Anda di halaman 1dari 21

KISI- KISI TUGAS

PENGGANTI UTS
Yulia Vanda Editia (25000 32 041 0021)
FILSAFAT ILMU & METODOLOGI PENELITIAN

Program Studi Megister Promosi Kesehatan


Tahun Ajaran 2020/2021
BAGIAN I
PEMAHAMAN TENTANG ARTI FILSAFAT

1. CIRI FILSAFAT DAN ILMU


Ciri-ciri filsafat yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif. Berikut merupakan ciri
berfilsafat.
a. Menyeluruh, artinya pemikiran yang luas karena tidak membatasi diri dan tidak
hanya ditinjau dari satu sudut pandang tertentu. Pemikiran kefilsafatan ingin
mengetahui hubungan antara ilmu yang satu dan ilmu – ilmu lainnya, hubungan ilmu
dan moral, seni, serta tujuan hidup.
b. Mendasar, artinya pemikiran yang dalam sampai pada hasil yang fundamental atau
esensial objek yang dipelajarinya sehingga dapatdijadikan dasar berpijak bagi
segenap nilai dan keilmuan. Filsafat tidak hanya berhenti pada kulit-kulitnya
(periferis) saja, tetapi sampai menembus ke kedalamannya (hakikat).
c. Spekulatif, artinya hasil pemikiran yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran
selanjutnya. Hasil pemikiran berfilsafat selalu dimaksudkan sebagai dasar untuk
menelusuri bidang-bidang pengetahuan yang baru. Namun demikian, tidaklah berarti
hasil pemikiran kefilsafatan tersebut meragukan kebenarannya karena tidak pernah
tuntas.

2. HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN ILMU


Filasafat mempunyai objek yang lebih luas, sifatnya universal, sedangkan ilmu-ilmu
pengatahuan objeknya terbatas.
Filsafat hendak memberikan pengetahuan, insight / pemahaman yang lebih dalam
dengan menunjukkan sebab-sebab yang terakhir, sedangkan ilmu pengetahuan juga
menunjukkan sebab-sebab tetapi tidak begitu mendalam. Filsafat berusaha menyatukan
masing – masing disiplin ilmu, berupaya mengatasi spesialisasi dan merumuskan suatu
pandangan hidup yang berdasar pada pengalaman manusia yang luas, namun terdapat
hubungan timbal balik antara ilmu dan filsafat, salah satunya keterkaitan antara
permasalahan filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila
pembahasannya tidak ingin dikatan nisbi dan salah. Dengan suatu kalimat dapat
dikatakan :
a. Ilmu pengetahuan mengatakan “bagaimana” barang-barang itu (to know
how . . . technical know how, managerial know how . . . secondary causes,
and proximate explanation ).
b. Filsafat mengatakan “ apa” barang-barang itu (to know what and why . . . first
causes, highest principles, and ultimate explanation).
c. Filsafat memberikan sintesis kepada ilmu-ilmu pengetahuan yang khusus,
mempersatukan, dan mengkoordinasikannya.
Secara umum Filsafat dan ilmu adalah sama atau identik hal ini karena adanya
pandangan bahwa filsafat bersifat ilmiah dan terdiri dari ilmu – ilmu walaupun terdapat ilmu
yang tidak bersifat fisiologis. Filsafat dilihat sebagai studi eksperimental tentang gejala-
gejala alamiah atau sebagai ilmu-ilmu yang tidak berdasarkan pada pengalaman indrawi.
Bagi Immanuel Kant, sains merupakan penelitian rasional dan empiris, ia bataskan
filsafat pada metode rasional yang bersifat murni dan a priori. Aristoteles dan Kant membagi
filsafat atas teoritis dan praktis atau moral sesuai pertimbangan mereka tentang kodrat dan
sebab dari segala sesuatu, yang termasuk dalam filsafat praktis adalah etika atau filsafat
moral, ekonomi, politik, dan hukum. Filsafat mungkin sama dengan Ilmu pengetahuan, tetapi
sudut pandangnya berlainan, jadi merupakan dua pengetahuan yang tersendiri.

3. ARTI FILSAFAT ILMU, FOKUS, DAN TUJUAN


a. Arti Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mempertanyakan secara
sistematis mengenai hakikat pengetahuan ilmu yang berhubungan dalam masalah
masalah filosofis dan fundamental yang terdapat pada ilmu untuk mencapai
pengetahuan yang ilmiah. Merupakan pemikiran yang reflektif terhadap persoalan –
persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan
ilmu dari segala segi kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan telaah kritis
terhadap metode yang digunakan untuk mencari kejelasan mengenai dasar – dasar
konsep, sangka wacana dan postulat mengenai ilmu. Filsafat ilmu menurut beberapa
ahli antara lain :
Menurut Robert Ackerman, filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu
tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan
perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-
pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian
cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
Menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya
upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Menurut A. Cornelius Benjamin, filsafat ilmu adalah cabang
pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu,
khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapannya,
serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan
intelektual.
Michael V. Berry berpendapat bahwa filsafat ilmu merupakan
penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-
hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
Peter Caws mengemukakan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu
bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat
seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat
melakukan dua macam hal: di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang
manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan
bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis
segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau
tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan
ketakajegan dan kesalahan.
b. Fokus Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan
mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi pengetahuan dan kebenaran,
logika, ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain
filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang
secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, dengan ruang lingkup seperti :

