terdapat unsur-unsur yang penting, yaitu unsur yang mengatur ikatan-ikatan antara
sah tidaknya suatu hubungan individu.2 Aturan inilah yang dikatakan sebagai
gambaran kolektif.3
1
George Ritzer dan Barry Smart, Handbook Teori Sosial (Bandung: Nusa Media, 2011),
1021.
2
Fibry Jati Nugroho, Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik di Objek Wisata Religi Gunung
Kemukus Kabupaten Sragen Jawa Tengah (Disertasi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya
Wacana, 2017), 37-38.
3
Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), 179.
13
Beberapa poin patut digarisbawahi didalam definisi tersebut. Pertama, jelas
bahwa Durkheim menganggap kesadaran kolektif sebagai hal yang terjadi diseluruh
kolektif sebagai hal yang independen dan mampu menentukan fakta-fakta sosial
bersama, oleh karena itu, kesadaran kolektif merupakan suatu konsep yang serba
Durkheim keinginan dan kepentingan diri sendiri dari setiap individu itu dipengaruhi
oleh suatu kekuatan yang ada di luar si individu. Kekuatan eksternal ini disebut
sebagai collective conscience yang adalah ikatan sosial bersama yang diekspresikan
pemangku budaya tersebut.5 Tampaknya pernyataan ini bukan dari tulisan Durkheim
4
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 138.
5
Frank W. Elwell, The Classical Tradition: Malthus, Marx, Weber & Durkheim (Oklahoma:
Rogers State Unversity, 2005), 85–86.
14
beberapa tulisan.6 Dengan keyakinan bahwa Frank W. Elwell telah menelaah dan
consciousness sebagaimana yang dimaksud oleh Durkheim, yaitu: ide, gagasan, nilai,
norma, kepercayaan, dan ideologi.7 Di dalam diri manusia, kesadaran kolektif ini
akan mendorong manusia melakukan perbuatan yang dapat diterima oleh anggota
masyarakat, sehingga orang itu akan diterima oleh semua anggota masyarakat.
Kesadaran kolektif merupakan suatu ide yang begitu luas dan tidak
kolektif di dalam karyanya yang belakangan karena lebih menyukai konsep yang
jauh lebih spesifik yakni collective representation atau gambaran kolektif. Dalam
untuk mengacu baik kepada suatu konsep kolektif maupun „kekuatan‟ sosial.
6
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 68.
7
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 68.
8
Fibry Jati Nugroho, Rekonstruksi Ritual Pasca Konflik di Objek Wisata Religi Gunung
Kemukus Kabupaten Sragen Jawa Tengah…, 38.
15
dan nilai-nilai kolektif, dan mereka mendorong kita untuk menyesuaikan diri kepada
Gambaran kolektif juga tidak dapat direduksi menjadi para individu karena
mereka muncul dari interaksi-interaksi sosial, tetapi mereka dapat dipelajari secara
lebih langsung daripada kesadaran kolektif karena mereka lebih mungkin untuk
gambar atau dihubungkan dengan praktik praktik seperti ritual-ritual. Oleh karena
bagi semua anggota sebuah kelompok dan memungkinkan mereka untuk merasa
sama satu dengan yang lain. Gambaran kolektif tersebut memperlihatkan cara-cara
anggota kelompok melihat diri mereka dalam hubungan dengan objek yang
mempengaruhi. Gambaran kolektif adalah bagian dari isi kesadaran kolektif, sebuah
entitas yang ada diantara sebuah pikiran kelompok yang bersifat metafisis dan
kenyataan opini publik yang lebih prosais. Kesadaran kolektif mengandung semua
gagasan yang dimiliki secara bersama oleh para anggota individual masyarakat dan
9
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern…, 139.
10
George Ritzer, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern…, 139.
11
Tom Campbell, Tujuh Teoti Sosial…, 179.
