BAB 1
LATAR BELAKANG
BAB II
PEMBAHASAN
PENGERTIAN
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan
baik dan buruk. Moralitas yang berasal dari bahasa latin mos, yang dalam bentuk jamaknya
mores berarti adat istiadat atau kebiasaan, yang pada dasarnya sama dengan moral yaitu
berpegang pada nilai dan norma yang baik dan buruk.1
Gender adalah peran dan tanggung jawab yang ditujukkan kepada laki-laki dan juga
perempuan. Peran ini ditetapkan ini oleh masyarakat dan budaya (konstruksi sosial) . Gender
mempunyai kaitan dengan suatu proses keyakinan ideologi, mengenai bagaimana seorang
laki-laki dan perempuan diharapkan untuk dapat berpikir maupun bertindak, sesuai dengan
ketentuan sosial dan juga budaya pada wilayah masing-masing. Pembahasan tentang gender
dapat diartikan sebagai pembahasan tentang posisi perempuan dan laki-laki dalm hal akses,
peran, dan kontrol keduanya terhadap sumber-sumber kehidupan, tanggung jawab, manfaat,
hak-hak dan lainnya.2
Peran Gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan.
Peran Gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan,
agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran
Gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang berbeda schingga sangat
mungkin dipertukarkan diantara laki-laki dan реrempuan. Mengurus anak, mencari nafkah,
mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang bisa
dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, schingga bisa bertukar tempat tapa menyalahi
kodkat. Dengan demikian, pekerjaan-pekerjaan tersebur bisa kira istilahkan sebagai peran
Gender. 3
Istilah gender berasal dari Bahasa latin (genus), artinya jenis atau tipe kemudian
istilah ini dipergunakan untuk jenis kelamin (laki laki atau perempuan), dalam kamus Bahasa
inggris istilah ini juga diberi arti jenis kelamin. Tetapi dalam pemakaian berikutnya istilah ini
selalu dikaitkan dengan budaya, istilah gender lebih banyak menunjuk kepada perbedaan
status dan peranan antara laki laki dan perempuan yang terbentuk dalam proses sosial dan
budaya yang panjang. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku.5
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat.6
Pengertian kata "gender" dalam kamus umum bahasa Inggris, misalnya Oxford
Advanced Learner s Dictionary, diartikan dengan "dasifficaaon ofa nown orprtmoun as
moscute arfeminine; sexud dasifficatian; sex: the mok and femak genders" (klasifikasi benda
atau kata ganti benda sebagai maskulin atau feminin; klasifikasi seksual; seks: gender lakilaki
dan gender perempuan).7
Dari beberapa defenisi tersebut dapat diapahami bahwa gender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan antara laki laki dan perempuan dilihat
dari pengaruh social budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat
(social construktions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Dalam konteks tersebut
gender harus dibedakan dari jenis kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu. Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki laki
4
DonnaJ. Haraway, "Gender for Marxist Dictionary: The Sexual Fblitics ofaWord", dalam Women, Gender,
Reiigion, ed. Elizabeth A. Castelli ^lew York: Palgrave, 2001) 5.
5
victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Cleveland, 1984),
h. 561.
6
Helen Tierney (ed.), Women’s Studies Encylopedia, (New York: Green Wood Press 1985). h. 153.
7
S. Hornby, Oxfard Advanced Leamer's Dictionary (Oxford: Oxford UniversityPress,1989).512
maupun perempuan yang konstruksi secara social maupun kultural, misalnya perempuan
dikenal lembut, cantik, emosional, keibuan dan sebagainya. Sedangkan laki laki dikenal kuat,
tampan, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender
pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis
lainnya.8
Gilligan adalah orang yang sangat terkenal melakukan studi empiris tentang gender
dan moralitas. sekumpulan tulisannya akhir-akhir ini, kita menemukan sebuah pembahasan
tentang dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan yang menafsirkan dilema moral dengan
cara yang sangat berbeda, melukiskan apa yang dipikirkan Gilligan adalah perbedaan suara-
suara moral yang berhubungan dengan perbedaan gender. Perbedaan konsep-konsep tentang
orientasi diri yang sangat berbeda terhadap moralitas ini, adalah sebuah apresiasi yang
membantu kita memahami perbedaan-perbedaan antara cara-cara yang dianggap yang pas
bagi laki-laki dan perempuan dalam memper-lakukan satu sama lain.