1. Ontologi Ilmu
Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek
tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap
manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis).
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang koheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas
dari persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana sebuah kebenaran itu.
Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme, paham dualisme,
pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik
yang pada akhirnya menentukan pendapat bahkankeyakinan kita masing-
masing mengenai apa dan bagaimana manifestasi kebenaran yang kita
cari.
2. Epistemologi Ilmu
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang
berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus
diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah
kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara,
teknik, sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan
pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis).
Epistemologi ilmu yang merupakan teori ilmu meliputi sumber, sarana,
dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai
pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenal pilihan landasan ontologik
akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan
sarana yang akan kita pilih. Akal (verstand), akal budi (vernunft)
pengalaman atau komunikasi antara akal dan intuisi, merupakan sarana
yang dimaksud dalam epistemologik seingga dikenal adanya model
seperi : reasionalisme, empirisme, kritisme dengan berbagai variasinya.
Objek material epistemologi adalah pengetahuan sedangkan objek
formalnya adalah hakikat pengetahuan. Persoalan – persoalan yang dikaji
meliputi asal – usul pengetahuan, peran pengalaman dan akal dalam
pengetajuan, hubungan pengetahuan dengan kebenaran, kemungkinan
skeotisisme universal dan bentuk – bentuk perubahan pengetahuan yang
berdasarkan konseptualisasi baru mengenai dunia.
3. Aksiologi Ilmu
Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana
kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan
moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional?
(Landasan aksiologis).
Aksiologi ilmu meliputi nilai-nilai (values) yang bersifat normatif dalam
pemberian makna terhadap kebenaran atau kenyataan sebagaimana kita
jumpai dalam kehidupan kita yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti
kawasan sosial, kawasan simbolik atau fisik material. lebih dari itu nilai-
nilai juga ditunjukan oleh aksiologi ini sebagai suatu kondisi (condition)
yang wajib dipatuhi dalam kegiatan kita, baik dalam melakukan penelitian
maupun dalam menerapkan ilmu. Salah satu cabang aksiologi yang
membahas nilai baik, buruk adalah bidang etika yang mengandung tiga
penegrtian yaitu bisa dipakai dalam arti nilai atau moral yang menjadi
pegangan dalam mempengaruhi tingkah laku, kumpulan moral, dan ilmu
tentang baik atau buruk.
4. Ruang Lingkup Filsafat Menurut Para Ahli
Pertama, menurut Peter Angeles, ilmu mempunyai empat bidang
konsentrasi yang utma: (i) Telaah mengenai berbagai konsep,
pranggapan dan metode ilmu berikut analisis, perluasan dan
penyusunannya dalam memperoleh yang lebih baik dan cermat.(ii)
Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut
strukturnya. (iii) Telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu.
(iv) Telaah mengenai akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang
berkaitan dengan penerapan dan pemahaman manusia.
Kedua, A. Cornelius Benjamin. Filsuf ini membagi pokok soal filsafat
ilmu dalam empat bidang: (i) Logika ilmu yang berlawanan dengan
epistemologi ilmu. (ii) Filsafat ilmu kealaman yang berlawanan dengan
filsafat ilmu kemanusian. (iii) Filsafat ilmu yang berlawanan dengan telaah
masalah filsafati dari sesuatu ilmu khusus. (iv) Filsafat ilmu yang
berlawanan dengan sejarah ilmu.
Ketiga, Israel Scheffter. Lingkupannya dibagi menjadi tiga bidang
yaitu: (i) Peranan ilmu dalam masyarakat. (ii) Dunia sebagaimana
digambarkan oleh ilmu. (iii) Landasan-Landasan ilmu.
Keempat, J.J.C. Smart. Filsuf ini menganggap filsafat ilmu yang
mempunyai dua komponen utama yaitu: (i) bahasan analitis dan
metodologis tentang ilmu. (ii) penggunaan ilmu untuk membantu
pemecahan problem.
Menurut Rizal & Misnal bahwa cabang-cabang utama filsafat ilmu
terdiri dari :
1. Metafisika
Membahas persoalan tentang keberadaan dan eksistensi yang
meliputi Ontologi, Psikologi,kosmologi, dan theology.
2. Epistemologi
3. Aksiologi

c. Tujuan Filsafat Ilmu


1. Mendalami unsur-unsur pokok ilmu, sehingga secara menyeluruh kita
bisa memahami, sumber, hakekat, dan tujuan ilmu.
2. Memahami sejarah pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan ilmu di
berbagai bidang, sehingga kita mendapat gambaran tentang proses ilmu
kontemporer secra historis.
3. Menjadi pedoman bagi para dosen dan mahasiswa dalam mendalami
studi di perguruan tingi, terutama untuk membedakan persoalan yang
ilmiah dan nonilmiah.
4. Mendorong pada calon ilmuwan dan iluman untuk konsisten dalam
mendalami lmu dan mengembangkannya.
5. Mempertegas bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan antara ilmu dan
agama tidak ada pertentangan.

