, tanda baca dan Qira't; pengertian kosa kata; penetapan rujukan kata
ganti; penetapan batas pengecualian; penetapan arti huruf 'af; bias dalam struktur
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
69
bahasa Arab; bias dalam kamus bahasa Arab; bias dalam metode tafsir; pengaruh
riwayat isra'iliyyat, dan bias dalam pembukuan dan pembakuan kitab-kitab Fiqh.
Tentunya dengan terbatasnya ruang di sini, penulis hanya akan menjelaskan atau
mengomentari sebagian faktor-faktor tersebut. Sebagai contoh, tentang adanya Bias
dalam Struktur Bahasa Arab yang digunakan Nasaruddin untuk mengungkap bias
jender dalam pemahaman teks, ia menulis: "Bahasa Arab yang "dipinjam" Tuhan
dalam menyampaikan ide-Nya sejak awal mengalami bias jender, baik dalam kosa
kata (mufradat) maupun dalam strukturnya".
Kemudian dia memaparkan contoh bahwa dalam tradisi bahasa Arab, jika yang
menjadi sasaran pembicaraan laki-laki atau perempuan digunakan bentuk maskulin,
misalnya kewajiban mendirikan shalat cukup dikatakan aqm l-alh, tidak perlu
lagi dikatakan aqimna l-alh, karena ada kaedah mengatakan bahwa laki-laki dan
perempuan jika berkumpul di suatu tempat cukup dengan menggunakan bentuk
maskulin dan secara otomatis perempuan termasuk di dalamnya, kecuali ada hal lain
mengecualikannya. Sehingga tidak berlebihan jika pernyataan tersebut dipahami
bahwa Tuhan salah memilih bahasa Arab yang bias jender itu, untuk dijadikan
sebagai media firman-Nya.
c. Paham relativisme. Hal ini bisa dilihat dari pandangannya setelah menyatakan bahwa
seolah-olah Tuhan dia vonis bersalah karena menjadikan bahasa Arab sebagai media
Firman-Nya, kemudian Nasaruddin menolak disimpulkan bahwa Tuhan lebih
memihak laki-laki. Nampak seperti kebingungan, di satu sisi mengklaim bahwa
bahasa Arab yang digunakan sebagai media firman-Nya adalah bias jender, namun di
sisi lain menyatakan Tuhan tidak memihak laki-laki. Tulisnya: "Bias jender dalam
teks, tidak berarti Tuhan memihak dan mengidealkan laki-laki, atau Tuhan itu lakilaki karena selalu menggunakan kata ganti mudhakkar, -misalnya Qul Huwallhu
Aad, kata huwa adalah kata ganti maskulin, tidak pernah menggunakan kata ganti
feminin (hiya)-, tetapi demikianlah struktur bahasa Arab, yang digunakan sebagai
bahasa al-Qur'an".
d. Metode kritik sejarah, yaitu dengan mengkaji latar belakang budaya yang dimiliki
suatu bahasa dan membedakan antara unsur normatif dan kontekstual. Tentang
metode ini, dia menulis di bab pendahuluan: "Hal ini (kajian mendalam terhadap
kondisi objektif di kawasan jazirah Arab) dinilai penting karena al-Qur'an pertama
kali dialamatkan di kawasan ini. Seperti diketahui, kawasan ini bukanlah suatu
kawasan yang hampa budaya, melainkan sudah sarat dengan berbagai nilai".
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
70
71
arti atas Bibel. Dengan demikian dapat dipahami bahwa tanpa metode ini, pemahaman
terhadap teks-teks Bibel menjadi tidak atau kurang bermakna.
Pengaruh Woman's Bible?
Kajian bias bahasa yang dilakukan oleh Nasaruddin ini bukan hal baru, bahkan
memiliki banyak kesamaan dengan apa yang dilakukan oleh aktivis feminis Barat yang
tidak puas dengan teks Bibelnya. Dalam segi bahasa, mereka menuntut penggunaan
bahasa gender-inclusive, seperti mengganti kata mankind dengan humanity, mengusulkan
penggunaan kata chairwoman untuk mengimbangi kata chairman, dsb. Dalam agama,
mereka menuntut tafsir feminis terhadap kitab suci. Sedangkan dalam strata sosial,
mereka menuntut hak reproduksi atau meninggalkannya, melegalkan undang-undang
aborsi, kesamaan gaji, hak meninggalkan pengasuhan anak, sterilisasi kandungan, dsb.
Dalam masyarakat Barat telah terjadi perdebatan sengit yang menuntut penafsiran
ulang terhadap Alkitab yang dipandang turut memberi andil sebagai penyebab utama
dalam merendahkan martabat wanita. Pada tahun 1837, Sarah Grimke menyatakan
bahwa penafsiran biblis secara sengaja dibiaskan terhadap kaum perempuan guna
mempertahankan posisi subordinatif (sekunder) mereka. Hal ini didukung dengan
publikasi Woman's Bible pada tahun 1895. Pada tahun 1960 perjuangan hak-hak kaum
perempuan difokuskan pada masalah status dan peran perempuan dalam tradisi agama
Kristiani dan Yahudi serta bagian yang dimainkan oleh Alkitab dalam mempertahankan
status quo yang tidak adil.
Phyllis Trible dalam artikelnya "Eve and Miriam: From the Margins to the
Center" menjelaskan bahwa Bibel terlahir dan terpelihara dalam suasana patriarkhi, ia
dipenuhi dengan tamsil, perumpamaan dan bahasa laki-laki. (The Bible was born and
bred in a land of patriarchy; it abounds in male imagery and language). Sedangkan
Pamela J. Milne dalam artikelnya "No Promised Land: Rejecting the Authoriy of the
Bible" bahwa dalam kultur Barat Bibel dijadikan justifikasi dasar pemikiran untuk
menindas perempuan. (In Western culture, the Bible has provided the single most
important sustaining rationale for the oppression of women).
Penelitian terhadap peran negatif Alkitab ini, juga dilakukan oleh Michael Keene.
Keene memusatkan penelitiannya pada 5 bidang: a). Kebutuhan untuk mengetahui lebih
jauh mengenai status dan peran perempuan dalam budaya biblis. b). Pencarian gambaran
yang lebih lengkap dan seimbang tentang pengajaran aktual tentang Alkitab atas isu-isu
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
72
yang berkaitan dengan gender. c). Tumbuhnya penafsiran alternatif atas teks-teks biblis
yang menindas perempuan, seperti teks Alkitab yang mengharuskan perempuan tutup
mulut di gereja (1Korintus 14:34-35). Ayat ini kemudian ditafsirkan sebagai tanggapan
terhadap masalah lokal khusus dan bukan sebagai sarana penundukan perempuan pada
umumnya. d). Mengembangkan gambaran tentang Tuhan yang lebih lengkap dalam
Alkitab dengan menerapkan gambar-gambar feminin, misalnya gambar tentang seorang
perempuan dan ibu ke dalam konsep ketuhanan. e). Membuat terjemahan yang segar
tentang Alkitab yang mencoba mengurangi sejumlah bahasa eksklusif gender di dalam
teks.
Buku "Penafsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan", yang
edisi aslinya berjudul The Interpretation of the Bible in the Church, the Pontifical
Biblical Commision, menjelaskan bahwa asal-usul sejarah penafsiran kitab suci ala
feminis dapat dijumpai di Amerika Serikat di akhir abad 19. Dalam konteks perjuangan
sosio-budaya bagi hak-hak perempuan, dewan editor komisi yang bertanggung jawab
atas revisi (tahrif) Alkitab menghasilkan The Woman's Bible dalam dua jilid. Gerakan
feminisme di lingkungan Kristen ini kemudian berkembang pesat, khususnya di Amerika
Utara.
Dalam perkembangannya, gerakan feminis ini memiliki 3 bentuk pandangan
terhadap Alkitab, Pertama; yaitu bentuk radikal yang menolak seluruh wibawa Alkitab,
karena Alkitab dihasilkan oleh kaum laki-laki untuk meneguhkan dominasinya terhadap
kaum wanita. Kedua, berbentuk neo-ortodoks yang menerima Alkitab sebatas sebagai
wahyu (profetis) dan fungsinya sebagai pelayanan, paling tidak, sejauh Alkitab berpihak
pada kaum tertindas dan wanita. Ketiga, berbentuk kritis yang berusaha mengungkap
kesetaraan posisi dan peran murid-murid perempuan dalam kehidupan Yesus dan jemaatjemaat Paulinis. Kesetaraan status wanita banyak tersembunyi dalam teks Perjanjian
Baru dan semakin kabur dengan budaya patriarki.