Ketika peranan semacam itu dipersoalkan, maka laki-laki terkubur dalam lautan
peranan mereka yang scharusnya dalam Keluarga, mendorong laki-laki berpikir untuk
memuaskan diri sendiri dan mendo-rong laki-laki meninggalkan keluarga mereka, sebuah
fenomena yang telal dialami Amerika dalam dekade-dekade terakhir. Joel Anderson menolak
argumentasi Blankenhorn dengan menegaskan bah-wa "orang tua yang tak sadar gender
(genderless parenting)". Anderson menjelaskan bahwa asumsi tradisional tentang peran
gender merusak Klaim perempuan untuk memperoleh perlakuan yang sama. Terhadap kaum
neo-tradisionalis, dia menjelaskan untuk memaiukan stabilitas keluarga sestai dengan
8
joey Sprague & Diane Kbbrynowicz, A Femmist Epistemofogy, in Janet Saltzman Chafetz (2006), Handbook of
the Sosiology of Gender (New york: Springer Science + Business Media), 25-27
komitmen persamaan gender, bahkan ketika dilihat sebagai syarat memajukan persamaan
kekuasaan di antara para istri dan memperluas kesempatan kerja untuk perempuan. Laila
Abu-Lughod lebih mendiskusikan peran gender tradisional pada masyarakat-masyarakat
Islam, Khususnya di kalangan kaum Bedouin, sebuah masyarakat seminomadis yang percaya
untuk mempertahankan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Akibat positif dari isolasi
gender dicerminkan dalam studi mutakhir yang Carol Gilligan lakukan terhadap gadis-gadis
Amerika vang pergi ke sekolah atas atau perguruan tinggi yang seluruh muridnya perem-
puan. Perasaan harga diri para gadis ini lebih besar karena mereka tetap berada dalam
sekolah-sekolah yang menggunakan ukuran gender.
M. Annette Jaimes dan Theresa Halsey membahas tentang mitos bahwa perempuan
Amerika keturunan Indian selalu tersubordinasi oleh laki-laki sukunya. Mereka menjelaskan
bahwa stereotipe perempuan, khususnya perempuan Amerika keturunan Indian, sebagai
jinak, penurut, dan tersubordinasi ole laki-laki, adalah tidak benar. Mereka mengutip
sejumlah contoh suku yang vanita menempati posisi kunci dalam pembuatan keputusan, dan
tentang wanita yang terlibat dalam semua aspek kultur kesukuan, mulai dari perang hingga
ekonomi sampai kepemimpinan spi-ritual. Sebagaimana akan dibuktikan dalam seksi berikut,
banyak dari persoalan yang dihadapi perempuan jumbuh dengan persoalan rasial dan etnis
minoritas, seperti halnva kedua kelompok secara sistematis mengabaikan kekuasaanekonomi,
sosial dan politik.
Carol Gilligan adalah seroang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan pada
Harvard University. Giligan memfokuskan perbedaan responsrespons laki-laki dan
perempuan terhadap dilema Heinz. Pada 1914, dengan esainya “On Narcisism” Freud
mengesampingkan kebenciannya pada pemikiran yang “mengabaikan observasi karena
mandulnya kontroversi teoretis dan memperluas petanya tentang wilayah psikologi. Problem
interpretasi yang membayangi pemahaman tentang perkembangan perempuan berasal dari
perbedaan dalam mengamati hubungan mereka. Perubahan perumpamaan yang menciptakan
problem dalam menafsirkan perkembangan perempuan dijelaskan oleh pernyataan moral dua
orang anak umur 11 tahun, laki-lak dan perempuan, yang melihat, dalam dilema yang sama,
dua problem yang sangat berbeda. Dua anak yang berada dalam kelas enam pada sekolah
yang sama dan merupakan partisipan studi tentang hak dan yang kewajiban, yang dirancang
untuk mengeksplorasi perbedaan konsepsi tentang moralitas diri. Kedua anak yang diamati
itu, Amy dan Jake, keduanya cerdas dan pandai, paling tidak dalam aspirasi umur 11
tahunnya, menolak kategori stereotipe seksual yang mudah, karena Amy bercita-cita menjadi
seorang ilmuwan sementara Jake lebih memilih bahasa Inggris hingga ilmu pasti.
Amy memberikan jawaban bahwa Heinz dapat meminjam uang atau berutang dan
tidak harus mencuri obat. Amy memberikan pertimbangan pada efek pencurian tersebut.