16
tinggi bentuknya ketimbang kehidupan psikis karena gambaran kolektif adalah
lagi sentimen kolektif dan ide-ide kolektif, ternyata memiliki dimensi lain yang
disebut ingatan kolektif atau collective memory.13 Dalam bingkai kerja Durkheim,
pembahasan tentang memory merupakan sesuatu yang strategis bukan hanya untuk
kedalam identitas yang tersedia pada masa sekarang.14 Jan Assman memahami
ingatan kolektif ini juga mendapatkan pengaruh dari Halbwachs. Argumen dasar dari
teori mereka berdua adalah, bahwa ingatan selalu memiliki aspek sosial.15
dalam komunitasnya tersebut. Konsep kebebasan juga harus selalu dipahami dalam
yang berakar pada tradisi yang telah berkembang lintas generasi. Nilai-nilai ini juga
menjadi bagian dari ingatan kolektif. Menurut L. Niethammer, ingatan sehari-hari ini
dapat disebut juga ingatan komunikatif. Setiap manusia memiliki dan mengalami
ingatan ini sebagai bagian dari keseharian hidupnya. Pengaruhnya juga besar pada
12
Emile Durkheim, On Morality and Society, edited and with an Introduction by Robert N.
Bellah (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973), 221.
13
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 73.
14
Barbara A. Misztal, Durkheim on Collective Memory…, 124.
15
Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity, New German
Critique, No. 65, Cultural History/Cultural Studies (Spring - Summer, 1995), 126.
16
Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity…, 126-127.
17
Menurut Halbawchs, ketika komunikasi yang hidup diproses menjadi budaya
yang objektif baik dalam bentuk teks, gambar, ritus, bangunan, monument, kota,
ataupun pemandangan, maka ingatan sehari-hari itu akan lenyap karena ingatan itu
bercokolnya manusia di muka bumi ini. Setiap definisi menularkan definisi baru, dan
Pelbagai upaya telah dilakukan oleh manusia dalam menelaah pengertian tentang
kebudayaan (baik sebagai konsep maupun fakta empiris) senantiasa termuat pelbagai
reflektivitas manusia yang cenderung bersifat liar dan tak terbendung.19 Ada berbagai
pemahaman tentang kebudayaan baik dari para pemikir Indonesia maupun dari para
pemikir Barat.
17
Jan Assmann; John Czaplicka, Collective Memory and Cultural Identity…, 128.
18
Rama Tulus Pilakoannu, Agama Sebagai Identitas Sosial…, 74.
19
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), 1.
18
Istilah kebudayaan dalam pemahaman klasik kerap diduga berasal dari bahasa
Sansekerta, yakni buddhayah. Kata tersebut terdiri dari kata budi dan daya. Budi
adalah makna, akal, pikiran, pengertian, paham, pendapat, perasaan. Sedangkan daya
mengandung kompleksitas makna dari yang tersurat dalam budi, juga sebagai
himpunan kemampuan dan segala usaha yang dikerjakan dengan menggunakan hasil
keperluan adalah kebudayaan sebagai pernik-pernik hasil akal budi dan hasil karya
kesenian, keseluruhan kebiasaan dan tradisi serta pola-pola perilaku dalam setiap
suku.20
berpikir yang sangat luas sifatnya. Menurut Alisjahbana, segala hal mesti
dikembalikan kepada cara berpikir. Ia melihat kebudayaan sebagai teknik atau pola-
pola perilaku manusia dalam berinteraksi dengan alam, sesama manusia dan Tuhan
melalui pelbagai karya dan pola pikirnya. Agus Salim melalui risalah tentang
kebudayaan memahami kebudayaan sebagai integritas antara budi dan daya yang
bermakna sejiwa, tidak lagi menerima di bagi atau dipisah atas dua maknanya
masing-masing.21
aktivitas manusia dalam keberadaannya dimuka bumi ini, penghayatan tata nilai
masyarakat, hasil bersama dari segala bidang seni, agama, filsafat, dan lain-lain yang
20
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang…, 8-9.
21
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang…, 11.
19
diwariskan dan yang merupakan proses humanisasi.22 Dalam bukunya Pengantar
gagasan dan rasa, kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang teratur oleh tata
kelakuan yang harus didapatkan dengan belajar dan kesemuanya tersusun dalam
nilai ketimbang sistem pengetahuan.24 Sistem nilai itu dibentuk oleh pelbagai faktor
yakni alam, sejarah, ekonomi, politik, kependudukan, dan aksara. Sementara Sidi
Gazalba mengartikan kebudayaan sebagai cara berpikir dan cara merasa yang
Secara etimologis kata culture berasal dari bahasa Latin cultura atau cultus,
kemudian melebar menjadi keunikan adat istiadat masyarakat yang dilihat sebagai
fakta dan kodrat alamiah dari Tuhan. Matthew Arnold mengartikan kebudayaan
sebagai artikulasi aspirasi spiritual dan artistik tertinggi yang perlu dipelajari oleh
tiap manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup; sebuah nilai normatif hasrat
untuk lebih bijak dan baik, studi kesempurnaan, harmonisasi, dan bersifat umum.