4. URGENSI FILSAFAT ILMU BAGI CALON MEGISTER, PROFESSIONAL


Filsafat membuat kita berpikir kritis dan kreatif dalam menghadapi berbagai
permasalahan. Kemampuan berfikir secara jernih, penalaran secara logis, dan
mengajukan dan menilai argumen, menolak asumsi yang diterima begitu saja,
dan pencarian akan prinsip-prinsip pemikiran dan tindakan yang koheren,
semuanya ini merupakan ciri dari hasil latihan dalam ilmu filsafat. Belajar filsafat
ilmu bagi mahasiswa sangat penting, karena beberapa manfaat yang dapat
dirasakan, antara lain :
a. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mahasiswa semakin kritis dalam
sikap ilmiahnya. Mahasiswa sebagai insan kampus diharapkan untuk
bersikap kritis terhadap berbagai macam teori yang dipelajarinya di ruang
kuliah maupun dari sumber-sumber lainnya.
b. Mempelajari filsafat ilmu mendatangkan kegunaan bagi para mahasiswa
sebagai calon ilmuwan untuk mendalami metode ilmiah dan untuk melakukan
penelitian ilmiah. Dengan mempelajari filsafat ilmu diharapkan mereka
memiliki pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan
pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan
penelitian ilmiah.
c. Mempelajari filsafat ilmu memiliki manfaat praktis. Setelah mahasiswa lulus
dan bekerja mereka pasti berhadapan dengan berbagai masalah dalam
pekerjaannya. Untuk memecahkan masalah diperlukan kemampuan berpikir
kritis dalam menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah
yang dihadapi. Dalam konteks inilah pengalaman mempelajari filsafat ilmu
diterapkan.
d. Membiasakan diri untuk bersikap logis-rasional dalam Opini & argumentasi
yang dikemukakan.
e. Mengembangkan semangat toleransi dalam perbedaan pandangan
(pluralitas). Karena para ahli filsafat tidak pernah memiliki satu pendapat, baik
dalam isi, perumusan permasalahan maupun penyusunan jawabannya.
f. Mengajarkan cara berpikir yang cermat dan tidak kenal lelah.

5. KAITAN FILSAFAT ILMU DENGAN ETIKA PENELITIAN


Filsafat ilmu dan penelitian sangat berhubungan, terdapat tiga komponen
dasar yang erat kaitannya dengan penelitian yaitu: ontologi, epistimologi, dan
aksiologi. Dalam pembahasan ontologi, epistimologi dan aksiologi dikaitkan
dengan logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan,
kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat
ilmu yaitu, empirisme dan rasionalisme/rasionalisme menghendaki kebenaran
empiric logic, etik dan transcendental/metafisik, memunculkan logika
penomenologik.
Dalam filsafat rasionalisme atau realisme lebih menekankan pada cara
berfikir positivistik paradigma kuantitatif. Berfikir positivistik adalah bersifat
spesifik berpikir tentang empiris yang teramati, yang teratur, dan dapat
dieliminasi serta dimanupulasikan dari satuan besarnya. Pada logika positivistic
menghendaki perencanaan riset yang rigor/ketat, rinci, terukur, terkontrol dan
penetapan data yang konkrit yang teramati, memunculkan jenis penelitian
kuantitatif. Logika phenomenologik menghendaki perancanaan riset yang longgar
dan luwes, sebab data yang dicari tidak pasti, sangat tergantung pada fenomena
yang dijadikan sasaran risetnya, memunculkan jenis penelitian kualitatif.
Penelitian berusaha untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori
ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses
epistemologis untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata
berasal dari realitas empiris-sensual, demikian pandangan positivisme.
Dalam melakukan sebuah penelitian percobaan, terdapat etika dan aturan-
aturan yang harus diperhatikan oleh sang peneliti karena menyangkut kebebasan
dan hak asasi subjek penelitian,yang secara langsung etika penelitian
berhubungan dengan aksiologo ilmu yang memebahas tentang etika, nilai moral
dan tingkah laku. Berikut adalah etika penelitian percobaan:
a. Kebebasan bagi publik untuk mengakses hasil penelitian.
b. Menjaga kerahasiaan (privacy) subjek penelitian.
c. Mengirimkan hasil penelitian kepada subjek.
d. Memberikan hal subjek dan meminta persetujuan terlebih dahulu untuk
kesediaan menjadi subjek penelitian, dengan memberitahukan konsekuensi
yang muncul dalam penelitian.
e. Memberitahukan secara jujur dan jelas kepada subjek tentang prosedur
penelitian yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan setelah penelitian
percobaan (eksperimen) selesai dilakukan.
f. Memberikan terapi atau bantuan pemulihan kepada subjek yang mengalami
akibat negatif, baik secara fisik atau psikis dari penelitian, sampai kembali
sehat seperti semula.
g. Penelitian yang melibatkan binatang harus memperhatikan akibat negatif
yang mungkin dialami binatang, seperti indera melemah, menyendiri, serta
memar atau luka fisik.
BAGIAN II
ISSUES IN SCIENCE