Lebih lanjut, Letty M. Russel dalam bukunya Feminist Interpretation of The
Bible yang telah diindonesiakan dengan tema "Perempuan & Tafsir Kitab Suci",
menjelaskan lebih rinci 3 metode tafsir feminis terhadap Alkitab. Ketiga metode ini
adalah: a) Mencari teks yang memihak perempuan untuk menentang teks-teks terkenal
yang digunakan untuk menindas perempuan. b) Menyelidiki Kitab Suci secara umum
untuk menemukan perspektif teologis yang mengkritik patriarki. c) Menyelidiki teks
tentang perempuan untuk belajar dari sejarah dan kisah perempuan kuno dan modern
yang hidup dalam kebudayaan patriarkal.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
73
Larangan bercerai:
Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang
telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia."Matius 19:6
Seorang janda atau perempuan yang
telah diceraikan atau yang dirusak
Perlakuan Barat
Perempuan adalah sumber
dosa. (Tertullian (150M),
Bapak Gereja I.
Wanita adalah setan,
kejahatan dan bencana yang
abadi dan menarik. (St John
Chrysostom [345-407M],
Bapak Gereja Yunani)
Perempuan adalah laki-laki
yang cacat (Thomas
Aquinas)
Reformasi Feminisme
J.J. Rousseau
menggambarkan perempuan
sebagai makhluk yang tolol
dan sembrono (silly and
frivolous creatures) dan
dilahirkan untuk melengkapi
laki-laki.
74
apapun
75
76
mendalam, ayat di atas justru menekankan pembatasan terhadap hak-hak kaum laki-laki
(limiting the rights of men). Sebab pada ayat di atas (QS. Al-Nis: 11), penyebutannya
jelas mendahulukan kata li l-dhakari (bagi laki-laki), dan tidak sebaliknya, li lunthayayni mithlu ai l-dhakari (bagian dua orang anak perempuan sama dengan
bagian seorang anak lelaki). Penyebutan laki-laki yang mengawali perempuan tersebut,
berarti bahwa al-Quran menyibukkan dirinya dengan pembatasan bagian harta waris
untuk laki-laki. Sebab dalam tradisi jahiliyyah, kaum laki-laki mewarisi semua harta
peninggalan, tanpa batas. Maka Abu Zayd menyimpulkan, sebenarnya al-Quran secara
perlahan dan pasti-- cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan laki-laki,
khususnya pada kesamaan bagian harta peninggalan. Inilah yang dia sebut sebagai yang
tidak terkatakan (al-maskt anhu).
Kesimpulan Abu Zayd ini tentunya adalah sebuah konsekwensi logis dari
pendekatan yang dianutnya, yaitu konteks historis (historical context). Di mana dia
selalu menghubungkan semua aspek hukum yang disebutkan dalam al-Quran berkenaan
dengan kondisi sosiokultural masyarakat Arab pada abad 7M.
Tentunya teori al-maskt anhu ini sangat tidak ilmiah. Sebab teori ini
menggambarkan seolah-olah Abu Zayd lebih mengerti maksud Tuhan yang tidak
difirmankan-Nya. Di sisi lain teori al-maskt anhu tidak lain dari kelanjutan teori
kesinambungan (gradual method, al-manhaj al-tadrj) versi al-hir al-addd,
pemikir sekuler Tunisia awal abad 20M (sekitar 1929an), yang meninggal dalam usia
muda. Dalam bukunya, al-Marah f Khibi l-Azmah (=Wanita dalam Wacana
Krisis), Abu Zayd banyak menukil pemikiran al-hir dan menguatkannya. Di samping
itu, manhaj tadrji juga sering digunakan untuk mengharamkan poligami dengan asumsi
dalih analogi (qiys) metode larangan perbudakan.
Contoh Pendekatan Manhaj Tadrji dalam Kasus Poligami
1. Pembatasan Jumlah poligami
(1071
77
129 .
78
muqayyad, khs-'m dsb?! Ataukah metode kritik sejarah baru digunakan untuk
menafsirkan sebagian ayat dalam rangka menolak sebagian ajaran-ajaran Islam tertentu
yang tidak sejalan dengan paham humanisme dan pandangan-pandangan hidup BaratKristen kontemporer?
Paham liberalisme Barat pada dasarnya berpijak pada prinsip kebebasan mutlak
dan tak terkendali dalam pemikiran, agama, keyakinan, keimanan, bicara, pers dan
politik (an absolute and unrestrained freedom of thought, religion, conscience, creed,
speech, press, and politics). Sehingga pada gilirannya akan membawa dampak yang
mengikis habis peran agama dalam kehidupan pribadi dan sosial. Sebab dampak terbesar
dari liberalisme adalah (a) penghapusan hak Tuhan dan semua bentuk kekuasaan yang
berasal dari Tuhan; (b) menjauhkan agama dari kehidupan publik dan memindahkannya
ke ruang privat dalam keyakinan seseorang; (c) pengabaian mutlak terhadap agama
Kristen dan gereja selaku institusi publik, legal dan sosial. (the abolition of the Divine
right and of every kind of authority derived from God; the relegation of religion from the
public life into the private domain of one's individual conscience; the absolute ignoring
of Christianity and the Church as public, legal, and social institutions).
Inilah hakekat gerakan pembaharuan intelektual di Eropa pada abad 17 dan 18
(enlightenment, aufklarung, renaissance dan Revolusi Perancis) yang membentuk
pandangan hidup (worldview) baru masyarakat Barat yang sekular dan melahirkan
pemikir-pemikir yang agnostik terhadap agama. Sarjana-sarjana Barat abad 18
menganggap agama sebagai suatu ilusi dan penyimpangan intelektual.
Gerakan pembaharuan intelektual di Eropa juga memberi pengaruh kuat terhadap
munculnya gerakan feminisme. Para aktivis feminis kemudian menyuarakan bahwa
Renaissance tidak pernah menyatu pada falsafah dan gerakan yang koheren.
Enlightenment selanjutnya dijadikan momen untuk menyuarakan tuntutan wanita tentang
kebebasan, kesetaraan dan hak-hak natural lainnya. Pada awalnya para filsuf
Enlightenment hanya memfokuskan pada masalah ketidakadilan kelas sosial dan tidak
membahas masalah gender. J.J Rousseau misalnya menggambarkan perempuan sebagai
makhluk yang tolol dan sembrono (silly and frivolous creatures) dan dilahirkan untuk
melengkapi laki-laki. Bahkan Declaration of the Rights of Man and of the Citizen, yang
menjelaskan tentang kewarganegaraan Perancis paska revolusi 1789, ditengarai gagal
memberikan status yang sah terhadap perempuan.
Para intelek perempuan di era Enlightenment langsung mengkritisi deklarasi
tersebut yang tidak inklusif dan terbatas skupnya. Akhirnya, pada tahun 1791, Olympe de
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
79
80
81
untuk menggoda wanita tentunya tidak bisa dibatasi pada penduduk Madinah dan bangsa
Arab abad 7M.
Umm al-Mukminn, 'Aishah RA, menjelaskan QS. 24:31: wal yaribna bi
khumurihinna 'ala juybihinna sebagaimana dituturkan oleh Ibn Sa'd: "Aku (ibu
'Alqamah) Hafah binti 'Abdirramn ibn Abi Bakr (keponakan 'Aishah) masuk ke rumah
'Aishah dan memakai kerudung tipis (khimr raqq), sehingga dadanya terlihat secara
transparan. Lalu 'Aishah pun melepasnya dan berkata: Tidakkah kamu mengetahui sebuah
ayat yang diturunkan dalam surat al-Nur? Lalu beliau mengajaknya memakai kerudung
(yang tebal), dan Hafah pun memakainya". Imam Bukhari juga mengutip penjelasan
'Aishah ini dalam a-nya sebagai berikut: Dari 'Aishah RA, beliau berkata: "Allah
merahmati wanita-wanita muhajirat awal, ketika Allah menurunkan ayat; wal yadribna bi
khumurihinna 'ala juybihinna, mereka memotong sebagian kain wol dan sutera mereka
dan memakainya sebagai kerudung". 'Aishah RA juga menjelaskan QS. 33: 59, "Jikalau
Rasulullah SAW mengetahui apa yang terjadi pada diri wanita (yaitu kegemaran berhias
secara berlebihan baik dengan perhiasan, busana, dan minyak wangi yang banyak
menimbulkan fitnah), pastilah beliau akan melarang mereka pergi ke masjid (dan
menyuruhnya shalat di rumah), seperti halnya dilarangnya wanita-wanita Bani Israil". Lalu
Yay ibn Sa'd bertanya pada 'Amrah: Apakah wanita Bani Israil dilarang keluar ke
tempat ibadah mereka? Ia menjawab: Ya". Tentunya penafsiran Sharr di atas, sangat
bertentangan dengan penjelasan istri Rasulullah SAW tersebut.