Bahwa jika Heinz masuk pencara mungkin istrinya sakit lagi dan tidak ada lagi yang dapat
mencari obat. Seperti halnya Jake yakin hakim akan setuju bahwa pencurian adalah sesuatu
yang benar bagi Heinz, maka Amy juga yakin bahwa, bila Heinz dan apoteker telah
membicarakan sebelumnya, maka mereka dapat mencapai sesuatu di luar pencurian.
Sementara Jake melihat hukum memiliki kesalahan, maka Amy melihat drama ini sebagai
suatu kesalahan, mempercayai bahwa dunia seharusnya berbagi sesuatu yang lebih dan
karenanya orang tidak akan melakukan pencurian. Amy lebih berpikir pada bagaimana Heinz
harus bertindak dalam merespons kesadaran kebutuhan istrinya.
Kedua anak umur 11 tahun ini, baik kecerdasan maupun persepsinya berbeda,
menampilan mode-mode yang berbeda tentang pemahaman moral, cara yang berbeda tentang
pemikiran mengenai konflik dan pilihan. Dalam mengatasi dilema Heinz, Jake mendasarkan
pada pencurian untuk mengabaikan konfrontasi dan kembali pada hukum untuk menengahi
perselisihan. Perbedaan yang dapat dilihat adalah dalam perumpamaan kekerasan dalam
respons anak laki-laki, melukiskan dunia konfrontasi dan koneksi eksplosif yang berbahaya,
sementara Amy melihat dunia yang penyembuhan dan perlindungan, sebuah kehidupan
bersama orang lain yang mungkin anda cintai sebesar atau bahkan lebih daripada mencintai
diri sendiri. Bagi Jake, tanggung jawab berarti tidak melakukan apa yang di inginkan karena
dia sedang memikirkan orang lain. Bagi Amy, tanggung jawab berarti melakukan apa yang
orang lain harapkan darinya terlepas apakah dirinya sendiri menginginkannya. Kedua anak
tersebut menghubungkan pengabaian rasa luka tetapi menafsirkan problem dengan cara yang
berbeda. Jake melihat luka itu muncup dari ekpresi agresi, sementara Amy melihat dari
respons yang gagal.
Keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dengan
pengertian bahwa lembaga-lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya. Ciri utama lain
dari sebuah keluarga ialah bahwa fungsi utamanya dapat dipisahkan satu sama lain. Keluarga
menyumbangkan kelahiran pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam
masyarakat, pemasyarakatan, dan kontrol sosial.9
Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat. Suatu keluarga terdapat
ayah, ibu, anak dan kesemuanya itu mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, apabila
tidak di jalankan tugas serta fungsinya dengan baik maka akan terjadi suatu ketimpangan
antar anggota keluarga yang terkadang memicu konflik. Salah satu anggota keluarganya yang
kurang paham bahkan tidak melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik, maka
keluarga tersebut akan mengalami gangguan dalam perjalanan kehidupan berkeluarga.
Keluarga tersebut akan mengalami berbagai persoalan yang membuat hubungan
kekeluargaan tersebut retak dan tidak sehat. Keluarga dapat dikatakan harmonis yaitu apabila
keluarga tersebut saling mengerti dan paham akan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya.
Sebuah keluarga secara umum merupakan sekelompok orang yang membentuk rumah
tangga secara bersama-sama berdasarkan, paling tidak sebagian, pada sejenis komitmen
interpersonal yang abadi. Sanksi perkawinan secara legal dan agama merupakan satu contoh
dari komitmen semacam itu, tetapi bukan satu-satunya komitmen. Konsep rumah tangga yang
abadi menangkap inti gagasan tentang kehidupan keluarga dan memiliki kredibelitas dalam
kamus definisi-definisi tentang „‟keluarga‟‟, bahkan sebelum munculnya gelombang
Gerakan feminis sekarang ini. Para komentator sosial menghargai „‟nilai-nilai keluarga‟‟
9
Parrenas, R.S. (2005). Children of global migration: Transnational families and gendered woes. Stanford,
California: Stanford University Press.
biasanya mempertahankan nilai yang dinamakan „‟keluarga tradisional.‟‟ Keluarga
tradisional merupakan pusat keluarga yang terdiri atas bersatunya perkawinan heteroseksual
dan anak-anak mereka secara legal. Laki-laki sebagai pencari nafkah yang utama dan kepala
rumah tangga sedangkan perempuan bertanggung jawab atas hampir semua kerja domestik
serta pemeliharaan anak. Tetapi menurut sensus birokrasi AS, sejak tahun 1977 bentuk
keluarga ini hanya 16 persen dari semua rumah tangga di seluruh AS.