22
S. Poespowardojo, Strategi Kebudayaan: Suatu Pendekatan Filosofis (Jakarta: Gramedia
dan LPSP, 1989), 219.
23
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineke Cipta, 1998), 72-96.
24
Ignas Klede, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1997), xvii-xxvii.
25
Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan Sebagai ilmu: Bentuk-bentuk kebudayaan (Jakarta:
pustaka antara, 1968), 72.
26
John Rundell, Classical Reading in Culture and Civilization (London: Routledge, 1998),
12.
20
dan makna berdasarkan prinsip yang makin berlaku universal. Bagi E. B. Taylor,
kebudayaan dan peradaban itu sama maknanya, yaitu totalitas yang kompleks dari
suatu upaya masyarakat untuk mewujudkan nilai dan makna hidup kearah
termasuk didalamnya ialah seni, kepercayaan, moral, hukum, kebiasaan, dan segala
sistem kognitif – suatu sistem yang terdiri dari pengetahuan, kepercayaan, dan nilai –
yang berada dalam pikiran anggota-anggota individual masyarakat. Dengan kata lain,
sistem makna simbolik; seperti dalam bahasa, kebudayaan merupakan suatu sistem
objek, tindakan, atau peristiwa dalam dunia yang dapat disaksikan, dirasakan dan
perbedaan utamanya ialah bagi Geertz simbol dan makna (kebudayaan) tidak berada
27
Fransiskus Simon, Kebudayaan dan Waktu Senggang…, 18 – 20.
21
Goodenough, tetapi berada di antara individu-individu yang dimaksud; bersama-
sama dimiliki oleh aktor-aktor sosial sebagai kenyataan publik, bukan pribadi.28
sebagai pemilik wilayah cakupan yang amat luas, sekaligus memandang kebudayaan
sebagai sistem besar, fungsional dan menjadi penentu bagi seluruh aspek kehidupan
sosial. Kebudayaan adalah segala hal yang tercermin dalam realitas apa adanya di
masyarakat. Dengan demikian, budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang
dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
budaya itu dipelajari dari berbagai definisi, dapat diperoleh pemahaman bahwa
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga
kebudayaan yang terdiri dari benda-benda konkret yang nyata seperti peralatan,
Kebudayaan yang mengacu pada benda-benda fisik, sumber daya, dan ruang yang
28
Nico S. Kalangie, Kebudayaan dan Kesehatan: Pengembangan Pelayanan Kesehatan
Primer Melalui Pendekatan Sosiobudaya (Jakarta: Kesaint Blanc, 1994), 1-2.
29
H. Sulasman & Setia Gumilar, Teori-teori Kebudayaan: dari teori hingga aplikasi
(Bandung, Pustaka Setia, 2013), 19-21.
22
lingkungan, kota, gereja, masjid, kantor, toko dan sebagainya. Pokoknya semua
anggotanya.30
Kebanyakan karya arsitektur seperti bangunan bersejarah yang masih dapat kita
amati sekarang merupakan bagian dari kebudayaan material suatu suku bangsa
tertentu, termasuk item material yang paling sederhana seperti buku, perhiasan, sikat
gigi, atau balon sekalipun. Kebudayaan material sering dihubungkan dengan konsep
peninggalan dari suatu suku bangsa yang mempelajari semua bentuk kebudayaan
material yang tampil sebagai bukti kebudayaan masa lalu dari komunitas tertentu.
Studi budaya material sebenarnya merupakan salah satu studi yang fokus pada
artefak di mana artefak diasumsikan selalu tunduk pada para pembuatnya, dengan
kata lain keberadaan artefak tersebut tidak dapat dipisahkan dari konteksnya.31
bahasa, sastra, seni, hukum, agama dll. Semua bentuk non-material bersifat internal
karena mencerminkan sifat batin manusia dari kelompok atau komunitas tersebut.