Isu tentang Hak Waris
Dalam ajaran Islam, besar kecilnya bagian waris tidak ditentukan oleh jenis
kelamin, baik itu laki-laki atau perempuan, tapi lebih ditentukan oleh beberapa faktor
berikut ini:
1. Tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik laki-laki atau perempuan) dan orang
yang meninggal. Semakin dekatnya hubungan kekerabatan, maka semakin besar
juga bagian warisan yang dia terima.
2. Kedudukan tingkat generasi. Maka generasi muda dari kalangan pewaris yang
masa depannya masih panjang terkadang memperoleh bagian warisan yang lebih
besar dibanding generasi tua, tanpa memandang kelelakian atau kewanitaannya.
Sebagai contoh anak perempuan (bint) mendapatkan warisan yang lebih banyak
dari ibunya atau ayahnya; anak laki-laki (ibn) mendapatkan warisan lebih banyak
dari ayahnya (ab).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
82
Bagian
2) Ahli waris hanya orang tua mayit, dan si mayit tidak mempunyai anak maupun
suami/istri, yaitu seperti yang difirmankan Allah: ...jika orang yang meninggal
tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga QS. 4:11
Misalnya: seorang wafat dan meninggalkan:
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
83
Bagian
Ayah (ab)
Ibu (Umm)
3) Ahli waris hanya saudara dan saudari kandung mayit, atau saudara dan saudari
seayah dari si mayit, yaitu seperti yang difirmankan Allah: Dan jika mereka (ahli
waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan QS.
4:176
Misalnya: seorang wafat dan meninggalkan:
Bagian
Saudara
kandung (akh
shaqq)
Saudari kandung
(ukht shaqqah)
Atau
Saudara
seayah (akh lil
ab)
Saudari
seayah (ukht
lil ab)
4) Perbandingan antara bagian suami dan bagian istri, seperti Firman-Nya: "Dan
bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri
memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.."
Suami (zauj)
istri (zaujah)
Bagian
1/2
1/4
Suami (zauj)
Atau
istri (zaujah)
1/4
1/8
84
Ahli waris
Ayah (ab)
Ibu (umm)
Bagian
1/6
1/6
Sisa ('aabah)
2)
Ahli waris
Ayah (ab)
Ibu (umm)
2 Anak pr (bintni)
Bagian
1/6
2/3
Jumlah
1
3)
Ahli waris
Suami (zauj)
Ayah (ab)
Ibu (umm)
1 Anak pr (bint)
Bagian
1/4
1/6
1/2
Jumlah
4)
Ahli waris
Ayah
(ab)
Anak lk
(ibn)
Ayah
Nenek dari
ibu (jaddah
li umm)
2 anak pr
(bintni)
1/6 +
sisa
1/6
2/3
atau
Bagian
1/6
1/6
Sisa
85
Nb. Bagian ayah dan nenek pada tabel 4 ini sama jumlahnya, padahal hubungan
kekerabatan nenek dari ibu (ibunya ibu) dengan si mayit lebih jauh daripada ayah.
5) Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masingmasing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang
sepertiga itu QS. 4:12
Ahli waris
Suami
(zauj)
Ibu
(umm)
Saudara seibu
(akh lil umm)
Suami
(zauj)
Ibu
(umm)
Saudari seibu
(ukht lil umm)
Bagian
1/2
1/3
1/6
1/2
1/3
1/6
Jumlah
6)
Ahli waris
Suami
(zauj)
Ibu (umm)
Bagian
1/2
1/6
Jumlah
Saudara seibu
(akh lil umm)
7)
Ahli waris
Suami
(zauj)
Ibu (umm)
2 Saudari seibu
(ukhtn lil umm)
Saudara kandung
(akh shaqq)
Bagian
1/2
1/6
1/3
Jumlah
NOL
86
Ahli waris
Suami
(zauj)
Ibu (umm)
Bagian
1/2
1/6
Jumlah
2 Saudari seibu
(ukht lil umm)
Saudara kandung
(akh shaqq)
Penda
8) Bagian waris yang sama antara laki-laki dan perempuan saat mereka dalam
kedudukan tunggal/sendirian
Ahli waris
Suami
(zauj)
Anak lk (ibn)
Istri
(zaujah)
Anak pr (bint)
Bagian
1/4
Sisa
1/8
1/2 + sisa
Ahli waris
Istri
(zaujah)
Saudara (akh)
Istri
(zaujah)
Saudari (ukht)
Bagian
1/4
Sisa
1/4
1/2 + sisa
Ahli waris
Suami
(zauj)
Saudara
kandung (akh
shaqq)
Suami
(zauj)
Saudari kandung
(ukht shaqqah)
Bagian
1/2
Sisa
1/2
1/2 + sisa
Ahli
waris
Suami
(zauj)
9)
10)
11)
Anak pr
(bint)
Saudara
kandung (akh
shaqq)
Suami
(zauj)
Anak pr
(bint)
Saudari kandung
(ukht shaqqah)
87
c.
Bagian
1/4
1/2
Sisa
1/4
1/2
Jumlah
waris yang lebih besar dari laki-laki, akan dijelaskan terlebih dulu sistem bagian waris
dalam syariah. Besaran bagian waris dalam syariah ditentukan dengan dua jalan: a) alMirth bi l-Fari yang termaktub dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Yaitu jumlah bagian
tertentu yang diberikan pada ahli waris, seperti 2/3, 1/3, 1/6, 1/2, 1/4, atau 1/8. b) alMirath bi l-ta'b; yaitu sisa bagian yang telah dikurangi dari bagian tertentu (al-Mirth
bi l-Fari). Untuk lebih jelasnya siapa penerima bagian ini, silahkan memperhatikan
tabel berikut:
Perincian bagian waris dalam al-Qur'an dan al-Sunnah
1/3
2/3
1/6
1/2
1/4
2 anak pr
(bintni)
1 anak pr (bint)
Ibu (umm)
Ibu (umm)
Suami (zauj)
2 cucu pr dari
anak lk (bint
l-ibn)
1 cucu pr dari
anak lk (bint libn)
Saudari seibu
(ukht lil um)
Nenek
Istri (zaujah)
2 Saudari
kandung
(ukhtni
shaqqni)
1 Saudari
kandung (ukht
shaqqah)
Saudara seibu
(akh lil um)
1/8
Istri (zaujah)
88
2 Saudari
seayah
(ukhtni lil ab)
1 saudari
seayah (ukht lil
ab)
Saudari seayah
(ukht lil ab)
Suami (zauj)
Saudari seibu
(ukht lil um)
Saudara seibu
(akh lil um)
Ayah
Kakek
Suami
(zauj)
Ayah
(ab)
Ibu
(um)
2 Anak
pr
(bintni)
Bagian
1/4
1/6+sisa
1/6
2/3
Bandingkan
Suami
(zauj)
Ayah
(ab)
Ibu
(um)
2 Anak lk
(ibnni)
1/4
1/6
1/6
Sisa
('aabah)
89
Jumlah
2+0
Jml.
waris
12jt
8jt
8jt
32jt
15jt
10jt
10jt
25jt
Jadi 1 anak perempuan dapat Rp. 16.000.000; sedangkan 1 anak laki-laki Rp.12.500.000
2) Jika ada wanita wafat dan meninggalkan warisan 48 juta dengan ahli warisnya sbb:
Ahli
waris
Suami
(zauj)
Ibu (um)
2 saudari
kandung
(shaqiqatni)
Suami
(zauj)
Ibu
(um)
2 saudara
kandung
(shaqiqni)
Bagian
1/2
1/6
2/3
1/2
1/6
Sisa ('aabah)
Bandingkan
Jumlah
48/6 x 2 ('aul)
Jml.
waris
18jt
48/8= 6
('aul) 6jt
24jt
24jt
8jt
16jt
Suami (zauj)
Ayah (ab)
Ibu (um)
Anak pr
(bint)
Bagian
1/4
1/6+sisa
1/6
1/2
1/6
Jumlah
Jml. waris
39 ha
26 ha
26 ha
78 ha
26 ha
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
90
Suami (zauj)
Ayah (ab)
Ibu (um)
Anak pr
(bint)
Bagian
1/4
1/6
1/6
1/2
Sisa
Jumlah
Jml. waris
45
30
30
90
NOL
2) Bila seorang wanita wafat, dan meninggalkan harta 84 hektar dengan ahli waris sbb:
Ahli
waris
Suami
(zauj)
Saudari
kandung
(shaqqa)
saudari
seayah*
(ukht lil ab)
Suami
(zauj)
Saudari
kandung
(shaqqah)
saudara
seayah (akh
lil ab)
Bagian
1/2
1/2
1/6
1/2
1/2
Sisa ('aabah)
Jumlah
Jml.
waris
36jt
36jt
12jt
42 ha
42ha
Bandingkan
NOL
91
agar diperoleh solusi yang tepat sesuai dengan persoalannya. Wacana tentang isu gender
sudah menjadi isu yang mendunia. Pada umumnya isu gender yang paling sering dibahas
adalah masalah status dan kedudukan perempuan di masyarakat yang masih dinilai
subordinal atau marginal.