Namun tidak ada satu pun yang khusus yang dapat dihargai mengenai subordinasi
perempuan atas laki-laki. Tidak ada alasan mengapa seorang perempuan yang menyediakan
seluruh waktunya untuk melakukan pekerjan rumah dan menjadi ibu harus melepaskan
otonomi kediriannya sendiri kepada suaminya, atau berbagi control yang sama atas rumah
yang dia buat atau keluarga yang dia munculkan. Tradisi filsafat telah kaya dengan
penghargaan atas hak-hak untuk menentukan sendiri dan pentingnya keberadaan „‟kebebasan
manusia.‟‟ Namun, hingga dekade feminism kontemporer sekarang ini, cita-cita tentang
kebebasan dan otonomi tak pernah diterapkan oleh para filsuf konvensional terhadap peran
tradisional perempuan. Keluarga yang didominasi laki-laki lebih mengancam ketimbang
integritas moral perempuan, hal tersebut juga mengancam kesejahteraan material dan
kesejahteraan anaknya. Seorang perempuan yang seluruh waktunya bekerja di rumah dan ibu
dalam perkawinan heteroseksual secara ekonomi bergantung, dan karenanya dalam berbagai
hal sangat rentan terhadap suaminya. Untuk alasan finansial saja, perempuan lebih banyak
membutuhkan kelangsungan perkawinan daripada laki-laki.
SEKS
Tanpa perasaan kebanggaan maskulin yang berasal dari keadaan sebagai pemberi
yang baik dan model peran yang kuat dalam keluarga, keikutsertaan laki-laki pada tanggung
jawab keayahan telah diturunkan. Jadi, orang tua yang tidak sadar gender menyangkal
perasaan harga diri laki-laki ini. Dalam hal ini kita harus sangat jelas tentang apa yang
mengokohkan perempuan dalam diskusi ini. Neotradisionalis berusaha memperbaiki ide
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran-peran spesifik sebagai ibu, dan ayah yang
mengancam situasi yang mengelilingi tanggung jawab perempuan untuk menjaga anak
melihat kesempatannya mengurangi kembalinya job-job yang menarik. Sebagaimana
dijelaskan diskusi-diskusi tentang "mommy tracks" dan "gals ceiling,tugas pokok menjaga
anak mereka seringkali merintangi pekerjaan perempuan yang semula, baik dengan
pembatasan jumlah waktu untuk dapat mencurahkan pekerjaannya atau dengan menjadikan
mereka calon yang kurang atraktif untuk keadaan posisi-posisi tanggung jawab yang
dipromosikan.
Dengan demikian, bahkan di antara suami/istri yang mencintai satu sama lain,
ketaksamaan negosiasi posisi bisa mengabaikan kesempatan perempuan merencanakan karir
mereka dengan cukup matang. Sekarang ini, laki-laki yang bekerja umumnya lebih baik
daripada perempuan yang bekerja: “pendapatan ibu dan anak menurun rata-rata sekitar 30%,
sementara pendapatan-pendapatan para ayah meningkat antara 10%-15% dalam tahun-tahun
yang berbeda.” Penyebab disparasitas ini adalah kompleks, tetapi disparasitas itu secara
meyakinkan bukan saja meliputi lemahnya penguatan dukungan pembiayaan untuk anak
tetapi sebenarnya juga bahwa sementara para ayah memperbaiki posisi pekerjaan mereka,
para ibu sering memfokuskan pada anak dan menjaga rumah daripada bekerja dan
membangun jaringan. Mengeliminasi bentuk-bentuk ketaksamaan ini merupakan tugas yang
berat. Tugas ini menyangkut perubahan-perubahan signifikan dalam keluarga, publik dan
bisnis. Namun apakah persamaan negosiasi posisi suami/istri benar-benar mengarah pada
sejenis kultur kepentingan pribadi yang mencabik-cabik keutuhan keluarga? Pada dasarnya
ini adalah persoalan empiris dengan kompleksitas isu dan data yang dibutuhkan. Disini kita
dapat membedakan tiga kasus yang berbeda.