1.1. THE METHODES OF SCIENCE


Tantangan keyakinan agama muncul dari asumsi bahwa metode ilmiah adalah
satu-satunya jalan menuju pengetahuan. Pada Bagian I menjelaskan, "Pengalaman
dan Interpretasi dalam Sains,". Bagian II menjelaskan, “Komunitas Ilmiah dan
Bahasanya,”. Bagian III menjelaskan, “Hubungan Konsep Ilmiah dengan Realitas”.
1. Experience and Interpretation in Science
Terdapat banyak metode, yang digunakan pada tahap penyelidikan yang
berbeda, dalam keadaan yang bervariasi. Dalam “metode Ilmiah” tidak ada aturan
yang baku, yang dapat digunakan untuk melakukan suatu penyelidikan. Dalam
karya Galileo, Newton, dan Darwin dijelaskan mengenai kombinasi khas dari
elemen pengalaman dan interpretatif. Terdapat dua hal yang perlu untuk
diketengahkan yaitu tentang perpaduan antara unsur pengalaman dan interpretasi.
Komponen pengalaman terdiri dari observasi dan data, produk dari sisi
eksperimental sains. Komponen interpretatif meliputi konsep, hukum, dan teori
yang merupakan sisi teoritisnya.
Sebuah prosedur dimulai dengan observasi, dari mana hipotesis akan
dirumuskan, yang dapat diuji secara eksperimental yang akan menghasilkan
eksperimen baru dan perluasan teori, kedua komponen tersebut tidak dapat
dipisahkan dengan begitu jelas.
a. The Interaction of Experiment and Theory
Kegiatan ilmiah juga tidak pernah hanya sekedar “mengumpulkan
semua fakta”; Eksperimen yang signifikan memerlukan pilihan variabel yang
relevan dan desain eksperimen yang bertujuan bergantung pada pertanyaan
yang dianggap bermanfaat dan masalah yang telah dirumuskan. Komponen
teoritis sains terdiri dari hukum dan teori yang istilah-istilah terpisahnya akan
kita sebut konsep. "Massa", "percepatan", dan "tekanan" tidak dapat diamati
secara langsung, dan tidak diberikan kepada kita secara alami. Mereka
adalah konstruksi mental yang digunakan untuk menafsirkan observasi;
mereka adalah simbol yang membantu kita mengatur pengalaman. Kaitan
antara konsep teoritis dan observasi eksperimental disebut "aturan
korespondensi", "korelasi epistemik", atau "definisi koordinasi". Beberapa
hukum bersifat statistik, karena hukum adalah korelasi antara konsep yang
terkait erat dengan yang dapat diamati, mereka sering disebut "hukum
eksperimental"; tetapi harus diingat bahwa mereka selalu melampaui data
eksperimen. Hukum merumuskan hubungan universal, yang memungkinkan
penurunan nilai yang tidak diberikan dalam data asli. teori adalah skema
konseptual terpadu dan umum dari mana hukum dapat diturunkan.
Dibandingkan dengan hukum, teori lebih jauh dari pengamatan langsung dan
lebih komprehensif, menghubungkan fenomena yang lebih luas dengan
keumuman yang lebih tinggi. Karena struktur konsep yang koheren biasanya
melibatkan cara-cara baru dalam memandang fenomena, perkembangannya
mencerminkan kreativitas dan orisinalitas yang lebih besar.

b. The Formation of Theories


Cita-cita deduktif menekankan proses penalaran ke arah yang berlawanan,
yaitu derivasi pernyataan observasi yang dapat diverifikasi dari teori umum (diambil
dengan aturan korespondensi). Pendekatan ini memiliki kebajikan untuk mengenali
perbedaan status logis antara teori dan pengamatan, yang diabaikan dalam
pendekatan induktif. Pola deduktif, seperti yang akan kita lihat, adalah gambaran
yang masuk akal tentang cara teori-teori diuji, tetapi pola deduktif ini menyoroti
proses yang setidaknya berusaha ditangani oleh pola induktif: pembentukan awal
sebuah teori. Dalam pembentukan teori-teori baru, imajinasi kreatif melampaui
proses penalaran yang sangat logis. Dalam pengujian teori, deduksi menonjol; tetapi
sebagai ganti dari “verifikasi empiris” sederhana kami akan mempertahankan
relevansi berbagai kriteria.
c. Criteria for Evaluating Theories
Ada tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengevaluasi teori:
kesesuaiannya dengan observasi, hubungan internal di antara konsep-konsepnya,
dan kelengkapannya. Kriteria pertama adalah hubungan dengan data yang dapat
direproduksi dalam komunitas ilmiah. Dari teori saja dimungkinkan untuk
menyimpulkan hukum; dari hukum ditambah kondisi awal yang diberikan (bersama
dengan aturan korespondensi) dimungkinkan untuk menyimpulkan hubungan antara
yang dapat diamati, yang dapat dibandingkan dengan data yang diperoleh di masa
lalu atau yang diharapkan di masa depan. Kriteria kedua mengacu pada hubungan
antar konsep teoretis. Konsistensi dan koherensi masing-masing berarti tidak adanya
kontradiksi logis dan adanya apa yang disebut Margenau sebagai "hubungan ganda"
di antara konsep-konsep dalam struktur internal teori tertentu, atau dengan teori-teori
lain yang diyakini valid. Kelompok kriteria ketiga berkaitan dengan kelengkapan teori.
Ini termasuk keumuman awalnya, atau kemampuan untuk menunjukkan kesatuan
yang mendasari dalam fenomena yang tampaknya beragam. Kesuburan atau
kesuburan nilai teori untuk menyarankan hipotesis, hukum, konsep, atau eksperimen
baru dekat dengan "ekstensibilitas" Margenau dan "penerapan" Toulmin.
d. Understanding as the Goal of Science
Tujuan sains adalah untuk memahami alam, dan bahwa konfirmasi prediksi
empiris hanyalah satu elemen dalam pengujian teori. Tujuan ilmuwan adalah untuk
menunjukkan bahwa suatu peristiwa (baik masa lalu atau masa depan) adalah
contoh dari hukum umum (yaitu, peristiwa tersebut dapat disimpulkan dari hukum
ditambah informasi tentang kondisi sebelumnya). Menjelaskan peristiwa masa lalu,
tulisnya, selalu setara dengan menunjukkan bahwa peristiwa itu bisa diprediksi dari
pendahulunya. Pandangan ini telah dibantah karena sejumlah alasan. Dalam
mengevaluasi teori, ada kriteria empiris yang sesuai dengan observasi dan kriteria
rasional koherensi dan kelengkapan. Tujuan utama sains adalah pemahaman
intelektual; kontrol adalah pertimbangan sekunder.

1. The Relation of Scientific Concept to Reality


Bagaimana status hukum, teori, dan konsep ilmiah? Bagaimana bahasa sains terkait
dengan subjek yang menggunakannya dan objek yang hendak diwakilinya? Kami telah
menunjukkan bahwa hingga abad ini sebagian besar ilmuwan mengasumsikan realisme
sederhana di mana teori dipahami sebagai replika dunia yang tepat; Dalam positivisme,
teori dipandang sebagai ringkasan data; dalam instrumentalisme, teori adalah alat yang
berguna; dalam idealisme, teori adalah struktur mental; dan dalam realisme, itu adalah
representasi dunia.
a. Theories as Summaries of Data (Positivism)
Tradisi empiris kembali pada Francis Bacon, Hume, dan Mill telah
menekankan sisi observasi dari ilmu pengetahuan. Mach, Russell, Pearson, dan
Bridgman adalah di antara ilmuwan yang memandang konsep dan teori sebagai
ikhtisar dari data-data, dan perangkat mental untuk mengklasifikasi observasi.
“Atom” dan “molekul”, misalnya, hanyalah kategori yang menyarikan dan
menyederhanakan data laboratorium; konsep teoretis yang diformulasikan untuk
memberi ringkasan dari pengalaman.
Mereka mengarahkan pada ekonomi pemikiran, tapi sejak mereka tidak
mendesain sendiri sesuatu yang mampu mengobservasi secara langsung, mereka
tidak bisa disebut nyata. Bacon misalnya, memandang sangat penting pada
pengamatan inderawi yang partikular lalu maju sampai pada ungkapan yang paling
umum (dia sebut axioma) untuk menurunkan secara deduktif. Hal sama yang
dikembangkan di Lingkaran Wina (kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada
tahun 1924), di mana pengalaman sebagai satunya pengetahuan.
b. Theories as Useful Tools (Instrumentalism)
Instrumentalis memberikan peran yang lebih besar daripada positivis pada
aktivitas orang yang mengetahui dalam penciptaan skema konseptual yang
imajinatif. Teori dibicarakan sebagai maksim pengatur, prinsip prosedur, atau teknik
yang digunakan untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penyelidikan ilmiah.
Mereka adalah fiksi dalam arti penemuan manusia untuk mengoordinasikan atau
menghasilkan pernyataan observasi. Perhatian diarahkan pada cara suatu teori
digunakan, fungsinya sebagai sarana penyelidikan, bias juga sebagai (a) alat
penghitung untuk membuat prediksi yang akurat, (b) mengatur panduan untuk
mengarahkan eksperimen lebih lanjut, dan (c) alat praktis untuk mencapai kendali
teknis. Nagel mengkritik instrumentalisme dengan menyarankan bahwa "teori adalah
alat penyelidikan yang efektif hanya jika hal-hal dan peristiwa benar-benar terkait
sehingga kesimpulan teori memungkinkan kita untuk menyimpulkan dari data
eksperimental yang diberikan sesuai dengan masalah lebih lanjut dari fakta yang
diamati. Akhirnya, instrumentalisme tidak bisa menolak adopsi dua teori yang
kontradiktif jika keduanya berguna; namun praktik semacam itu tidak diikuti oleh para
ilmuwan, dan penemuanpenemuan baru telah muncul dari upaya-upaya untuk
menyelesaikan ide-ide yang saling bertentangan.
c. Theories as Mental Structures ( Idealism )
Idealisme berjalan lebih jauh daripada instrumentalisme dalam
mengaksentuasikan kontribusi orang-orang yang tahu; di sini struktur teori telah benar-
benar dibebankan oleh pikiran dalam kekacauan kegunaan data. Idealisme filosofis yang
ditunjukkan oleh Eddington, Jeans, dan Milne menemukan beberapa pendukung
sekarang ini, tapi neo-Kantianisme yang telah dimodifikasi juga ditemui pada Cassirer,
Margenau, dan ada juga beberapa perbedaan pemikiran di antara filsuf lintas benua
seperti von Weizsacker.
Eddington menggunakan gambaran hidup untuk menyampaikan pengaruh yang
menentukan yang disebutnya sebagai man‟s mind dalam semua ilmu pengetahuan. Ada
rumusan-rumusan pengertian penting yang bisa diringkas dari idealisme ini:
1. Teori bahwa alam semesta adalah suatu penjelmaan pikiran
2. Untuk bereksistensi realitas bergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas
pikiran
3. Seluruh realitas itu bersifat mental (spiritual, psikis). Materi, yang fisik, tidak ada
4. Tidak ada pengetahuan yang mungkin selain keadaan-keadaan dan proses-proses
mental, dan itu saja yang ada
5. Realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri,
ide, dan bukan dengan materi
6. Hanya aktivitas berjenis-pikiran (mind type) dan isi pikiran yang ada.

d. Theories as Represetations of The World ( Realism)