Persoalan ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender bukanlah persoalan
sederhana dan berdimensi lokal, namun persoalan ini ditemui di seluruh belahan dunia,
serta berkaitan erat dengan segala sendi kehidupan manusia. Maka tidaklah
mengherankan jika boleh dikatakan perjuangan para pemerhati masalah perempuan,
untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan gender yang sudah sekian lama seolah-olah
jalan di tempat, atau paling sedikit hasil yang dicapai belum sesuai dengan harapan.
Dilihat dari sejarah perhatian dunia secara formal mengenai persamaan antara
lakilaki dan perempuan sudah dimulai pada tahun 1948 melalui suatu deklarasi yang
disebut sebagai The Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia), oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan tahun 1976 dilengkapi
menjadi The International Bill of Human Rights (Pernyataan Hak Asasi Manusia).
Dalam prakatanya Presiden Amerika pada saat itu Jimmy Carter menyatakan
bahwa Piagam PBB berbicara tentang keyakinan pada hak asasi manusia yang
fundamental, pada martabat dan penghargaan manusia, pada persamaan hak laki-laki dan
perempuan dan bangsa-bangsa besar dan kecil (Heraty, 1999). Pernyataan tersebut secara
implisit mengemukakan bahwa ada ketidaksamaan hak antara laki-laki dan perempuan
didunia ini, sehingga perlu dibuat dalam sebuah pernyataan agar negara, maupun
masyarakat, mengindahkan persamaan hak tersebut sebagai sebuah hak asasi manusia.
Gerakan feminis di negara Amerika Serikat sudah dimulai jauh sebelum masa itu,
misalnya seorang Feminis Amerika yang bernama Elizabeth Cady Stanton (1815-1902)
yang memprakarsai konvensi hak-hak perempuan tahun 1848 di Seneca Falls dan
memperjuangkan hak suara kaum perempuan di negara itu (Hadiz, 1998), namun baru
seratus tahun kemudian PBB secara resmi menyampaikan deklarasi tentang hak asasi
manusia termasuk hak perempuan dan laki-laki. Ini juga sebuah pertanda bahwa
demikian tidak mudah untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender, baik di negara
maju maupun di negara berkembang seperti Indonesia.
Kesetaraan gender juga sangat penting artinya dalam peningkatan kualitas
kehidupan keluarga melalui penurunan tingkat fertilitas dalam sebuah keluarga. Seperti
yang dikatakan oleh Ilyas (2006), bahwa suatu tema dari konferensi internasional tentang
penduduk dan pembangunan tahun 1994 menyatakan bahwa tingkat kesetaraan gender
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
92
yang tinggi sangat diperlukan bagi negara-negara berkembang yang memiliki tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi dalam rangka menurunkan tingkat fertilitas di
negaranegara tersebut. Penurunan fertilitas ini terjadi melalui kesetaraan gender di empat
bidang yaitu kesetaraan ekonomi/pendapatan, kesetaraan waktu kerja dalam mencari
nafkah, kesetaraan peran dalam kemasyarakatan, kesetaraan dalam pengambilan
keputusan penting dalam rumah tangga.
Peningkatan kesetaraan gender pada empat bidang tersebut mengakibatkan
penurunan fertilitas melalui hak reproduksi istri, yang pada akhirnya berdampak pada
peningkatan kualitas keluarga. Dengan demikian jika pemerintah menginginkan terjadi
penurunan fertilitas di dalam sebuah keluarga, maka cara tidak langsung yang dapat
digunakan adalah melalui peningkatan kesetaraan gender.
Secara umum di Indonesia, maupun secara khusus di masing-masing provinsi
berbagai ketimpangan gender masih terlihat sampai saat ini, termasuk di Provinsi Bali.
Dari data secara makro jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Bali pada tahun
2005 adalah 1.710.057 orang dan 1.673.515 orang, dengan perbandingan 50,54 persen
penduduk laki-laki dan 49,46 persen penduduk perempuan (BPS, 2006). Dari data
tersebut dapat dilihat bahwa jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan di Bali relatif
berimbang.
Demikian pula apabila dilihat jumlah penduduk usia kerja (PUK) umur 15 tahun
ke atas, perbedaan antara kedua jenis kelamin tersebut semakin mengecil yaitu dengan
jumlah 1.258.008 orang untuk PUK laki-laki dan sebanyak 1.254.126 orang untuk PUK
perempuan (BPS, 2006). Meskipun PUK laki-laki dan perempuan di Provinsi Bali tahun
2005 hampir sama jumlahnya, namun jumlah maupun tingkat partisipasi angkatan kerja
(TPAK) perempuan jauh lebih rendah daripada laki-laki. Kondisi ini juga merupakan
bukti terjadi ketimpangan gender di bidang ketenagakerjaan. TPAK laki-laki pada tahun
2005 di Provinsi Bali sebesar 77,71 persen; sedangkan TPAK perempuan 66,80 persen.
Berdasarkan data Survai Angkatan Kerja Indonesia tahun 2007, TPAK
perempuan meningkat menjadi 67,78 persen, sedangkan TPAK laki-laki menjadi 84,78
persen. Selisih TPAK laki-laki dengan perempuan terlihat cukup tinggi yang mencapai
sekitar 11 persen poin tahun 2005 dan selisih tersebut meningkat lagi menjadi 17 poin
pada tahun 2007. Hal yang dapat dilihat dari TPAK perempuan di Bali adalah semakin
meningkatnya TPAK perempuan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2003 TPAK
perempuan 59,92 persen meningkat menjadi 61,43 persen tahun 2004, dan tahun 2005
sebesar 66,80 persen, dan tahun 2007 sebesar 67,78 persen. Kondisi ini menunjukkan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
93
bahwa ketimpangan gender dari segi ketenagakerjaan khususnya dari segi tingkat
partisipasinya sudah semakin mengecil.
Ketimpangan gender dari segi ketenagakerjaan dapat juga dilihat dari persentase
pekerja yang tidak dibayar. Pada tahun 2005 persentase pekerja laki-laki yang tidak
dibayar hanya 8,5 persen; sedangkan persentase pekerja perempuan yang tidak dibayar
mencapai 30,04 persen. Suatu kesenjangan yang sangat tinggi. Kesenjangan ini semakin
melebar bila dilihat di daerah perdesaan dengan perbandingan 11,95 persen dengan 41,64
persen.
Demikian pula jika dilihat dari data persentase karyawan / pegawai juga terlihat
ada ketimpangan yang cukup besar yaitu sebanyak 24,81 persen dari total penduduk lakilaki yang bekerja tergolong karyawan /pegawai, sedangkan perempuan hanya 13,79
persen.
Selain di bidang ketenagakerjaan, ketimpangan gender juga terlihat di bidang
pendidikan. Walaupun telah terjadi transisi di bidang pendidikan baik di Indonesia
maupun di Bali. Transisi pendidikan dapat dilihat dari telah terjadinya perubahan dari
masyarakat yang tidak terdidik menjadi masyarakat yamg lebih terdidik, dan juga
perubahan ke arah bentuk pendidikan yang mempunyai kualitas yang lebih baik
(Nachromi, 1995).
Selanjutnya dikatakan bahwa transisi tersebut meliputi tiga hal yaitu (1) adanya
kesempatan belajar yang semakin luas dan merata; (2) makin lamanya seseorang
menghabiskan waktunya di bangku sekolah; (3) semakin meningkatnya kemampuan
masyarakat untuk membiayai pendidikan yang lebih berkualitas. Kebijakan maupun
program pemerintah di bidang pendidikan di semua jenjang pendidikan memang tidak
memperlihatkan adanya bias gender, namun jika dilihat dari komposisi lulusan terutama
di tingkat pendidikan menengah dan tinggi menurut jenis kelamin masih nyata
menunjukkan adanya ketimpangan.
Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk melihat ketimpangan di bidang
pendidikan antara lain seperti berikut. Pertama, kemampuan baca tulis penduduk dilihat
dari persentase buta huruf, dimana pada tahun 2005 persentase buta huruf laki-laki hanya
1,62 persen, sedangkan perempuan mencapai 5,47 persen dari total penduduk menurut
jenis kelamin di Provinsi Bali yang berumur 10-44 tahun. Apabila dilihat dari data
tersebut, persentase buta huruf perempuan mencapai lebih dari tiga kali lipat dari
persentase buta huruf laki-laki. Kedua, pendidikan tertinggi yang ditamatkan dimana dari
indikator ini persentase penduduk laki-laki umur 10 tahun ke atas yang menamatkan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
94
pendidikan SMU ke atas sebesar 35,64 persen, sedangkan perempuan hanya 28,69
persen.
Demikian juga persentase penduduk yang tidak memiliki ijazah yang berumur 10
tahun ke atas untuk laki-laki 18,85 persen, sedangkan perempuan mencapai 21,57 persen
(BPS, 2006). Meskipun telah dilakukan berbagai program pemerintah di bidang
pendidikan seperti Kejar Paket A, Kejar Paket B, Program BOS (Bantuan Operasional
Sekolah), namun masih tetap terjadi ketimpangan antara pendidikan laki-laki dengan
perempuan.
Di bidang politik juga terjadi ketimpangan gender yang sangat tinggi. Untuk
melihat ketimpangan ini dapat digunakan indikator jumlah anggota DPRD hasil
pemilihan umum menurut jenis kelamin. Dari hasil pemilihan umum tahun 2004, jumlah
anggota DPRD perempuan di seluruh kabupaten di Provinsi Bali hanya 19 orang,
sedangkan anggota DPRD laki-laki sebanyak 385 orang (KemNeg PP & BPS, 2006).
Dari data tersebut dapat dihitung bahwa proporsi anggota DPRD perempuan di Provinsi
Bali hasil pemilu 2004 adalah 4,7 persen, dan sisanya laki-laki 95,3 persen. Dari data
tersebut dapat disimpulkan ketimpangan gender di bidang politik sangat tajam. Apabila
dilihat menurut kabupaten/kota, jumlah anggota DPRD perempuan di DPRD Bali paling
banyak yaitu 4 orang, sedangkan di Kabupaten Klungkung tidak terdapat anggota DPRD
perempuan. Kabupaten/kota lainnya memiliki anggota DPRD perempuan rata-rata 2
orang, sedangkan anggota DPRD laki-laki rata-rata 37 orang.
Selain keanggotaan dalam DPRD, ketimpangan gender di bidang politik dapat
juga dilihat dari indikator pengurus dan pemimpin partai politik. Apabila dilihat dari data
yang ada keterlibatan perempuan dalam kepengurusan partai politik di Provinsi Bali
sangat rendah. Disini masih kental kelihatan pandangan bahwa dunia politik adalah
dunianya lakilaki.
Pada tahun 2006 jumlah pengurus partai politik di Provinsi Bali sebanyak 1.624
orang, dimana hanya 14,7 persen yang berjenis kelamin perempuan, sisanya 85,3 persen
adalah laki-laki. Bahkan untuk pimpinan parpol sama sekali tidak ada perempuan dari
147 orang pimpinan parpol di seluruh Bali (KemNeg PP & BPS, 2006). Dengan
memperhatikan data dari kedua indikator tersebut, maka dapat disimpulkan terjadi
ketimpangan gender yang sangat tinggi di bidang politik.
Jika diperhatikan perjuangan atau aspirasi para pejuang/pemerhati masalah
gender di Indonesia, aliran-aliran feminisme tersebut secara implisit juga menjadi
tuntutan atau menjadi dasar perjuangan. Misalnya di bidang politik tuntutan yang
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
95
yang
dimotori
oleh
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(PBB).
Salah
satu
96
tahun 1976-1985 disebut sebagai dasa warsa perempuan, dan setelah tahun tersebut
topik bahasan mengenai perempuan berkembang pesat baik di bidang akademis,
maupun di organisasi internasional.
(2) Koferensi Perempuan Sedunia II di Copenhagen tahun 1980, untuk melihat kemajuan
dan evaluasi tentang upaya berbagai negara peserta, mengenai keikutsertaan
perempuan dalam pembangunan.
(3) Konferensi Perempuan Sedunia III di Nairobi Kenya tahun 1985, salah satu
kesepakatannya adalah bahwa gender digunakan sebagai alat analisis untuk melihat
mengapa terjadi berbagai ketimpangan antara laki-laki dan perempuan di berbagai
bidang kehidupan.
(4) Konferensi Perempuan Sedunia IV di Beijing tahun 1995, yang telah menyepakati 12
isu kritis yang berkaitan dengan perempuan yang perlu mendapat perhatian dunia dan
segera ditangani. Deklarasi Beijing ini dan program aksinya sudah mencantumkan
isu gender dan informasi, komunikasi dan teknologi bagi perempuan. Deklarasi
Beijing mencatat bahwa pengarusutamaan gender sebagai suatu isu yang strategis
dan penting untuk program kemajuan perempuan dan untuk meningkatkan kualitas
hidup perempuan (Sutanto, 2004). Program aksi Deklarasi Beijing ini menekankan
pada perlunya pemberdayaan perempuan melalui peningkatan keterampilan,
pengetahuan, akses kepada dan penggunaan teknologi informasi.
(5) Konferensi Perempuan Sedunia V, yang pelaksanaannya diundur sampai tahun 2010
dengan nama Beijing Plus 10.
Untuk memperingati perjuangan kaum perempuan dalam memperjuangkan status
dan kedudukannya, ditetapkan hari perempuan sedunia yang diperingati setiap tanggal 8
Maret. Selain itu pada saat konferensi dunia Hak Asasi Manusia (HAM) II di Wina pada
tahun 1993, juga telah dibicarakan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
yang juga telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang memberikan
perlindungan bagi korban kekerasan serta memberikan sanksi pidana bagi pelakunya
(Soeparman, 2006).
Secara rinci perkembangan pembahasan mengenai studi perempuan berkaitan
dengan paradigma yang melandasi perjuangan atau tuntutan para pemerhati persoalan
gender di Indonesia dapat dilihat dalam uraian berikut. Secara garis besar terdapat 4
paradigma dalam pembahasan mengenai studi perempuan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
97
98
keahlian, yang jika tidak dimanfaatkan akan sangat merugikan masyarakat ataupun
negara; 4) berkaitan dengan peranan perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan
keluarganya melalui sumbangannya terhadap pendapatan rumah tangga; 5) adanya
penegasan secara formal oleh pemerintah melalui GBHN bahwa laki-laki dan perempuan
memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam semua proses pembangunan yang
dilaksanakan. Gerakan-gerakan yang didukung oleh ideologi feminisme telah berhasil
meningkatkan partisipasi perempuan di sektor publik secara signifikan, namun dengan
biaya ideologis yang tinggi yang harus dipikul oleh perempuan (Abdullah, 2006).
Paradigma ini boleh dikatakan muncul dari hasil penelitian atau kritik dari salah
satu pengacara feminis terkemuka dari pendekatan WID yaitu Ester Boserup. Ester
Boserup mengkritik pendekatan kesejahteraan dalam kebijakan dan program
pembangunan sebelum tahun 1970-an, yang menurutnya pembangunan seringkali
berdampak negative terhadap perempuan. Kerugian perempuan inilah yang dilihat oleh
Ester Boserup dalam penelitiannya di beberapa negara sedang berkembang. Lebih lanjut
pendekatan ini mengkritik bagaimana para perempuan miskin hanya ditempatkan pada
peran di wilayah rumah tangga, bergantung pada suami, bukan sebagai warga negara
atau masyarakat sipil (Dewi, 2006). Kegiatannya hanya berkutat pada program-program
untuk ibu dan anak seperti gizi, kesehatan dan pengasuhan. Boserup (1984)
menggambarkan dalam bukunya yang berjudul Peranan Perempuan dalam Pembangunan
Ekonomi (Womens Role in Economic Development), bahwa seiring dengan
meningkatnya kondisi suami para istri mulai kehilangan status. Para istri dianggap
tradisional dan terbelakang, sedangkan para suami dianggap maju dan modern.
