Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KESADARAN KOLEKTIF, SISTEM NILAI BUDAYA, SERTA

PEMAHAMAN MAKAN BERSAMA

2.1 Kesadaran Kolektif

Mayarakat disebut Durkheim sebagai sui generis.1 Dalam sekumpulan

masyarakat, terdapat keunikan/ciri khas yang membedakan satu masyarakat dengan

yang lainnya. Keunikan tersebut yang kemudian mempengaruhi dalam sistem

sosial, ekonomi, dan pandangan tentang agama. Dalam kehidupan bermasyarakat,

terdapat unsur-unsur yang penting, yaitu unsur yang mengatur ikatan-ikatan antara

anggota masyarakat. Di dalamnya terdapat aturan di luar individu, yang mengatur

sah tidaknya suatu hubungan individu.2 Aturan inilah yang dikatakan sebagai

collective consciousness atau kesadaran kolektif dan collective representation atau

gambaran kolektif.3

Dalam bahasa Perancis, kata conscience berarti baik „consciousnes‟

(kesadaran) maupun „nurani moral‟. Dalam teori Durkheim tentang masyarakat,

kata ini diterjemahkan sebagai „suara hati kolektif‟. Durkheim mencirikan

kesadaran kolektif dengan cara berikut:

Totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen yang lazim bagi


rata-rata warga dari masyarakat yang sama membentuk suatu sistem tertentu
yang mempunyai kehidupannya sendiri; orang dapat menyebutnya kesadaran
kolektif atau kesadaran bersama. Oleh karena itu, kesadaran kolektif adalah
hal yang berbeda sama sekali dari kesadaran-kesadaran khusus, meskipun ia
dapat disadari hanya melalui kesadaran-kesadaran khusus itu.
(Durkheim, 1893/1964, 79-80)

1
George Ritzer dan Barry Smart, Handbook Teori Sosial (Bandung: Nusa Media, 2011),
1021.
2
Fibry Jati Nugroho, Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik di Objek Wisata Religi Gunung
Kemukus Kabupaten Sragen Jawa Tengah (Disertasi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana, 2017), 37-38.
3
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), 179.

13
Beberapa poin patut digarisbawahi didalam definisi tersebut. Pertama, jelas

bahwa Durkheim menganggap kesadaran kolektif sebagai hal yang terjadi diseluruh

masyarakat tertentu, ketika dia menulis totalitas kepercayaan-kepercayaan dan

sentimen-sentimen rakyat. Kedua, Durkheim membayangkan dengan jelas kesadaran

kolektif sebagai hal yang independen dan mampu menentukan fakta-fakta sosial

yang lain. Akhirnya, meskipun dia menganut pandangan mengenai kesadaran

kolektif yang demikian, Durkheim juga menulis mengenai “kesadaran atasnya"

melalui kesadaran individual. Kesadaran kolektif mengacu kepada struktur umum

pengertian-pengertian, norma-norma dan kepercayaan-kepercayaan yang diyakini

bersama, oleh karena itu, kesadaran kolektif merupakan suatu konsep yang serba

mencakup dan tidak berbentuk.4

Menarik bila memperhatikan pernyataan Frank W. Elwell tentang konsep

kesadaran kolektif Durkheim. Frank W. Elwell menyatakan bahwa menurut

Durkheim keinginan dan kepentingan diri sendiri dari setiap individu itu dipengaruhi

oleh suatu kekuatan yang ada di luar si individu. Kekuatan eksternal ini disebut

sebagai collective conscience yang adalah ikatan sosial bersama yang diekspresikan

melalui ide-ide, nilai-nilai, norma, kepercayaan, dan ideologi budaya yang

dilembagakan dalam struktur sosial, dan diinternalisasikan oleh setiap anggota

pemangku budaya tersebut.5 Tampaknya pernyataan ini bukan dari tulisan Durkheim

secara langsung, melainkan hasil interpretasi dan pemahaman Frank W. Elwell

terhadap pemikiran Durkheim tentang kesadaran kolektif yang tersebar pada

4
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 138.
5
Frank W. Elwell, The Classical Tradition: Malthus, Marx, Weber & Durkheim (Oklahoma:
Rogers State Unversity, 2005), 85–86.

14
beberapa tulisan.6 Dengan keyakinan bahwa Frank W. Elwell telah menelaah dan

memahami pemikiran Durkheim, maka dari pemaparan di atas menunjukkan adanya

komponen-komponen yang menyertai kesadaran kolektif atau collective

consciousness sebagaimana yang dimaksud oleh Durkheim, yaitu: ide, gagasan, nilai,

norma, kepercayaan, dan ideologi.7 Di dalam diri manusia, kesadaran kolektif ini

akan mendorong manusia melakukan perbuatan yang dapat diterima oleh anggota

masyarakat, sehingga orang itu akan diterima oleh semua anggota masyarakat.

Dengan demikian, ia akan mempunyai otoritas moral dalam masyarakat, ia akan

dihargai oleh masyarakat.8

Kesadaran kolektif merupakan suatu ide yang begitu luas dan tidak

berbentuk, mustahil mempelajarinya secara langsung dan harus mendekatinya

melalui fakta-fakta sosial material yang terkait. Ketidakpuasan Durkheim dengan

keterbatasan tersebut menyebabkan dia tidak begitu banyak menggunakan kesadaran

kolektif di dalam karyanya yang belakangan karena lebih menyukai konsep yang

jauh lebih spesifik yakni collective representation atau gambaran kolektif. Dalam

bahasa Perancis representation berarti „ide‟. Durkheim menggunakan istilah itu

untuk mengacu baik kepada suatu konsep kolektif maupun „kekuatan‟ sosial.

Contoh-contoh dari gambaran kolektif adalah simbol-simbol agamis, mitos-mitos,

dan legenda-legenda populer. Semua itu adalah cara-cara masyarakat mencerminkan

dirinya sendiri. Mereka menggambarkan kepercayaan-kepercayaan, norma-norma,

6
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 68.
7
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 68.
8
Fibry Jati Nugroho, Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik di Objek Wisata Religi Gunung
Kemukus Kabupaten Sragen Jawa Tengah…, 38.

15
dan nilai-nilai kolektif, dan mereka mendorong kita untuk menyesuaikan diri kepada

klaim-klaim kolektif itu.9

Gambaran kolektif juga tidak dapat direduksi menjadi para individu karena

mereka muncul dari interaksi-interaksi sosial, tetapi mereka dapat dipelajari secara

lebih langsung daripada kesadaran kolektif karena mereka lebih mungkin untuk

dihubungkan kepada simbol-simbol material seperti bendera, ikon-ikon, dan gambar-

gambar atau dihubungkan dengan praktik praktik seperti ritual-ritual. Oleh karena

itu, sang sosiolog dapat mulai mempelajari bagaimana gambaran-gambaran kolektif

tertentu sangat cocok atau mempunyai pertalian dengan gambaran-gambaran kolektif

lainnya atau tidak.10

Gambaran kolektif adalah simbol-simbol yang mempunyai makna yang sama

bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa

sama satu dengan yang lain. Gambaran kolektif tersebut memperlihatkan cara-cara

anggota kelompok melihat diri mereka dalam hubungan dengan objek yang

mempengaruhi. Gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif, sebuah

entitas yang ada diantara sebuah pikiran kelompok yang bersifat metafisis dan

kenyataan opini publik yang lebih prosais. Kesadaran kolektif mengandung semua

gagasan yang dimiliki secara bersama oleh para anggota individual masyarakat dan

yang menjadi tujuan-tujuan dan maksud-maksud kolektif.11 Gambaran kolektif lebih

9
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern…, 139.
10
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern…, 139.
11
Tom Campbell, Tujuh Teoti Sosial…, 179.

16
tinggi bentuknya ketimbang kehidupan psikis karena gambaran kolektif adalah

kesadaran atas kesadaran.12

Ketika masyarakat berkumpul secara kolektif, yang pada intinya memperkuat

lagi sentimen kolektif dan ide-ide kolektif, ternyata memiliki dimensi lain yang

disebut ingatan kolektif atau collective memory.13 Dalam bingkai kerja Durkheim,

pembahasan tentang memory merupakan sesuatu yang strategis bukan hanya untuk

menjelaskan masa lampau, namun juga bagaimana mentransformasikan masa lalu

kedalam identitas yang tersedia pada masa sekarang.14 Jan Assman memahami

bahwa ingatan kolektif sebagai ingatan sehari-hari. Pemikiran Assmann tentang

ingatan kolektif ini juga mendapatkan pengaruh dari Halbwachs. Argumen dasar dari

teori mereka berdua adalah, bahwa ingatan selalu memiliki aspek sosial.15

Setiap orang adalah bagian dari suatu komunitas. Identitasnya tertanam di

dalam komunitasnya tersebut. Konsep kebebasan juga harus selalu dipahami dalam

kaitan dengan keberadaan komunitas. Setiap komunitas selalu memiliki nilai-nilai

yang berakar pada tradisi yang telah berkembang lintas generasi. Nilai-nilai ini juga

menjadi bagian dari ingatan kolektif. Menurut L. Niethammer, ingatan sehari-hari ini

dapat disebut juga ingatan komunikatif. Setiap manusia memiliki dan mengalami

ingatan ini sebagai bagian dari keseharian hidupnya. Pengaruhnya juga besar pada

cara berpikir dan cara berperilaku seseorang.16

12
Emile Durkheim, On Morality and Society, edited and with an Introduction by Robert N.
Bellah (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973), 221.
13
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 73.
14
Barbara A. Misztal, Durkheim on Collective Memory…, 124.
15
Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity, New German
Critique, No. 65, Cultural History/Cultural Studies (Spring - Summer, 1995), 126.
16
Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity…, 126-127.

17
Menurut Halbawchs, ketika komunikasi yang hidup diproses menjadi budaya

yang objektif baik dalam bentuk teks, gambar, ritus, bangunan, monument, kota,

ataupun pemandangan, maka ingatan sehari-hari itu akan lenyap karena ingatan itu

berubah menjadi sejarah. Namun Assmann tidak setuju dengan pernyataan

Halbawchs, yang melenyapkan ingatan menjadi sejarah karena menurutnya

objektifitas suatu budaya memiliki struktur memori/ingatan sehari–hari.17 Jadi,

kesadaran kolektif memang merupakan sebuah pemikiran yang penting bagi

eksistensi dan keberlangsungan sebuah komunitas atau masyarakat.18

2.2 Sistem Nilai Budaya

2.2.1 Pengertian Kebudayaan

Pertanyaan tentang “apa itu kebudayaan?” telah muncul bersamaan dengan

bercokolnya manusia di muka bumi ini. Setiap definisi menularkan definisi baru, dan

senantiasa baru, yang kerap mendekonstruksi penalaran atau pemahaman terdahulu.

Pelbagai upaya telah dilakukan oleh manusia dalam menelaah pengertian tentang

kebudayaan. Tak gampang menunjukkan bagaimana berbudaya, sebab di dalam

kebudayaan (baik sebagai konsep maupun fakta empiris) senantiasa termuat pelbagai

ketegangan, kompleksitas dan tunas-tunas persoalan baru, yang menuntut siasat-

siasat baru, sebagai konsekuensi dari kinerja imajinasi, intelektualitas dan

reflektivitas manusia yang cenderung bersifat liar dan tak terbendung.19 Ada berbagai

pemahaman tentang kebudayaan baik dari para pemikir Indonesia maupun dari para

pemikir Barat.

- Kebudayaan dalam pemahaman para pemikir Indonesia.

17
Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity…, 128.
18
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 74.
19
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 1.

18
Istilah kebudayaan dalam pemahaman klasik kerap diduga berasal dari bahasa

Sansekerta, yakni buddhayah. Kata tersebut terdiri dari kata budi dan daya. Budi

adalah makna, akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, perasaan. Sedangkan daya

mengandung kompleksitas makna dari yang tersurat dalam budi, juga sebagai

himpunan kemampuan dan segala usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil

pendapat budi untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan.

Perkembangan perkembangan selanjutnya, yang sering digunakan dalam pelbagai

keperluan adalah kebudayaan sebagai pernik-pernik hasil akal budi dan hasil karya

kesenian, keseluruhan kebiasaan dan tradisi serta pola-pola perilaku dalam setiap

suku.20

Takdir Alisjahbana memahami kebudayaan sebagai manifestasi dari cara

berpikir yang sangat luas sifatnya. Menurut Alisjahbana, segala hal mesti

dikembalikan kepada cara berpikir. Ia melihat kebudayaan sebagai teknik atau pola-

pola perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam, sesama manusia dan Tuhan

melalui pelbagai karya dan pola pikirnya. Agus Salim melalui risalah tentang

kebudayaan memahami kebudayaan sebagai integritas antara budi dan daya yang

bermakna sejiwa, tidak lagi menerima di bagi atau dipisah atas dua maknanya

masing-masing.21

Soerjanto Poespowardojo melalui bukunya Strategi Kebudayaan: Suatu

Pendekatan Filosofis memahami kebudayaan sebagai totalitas hidup, proses dan

aktivitas manusia dalam keberadaannya dimuka bumi ini, penghayatan tata nilai

masyarakat, hasil bersama dari segala bidang seni, agama, filsafat, dan lain-lain yang

20
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang…, 8-9.
21
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang…, 11.

19
diwariskan dan yang merupakan proses humanisasi.22 Dalam bukunya Pengantar

Antropologi 1, Koentjaraningrat menalarkan kebudayaan sebagai totalitas dari sistem

gagasan dan rasa, kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata

kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan kesemuanya tersusun dalam

kehidupan masyarakat.23 Ignas Kleden, lebih melihat kebudayaan sebagai sistem

nilai ketimbang sistem pengetahuan.24 Sistem nilai itu dibentuk oleh pelbagai faktor

yakni alam, sejarah, ekonomi, politik, kependudukan, dan aksara. Sementara Sidi

Gazalba mengartikan kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang

menyarakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang

membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu.25

- Kebudayaan dalam pemahaman para pemikir Barat.

Secara etimologis kata culture berasal dari bahasa Latin cultura atau cultus,

yang berarti pengelolaan tanah, pengembangan tanaman, kehalusan perilaku, pola

berhias, penghormatan, pemujaan.26 Dari konsep sederhana itu, kata cultura

kemudian melebar menjadi keunikan adat istiadat masyarakat yang dilihat sebagai

fakta dan kodrat alamiah dari Tuhan. Matthew Arnold mengartikan kebudayaan

sebagai artikulasi aspirasi spiritual dan artistik tertinggi yang perlu dipelajari oleh

tiap manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup; sebuah nilai normatif hasrat

untuk lebih bijak dan baik, studi kesempurnaan, harmonisasi, dan bersifat umum.

Immanuel Kant mengartikan kebudayaan sebagai proses pendewasaan persepsi nilai

22
S. Poespowardojo, Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis (Jakarta: Gramedia
dan LPSP, 1989), 219.
23
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineke Cipta, 1998), 72-96.
24
Ignas Klede, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1997), xvii-xxvii.
25
Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai ilmu: Bentuk-bentuk kebudayaan (Jakarta:
pustaka antara, 1968), 72.
26
John Rundell, Classical Reading in Culture and Civilization (London: Routledge, 1998),
12.

20
dan makna berdasarkan prinsip yang makin berlaku universal. Bagi E. B. Taylor,

kebudayaan dan peradaban itu sama maknanya, yaitu totalitas yang kompleks dari

suatu upaya masyarakat untuk mewujudkan nilai dan makna hidup kearah

kesempurnaan lebih tinggi. Kebudayaan adalah aspirasi tertinggi satu masyarakat,

termasuk didalamnya ialah seni, kepercayaan, moral, hukum, kebiasaan, dan segala

kesanggupan dan kebiasaan yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat. 27

Menurut Goodenough mengemukakan bahwa kebudayaan adalah suatu

sistem kognitif – suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai –

yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Dengan kata lain,

menurut pandangan ini kebudayaan berada dalam “tatanan kenyataan yang

ideasional”, atau kebudayaan merupakan perlengkapan mental yang oleh anggota-

anggota masyarakat dipergunakan dalam proses-proses orientasi, transaksi,

pertemuan, perumusan gagasan, penggolongan, dan penafsiran perilaku sosial dalam

masyarakat. Clifford Geertz mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan suatu

sistem makna simbolik; seperti dalam bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem

semiotik yang mengandung simbol-simbol yang berfungsi mengkomunikasikan

maknanya dari pikiran seseorang ke pikiran orang-orang lain. Kebudayaan adalah

objek, tindakan, atau peristiwa dalam dunia yang dapat disaksikan, dirasakan dan

dipahami yang mengisyaratkan makna-makna antara pikiran anggota-anggota

individual masyarakat. Berdasarkan pendapat dari Goodenough dan Geertz,

perbedaan utamanya ialah bagi Geertz simbol dan makna (kebudayaan) tidak berada

dalam pikiran individu-individu dalam masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh

27
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang…, 18 – 20.

21
Goodenough, tetapi berada di antara individu-individu yang dimaksud; bersama-

sama dimiliki oleh aktor-aktor sosial sebagai kenyataan publik, bukan pribadi.28

Definisi-definisi di atas mewakili pandangan yang melihat kebudayaan

sebagai pemilik wilayah cakupan yang amat luas, sekaligus memandang kebudayaan

sebagai sistem besar, fungsional dan menjadi penentu bagi seluruh aspek kehidupan

sosial. Kebudayaan adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di

masyarakat. Dengan demikian, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang

dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke

generasi. Seseorang yang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda

budaya akan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, dan ini membuktikan bahwa

budaya itu dipelajari dari berbagai definisi, dapat diperoleh pemahaman bahwa

kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan

meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga

dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak.29

2.2.2 Wujud Kebudayaan

Sosiolog Ogburn dan Nimkoff, memandang kebudayaan dalam dua wujud

yaitu kebudayaan material dan kebudayaan non-material. Kebudayaan material ialah

kebudayaan yang terdiri dari benda-benda konkret yang nyata seperti peralatan,

furniture, buku, bangunan, bendungan sebagai benda nyata buatan manusia.

Kebudayaan yang mengacu pada benda-benda fisik, sumber daya, dan ruang yang

digunakan orang untuk mendefinisikan budaya mereka. Ini termasuk rumah,

28
Nico S. Kalangie, Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya (Jakarta: Kesaint Blanc, 1994), 1-2.
29
H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan: dari teori hingga aplikasi
(Bandung, Pustaka Setia, 2013), 19-21.

22
lingkungan, kota, gereja, masjid, kantor, toko dan sebagainya. Pokoknya semua

aspek-aspek fisik yang membantu dan menentukan perilaku dan persepsi

anggotanya.30

Kebudayaan material merupakan bukti fisik tentang keberadaan, identitas,

karakteristik dari suatu kelompok atau komunitas suatu masyarakat tertentu.

Kebanyakan karya arsitektur seperti bangunan bersejarah yang masih dapat kita

amati sekarang merupakan bagian dari kebudayaan material suatu suku bangsa

tertentu, termasuk item material yang paling sederhana seperti buku, perhiasan, sikat

gigi, atau balon sekalipun. Kebudayaan material sering dihubungkan dengan konsep

peninggalan dari suatu suku bangsa yang mempelajari semua bentuk kebudayaan

material yang tampil sebagai bukti kebudayaan masa lalu dari komunitas tertentu.

Studi budaya material sebenarnya merupakan salah satu studi yang fokus pada

artefak di mana artefak diasumsikan selalu tunduk pada para pembuatnya, dengan

kata lain keberadaan artefak tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteksnya.31

Kebudayaan non-material terdiri dari benda-benda abstrak yang tidak

berwujud, misalnya adat istiadat, tradisi, kebiasaan, prilaku, sikap kepercayaan,

bahasa, sastra, seni, hukum, agama dll. Semua bentuk non-material bersifat internal

karena mencerminkan sifat batin manusia dari kelompok atau komunitas tersebut.

Kebudayaan non-material mengacu pada ide-ide non fisik yang dimiliki oleh

sekelompok orang, misalnya tentang keyakinan, nilai-nilai, aturan, norma, bahasa,

organisasi, dan pranata sosial.32

30
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 12-13.
31
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 13.
32
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 13-14.

23
Edward T. Hall memberikan perumpamaan seperti teori gunung es tentang

kebudayaan, bagian dari gunung es yang nampak diatas permukaan air mewakili

aspek-aspek kebudayaan seperti perilaku, kebiasaan makan dan minum, pakaian dan

rumah, bahasa dan artefak seni. Itulah kebudayaan material. Sebaliknya, kita tidak

bisa melihat aspek-aspek yang ada di bawah permukaan es seperti keyakinan, nilai-

nilai, adat, pengalaman dan asumsi, aspek-aspek yang tersembunyi tersebut

merupakan potensi yang memberi dukungan terhadap aspek-aspek yang kelihatan.

Inilah kebudayaan non-material.33

Umumnya para antropolog mengikuti tradisi yang membedakan kebudayaan

itu dalam tiga wujud, yaitu ideas, activities dan artifacts. J. J. Honigmann

berpendirian bahwa kebudayaan itu ada tiga wujudnya, yaitu

1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,

norma-norma, peraturan, dsb.

2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari

manusia dalam masyarakat.

3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.34

Wujud pertama adalah wujud ideas dari kebudayaan. Kebudayaan ideas ini

dapat disebut adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat

istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu, bermaksud menunjukkan

bahwa kebudayaan ideas itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang

mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia

33
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 14-15.
34
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru 1979), 200. Bnd.
Rama Tulus Pilakoannu, Hubungan Punahnya Sistem Pemukiman “Betang” dengan Nilai-Budaya
Suku Dayak Ngaju…, 31-32.

24
dalam masyarakat. Dalam fungsi itu adat terdiri lebih khusus lagi dari beberapa

lapisan, dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas.

Lapisan yang paling abstrak adalah misalnya sistem nilai-budaya. Lapisan kedua,

ialah sistem norma-norma adalah lebih konkret. Sistem hukum yang bersandar

kepada norma-norma adalah lebih konkret lagi. Sedangkan peraturan-peraturan

khusus mengenai berbagai aktifitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat manusia

(seperti misalnya sopan santun), merupakan lapisan adat istiadat yang paling konkret

tetapi terbatas ruang lingkupnya.35

Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai

kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas

manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke

detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang

berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu

masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-

hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan

disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterangan banyak, karena merupakan

seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia

dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-

hal yang dapat diraba, dilihat dan difoto.36

Ketiga wujud dari kebudayaan terurai di atas, dalam kenyataan kehidupan

masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideas dan adat-istiadat

mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-

35
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 201.
36
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 201-202.

25
pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-

benda kebudayaan fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik itu membentuk suatu

lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari

lingkungan alamiahnya, sehingga mempengaruhi pula pola-pola perbuatannya,

bahkan juga mempengaruhi cara pikirnya.37 Bersangkutan dengan konsepsi bahwa

kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah: wujud ideas, wujud kelakuan, wujud

fisik. Adat adalah wujud ideas dari kebudayaan, secara lengkap wujud itu dapat kita

sebut adat tata kelakuan, karena adat itu berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu

contoh dari adat ialah: aturan sopan santun untuk memberi selembaran uang kepada

seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam

empat tingkatan, ialah tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan

tingkat aturan khusus. 38

Tingkatan pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang

lingkupnya. Tingkatan adat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang

paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Konsepsi-konsepsi serupa itu biasanya

luas dan kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak

rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia.

Tingkatan adat ini dapat kita sebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-nilai budaya

tingkat pertama dalam suatu kebudayaan biasanya tidak banyak. Contoh dari suatu

nilai-budaya terutama dalam masyarakat kita, adalah konsepsi bahwa hal yang

bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya

berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep ini, yang biasanya kita sebut nilai

37
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 202. Bnd. Koentjaraningrat,
Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974), 15-17.
38
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 20.

26
gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena memang hampir

semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerjasama dengan

orang lain; dengan perkataan lain: konsep tersebut diatas hanya berarti bahwa semua

kelakuan manusia yang bukan bersifat bersaing atau berkelahi itu adalah baik.

Teranglah bahwa nilai itu sebenarnya tidak rasional.39

Tingkat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma-norma itu

adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari

manusia dalam masyarakat. Peranan manusia dalam kehidupannya adalah banyak,

dan manusia sering berubah peranan dari saat ke saat, dari hari ke hari. Pada suatu

saat dia berperan sebagai orang atasan, saat kemudian dia berperan sebagai orang

bawahan, pada suatu hari dia berperan sebagai seorang guru, pada hari lain dia

berperan sebagai seorang pemimpin partai politik. Tiap peranan membawakan

baginya sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal

memainkan peranannya yang bersangkutan. Jumlah norma dalam suatu kebudayaan

lebih banyak daripada jumlah nilai-budayanya.40

Tingkat yang ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik

hukum adat maupun hukum tertulis). Hukum sudah jelas mengenai bermacam-

macam sektor hidup yang sudah terang batas-batas ruang-lingkupnya. Jumlah

undang-undang hukum dalam suatu masyarakat sudah jauh lebih banyak daripada

jumlah norma yang menjadi pedomannya. Tingkat yang keempat adalah aturan-

aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang-

lingkupnya dalam kehidupan masyarakat. Itulah sebabnya aturan-aturan khusus ini

39
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 20-21.
40
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 21.

27
amat konkret sifatnya dan banyak di antaranya terkait dalam sistem hukum.41 Dalam

pembagian wujud kebudayaan ini tampak bahwa sistem nilai budaya menempati

urutan yang paling atas dan sangat abstrak. Dengan demikian, maka tidaklah mudah

untuk mengetahui sistem nilai budaya yang dianut oleh sebuah masyarakat.

2.2.3 Sistem Nilai Budaya

Berbicara tentang kebudayaan tidak bisa tanpa menyinggung nilai yang

kesehariannya dapat diamati melalui perilaku manusia berdasarkan adat istiadat dari

suatu komunitas masyarakat tertentu. Kebudayaan adalah perilaku yang dipelajari

secara sosial dan ditransmisikan dalam bentuk ide, norma-norma, nilai-nilai dan

keyakinan, dan semuanya itu sangat tergantung pada jenis budaya yang kita miliki

sebagai produk. Para sosiolog menjelaskan paling tidak ada dua aspek kebudayaan

yang saling terkait, yaitu benda fisik budaya (material) dan ide-ide (non-material)

yang berhubungan dengan suatu realitas. Bagian ini akan menjelaskan budaya yang

non-material berupa ide-ide nonfisik seperti nilai. Nilai adalah ide-ide tentang apa

yang baik, benar, dan adil. Nilai sebagai salah satu unsur dasar pembentukan

orientasi budaya, nilai melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu

sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek,

bersih atau kotor, cocok atau tidak cocok.42

Meskipun nilai tidak selalu menggambarkan perilaku suatu budaya, namun

nilai dapat menjelaskan untuk apa sesuatu itu kita lakukan. Hal ini karena nilai

cenderung menjadi dasar bagi semua keputusan yang kita buat, nilai merupakan

dasar bagi kita untuk menilai tindakan kita sendiri terhadap orang lain. Nilai dapat

41
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 22.
42
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 54-55.

28
dianggap sebagai bagian yang tersembunyi dari kebudayaan. Jika, kebudayaan

disamakan dengan gunung es maka nilai itu ada di bawah permukaan air.

Keberadaan nilai memberi pedoman umum bagi perilaku manusia, dengan demikian

nilai-nilai seperti rasa hormat terhadap martabat manusia, hak-hak dasar, hak milik

pribadi, religiusitas (keberagaman), kesetaraan sosial, yang membimbing perilaku

kita dalam berbagai cara. Nilai-nilai budaya itu dibentuk dari berbagai sumber, antara

lain:

1. Adaptasi dengan lingkungan

2. Faktor-faktor sejarah

3. Evolusi sosial dan ekonomi

4. Kontak dengan kelompok budaya lain

5. Tekanan masyarakat melalui pemberian hukuman dan ganjaran

6. Pendidikan agama43

Dengan demikian nilai membimbing prinsip-prinsip dalam hidup dan setiap orang

memiliki sistem nilai sendiri yang membantu dirinya dalam perilaku dan tindakan

sepanjang hidupnya. Nilai bisa universal atau juga bersifat pribadi, hanya keyakinan

seseoranglah yang membantu dia untuk menentukan bagaimana dia harus memilih

perilaku dengan cara tertentu sepanjang hidupnya.44

Sistem diartikan sebagai kumpulan bagian-bagian yang bekerja bersama-

sama untuk melakukan suatu maksud. Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak

dari kebudayaan. Sistem budaya atau cultural system merupakan ide-ide dan gagasan

manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam

43
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 55-56.
44
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 78-79.

29
keadaan berdiri sendiri, tetapi berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian,

sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adat istiadat. Adat

istiadat mencakup sistem nilai budaya.45

Sistem nilai budaya merupakan hasil dari suatu proses kebudayaan yang

terejawantahkan dalam berbagai bentuk kebudayaan, baik bentuk kebudayaan

obyektif maupun sistem sosial. Nilai, termasuk juga nilai budaya, merupakan hasil

transformasi karya budi manusia terhadap data, fakta, situasi, dan kejadian alam yang

dihadapinya. Nilai ini berupa nilai imanen yang selanjutnya diobyektivasikan ke

dalam tata kehidupan sehari-hari. Tata kehidupan sehari-hari ini ialah simbol yang

merupakan obyek, tindakan, peristiwa, kualitas, atau relasi yang berlaku sebagai

wahana untuk sebuah konsep.46

Menurut Koentjaraningrat, sistem nilai budaya merupakan tingkat yang

paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi,

yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai hal-

hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu

sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan

manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret,

seperti aturan-aturan khusus, hukum dan norma-norma, semuanya juga berpedoman

kepada sistem nilai budaya. Sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud ideel dari

kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar dan di atas diri para

individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak

45
Basrowi, Pengantar Sosiologi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), 78.
46
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 16. Lht. Emile Durkheim, The Elementary Forms
of The Religious Life)…, 140. Bnd. Rama Tulus Pilakoannu, Hubungan Punahnya Sistem Pemukiman
“Betang” dengan Nilai-Budaya Suku Dayak Ngaju…, 59-60.

30
kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga

konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah

sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam

waktu singkat.47

Istilah kedua, ialah sikap mental, walaupun sering dikacaukan dengan istilah

sistem nilai budaya, sebenarnya mempunyai arti yang sama sekali berlainan. Konsep

sistem nilai budaya atau cultural value system itu banyak dipakai dalam ilmu-ilmu

sosial, yang terutama memfokus kepada kebudayaan juga masyarakat dan baru

secara sekunder kepada manusia individu dalam masyarakat. Sebaliknya, konsep

sikap mental itu banyak dipakai dalam ilmu psikologi yang terutama memfokus

kepada individu dan baru secara sekunder kepada kebudayaan dan masyarakat, yang

merupakan lingkungan dari individu. Suatu sikap adalah suatu disposisi atau keadaan

mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap

lingkungannya, walaupun berada di dalam diri seseorang, tapi sikap itu biasanya juga

dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada nilai budaya.48

Istilah ketiga, ialah mentalitet, bukan istilah buat suatu konsep ilmiah dengan

suatu arti yang ketat. Istilah itu adalah suatu istilah sehari-hari dan biasanya diartikan

sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia

dalam hal menanggapi lingkungannya. Pokoknya, istilah itu mengenai sistem nilai

budaya maupun sikap mental, dan bisa dipakai kalau membicarakan kedua hal

47
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 32-33.
48
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 33.

31
tersebut, tanpa maksud untuk secara ketat mengkhusus terhadap salah satu dari

keduanya.49

Suatu sistem nilai budaya, karena merupakan bagian dari adat, biasanya

dianut oleh suatu persentase yang besar dari warga sesuatu masyarakat. Sebaliknya,

suatu sikap karena berada dalam jiwa individu, sering hanya ada pada individu-

individu tertentu dalam masyarakat. Sungguhpun demikian, ada juga sikap-sikap

tertentu yang karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya, bisa didapatkan secara

lebih meluas pada banyak individu dalam masyarakat.50

Contoh-contoh dari sistem nilai budaya. Contoh dari suatu sikap yang

biasanya hanya ada pada individu-individu tertentu saja adalah misalnya sikap

congkak dalam hal menghadapi orang lain yang berkedudukan sebagai bawahan atau

orang yang bersifat lebih kurang dan lemah secara fisik, mental dan materiel. Contoh

dari suatu sikap yang bisa didapatkan secara lebih meluas pada banyak individu

dalam masyarakat karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya, adalah sikap segan

terhadap pekerjaan yang bersifat memberi pelayanan pada orang lain. Dasarnya

adalah mungkin sikap congkak seperti tersebut di atas, tetapi sikap ini kemudian

terpengaruh oleh nilai budaya yang menganggap bahwa mencapai kedudukan tinggi

di mana orang dapat dilayani orang lain, tetapi tidak usah melayani orang lain,

menjadi tujuan utama yang memberi arti kepada segala usaha dari karya manusia

dalam hidupnya.51

Kini ada juga banyak orang yang bertanya: Suatu sistem nilai budaya dalam

suatu kebudayaan itu sebenarnya mengenai masalah-masalah apa? Untuk menjawab


49
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 33.
50
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 33.
51
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 34.

32
pertanyaan ini, Koentjaraningrat akan menunjuk kepada suatu kerangka dari masalah

yang dapat diterapkan secara universal, untuk menganalisa semua sistem nilai

budaya dari semua kebudayaan yang ada didunia. Kerangka itu mulai dikembangkan

oleh seorang ahli antropologi, Clyde Kluckhohn. Sesudah ia meninggal, konsepnya

dikembangkan lebih lanjut oleh isterinya Florence Kluckhohn, yang dengan

kerangka itu kemudian melakukan suatu penelitian yang nyata. Uraian tentang

konsep itu bersama hasil penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul

Variations in Value Orientation (1961), yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli

sosiologi bernama F. L. Strodtbeck.52

Menurut kerangka Kluckhohn, semua sistem nilai budaya dalam semua

kelompok kebudayaan di dunia itu, sebenarnya mengakut lima masalah pokok dalam

kehidupan manusia. Kelima masalah pokok itu adalah:

1. Masalah mengenai hakekat dari manusia.

2. Masalah mengenai hakekat dari karya manusia.

3. Masalah mengenai hakekat dari kedudukan, manusia dalam ruang waktu.

4. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan alam

sekitarnya.

5. Masalah mengenai hakekat dari hubungan manusia dengan sesamanya.53

Suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia Indonesia

dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan.

Suatu nilai budaya semacam itu akan mendorong manusia untuk melihat dan

52
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 34.
53
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 34-35. Bnd. Bambang
Rudito, Membangun Orientasi Nilai Budaya Perusahaan (Bandung: Rekayasa Sains, 2009), 153.
Serta Bnd. Basrowi, Pengantar Sosiologi…, 84-85.

33
merencanakan masa depannya dengan lebih saksama dan teliti, oleh karena itu akan

memaksa manusia untuk hidup berhati-hati dan untuk berhemat. 54

2.3 Pemahaman Makan Bersama

Tradisi makan bersama dianggap sebagai salah satu ekspresi budaya yang

menonjol, yang diartikan sebagai communal consumption (feasting) atau communal

meal55. Tradisi makan bersama berkaitan dengan fungsi makanan untuk nutrisi,

kepuasan rasa dan hubungan sosial masyarakatnya. Ketika manusia memilih apa

yang dimakan, pilihan tersebut berkaitan dengan lokasi geografis, sejarah, agama,

budaya, dan status sosial. Dalam konteks komunitarian yang kental dengan

kesadaran kolektif, makan bersama tidak hanya melihat sarana namun menjadi cara

memandang dunia.56

Sisi lain dari tradisi ini adalah bahwa selain sifatnya yang umum, tradisi

makan bersama memiliki sifat lokal dan partikularnya. Tidak akan ditemukan

komponen yang serupa persis dalam berbagai tradisi makan bersama. Hal ini

menunjuk pada kekhasan sumber daya alam di lingkungan kehidupan masyarakat

tertentu. Terdapat proses seleksi bahan makanan secara sosial karena standar sosial

turut dipengaruhi oleh apa yang dimakan, sejarah, dan perubahan-perubahan dalam

masyarakat. Tradisi-tradisi yang khas ini mengandung di dalamya sejarah, ide,

aturan, praktik, dan perubahan sosial.57

Makan bersama memperlihatkan berlangsungnya sejarah panjang hubungan

manusia, makanannya dan kehidupan sosial. Georg Simmel menyebut makan

54
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 40.
55
Lht. Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 23.
56
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 24.
57
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 25.

34
bersama sebagai “primordial institution and yet the locus of cultivated refinement”.58

Penjelasan rinci mengenai kompleksitas makan bersama memang dapat ditemukan

dalam sejarah setiap masyarakat. Secara umum, praktik yang menjadi tradisi ini

menandai adanya keunikan dalam setiap kebudayaan manusia bahwa para leluhur

masyarakat menunjukkan ekspresi nilai sosial sebagai penanda kemanusiaan dalam

kehidupan keluarga maupun masyarakat sekitar. Gabriele Weichart melihat

peristiwa-peristiwa sosial di Minahasa yang sarat dengan acara makan dan minum

bersama termasuk dalam tradisi makan bersama sebagai upaya komunitas

mendemonstrasikan rasa memiliki dan berbagi, dengan moto umum “Makan dan

Minum Bersama!” masyarakat hendak menyatakan atau membenarkan bahwa

pertemuan sosial itu berfungsi sebagai mekanisme untuk mengikat masyarakat.59

Banyak sekali kebudayaan manusia yang menggunakan media makanan.

Makanan menjadi medium sosial dan biologis, yang melalui rasa, bau, tekstur serta

tampaknya makanan bisa mengatur mood manusia. Makanan terkait dengan manusia

dan masyarakat secara eksistensial. Makanan dapat membawa orang pada memori

kolektif tertentu. Memori itu bisa muncul berkenaan dengan bau, rasa, kontur

makanan, cara memasak, tempat/asal produksi, dan pemanfaatannya. Dalam hal ini

makanan menjadi bagian kunci yang mempertahankan ikatan sosial dan budaya.

Menurut Goody, makanan mengandung standar sosial. Makanan menjadi sentral bagi

pengaturan konsumsi dan dengan demikian berkaitan dengan proses produksi, daya

58
Dikutip oleh Michael Symons, Simmel‟s Gastronomic Sociology: An Overlooked Essay…,
1.
59
Gabriele Weichart, Makan dan Minum Bersama: feasting commensality in Minahasa,
Indonesia…, 13.

35
tahan pangan, serta perubahan besar masyarakat baik dalam sejarah masa lalu

maupun yang akan datang.60

Peristiwa makan bersama dapat dilakukan dalam peristiwa setiap hari dan

pada waktu-waktu tertentu sesuai dengan peristiwa yang berhubungan dengannya.

Lebih sering terjadi bahwa peristiwa makan bersama berlangsung pada perayaan dan

pelaksanaan kegiatan-kegiatan tertentu seperti perayaan panen, pembangunan di

kampung, perayaan siklus hidup manusia, dll. Hal ini menunjukkan bahwa makan

bersama berada dalam peristiwa-peristiwa penting masyarakat setempat. Makan

bersama dapat mengambil tempat di dalam rumah, di tempat pertemuan yang cukup

besar, lapangan, kebun, hutan, tepi pantai, restoran dan berbagai tempat lain sesuai

dengan peristiwanya.61

60
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 38-40.
61
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 41-42.

36

Anda mungkin juga menyukai