Whitehead mengembangkan epistem ologi realis, baik dalam diskusinya
tentang persepsi maupun perlakuannya terhadap sains. Whitehead menegaskan
"prinsip ontologis" bahwa dunia harus dipahami hanya dengan mengacu pada
makhluk yang ada di dalam dan untuk diri mereka sendiri. Konstituen dasar dari
dunia nyata dia anggap sebagai peristiwa yang disatukan dalam proses daripada
zat yang terpisah dengan kualitas. Whitehead lebih menonjolkan objek daripada
subjek dalam pengetahuan, tetapi peran subjek sama sekali tidak dihilangkan,
karena (a) kenyataan tidak terdiri dari hal-hal tetapi dari peristiwa yang terjadi
dalam jaringan hubungan yang mencakup baik yang mengetahui maupun yang
diketahui; (b) pengetahuan muncul bukan dari subjek atau objek saja tetapi dari
situasi interaksi timbal balik, dan (c) bahasa ilmiah bersifat simbolik, yang berasal
dari abstraksi selektif subjek dari situasi total.
1.2. FROM THE SCIENCES TO THE HUMANITIES
Tidak ada analisis sistematis dari ilmu sosial atau humaniora yang dicoba di
sini. Menurut gambaran umum, ilmu adalah "obyektif" yang diartikan bahwa mereka
ditentukan oleh objek penyelidikan mereka, sedangkan humaniora adalah "subyektif"
yang, sebagian besar merupakan produk dari subjek individu.
“Budaya ketiga”, yaitu ilmu-ilmu sosial, yang akan kami komentari secara
singkat, berfungsi sebagai jembatan antara ilmu dan humaniora.Bagian I, "Objektivitas
dan Keterlibatan Pribadi dalam Sains, membahas pengaruh orang yang mengetahui
data ilmiah, dan poin-poin di mana penilaian pribadi ilmuwan tidak dapat digantikan
oleh aturan formal. Dalam Bagian II, "Objektivitas dan Keterlibatan Pribadi dalam Ilmu
Sosial," kontribusi kesadaran introspektif dan pengandaian interpretatif orang yang
mengetahui dalam pemahaman orang lain dibahas secara singkat. Bagian III,
“Keabsahan dan Keunikan dalam Sejarah,” menyatakan bahwa perhatian sejarawan
terhadap peristiwa unik dan tak terulang tidak mengecualikan penggunaan
generalisasi serupa hukum yang implisit.
1. Objectivity and Personal Involvement in Science
Dalam stereotip populer, inkuiri ilmiah dikatakan objektif karena ditentukan
oleh objek pengetahuan, bukan subjek yang mengetahuinya. Dalam terang karya
ilmiah aktual, bagaimanapun, pandangan objektivitas ini harus dimodifikasi untuk
memungkinkan kontribusi ilmuwan sebagai agen eksperimental, sebagai pemikir
kreatif, dan sebagai diri pribadi. Objek studi tidak dapat diketahui keberadaannya
“independen dari pengamat,” karena dipengaruhi oleh pengamat dalam proses
pengukuran. Penilaian teori dibuat bukan dengan penerapan "aturan formal", tetapi
oleh penilaian pribadi ilmuwan. Kami akan menyampaikan bahwa gagasan
objektivitas tidak boleh dibuang melainkan dirumuskan kembali untuk memasukkan
kontribusi subjek;

a. The Influence of the Observer on the Data


Data ilmiah dikatakan obyektif karena berasal dari objek eksternal di
dunia publik. “Data” berarti “yang diberikan,” yang tidak bergantung pada
kemauan subjek, menghadapinya dengan cara yang seragam dan stabil,
dan dapat diakses oleh pengamat lain. Karena sains mencoba untuk
menangani objek eksternal, hasil dinyatakan dengan referensi sesedikit
mungkin kepada pengamat. "Keterlibatan pengamat" ini mengacu pada
efek proses pengukuran sebagai operasi fisik eksperimen dapat dilakukan
dengan peralatan otomatis dan hasilnya direkam dengan kamera tanpa
kehadiran ilmuwan. Ini adalah proses eksperimen, bukan ilmuwan sebagai
pribadi atau pikiran, yang harus diperhitungkan (karenanya fisika modern
tidak memberikan pembenaran untuk idealisme metafisik). Intinya adalah
tidak ada pemisahan sederhana antara pengamat dan yang diamati karena
seseorang selalu berurusan dengan hubungan dan interaksi daripada objek
itu sendiri. Jadi, objektivitas tidak dapat berarti "studi tentang objek yang
independen", karena objek yang sepenuhnya independen tidak akan
pernah bisa diketahui. Karena "data" selalu merupakan pilihan dari
pengalaman dalam hal tujuan dan harapan seseorang. Apa yang dicari
ilmuwan, dan sampai taraf tertentu, apa yang dilihatnya, dipengaruhi oleh
tradisi dan paradigma komunitas ilmiah. Dengan begitu objektivitas data
hanya dapat direproduksi dalam komunitas ilmiah yang berbagi
sekumpulan asumsi dan konsep yang sama. Ini memberikan dasar untuk
komunikasi dan kesepakatan; tetapi tidak berarti bahwa data tidak
bergantung pada operasi eksperimental pengamat atau kategori
interpretatifnya.
b. The Personal Judgement of the Scientist
Tampaknya tidak mungkin komputer akan menghasilkan konsep baru.
Sehubungan dengan pengujian teori, gagasan sederhana tentang objektivitas
sebagai "verifikasi empiris", karena tidak pernah ada "verifikasi" yang konklusif, dan
kriteria tidak pernah sekadar "empiris". Kriteria ditentukan sehingga pilihan antara
teori tidak memerlukan sesuatu yang subjektif seperti penilaian pribadi ilmuwan.
Proses logis bersifat impersonal dan dapat dilakukan oleh computer seperti
pencatatan data, pengolahan data, pengklasifikasian dan manipulasi perhitungan.
Tetapi tampaknya banyak aspek evaluasi teori tidak dapat diungkapkan dalam
aturan formal. Bahkan dalam menentukan "persetujuan dengan observasi," penilaian
bukti membutuhkan pertimbangan pribadi. Frank tampaknya dibenarkan dalam
menolak pandangan ini: "Alasan para ilmuwan menerima teori tertentu sangat sedikit
terkait dengan 'probabilitas' teori." Bahkan jika kita dapat memprogram mesin untuk
memilih di antara teori, seseorang masih akan memiliki untuk memutuskan kriteria
yang akan digunakan dan harus menerima atau menolak pilihannya. Terutama
terkait dengan teori-teori yang bersifat umum luas atau masih kontroversial, selalu
ada banyak faktor yang terlibat. Jika komputer dapat memberikan beberapa evaluasi
tentang "keindahan intelektual" atau "kesederhanaan", yang tampaknya tidak
mungkin, berapa bobot yang harus diberikan untuk pertimbangan seperti penilaian
masing-masing ilmuwan bervariasi, dan pandangan utama komunitas ilmiah telah
berubah.
c. Objectivity as Intersubjective Testability
Beberapa aspek objektivitas, dan dalam setiap kasus ditemukan bahwa
subjek serta objek berkontribusi pada penyelidikan ilmiah. Data tersebut tidak
“independen dari pengamat,” karena situasi ini diganggu oleh ilmuwan sebagai agen
percobaan. Konsep tidak disediakan oleh alam, tetapi dikonstruksi oleh ilmuwan
sebagai pemikir kreatif. Teori tidak “diverifikasi secara empiris,” tetapi dievaluasi oleh
kriteria empiris dan rasional secara bersamaan; evaluasi semacam itu tidak dapat
dilakukan dengan "aturan formal", tetapi hanya dengan penilaian ilmuwan sebagai
orang yang bertanggung jawab. Aspek pertama dari gagasan objektivitas yang
dirumuskan ulang adalah kemampuan untuk menguji intersubjektif. Karena
komunitas ilmiah adalah konteks dari semua penelitian, aktivitas subjek tidak
mengarah pada tingkah laku yang sewenang-wenang dan pribadi. Karena
keterlibatan subjek dalam komunitas yang melampaui perbedaan istimewa
membawa penyelidikan di luar kepentingan individu.

2. Objectivity and Personal Involvement in The Social Sciences


Pengaruh proses observasi pada data lebih kuat. Data sosial juga sudah
sarat dengan teori, yang ditafsirkan dan dilaporkan dalam kategori konseptual.
Terdapat dua contoh perdebatan dalam ilmu sosial yang dapat mendukung
sebuah tesis, bahwa sains dan agama dapat ditempatkan dalam spektrum
keterlibatan pribadi yaitu : 1). Kontribusi pengalaman subyektif seorang pengamat
terhadap pemahamannya tentang kehidupan subjektif orang lain. 2). Pengaruh
pengandaian individu dan budaya pada objektivitas ilmuwan sosial.
a. Personal Involvement and the Study of Man
Pentingnya gagasan yang dipegang oleh orang-orang sikap, konsep, dan
pemahaman diri para peserta. Tidak semua akan bertindak sejauh pernyataan Max
Weber bahwa fenomena budaya itu penting hanya karena mereka terkait dengan
makna dan orientasi nilai orang. Ekonom Hayek mengklaim bahwa “hubungan antara
manusia dan semua institusi sosial mereka hanya dapat dipahami dalam hal apa
yang pria pikirkan tentang mereka. ” Penilaian yang lebih ditunjukan oleh Winch
bahwa“ hubungan sosial antara laki-laki, dan gagasan yang diwujudkan oleh
tindakan laki-laki, sebenarnya adalah hal yang sama yang dipertimbangkan dari
sudut pandang yang berbeda. Untuk memahami masa lalu kita harus tahu tentang
kondisi pikiran orang-orang yang terlibat, dan bukan hanya tentang penyebab
mekanis eksternal; menjelaskan tindakan manusia berarti menjelaskannya dalam
kaitannya dengan ide dan pilihan para aktor. Tradisi yang didiskusikan berpendapat
bahwa: (a) pemahaman yang tulus ("verstehen" dalam bahasa Jerman) tentang
orang lain memerlukan imajinasi atau empati yang simpatik, dan (b) empati karena
introspeksi yaitu, pengetahuan diri kita menyediakan dasar pemahaman kita tentang
orang lain. Sebagai ilmuwan, mencari pengetahuan yang obyektif dan prediktabilitas;
sebagai terapis memiliki hubungan pribadi dan dirinya sendiri terlibat. Imajinasi
simpatik diperlukan, namun efektivitas sebagai terapis bergantung pada penggunaan
generalisasi ilmiah. HS Sullivan menyebut peran ini sebagai "pengamat partisipan."
Sebuah gambaran serupa dibuat oleh Redfield dalam membahas interaksi antara
"pandangan luar" dan "pandangan dalam" ketika seorang sosiolog berpartisipasi
dalam komunitas atau budaya. Jika imajinasi simpatik seperti itu membantu
penyelidikan.