Dengan akibat yang dirasakan dari kebijakan pembangunan tersebut khususnya
bagi perempuan, maka tuntutan para feminis adalah mengintegrasikan perempuan dalam
proses pembangunan melalui pendekatan WID. Kesuksesan besar dari pendekatan WID
ini adalah berdirinya biro dan kementrian pemberdayaan perempuan serta munculnya
organisasi-organisasi perempuan di berbagai negara.
Pada paradigma ini, selain di bidang ekonomi, perempuan juga didorong atau
dilibatkan dalam berbagai organisasi perempuan, seperti organisasi PKK, Dharma
Wanita, Dharma Pertiwi, maupun organisasi Bhayangkari, dimana keanggotaan
perempuan dalam organisasi ini akibat keberadaan kedudukan para suami-suami mereka.
Dengan melihat bahwa banyak terjadi diskriminasi pada perempuan baik sebagai subyek
maupun obyek pembangunan, maka pada tanggal 18 Desember tahun 1979 Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-bangsa telah menyetujui konvensi mengenai Penghapusan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
99
Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau yang dikenal dengan Convention
on the Elimination of All Form of Discrimination Against Women (CEDAW). Konvensi
ini juga telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia melalui UU RI No. 7 tahun
1984, yang pelaksanaannya diserahkan kepada MenUPW (Heraty, 1999).
100
Gender and Development (GAD) yang menekankan prinsip hubungan kemitraan dan
keharmonisan antara perempuan dan laki-laki. Dengan konsep GAD yang melihat
hubungan antara laki-laki dan perempuan baik dalam rumah tangga, masyarakat, maupun
negara, lalu muncul dan disadari bahwa terdapat fenomena ketidakadilan dan
diskriminasi gender. Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil
yang dialami oleh laki-laki dan perempuan akibat dari system dan struktur sosial yang
telah berakar dalam sejarah, adat maupun norma (BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA,
2005). Secara umum ketidakadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan lebih
banyak dialami oleh perempuan. Ketidakadilan ini dapat bersumber dari berbagai
perlakuan atau sikap yang secara langsung membedakan peran dan kedudukan antara
perempuan dan laki-laki. Secara tidak langsung ketidakadilan ini dapat bersumber dari
dampak suatu peraturan perundang-undangan atau kebijakan. Bentuk-bentuk manifestasi
ketidakadilan akibat diskriminasi gender tersebut dapat meliputi hal berikut.
(1) Marginalisasi Perempuan
Salah satu bentuk manifestasi ketidakadilan gender adalah marginalisasi atau
pemiskinan kaum perempuan. Ada berbagai contoh marginalisasi yang dialami
perempuan dalam proses pembangunan bangsa ini.
(a) Misalnya pembangunan di sektor pertanian, dengan program revolusi hijau yang
salah satunya adalah penggunaan bibit unggul telah membuat perempuan yang
berkecimpung di sektor ini menjadi lebih miskin. Penggunaan padi bibit unggul
tidak memungkinkan lagi perempuan untuk memanen padi dengan menggunakan
ani-ani. Karena padi bibit unggul lebih pendek, maka cara panennya menggunakan
sabit yang umumnya digunakan oleh laki-laki. Dengan demikian kesempatan kerja
yang selama ini dimiliki oleh perempuan di sektor pertanian diambil alih oleh lakilaki, sehingga perempuan menjadi bertambah miskin. Jadi banyak perempuan
tersingkir dari sektor pertanian dan menjadi lebih miskin, akibat program
intensifikasi di sektor pertanian hanya memfokuskan pada petani laki-laki.
(b) Pembagian kerja menurut gender yang selama ini ada juga menyebabkan
marginalisasi pada perempuan. Karena konsep gender, ada jenis pekerjaan yang
hanya dianggap cocok untuk perempuan. Misalnya karena perempuan dianggap
tekun, sabar, teliti, maka pekerjaan yang cocok seperti guru, perawat, penerima
tamu, sekretaris, atau pembantu rumah tangga. Pekerjaan-pekerjaan ini dipandang
masih merupakan perpanjangan tangan dari pekerjaan rumah tangga. Dengan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
101
pada
shift
malam
hari,
akan
mengakibatkan
perusahaan
untuk
102
(d) bagian waris perempuan di beberapa agama lebih sedikit daripada laki-laki; dan
(e) dipandang sebagai orang belakang (pengikut).
103
104
105
Jika pembagian kerja ini sudah dapat diperbaiki, misalnya perempuan juga
memiliki akses yang tinggi di bidang pekerjaan, suami juga berkontribusi pada pekerjaan
rumah tangga, dan dapat dicapai persamaan tingkat upah antara laki-laki dan perempuan,
maka kekuasaan perempuan akan dapat ditingkatkan seperti dalam kepemilikan barangbarang berharga, dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga.
Secara operasional pemberdayaan perempuan di Indonesia pelaksanaannya
berada di bawah koordinator Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 mengamanatkan bahwa kebijakan
pemberdayaan perempuan dilaksanakan melalui: pertama, peningkatan kedudukan dan
peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan nasional
yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender.
Kedua, meningkatkan kualitas peran dan kemandirian organisasi perempuan
dengan tetap mempertahankan nilai persatuan dan kesatuan serta nilai historis
perjuangan kaum perempuan dalam melanjutkan usaha pemberdayaan perempuan serta
kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Subhan, 2002). Selanjutnya dikatakan bahwa
pembangunan pemberdayaan perempuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pemberdayaan menyeluruh untuk kemajuan di segala bidang.membangun tatanan
kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara serta mewujudkan Visi Pembangunan
Pemberdayaan Perempuan adalah kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk dapat mencapai visi
tersebut, maka dituangkan beberapa Misi Pemberdayaan Perempuan yang meliputi: a)
Peningkatan kualitas hidup perempuan diberbagai bidang strategis; b) Penggalakan
sosialisasi kesetaraan dan keadilan gender; c) Penghapusan segala bentuk kekerasan
terhadap perempuan; d) Penegakan HAM bagi perempuan dan anak perempuan; e)
Meningkatkan kemampuan, kemandirian lembaga dan organisasi perempuan. Beberapa
Tujuan dan Sasaran Pemberdayaan Perempuan untuk mencapai Visi dan Misi tersebut
adalah sebagai berikut: a) Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan di berbagai
bidang
kehidupan,
berkeluarga,
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara;
b)
106
107
dan
pihak-pihak
lain
harus
mempromosikan
kebijakan
gender
mainstreaming secara aktif dan nyata terlihat dalam semua kebijakan dan program,
sehingga sebelum keputusan diambil, analisis tentang dampak kebijakan terhadap
perempuan dan laki-laki telah dilakukan (Dewi, 2006).
Lebih lanjut Silawati (2006) menyatakan bahwa PUG yang diterjemahkan dari
Bahasa Inggris yaitu Gender Mainstreaming bukanlah konsep yang mudah untuk
dipahami mereka yang tidak menggunakan Bahasa Inggris. Kondisi seperti tidak hanya
terjadi di Indonesia, juga terjadi di berbagai negara lainnya seperti di Jerman, Swedia,
atau di negara-negara Asia lainnya. Dengan tidak mudahnya pemahaman konsep PUG,
maka akan ada potensi penerapan PUG di berbagai negara tidak sama sehingga tingkat
pencapaian kesetaraan gender juga akan berbeda. PUG telah diadopsi secara resmi di
Indonesia sejak tahun 2000 dengan keluarnya Instruksi Presiden atau Inpres No. 9 tahun
2000. Inpres ini merupakan suatu dasar hukum untuk pelaksanaan PUG yang merupakan
suatu
bentuk
komitmen
pemerintah
Indonesia
dalam
mengikuti
kesepakatan
internasional dan juga dari desakan masyarakat luas misalnya melalui para pakar atau
pemerhati masalah gender agar pemerintah melakukan tindakan-tindakan nyata yang
dalam usaha mempercepat keadilan dan kesetaraan gender.
Hal ini dilakukan mengingat akar masalah ketidakadilan yang terjadi selama ini
mungkin saja berasal dari praktek kebijakan dan program pembangunan (selain masalah
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
108
budaya), yang menyebabkan ada kelompok yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil,
dan kelompok lainnya menikmati keuntungan dari proses pembangunan tersebut.
Sebagai contoh dalam proses sosialisasi mengenai bagaimana menjadi perempuan yang
ideal, seringkali keluarga, sekolah, bacaan dan televisi yang menjadi sumber informasi,
menegaskan suatu bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan dimana laki-laki
tetap ditonjolkan, serta perempuan cenderung dihubungkan dengan kegiatan domestik
(Abdullah, 2001).
Presiden telah menginstruksikan kepada seluruh jajaran eksekutif, gubernur,
bupati, dan walikota untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender (PUG)
sebagai bagian dari pembangunan nasional (Soeparman, 2006). Para pelaksana
pemerintahan di pusat maupun di daerah tersebut, harus melaksanakannya di setiap tahap
penyusunan perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan berbagai kebijakan, program,
dan kegiatan termasuk penganggarannya sesuai dengan fungsi, bidang tugas, dan
kewenangan masing-masing.
Instruksi Presiden ini juga memberi mandat kepada Kementrian Negara
Pemberdayaan Perempuan untuk bertindak sebagai koordinator dan fasilitator dalam
pelaksanaan strategi PUG ini. Program Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah
dimaksudkan untuk mempercepat pencapaian kesetaraan dan keadilan gender.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial-budaya, pertahanan dan keamanan
nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Dalam relasi
social yang setara, perempuan dan laki-laki merupakan faktor yang sama pentingnya
dalam menentukan berbagai hal yang menyangkut kehidupan, baik di lingkungan
keluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara (Dep. Kehutanan, 2005).
Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan
sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia sehingga seluruh
negara menjadi terikat dan harus melaksanakan komitmen tersebut. Upaya mewujudkan
Kesetaraan dan Keadilan Gender KKG), di Indonesia dituangkan dalam kebijakan
nasional sebagaimana ditetapkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
1999, UU No. 25 th. 2000 tentang Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 20002004, dan dipertegas dalam Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang PUG dalam
Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk mewujudkan keadilan dan
kesetaraan gender (Subhan, 2004).
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
109
110
Perempuan yang tergolong kelompok menengah dan atas yang segi ekonomi
sudah cukup atau sudah mapan, mungkin merupakan kelompok yang pertamakali
menanggalkan peran gandanya. Mereka ini mungkin akan lebih menikmati
perannya sebagai ibu rumah tangga, dan kelompok ini akan sulit didorong untuk
berperan ganda. Selain itu kondisi ini juga tidak lepas dari budaya yang berlaku
di satu daerah, misalnya seperti di Bali dalam konsep Agama Hindu diyakini
bahwa bekerja adalah Dharma atau bekerja adalah suatu kewajiban bagi manusia
baik laki-laki maupun perempuan, sehingga terlihat TPAK perempuan di Bali
tertinggi di Indonesia. Jadi kebijakan-kebijakan mengenai perempuan akan
kurang bijaksana jika dibuat sama, oleh karena itu diperlukan suatu informasi
mengenai apa yang diinginkan oleh para perempuan di masing-masing
daerah/provinsi misalnya, sehingga kebijakan diharapkan akan menjadi lebih
tepat.
2) Selama ini studi atau kajian tentang gender lebih banyak atau boleh dikatakan
hamper semuanya hanya mengkaji perempuan, sehingga akan ada kemungkinan
kesimpulan menjadi bias karena seolah-olah menyimpulkan sesuatu secara
sepihak. Misalnya sering dikatakan terjadi diskriminasi terhadap perempuan,
seperti di perusahaan atau di sector pertanian, dimana untuk menyimpulkan hal
tersebut yang diteliti hanya tenaga kerja perempuan. Jadi, tidak akan pernah
diketahui apakah ada atau tidak laki-laki yang juga mengalami diskriminasi,
dengan kata lain akan sangat sedikit atau mungkin bahkan tidak ada informasi
mengenai apa yang dialami oleh pekerja laki-laki, karena riset selalu ditekankan
hanya pada perempuan.
3) Pembicaraan mengenai kesetaraan dan keadilan gender boleh dikatakan hanya
diketahui oleh mereka yang berkecimpung di bidang tersebut, dan mungkin juga
mereka yang berpendidikan cukup tinggi. Namun masyarakat umum baik
perempuan maupun lakilaki apalagi yang berpendidikan kurang dan tinggal di
pedesaan barangkali tidak pernah mendengar mengenai kesetaraan dan keadilan
gender, peran ganda perempuan, dan lain-lain, apalagi untuk memahami apa yang
dimaksudkan. Bagaimana mereka dapat merespon kalau mendengar saja mereka
belum pernah, padahal mereka inilah yang mungkin jumlahnya lebih banyak.
Dalam hal ini dapat juga dikatakan para perempuan tersebut juga mengalami
diskriminasi, tidak pernah sampai informasi kepada mereka tentang perbincangan
mengenai nasib mereka. Apakah para pemerhati masalah gender sudah merasa
yakin bahwa semua lapisan perempuan mengetahui persoalan-persoalan tersebut,
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
111
112
113
114
115
116
pemerintah (PUG) yang telah dibuat di seluruh instansi. Hal ini juga berarti
sensitivitas gender dalam birokrasi publik harus ditingkatkan, antara lain melalui
peningkatan alokasi anggaran untuk PUG dari pemerintah melalui APBN, agar
terjadi peningkatan kegiatan secara signifikan. Selain itu dapat juga dilakukan
Gender Scanning (Darwin, 2002) untuk melihat perilaku birokrasi apakah sudah
sensitif gender atau belum, dan juga Gender Watch untuk memantau pelaksanaan
prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam kebijakan, program-program dan
kegiatan-kegiatan negara. Secara berkesinambungan mungkin sangat diperlukan
kegiatan oleh Kemneg Pemberdayaan Perempuan dan jajarannya untuk
melakukan sosialisasi dan training mengenai sensitivitas gender di kalangan
aparat birokrasi publik.
7) Dengan melihat masih ada undang-undang atau peraturan pemerintah yang bias
gender, mungkin diperlukan semacam panitia atau badan khusus atau ditugaskan
kementrian tertentu, yang bertugas melakukan pemantauan, penganalisaan,
pemeriksaan, dan penolakan terhadap kebijakan-kebijakan atau program yang
secara eksplisit maupun implisit mengandung ketidaksetaraan gender. Selain itu
kementrian Pemberdayaan Perempuan dapat melakukan kegiatan-kegiatan secara
berkesinambungan untuk
sekolah terutama di Sekolah Dasar, agar tidak bias gender dalam mengajar.
Demikian pula dapat dilakukan kegiatan observasi dan identifikasi buku-buku
pelajaran di sekolah yang bias gender.
8) Memperhatikan konsep bekerja bagi perempuan di sektor publik selama ini selalu
berkaitan dengan jumlah kompensasi yang dapat dinilai dengan uang, dan tidak
memberikan nilai secara ekonomi bagi pekerjaan rumah tangga yang dikerjakan
oleh istri, padahal kalau pembantu rumah tangga yang mengerjakannya dapat
dinilai dengan uang. Dengan demikian diperlukan redefinisi untuk konsep
bekerja yang dapat diwacanakan oleh peneliti/pemerhati masalah gender. Bekerja
mengandung 3 unsur yaitu: (1) melakukan aktivitas fisik; (2) menyalurkan
kreativitas; dan (3) memberikan manfaat bagi orang lain, seperti dinyatakan oleh
Kondo Yoshio 1989 (Riyono, 1997). Dengan definisi tersebut maka ibu rumah
tangga dan pekerja sosial lainnya yang tidak memperoleh pendapatan berupa
uang akan dapat dimasukkan sebagai bekerja/pekerja.
9) Dengan tidak terpenuhinya kuota perempuan di lembaga legislatif sebanyak 30
persen, kegiatan pemetaan sumber daya manusia perempuan di masing-masing
provinsi/kabupaten perlu dilakukan oleh Kementrian Negara Pemberdayaan
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
117
swasta
mengenai
kesetaraan
gender,
sehingga
dapat
118
(laki-laki), keterlibatannya dalam program kesehatan reproduksi. Selain itu perlu juga
pemikiran oleh para peneliti/pemerhati masalah gender mengenai redefinisi konsep
bekerja.
Berislam yang benar adalah dengan memperhatikan isnd atau silsilah sanad
tentang ajaran agama yang hendak dijadikan pegangan. Isnd adalah bagian dari agama,
tanpa memperhatikan rantai isnd semua orang tanpa kualifikasi dan kapasitas akan
berbicara tentang semua masalah dalam agama. Bagaimana sekiranya rantai isnd dalam
berislam ternyata berpenghujung dan berasal dari Barat Kristen yang tidak sejalan
dengan Islam?