Kebudayaan non-material mengacu pada ide-ide non fisik yang dimiliki oleh
30
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 12-13.
31
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 13.
32
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 13-14.
23
Edward T. Hall memberikan perumpamaan seperti teori gunung es tentang
kebudayaan, bagian dari gunung es yang nampak diatas permukaan air mewakili
aspek-aspek kebudayaan seperti perilaku, kebiasaan makan dan minum, pakaian dan
rumah, bahasa dan artefak seni. Itulah kebudayaan material. Sebaliknya, kita tidak
bisa melihat aspek-aspek yang ada di bawah permukaan es seperti keyakinan, nilai-
itu dalam tiga wujud, yaitu ideas, activities dan artifacts. J. J. Honigmann
Wujud pertama adalah wujud ideas dari kebudayaan. Kebudayaan ideas ini
dapat disebut adat tata kelakuan, atau secara singkat adat dalam arti khusus, atau adat
istiadat dalam bentuk jamaknya. Sebutan tata kelakuan itu, bermaksud menunjukkan
bahwa kebudayaan ideas itu biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang
mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia
33
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 14-15.
34
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru 1979), 200. Bnd.
Rama Tulus Pilakoannu, Hubungan Punahnya Sistem Pemukiman “Betang” dengan Nilai-Budaya
Suku Dayak Ngaju…, 31-32.
24
dalam masyarakat. Dalam fungsi itu adat terdiri lebih khusus lagi dari beberapa
lapisan, dari yang paling abstrak dan luas, sampai yang paling konkret dan terbatas.
Lapisan yang paling abstrak adalah misalnya sistem nilai-budaya. Lapisan kedua,
ialah sistem norma-norma adalah lebih konkret. Sistem hukum yang bersandar
(seperti misalnya sopan santun), merupakan lapisan adat istiadat yang paling konkret
Wujud kedua dari kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai
kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas
manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain dari detik ke
detik, dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, selalu menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia dalam suatu
masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-
hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Wujud ketiga dari kebudayaan
seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia
dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-
masyarakat tentu tidak terpisah satu dengan lain. Kebudayaan ideas dan adat-istiadat
mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-
35
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 201.
36
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 201-202.
25
pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-
lingkungan hidup tertentu yang makin lama makin menjauhkan manusia dari
kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, ialah: wujud ideas, wujud kelakuan, wujud
fisik. Adat adalah wujud ideas dari kebudayaan, secara lengkap wujud itu dapat kita
sebut adat tata kelakuan, karena adat itu berfungsi sebagai pengatur kelakuan. Suatu
contoh dari adat ialah: aturan sopan santun untuk memberi selembaran uang kepada
seseorang yang mengadakan pesta kondangan. Adat dapat dibagi lebih khusus dalam
empat tingkatan, ialah tingkat nilai budaya, tingkat norma-norma, tingkat hukum dan
Tingkatan pertama adalah lapisan yang paling abstrak dan luas ruang
lingkupnya. Tingkatan adat ini adalah ide-ide yang mengkonsepsikan hal-hal yang
luas dan kabur, tetapi walaupun demikian, atau justru karena kabur dan tidak
rasional, biasanya berakar dalam bagian emosional dari alam jiwa manusia.
Tingkatan adat ini dapat kita sebut sistem nilai-budaya. Jumlah nilai-nilai budaya
tingkat pertama dalam suatu kebudayaan biasanya tidak banyak. Contoh dari suatu
nilai-budaya terutama dalam masyarakat kita, adalah konsepsi bahwa hal yang
bernilai tinggi adalah apabila manusia itu suka bekerjasama dengan sesamanya
berdasarkan rasa solidaritas yang besar. Konsep ini, yang biasanya kita sebut nilai
37
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi…, 202. Bnd. Koentjaraningrat,
Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1974), 15-17.
38
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 20.
26
gotong royong, mempunyai ruang lingkup yang amat luas karena memang hampir
semua karya manusia itu biasanya dilakukannya dalam rangka kerjasama dengan
orang lain; dengan perkataan lain: konsep tersebut diatas hanya berarti bahwa semua
kelakuan manusia yang bukan bersifat bersaing atau berkelahi itu adalah baik.
Tingkat yang kedua dan lebih konkret adalah sistem norma. Norma-norma itu
adalah nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan-peranan tertentu dari
dan manusia sering berubah peranan dari saat ke saat, dari hari ke hari. Pada suatu
saat dia berperan sebagai orang atasan, saat kemudian dia berperan sebagai orang
bawahan, pada suatu hari dia berperan sebagai seorang guru, pada hari lain dia
baginya sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal
Tingkat yang ketiga dan yang lebih konkret lagi adalah sistem hukum (baik
hukum adat maupun hukum tertulis). Hukum sudah jelas mengenai bermacam-
undang-undang hukum dalam suatu masyarakat sudah jauh lebih banyak daripada
jumlah norma yang menjadi pedomannya. Tingkat yang keempat adalah aturan-
aturan khusus yang mengatur aktivitas-aktivitas yang amat jelas dan terbatas ruang-
39
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 20-21.
40
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 21.
27
amat konkret sifatnya dan banyak di antaranya terkait dalam sistem hukum.41 Dalam
pembagian wujud kebudayaan ini tampak bahwa sistem nilai budaya menempati
urutan yang paling atas dan sangat abstrak. Dengan demikian, maka tidaklah mudah
untuk mengetahui sistem nilai budaya yang dianut oleh sebuah masyarakat.
kesehariannya dapat diamati melalui perilaku manusia berdasarkan adat istiadat dari
secara sosial dan ditransmisikan dalam bentuk ide, norma-norma, nilai-nilai dan
keyakinan, dan semuanya itu sangat tergantung pada jenis budaya yang kita miliki
sebagai produk. Para sosiolog menjelaskan paling tidak ada dua aspek kebudayaan
yang saling terkait, yaitu benda fisik budaya (material) dan ide-ide (non-material)
yang berhubungan dengan suatu realitas. Bagian ini akan menjelaskan budaya yang
non-material berupa ide-ide nonfisik seperti nilai. Nilai adalah ide-ide tentang apa
yang baik, benar, dan adil. Nilai sebagai salah satu unsur dasar pembentukan
orientasi budaya, nilai melibatkan konsep budaya yang menganggap sesuatu itu
sebagai baik atau buruk, benar atau salah, adil atau tidak adil, cantik atau jelek,
nilai dapat menjelaskan untuk apa sesuatu itu kita lakukan. Hal ini karena nilai
cenderung menjadi dasar bagi semua keputusan yang kita buat, nilai merupakan
dasar bagi kita untuk menilai tindakan kita sendiri terhadap orang lain. Nilai dapat
41
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan…, 22.
42
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 54-55.
28
dianggap sebagai bagian yang tersembunyi dari kebudayaan. Jika, kebudayaan
disamakan dengan gunung es maka nilai itu ada di bawah permukaan air.
Keberadaan nilai memberi pedoman umum bagi perilaku manusia, dengan demikian
nilai-nilai seperti rasa hormat terhadap martabat manusia, hak-hak dasar, hak milik
kita dalam berbagai cara. Nilai-nilai budaya itu dibentuk dari berbagai sumber, antara
lain:
2. Faktor-faktor sejarah
6. Pendidikan agama43
Dengan demikian nilai membimbing prinsip-prinsip dalam hidup dan setiap orang
memiliki sistem nilai sendiri yang membantu dirinya dalam perilaku dan tindakan
sepanjang hidupnya. Nilai bisa universal atau juga bersifat pribadi, hanya keyakinan
seseoranglah yang membantu dia untuk menentukan bagaimana dia harus memilih
sama untuk melakukan suatu maksud. Sistem budaya merupakan wujud yang abstrak
dari kebudayaan. Sistem budaya atau cultural system merupakan ide-ide dan gagasan
manusia yang hidup bersama dalam suatu masyarakat. Gagasan tersebut tidak dalam
43
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 55-56.
44
Alo Liliweri, Pengantar Studi Kebudayaan…, 78-79.
29
keadaan berdiri sendiri, tetapi berkaitan dan menjadi suatu sistem. Dengan demikian,
sistem budaya adalah bagian dari kebudayaan yang diartikan pula adat istiadat. Adat
Sistem nilai budaya merupakan hasil dari suatu proses kebudayaan yang
obyektif maupun sistem sosial. Nilai, termasuk juga nilai budaya, merupakan hasil
transformasi karya budi manusia terhadap data, fakta, situasi, dan kejadian alam yang
dalam tata kehidupan sehari-hari. Tata kehidupan sehari-hari ini ialah simbol yang
merupakan obyek, tindakan, peristiwa, kualitas, atau relasi yang berlaku sebagai
paling abstrak dari adat. Suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi,
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat, mengenai hal-
hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu
sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan
manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret,
kepada sistem nilai budaya. Sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud ideel dari
kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar dan di atas diri para
individu yang menjadi warga masyarakat yang bersangkutan. Para individu itu sejak
45
Basrowi, Pengantar Sosiologi (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), 78.
46
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 16. Lht. Emile Durkheim, The Elementary Forms
of The Religious Life)…, 140. Bnd. Rama Tulus Pilakoannu, Hubungan Punahnya Sistem Pemukiman
“Betang” dengan Nilai-Budaya Suku Dayak Ngaju…, 59-60.
30
kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga
konsepsi-konsepsi itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Itulah
sebabnya nilai-nilai budaya tadi sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam
waktu singkat.47
Istilah kedua, ialah sikap mental, walaupun sering dikacaukan dengan istilah
sistem nilai budaya, sebenarnya mempunyai arti yang sama sekali berlainan. Konsep
sistem nilai budaya atau cultural value system itu banyak dipakai dalam ilmu-ilmu
sosial, yang terutama memfokus kepada kebudayaan juga masyarakat dan baru
sikap mental itu banyak dipakai dalam ilmu psikologi yang terutama memfokus
kepada individu dan baru secara sekunder kepada kebudayaan dan masyarakat, yang
merupakan lingkungan dari individu. Suatu sikap adalah suatu disposisi atau keadaan
mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap
lingkungannya, walaupun berada di dalam diri seseorang, tapi sikap itu biasanya juga
dipengaruhi oleh nilai budaya, dan sering juga bersumber kepada nilai budaya.48
Istilah ketiga, ialah mentalitet, bukan istilah buat suatu konsep ilmiah dengan
suatu arti yang ketat. Istilah itu adalah suatu istilah sehari-hari dan biasanya diartikan
sebagai keseluruhan dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia
dalam hal menanggapi lingkungannya. Pokoknya, istilah itu mengenai sistem nilai
budaya maupun sikap mental, dan bisa dipakai kalau membicarakan kedua hal
47
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 32-33.
48
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 33.
31
tersebut, tanpa maksud untuk secara ketat mengkhusus terhadap salah satu dari
keduanya.49
Suatu sistem nilai budaya, karena merupakan bagian dari adat, biasanya
dianut oleh suatu persentase yang besar dari warga sesuatu masyarakat. Sebaliknya,
suatu sikap karena berada dalam jiwa individu, sering hanya ada pada individu-
tertentu yang karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya, bisa didapatkan secara
Contoh-contoh dari sistem nilai budaya. Contoh dari suatu sikap yang
biasanya hanya ada pada individu-individu tertentu saja adalah misalnya sikap
congkak dalam hal menghadapi orang lain yang berkedudukan sebagai bawahan atau
orang yang bersifat lebih kurang dan lemah secara fisik, mental dan materiel. Contoh
dari suatu sikap yang bisa didapatkan secara lebih meluas pada banyak individu
dalam masyarakat karena terpengaruh oleh sistem nilai budaya, adalah sikap segan
terhadap pekerjaan yang bersifat memberi pelayanan pada orang lain. Dasarnya
adalah mungkin sikap congkak seperti tersebut di atas, tetapi sikap ini kemudian
terpengaruh oleh nilai budaya yang menganggap bahwa mencapai kedudukan tinggi
di mana orang dapat dilayani orang lain, tetapi tidak usah melayani orang lain,
menjadi tujuan utama yang memberi arti kepada segala usaha dari karya manusia
dalam hidupnya.51
Kini ada juga banyak orang yang bertanya: Suatu sistem nilai budaya dalam
32
pertanyaan ini, Koentjaraningrat akan menunjuk kepada suatu kerangka dari masalah
yang dapat diterapkan secara universal, untuk menganalisa semua sistem nilai
budaya dari semua kebudayaan yang ada didunia. Kerangka itu mulai dikembangkan
kerangka itu kemudian melakukan suatu penelitian yang nyata. Uraian tentang
konsep itu bersama hasil penelitiannya dimuat dalam sebuah buku berjudul
Variations in Value Orientation (1961), yang ditulisnya bersama dengan seorang ahli
kelompok kebudayaan di dunia itu, sebenarnya mengakut lima masalah pokok dalam
sekitarnya.
Suatu nilai budaya yang perlu dimiliki oleh lebih banyak manusia Indonesia
dari semua lapisan masyarakat adalah nilai budaya yang berorientasi ke masa depan.
Suatu nilai budaya semacam itu akan mendorong manusia untuk melihat dan
52
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 34.
53
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 34-35. Bnd. Bambang
Rudito, Membangun Orientasi Nilai Budaya Perusahaan (Bandung: Rekayasa Sains, 2009), 153.
Serta Bnd. Basrowi, Pengantar Sosiologi…, 84-85.
33
merencanakan masa depannya dengan lebih saksama dan teliti, oleh karena itu akan
Tradisi makan bersama dianggap sebagai salah satu ekspresi budaya yang
meal55. Tradisi makan bersama berkaitan dengan fungsi makanan untuk nutrisi,
kepuasan rasa dan hubungan sosial masyarakatnya. Ketika manusia memilih apa
yang dimakan, pilihan tersebut berkaitan dengan lokasi geografis, sejarah, agama,
budaya, dan status sosial. Dalam konteks komunitarian yang kental dengan
kesadaran kolektif, makan bersama tidak hanya melihat sarana namun menjadi cara
memandang dunia.56
Sisi lain dari tradisi ini adalah bahwa selain sifatnya yang umum, tradisi
makan bersama memiliki sifat lokal dan partikularnya. Tidak akan ditemukan
komponen yang serupa persis dalam berbagai tradisi makan bersama. Hal ini
tertentu. Terdapat proses seleksi bahan makanan secara sosial karena standar sosial
turut dipengaruhi oleh apa yang dimakan, sejarah, dan perubahan-perubahan dalam
54
Koentjaraningrat, Kedudayaan, Mentalitet dan Pembangunan…, 40.
55
Lht. Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 23.
56
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 24.
57
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 25.
34
bersama sebagai “primordial institution and yet the locus of cultivated refinement”.58
dalam sejarah setiap masyarakat. Secara umum, praktik yang menjadi tradisi ini
menandai adanya keunikan dalam setiap kebudayaan manusia bahwa para leluhur
peristiwa-peristiwa sosial di Minahasa yang sarat dengan acara makan dan minum
mendemonstrasikan rasa memiliki dan berbagi, dengan moto umum “Makan dan
Makanan menjadi medium sosial dan biologis, yang melalui rasa, bau, tekstur serta
tampaknya makanan bisa mengatur mood manusia. Makanan terkait dengan manusia
dan masyarakat secara eksistensial. Makanan dapat membawa orang pada memori
kolektif tertentu. Memori itu bisa muncul berkenaan dengan bau, rasa, kontur
makanan, cara memasak, tempat/asal produksi, dan pemanfaatannya. Dalam hal ini
makanan menjadi bagian kunci yang mempertahankan ikatan sosial dan budaya.
Menurut Goody, makanan mengandung standar sosial. Makanan menjadi sentral bagi
pengaturan konsumsi dan dengan demikian berkaitan dengan proses produksi, daya
58
Dikutip oleh Michael Symons, Simmel‟s Gastronomic Sociology: An Overlooked Essay…,
1.
59
Gabriele Weichart, Makan dan Minum Bersama: feasting commensality in Minahasa,
Indonesia…, 13.
35
tahan pangan, serta perubahan besar masyarakat baik dalam sejarah masa lalu
Peristiwa makan bersama dapat dilakukan dalam peristiwa setiap hari dan
Lebih sering terjadi bahwa peristiwa makan bersama berlangsung pada perayaan dan
kampung, perayaan siklus hidup manusia, dll. Hal ini menunjukkan bahwa makan
bersama dapat mengambil tempat di dalam rumah, di tempat pertemuan yang cukup
besar, lapangan, kebun, hutan, tepi pantai, restoran dan berbagai tempat lain sesuai
dengan peristiwanya.61
60
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 38-40.
61
Nancy Novitra Souisa, Makan Patita…, 41-42.
36