b. Subjectivity and Objectivity in the Social Science


Asumsi yang dibawa ke penyelidikan mempengaruhi masalah yang dipilih
untuk dipelajari, jenis pertanyaan yang diajukan, jenis data yang dicari, dan konsep
di mana teori dikembangkan. Karena praduga budaya dan komitmen ideologis yang
mewarnai semua pemikiran, ilmu sosial hanya dapat menghasilkan “pandangan
perspektif” yang secara historis relatif, menurut para penafsir ini. Banyak sejarawan
bahkan lebih tegas dalam menyangkal kemungkinan objektivitas. Motif dan minat
seorang penulis mempengaruhi jenis faktor yang dianggapnya relevan. Fakta tidak
menyatakan maknanya sendiri; Jika sejarah lebih dari sekadar kronik peristiwa-
peristiwa yang terputus, maka seleksi dan interpretasi tidak bisa dihindari. Sekarang
kita harus mengakui bahwa bentuk-bentuk keterlibatan pribadi semacam itu
merupakan masalah yang jauh lebih serius di bidang sosial daripada di ilmu alam.
Kita tidak dapat menerima klaim bahwa "fakta ilmuwan sosial selalu menjadi bagian
dari struktur sosial tidak lebih merupakan hambatan bagi studi objektifnya daripada
fakta bahwa ia juga bagian dari alam semesta fisik yang ia pelajari." Namun
demikian, objektivitas yang dipahami dengan benar adalah ideal yang sah yang tidak
boleh dibuang meskipun tidak pernah sepenuhnya dapat dicapai. Pengujian teori
memang membutuhkan keterbukaan terhadap kenyataan dan kesediaan untuk
membiarkan materi berbicara kepada kita secepat mungkin. Kesetiaan pada bukti,
keterbukaan pikiran, kesopanan dalam klaim seseorang, kritik diri. Menurut Myrdal,
pengandaiannya karena dua alasan: untuk menjadi lebih menyadarinya sendiri dan
untuk memungkinkan pembacanya mempertimbangkannya. Selain itu, gagasan
objektivitas sebagai testabilitas intersubjektif menunjuk pada kegunaan pertukaran
timbal balik dalam mengungkapkan bias individu; beberapa keterbatasan pribadi
dapat diperbaiki dengan membandingkan kesimpulan dengan penerjemah lain.
BAGIAN III
ETHICS IN RESEARCH

1. What is Ethics
Etika atau moral adalah memikirkan aturan untuk membedakan antara benar
dan salah, seperti aturan Emas "Perlakukan orang lain seperti yang anda ingin
mereka perlakukan kepada anda", seperti Sumpah Hipokrates "Pertama-tama,
jangan menyakiti", keyakinan religius seperti Sepuluh Perintah "Jangan membunuh",
atau pepatah bijak seperti ucapan Konfusius adalah cara paling umum untuk
mendefinisikan etika, norma-norma perilaku yang membedakan antara perilaku yang
dapat “diterima” dan “tidak dapat diterima”.

2. What is Ethics in research


Penyimpangan dari perilaku etis terjadi dalam penelitian sebagai akibat dari
ketidaktahuan atau kegagalan untuk merefleksikan secara kritis tradisi bermasalah,
maka pelatihan dalam etika penelitian dapat membantu mengurangi tingkat
penyimpangan serius dengan meningkatkan pemahaman peneliti tentang etika
dengan membuat peka terhadap masalah tersebut. Pelatihan dalam etika penelitian
juga dapat membantu para peneliti bergulat dengan dilema etika seperti
memperkenalkan peneliti pada beberapa konsep, alat, prinsip, dan metode penting
yang dapat berguna dalam menyelesaikan dilema.

3. Why is it Important
Ada beberapa alasan mengapa penting untuk mematuhi norma etika dalam
penelitian :
a. Norma menjelaskan tentang tujuan penelitian, seperti pengetahuan, kebenaran,
dan penghindaran kesalahan. Misalnya larangan terhadap fabrikasi, memalsukan,
atau salah merepresentasikan data penelitian mempromosikan kebenaran dan
meminimalkan kesalahan.
b. Karena penelitian sering kali melibatkan banyak kerja sama dan koordinasi di
antara banyak orang yang berbeda dalam disiplin dan institusi yang berbeda,
standar etika untuk menjelaskan tentang nilai-nilai yang penting untuk kerja
kolaboratif, seperti kepercayaan, akuntabilitas, saling menghormati, dan keadilan.
Misalnya, banyak norma etika dalam penelitian, seperti pedoman untuk
kepenulisan, hak cipta dan kebijakan paten, kebijakan berbagi data, dan aturan
kerahasiaan dalam tinjauan sejawat, dirancang untuk melindungi kepentingan
kekayaan intelektual sekaligus mendorong kolaborasi.
c. Banyak norma etika membantu memastikan bahwa peneliti dapat bertanggung
jawab kepada publik. Misalnya, kebijakan federal tentang kesalahan penelitian,
konflik kepentingan, file perlindungan subjek manusia, perawatan dan
penggunaan hewan diperlukan untuk memastikan bahwa peneliti yang didanai
oleh uang pemerintah dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
d. Norma etika dalam penelitian juga membantu membangun dukungan publik
terhadap penelitian. Orang lebih cenderung mendanai proyek penelitian jika
mereka dapat mempercayai kualitas dan integritas penelitian. Akhirnya, banyak
orang yang melakukan edukasi norma penelitian seperti nilai moral dan sosial
penting lainnya, seperti tanggung jawab sosial, hak asasi manusia, kesejahteraan
hewan, kepatuhan terhadap hukum, serta kesehatan dan keselamatan
masyarakat kepada orang – orang yang akan melakukan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

BAGIAN 1
1. Adib, Muhammad. 2010. Filsafat Ilmu, Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika
Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar XXV.
2. Wibisono, Koento dkk. 1997. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan
Ilmu Pengetahuan. Klaten: Intan Pariwara.
3. Gie,The Liang. 1999.Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
4. Suedi. 2016. Pengantar Ilmu Filsafa.Bogor: IPB Press
5. Sudibyo Lies, Triyanto Bambang, Suswandari Meidswati. 2014. Filsafat Ilmu.
Sleman: CV Budi Utama
BAGIAN 2
Barbour, Ian G. Issues in Science and Religion, London, New York: Harper
Torchbooks, 1968.
BAGIAN 3

Resnik, David B. What is Ethics in Research & Why is it Important?

http://www.niehs.nih.gov/research/resources/bioethics/whatis.cfm Diakses tanggal 18


Oktober 2020

Anda mungkin juga menyukai