Feminisme yang kemudian dikenal dengan paham kesetaraan gender hanyalah
upaya solusi lokal masyarakat Barat untuk keluar dari sebuah krisis ketidakadilan yang
menimpa kaum perempuan Barat. Tentunya, krisis dan solusi ini tidak bersifat universal.
Meskipun demikian, solusi yang ditawarkan Barat pun akhirnya membawa dampak
terjadinya peristiwa-peristiwa masa kini yang bersumber dari pengalaman, pemahaman
dan pemaknaan terhadap kehidupan dalam peradaban perkotaan.
Paham Feminisme sebenarnya adalah buah dari liberalisasi dan sekularisasi agama
yang mendasarkan pada paham relativisme ini. Dengan sekularisasi, para penganut
Kristen bebas memahami konsep apapun tentang Tuhan dan kehidupan sesuai dengan
keinginan mereka. Baik pemahaman yang bersifat skriptural (sesuai dengan Bibel),
scholastik abad pertengahan maupun eksistensialisme modern. Sehingga memungkinkan
mereka untuk ikut terlibat dalam pengalaman kekinian yang selalu berorientasi pada
sejarah. Konsep mereka tentang Tuhan yang selama ini terbukti problematik, akhirnya
membuat nama "Tuhan" sendiri juga problematik bagi mereka. Maka konsep dan nama
"Tuhan" pun dibuang dan hanya dijadikan sebagai sejarah. Sebagai gantinya,
dimunculkanlah nama baru yang sesuai dengan realita kekinian yang mereka percayai,
seperti yang dijelaskan S.N. Al-Attas dalam Islam and Secularism.
Pengalaman tentang kesuksesan sekularisme di Barat-Kristen, tentunya tidak bisa
diterapkan begitu saja dalam Islam. Sebab pengalaman itu bersifat lokal dan nilai-nilai
kebenarannya pun tidak universal. Ia berhubungkait dengan latar belakang sejarah,
kondisi sosial dan karakter agama setempat. Sehingga sangat naif jika dicomot begitu
saja, apalagi diterapkan sebagai pertimbangan dalam fatwa yang memiliki tradisi
keilmuan sendiri. Seakan-akan Islam dan Kristen atau umat Islam dan Barat mempunyai
problem yang sama dalam memandang perempuan, sehingga sama-sama memerlukan
feminisme.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
119
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan 1998, Rekonstruksi Gender terhadap Realitas Wanita, dalam Bainar (ed)
: Wacana Perempuan dalam Keindonesiaan dan Kemodernan, Yogyakarta :
PT. Pustaka Cidesindo
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
120
Abdullah, Irwan, 2001, Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan, Yogyakarta: Tarawang
Press
Abdullah, Irwan, 2006, Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas
Perempuan, dalam Abdullah (Ed): Sangkan Paran Gender, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset.
BKKBN, Kemneg PP, dan UNFPA, 2005, Bahan Pembelajaran Pengarusutamaan
Gender, Jakarta: Deputi Bidang PUG Kemneg PP RI.
BPS, 2006, Penduduk Provinsi Bali, Hasil Supas 2005, Jakarta : BPS
BPS, 2007, Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia, Jakarta : BPS
Boserup, Ester 1984, Peranan Wanita dalam Pembangunan Ekonomi, Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press
Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta, Gramedia,1985
Caraway, Tery. L, 1998, Perempuan dan Pembangunan, dalam Jurnal Perempuan, No.
05, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Cattleya, Leya, 2006, Pelembagaan Akuntabilitas Pengarusutamaan Gender: Bukan
Sesuatu yang Mustahil, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
Darwin, Muhadjir dan B. Kusumasari, 2002, Sensitivitas Gender Pada Birokrasi Publik,
dalam Policy Brief, No. 09/PB/2002, Yogyakarta: Center For Population and
Policy Studies
Departemen Kehutanan, 2005, Pengarusutamaan Gender Lingkup Departemen
Kehutanan, Jakarta : Departemrn Kehutanan.
Dewi, Sinta R, 2006, Gender Mainstreaming Feminisme, Gender dan Transformasi
Institusi, dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Engle, Patrice L, 1998, Upaya Untuk Meraih Kesetaraan Gender dan Untuk Mendukung
Anak-anak, dalam Jurnal Perempuan, No. 05, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan.
Fakih, Mansour, DR. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997
Hadiz, Lisa 1998, Elizabeth Cady Stanton (1815-1902), dalam Jurnal Perempuan, No.
07, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
121
Hakeem, Ali Hosein. Membela Perempuan Menalar Feminisme dengan Nalar Agama.
2005. Al-Huda: Jakarta.
Hartini, Titik, 2006, Pengarusutamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan, dalam
Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Heraty, Toeti, 1999, Perempuan dan Hak Asasi Manusia, dalam Jurnal Perempuan, No.
09, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Ibrahim, Idi Subandy dan Hanif Suranto, (ed). Wanita dan Media. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998
Illich, Ivan. Matinya Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Ilyas, Baharuddin 2006, Dampak Tingkat Kesetaraan Gender terhadap Hak Reproduksi
dan Fertilitas di Sulawesi Selatan, Warta Demografi Tahun 36, No 2 Th.
2006, Jakarta : Pika Pratama Jaya
Khan, Wahiduddin. Antara Islam dan Barat. 2001. Serambi: Jakarta.
Kementerian Negara PP dan BPS, 2006, Statistik Gender dan Analisis Provinsi Bali
Tahun 2006, Denpasar : BPS
Lips, Hilary M. (1993). Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing
Company.
Megawangi, Ratna (1999). Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender. Bandung: Mizan. Cet. I.
Mosse, Julia Cleves. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Womens
Crisis Center dan Pustaka Pelajar, 1996
Mulia, Siti Musdah (2004). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia Pustaka
Utama. Cet. I.
Munir, Lily Zakiyah, (ed). Memposisikan Kodrat. Bandung: Mizan, 1999
Nachrowi, D, 1995, Transisi Pendidikan : Suatu Pemikiran Awal dengan Indonesia
Sebagai Latar Belakang, dalam Ananta (Ed) : Transisi Demografi, Transisi
Pendidikan, dan Transisi Kesehatan di Indonesia, Jakarta : Kantor Meneg
Kependudukan dan BKKBN
Neufeldt, Victoria (ed.) (1984). Websters New World Dictionary. New York: Websters
New World Clevenland.
Noerhadi, Toeti H, 1998, Mitra Sejajar Dalam Pembangunan: Tantangan Atau Jebakan,
Jurnal Perempuan, No.5, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Noor, H. M. Arifin, Drs. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: Pustaka Setia, 1997
PIKIR, DZIKIR, IKHTIAR
122
Riyono, Bagus, 1997, Sistem Manajemen yang Manusiawi, dalam Buletin Psikologi,
Tahun V, No. 1, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM
Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial. Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997
Showalter, Elaine (ed.) (1989). Speaking of Gender. New York & London: Routledge.
Silawati, Hartian,2006, Pengarusutamaan Gender: Mulai Dari Mana, dalam Jurnal
Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan
Soelaeman, M. Munandar. Ir. MS. Ilmu Sosial Dasar, Teori dan Konsep Ilmu Sosial.
Bandung: Refika Aditama, 1998
Soeparman, Surjadi, 2006, Mengapa Gender Mainstreaming Menjadi Aksi Nasional,
dalam Jurnal Perempuan, No. 50, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Stowasser, Barbara Freyer. Reinterpretasi Gender. 2001. Pustaka Hidayah: Bandung.
Subhan, Zaitunah, 2002, Menanggulangi Budaya Marjinalisasi di Perusahaan, dalam
Mimif Hidayat dan Edi Junaedi (Ed): Rekonstruksi Pemahaman Jender
Dalam Islam, Jakarta: El KAHFI.
Subhan, Zaitunah, 2004, Peningkatan Kesetaraan dan Keadilan Jender, dalam
Membangun Good Governance, Jakarta. Sutanto, Roni 2004, Gender dan
ICT: Isu Baru Upaya Pemberdayaan Perempuan di Indonesia, 2004, Warta
Demografi Th. 34 No. 1, Jakarta :
Sutanto, Roni 2004, Gender dan ICT: Isu Baru Upaya Pemberdayaan Perempuan di
Indonesia, 2004, Warta Demografi Th. 34 No. 1, Jakarta :
Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran. Jakarta:
Paramadina. Cet. I.
123