Dalam beberapa keluarga, negosiasi posisi kira-kira akan sama. Ketika suami/istri
harus memilih sesuatu yang membahayakan kesempatan meningkatnya karir mereka dan
indepedensi finansial di masa depan, maka pengorbanan dilakukan secara sama. Beberapa
rencana ditempatkan untuk menjamin bahwa baik suami maupun istri tidak akan mengakhiri
keuntungan secara finansial dari sebuah perceraian, dalam kasus semacam itu, kesadaran
persamaan negosiasi posisi agaknya menguatkan stabilitas keluarga, karena suami/istri akan
mengetahui bahwa bahkan ketika mereka tidak berhubungan dengan baik, mereka tidak
dalam posisi untuk mengambil keuntungan dari yang lain. Tentu saja, negosisasi persamaan
posisi tidak cukup untuk mempertahankan perkawinan secara bersama-sama. (2) Dalam
keluarga-keluarga yang sebenarnya mengeksploitasi kekuasaan yang tidak sama, maka
muncul isu yang berbeda seperti apakah mempertahankan keluarga secara bersama-sama
sebenarnya menjadi opsi yang terbaik. Perpecahan keluarga biasanya merupakan sesuatu
yang tak diinginkan orang, dan sesuatu yang buruk. Dalam sebuah keluarga dengan anak
kecil, pilihan untuk mengakhiri perkawinan seringkali mewakili situasi yang tragis, dan
pernyataan kaum neotradisionalis benar bahwa para orang tua harus bertanggung jawab untuk
menerima beberapa pengorbanan untuk situasi yang stabil dalam rumah.
Hanya orang-orang yang bisa memilih pekerjaannya sendiri yang benar-benar bebas
mengembangkan kesadaran tentang identitas dan harga dirinya sendiri. Tidak ada yang
menyangkal kesulitan-kesulitan yang ada dalam mempertahankan keluarga, dan kebanyakan
tantangan-tantangan ini sebagian berasal dari meingkatnya persamaan laki-laki dan
perempuan. Tetapi akan menjadi kesalahan pikiran yang sempit mengatakan bahwa
tantangan-tantangan yang berjalan itu berasal dari tuntutan-tuntutan atas persamaan gender.
Implikasi peran dan moralitas gender dapat memengaruhi dinamika sosial, ekonomi,
dan budaya. Secara khusus, peran gender yang kaku dapat mengakibatkan ketidaksetaraan
dalam kesempatan, gaji, dan akses terhadap sumber daya. Moralitas gender juga dapat
mempengaruhi hak-hak reproduksi dan kebebasan individu.
Pandangan Gereja terhadap peran dan moralitas gender sangat bervariasi di seluruh
denominasi dan tradisi. Beberapa denominasi mungkin menganut pandangan tradisional yang
menekankan peran khusus laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan gereja. Mereka dapat
menafsirkan ajaran agama secara harfiah dan menganggap perubahan dalam peran gender
sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip agama.
Di sisi lain, ada denominasi dan kelompok gereja yang mengadopsi pandangan yang
lebih inklusif terhadap peran gender. Mereka dapat memandang laki-laki dan perempuan
sebagai mitra setara dalam kehidupan dan pelayanan gereja. Beberapa gereja bahkan aktif
memperjuangkan kesetaraan gender dan mendukung partisipasi perempuan dalam jabatan
gerejawi yang lebih tinggi.
Penting untuk diingat bahwa pandangan individu dan gereja terhadap peran dan
moralitas gender dapat berubah seiring waktu, terutama sejalan dengan perubahan
budaya dan sosial.
BAB III
KESIMPULAN
Gender adalah suatu karakteristik sifat pembeda antara laki-laki dan perempuan yang
terbentuk baik dalam lingkungan sosial maupun budaya. Misalnya laki-laki harus kuat, tegas,
pemberani, rasional, pemimpin dan sebagainya, sementara perempuan penyayang, perhatian,
lemat-lembut, cengeng, keibuan dan sebagainya. Oleh karena itu, karakteristik tidaklah
bersifat kodrat atau dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan seharusnya
karakteristik tersebut terlepas dari tindakan diskriminasi masyarakat. Di dalam Alkitab
menjelaskan bahwa gender adalah sebuah karakteristik yang bisa saling dipertukarkan antara
satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Dalam kitab kejadian melihat manusia
dalam bentuk laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang setingkat dan sederajat yang
hendaknya saling tolong-menolong, tidak di keluarga saja, melainkan juga di lingkungan
publik. Demikianlah manusia menurut rencana Allah, Allah membedakan jenis kelamin
manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya.