Anda di halaman 1dari 16

ETIKA TERAPAN

PERANAN DAN MORALITAS GENDER SERTA IMPLIKASINYA


BAGAIMANA PANDANGAN GEREJA TERHADAPNYA
Oleh:
Sindi Shopia Rorong

BAB 1

LATAR BELAKANG

Secara tradisional dalam kebanyakan masyarakat keberadaan laki-laki dan perempuan


berarti bahwa yang pertama memiliki kewajiban-kewajiban moral yang berbeda dan status
moral yang berbeda pula. Dalam kebanyakan masyarakat, perempuan dianggap lemah dan
butuh perlindungan laki- laki. Karena menuntut peningkatan keterlibatan dalam urusan-
urusan publik, maka mereka menjadi subjek perlakuan diskriminatif dalam berbagai bentuk,
sering secara eksplisit dirasionalisasikan dengan merujuk fakta bahwa mereka memiliki sifat-
sifat yang berbeda dari laki-laki.

Memang ada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Perempuan


mengalami menstruasi, kehamilan dan menyusui, sementara laki-laki tidak mengalaminya.
Laki-laki mengalami ejaulasi sementara perempuan tidak mengalaminya. Di luar perbedaan-
perbedaan ini, adalah benar bahwa pada umumnya perempuan sebagai sebuah kelompok,
berbeda dari laki-laki. Laki-laki memiliki kekuatan tubuh yang lebih besar daripada
perempuan.bagaimanapun perbedaan-perbedaan itu bersifat statistikal, bukan natural, karena
ada beberapa perempuan yang memiliki kekuatan tubuh lebih besar daripada kebanyakan
laki-laki. Pada kebanyakan masyarakat, perbedaan-perbedaan natural dan statistikal antara
laki-laki dan perempuan memang dianggap menjustifikasi perbedaan perlakuan seks.

Dalam kebanyakan masyarakat, kejahatan-kejahatan yang terkait dengan gender juga


tidak diberikan status yang sama.Perkosaan dan pelecehan kejahatan di Amerika Serikat
sering tidak ditanggapi seserius seperti kejahatan Penghinaan pembunuhan yang terutama
tidak diarahkan terhadap perempuan. Anna Hill yang dituduhkan Clarence Thomas
melecehkan seksualnya hanyalah contoh, yang paling mutakhir. Berikut ini kita akan
mensurvei sudut pandang pokok tentang pembenaran moral atas perbedaan perlakuan
berdasarkan gender.

BAB II

PEMBAHASAN

PENGERTIAN

Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan
baik dan buruk. Moralitas yang berasal dari bahasa latin mos, yang dalam bentuk jamaknya
mores berarti adat istiadat atau kebiasaan, yang pada dasarnya sama dengan moral yaitu
berpegang pada nilai dan norma yang baik dan buruk.1

Gender adalah peran dan tanggung jawab yang ditujukkan kepada laki-laki dan juga
perempuan. Peran ini ditetapkan ini oleh masyarakat dan budaya (konstruksi sosial) . Gender
mempunyai kaitan dengan suatu proses keyakinan ideologi, mengenai bagaimana seorang
laki-laki dan perempuan diharapkan untuk dapat berpikir maupun bertindak, sesuai dengan
ketentuan sosial dan juga budaya pada wilayah masing-masing. Pembahasan tentang gender
dapat diartikan sebagai pembahasan tentang posisi perempuan dan laki-laki dalm hal akses,
peran, dan kontrol keduanya terhadap sumber-sumber kehidupan, tanggung jawab, manfaat,
hak-hak dan lainnya.2

Peran Gender adalah peran yang diciptakan masyarakat bagi lelaki dan perempuan.
Peran Gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan,
agama, politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, tentunya peran
Gender bisa berubah-ubah dalam waktu, kondisi dan tempat yang berbeda schingga sangat
mungkin dipertukarkan diantara laki-laki dan реrempuan. Mengurus anak, mencari nafkah,
mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dll) adalah peran yang bisa
dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan, schingga bisa bertukar tempat tapa menyalahi
kodkat. Dengan demikian, pekerjaan-pekerjaan tersebur bisa kira istilahkan sebagai peran
Gender. 3

PERANAN DAN MORALITAS GENDER


1
yaiful Sagala, Etika dan Moralitas Pendidikan (Kencana Prenadamedia Group) hal 12-13
2
Ikhlasiah Dalimoenthe, Sosiologi Gender, (Jakarta: Bumi Aksara, 2020) hal 12
3
Dede William de Vries (Gender Bukan Tabu Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan Di Jambi
(Bogor, 2006) hal 5
Kata "gender" secara leksikal berasal dari bahasa Inggris, atau "GescbJecht"
faahasaJerman), "Genre" flDahasaPerancis), "Genero" fcahasa Spanyol), yang artinya
semacam jenis, ras dan kdas, dan "generare" ft>ahasa Latin) yang artinya prokreasi atau bisa
juga bermakna ras atau jenis.4

Istilah gender berasal dari Bahasa latin (genus), artinya jenis atau tipe kemudian
istilah ini dipergunakan untuk jenis kelamin (laki laki atau perempuan), dalam kamus Bahasa
inggris istilah ini juga diberi arti jenis kelamin. Tetapi dalam pemakaian berikutnya istilah ini
selalu dikaitkan dengan budaya, istilah gender lebih banyak menunjuk kepada perbedaan
status dan peranan antara laki laki dan perempuan yang terbentuk dalam proses sosial dan
budaya yang panjang. Dalam Webster’s New World Dictionary, gender diartikan sebagai
perbedaan yang tampak antara laki laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah
laku.5

Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep
kultural yang berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas dan karakteristik emosional antara laki laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat.6

Pengertian kata "gender" dalam kamus umum bahasa Inggris, misalnya Oxford
Advanced Learner s Dictionary, diartikan dengan "dasifficaaon ofa nown orprtmoun as
moscute arfeminine; sexud dasifficatian; sex: the mok and femak genders" (klasifikasi benda
atau kata ganti benda sebagai maskulin atau feminin; klasifikasi seksual; seks: gender lakilaki
dan gender perempuan).7

Dari beberapa defenisi tersebut dapat diapahami bahwa gender adalah suatu konsep
yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan antara laki laki dan perempuan dilihat
dari pengaruh social budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa masyarakat
(social construktions), bukannya sesuatu yang bersifat kodrati. Dalam konteks tersebut
gender harus dibedakan dari jenis kelamin (seks). Jenis kelamin merupakan pensifatan atau
pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada
jenis kelamin tertentu. Konsep gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki laki

4
DonnaJ. Haraway, "Gender for Marxist Dictionary: The Sexual Fblitics ofaWord", dalam Women, Gender,
Reiigion, ed. Elizabeth A. Castelli ^lew York: Palgrave, 2001) 5.
5
victoria Neufeldt (ed), Webster’s New World Dictionary, (New York: Webster’s New World Cleveland, 1984),
h. 561.
6
Helen Tierney (ed.), Women’s Studies Encylopedia, (New York: Green Wood Press 1985). h. 153.
7
S. Hornby, Oxfard Advanced Leamer's Dictionary (Oxford: Oxford UniversityPress,1989).512
maupun perempuan yang konstruksi secara social maupun kultural, misalnya perempuan
dikenal lembut, cantik, emosional, keibuan dan sebagainya. Sedangkan laki laki dikenal kuat,
tampan, rasional, perkasa dan sebagainya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa gender
pada hakikatnya lebih menekankan aspek sosial, budaya, psikologis, dan aspek non biologis
lainnya.8

Gilligan adalah orang yang sangat terkenal melakukan studi empiris tentang gender
dan moralitas. sekumpulan tulisannya akhir-akhir ini, kita menemukan sebuah pembahasan
tentang dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan yang menafsirkan dilema moral dengan
cara yang sangat berbeda, melukiskan apa yang dipikirkan Gilligan adalah perbedaan suara-
suara moral yang berhubungan dengan perbedaan gender. Perbedaan konsep-konsep tentang
orientasi diri yang sangat berbeda terhadap moralitas ini, adalah sebuah apresiasi yang
membantu kita memahami perbedaan-perbedaan antara cara-cara yang dianggap yang pas
bagi laki-laki dan perempuan dalam memper-lakukan satu sama lain.

Marilyn Friedman membahas sarana-sarana peran tradisional laki-laki yang


mengakibatkan kejahatan terhadap perempuan. Friedman memulai dengan men-diskusikan
bagaimana peran keluarga tradisional memberikan kontribusi ter-hadap dominasi laki-laki
dan dependensi perempuan. Bila keluarga tradisional mendorong perempuan untuk
mencurahkan sepenuh hati kepada keluarganya, maka tidak ada yang, secara khusus
menghargai keberadaan perempuan yang disubordinasi laki-laki, karena hal in sering
memperburuk integritas moral pe-rempuan dan "mengancam keberadaan diri dan anaknya."
Berbeda dengan pandangan-pandangan Friedman, David Blankenhorn menjelaskan bahwa
peranan gender tradisional dalam keluarga sangat berarti. Blankenhorn memfokuskan peran
tradisional laki-laki sebagai pencari nafkah dan pendukung ekonomi keluarga.

Ketika peranan semacam itu dipersoalkan, maka laki-laki terkubur dalam lautan
peranan mereka yang scharusnya dalam Keluarga, mendorong laki-laki berpikir untuk
memuaskan diri sendiri dan mendo-rong laki-laki meninggalkan keluarga mereka, sebuah
fenomena yang telal dialami Amerika dalam dekade-dekade terakhir. Joel Anderson menolak
argumentasi Blankenhorn dengan menegaskan bah-wa "orang tua yang tak sadar gender
(genderless parenting)". Anderson menjelaskan bahwa asumsi tradisional tentang peran
gender merusak Klaim perempuan untuk memperoleh perlakuan yang sama. Terhadap kaum
neo-tradisionalis, dia menjelaskan untuk memaiukan stabilitas keluarga sestai dengan
8
joey Sprague & Diane Kbbrynowicz, A Femmist Epistemofogy, in Janet Saltzman Chafetz (2006), Handbook of
the Sosiology of Gender (New york: Springer Science + Business Media), 25-27
komitmen persamaan gender, bahkan ketika dilihat sebagai syarat memajukan persamaan
kekuasaan di antara para istri dan memperluas kesempatan kerja untuk perempuan. Laila
Abu-Lughod lebih mendiskusikan peran gender tradisional pada masyarakat-masyarakat
Islam, Khususnya di kalangan kaum Bedouin, sebuah masyarakat seminomadis yang percaya
untuk mempertahankan pemisahan antara laki-laki dan perempuan. Akibat positif dari isolasi
gender dicerminkan dalam studi mutakhir yang Carol Gilligan lakukan terhadap gadis-gadis
Amerika vang pergi ke sekolah atas atau perguruan tinggi yang seluruh muridnya perem-
puan. Perasaan harga diri para gadis ini lebih besar karena mereka tetap berada dalam
sekolah-sekolah yang menggunakan ukuran gender.

M. Annette Jaimes dan Theresa Halsey membahas tentang mitos bahwa perempuan
Amerika keturunan Indian selalu tersubordinasi oleh laki-laki sukunya. Mereka menjelaskan
bahwa stereotipe perempuan, khususnya perempuan Amerika keturunan Indian, sebagai
jinak, penurut, dan tersubordinasi ole laki-laki, adalah tidak benar. Mereka mengutip
sejumlah contoh suku yang vanita menempati posisi kunci dalam pembuatan keputusan, dan
tentang wanita yang terlibat dalam semua aspek kultur kesukuan, mulai dari perang hingga
ekonomi sampai kepemimpinan spi-ritual. Sebagaimana akan dibuktikan dalam seksi berikut,
banyak dari persoalan yang dihadapi perempuan jumbuh dengan persoalan rasial dan etnis
minoritas, seperti halnva kedua kelompok secara sistematis mengabaikan kekuasaanekonomi,
sosial dan politik.

CITRA TENTANG HUBUNGAN

Carol Gilligan adalah seroang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan pada
Harvard University. Giligan memfokuskan perbedaan responsrespons laki-laki dan
perempuan terhadap dilema Heinz. Pada 1914, dengan esainya “On Narcisism” Freud
mengesampingkan kebenciannya pada pemikiran yang “mengabaikan observasi karena
mandulnya kontroversi teoretis dan memperluas petanya tentang wilayah psikologi. Problem
interpretasi yang membayangi pemahaman tentang perkembangan perempuan berasal dari
perbedaan dalam mengamati hubungan mereka. Perubahan perumpamaan yang menciptakan
problem dalam menafsirkan perkembangan perempuan dijelaskan oleh pernyataan moral dua
orang anak umur 11 tahun, laki-lak dan perempuan, yang melihat, dalam dilema yang sama,
dua problem yang sangat berbeda. Dua anak yang berada dalam kelas enam pada sekolah
yang sama dan merupakan partisipan studi tentang hak dan yang kewajiban, yang dirancang
untuk mengeksplorasi perbedaan konsepsi tentang moralitas diri. Kedua anak yang diamati
itu, Amy dan Jake, keduanya cerdas dan pandai, paling tidak dalam aspirasi umur 11
tahunnya, menolak kategori stereotipe seksual yang mudah, karena Amy bercita-cita menjadi
seorang ilmuwan sementara Jake lebih memilih bahasa Inggris hingga ilmu pasti.

Namun pernyataan moral mereka semula agaknya mempertegas anggapan-anggapan


tentang perbedaan di antara seks-seks, mengesankan bahwa batas perkembangan moral anak
perempaun selama awal-awal tahun membeikan jalan pubertas dengan peningkatan logika
pemikiran formal anak laki-laki. Mereka diperhadapkan dengan masalah bahwa ada seorang
bernama Heinz harus mencuri obat agar istrinya tidak meninggal dan pertanyaannya adalah
haruskah Heinz mencuri atau tidak. Jake menyahuti bahwa Heinz harus melakukannya dan
Jake berpendapat bahwa ada perbedaan antara kebencian dan pembununhan dan hukuman
yang akan diberikan kepada Heinz itu tidak tepat dan harusnya diberikan hukuman yang
paling ringan. Sebaliknya, respons Amy terhadap dilema membawakan impresi yang sangat
berbeda, sebuah citra tentang perkembangan yang terhalang oleh kesalahan logikan, sebuah
kemampuan untuk memikirkan dirinya sendiri.

Amy memberikan jawaban bahwa Heinz dapat meminjam uang atau berutang dan
tidak harus mencuri obat. Amy memberikan pertimbangan pada efek pencurian tersebut.
Bahwa jika Heinz masuk pencara mungkin istrinya sakit lagi dan tidak ada lagi yang dapat
mencari obat. Seperti halnya Jake yakin hakim akan setuju bahwa pencurian adalah sesuatu
yang benar bagi Heinz, maka Amy juga yakin bahwa, bila Heinz dan apoteker telah
membicarakan sebelumnya, maka mereka dapat mencapai sesuatu di luar pencurian.
Sementara Jake melihat hukum memiliki kesalahan, maka Amy melihat drama ini sebagai
suatu kesalahan, mempercayai bahwa dunia seharusnya berbagi sesuatu yang lebih dan
karenanya orang tidak akan melakukan pencurian. Amy lebih berpikir pada bagaimana Heinz
harus bertindak dalam merespons kesadaran kebutuhan istrinya.

Kedua anak umur 11 tahun ini, baik kecerdasan maupun persepsinya berbeda,
menampilan mode-mode yang berbeda tentang pemahaman moral, cara yang berbeda tentang
pemikiran mengenai konflik dan pilihan. Dalam mengatasi dilema Heinz, Jake mendasarkan
pada pencurian untuk mengabaikan konfrontasi dan kembali pada hukum untuk menengahi
perselisihan. Perbedaan yang dapat dilihat adalah dalam perumpamaan kekerasan dalam
respons anak laki-laki, melukiskan dunia konfrontasi dan koneksi eksplosif yang berbahaya,
sementara Amy melihat dunia yang penyembuhan dan perlindungan, sebuah kehidupan
bersama orang lain yang mungkin anda cintai sebesar atau bahkan lebih daripada mencintai
diri sendiri. Bagi Jake, tanggung jawab berarti tidak melakukan apa yang di inginkan karena
dia sedang memikirkan orang lain. Bagi Amy, tanggung jawab berarti melakukan apa yang
orang lain harapkan darinya terlepas apakah dirinya sendiri menginginkannya. Kedua anak
tersebut menghubungkan pengabaian rasa luka tetapi menafsirkan problem dengan cara yang
berbeda. Jake melihat luka itu muncup dari ekpresi agresi, sementara Amy melihat dari
respons yang gagal.

IBU DAN KELUARGA

Keluarga merupakan dasar pembantu utama struktur sosial yang lebih luas, dengan
pengertian bahwa lembaga-lembaga lainnya tergantung pada eksistensinya. Ciri utama lain
dari sebuah keluarga ialah bahwa fungsi utamanya dapat dipisahkan satu sama lain. Keluarga
menyumbangkan kelahiran pemeliharaan fisik anggota keluarga, penempatan anak dalam
masyarakat, pemasyarakatan, dan kontrol sosial.9

Keluarga merupakan unit terkecil dari suatu masyarakat. Suatu keluarga terdapat
ayah, ibu, anak dan kesemuanya itu mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, apabila
tidak di jalankan tugas serta fungsinya dengan baik maka akan terjadi suatu ketimpangan
antar anggota keluarga yang terkadang memicu konflik. Salah satu anggota keluarganya yang
kurang paham bahkan tidak melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik, maka
keluarga tersebut akan mengalami gangguan dalam perjalanan kehidupan berkeluarga.
Keluarga tersebut akan mengalami berbagai persoalan yang membuat hubungan
kekeluargaan tersebut retak dan tidak sehat. Keluarga dapat dikatakan harmonis yaitu apabila
keluarga tersebut saling mengerti dan paham akan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya.

Sebuah keluarga secara umum merupakan sekelompok orang yang membentuk rumah
tangga secara bersama-sama berdasarkan, paling tidak sebagian, pada sejenis komitmen
interpersonal yang abadi. Sanksi perkawinan secara legal dan agama merupakan satu contoh
dari komitmen semacam itu, tetapi bukan satu-satunya komitmen. Konsep rumah tangga yang
abadi menangkap inti gagasan tentang kehidupan keluarga dan memiliki kredibelitas dalam
kamus definisi-definisi tentang „‟keluarga‟‟, bahkan sebelum munculnya gelombang
Gerakan feminis sekarang ini. Para komentator sosial menghargai „‟nilai-nilai keluarga‟‟

9
Parrenas, R.S. (2005). Children of global migration: Transnational families and gendered woes. Stanford,
California: Stanford University Press.
biasanya mempertahankan nilai yang dinamakan „‟keluarga tradisional.‟‟ Keluarga
tradisional merupakan pusat keluarga yang terdiri atas bersatunya perkawinan heteroseksual
dan anak-anak mereka secara legal. Laki-laki sebagai pencari nafkah yang utama dan kepala
rumah tangga sedangkan perempuan bertanggung jawab atas hampir semua kerja domestik
serta pemeliharaan anak. Tetapi menurut sensus birokrasi AS, sejak tahun 1977 bentuk
keluarga ini hanya 16 persen dari semua rumah tangga di seluruh AS.

Sedangkan kaum feminis mendukung keluarga-keluarga non-tradisional tetapi tak


dapat dipungkiri masih tetap meneria sedikit keistimewaan substansial yang digunakan untuk
membenarkan keluarga-keluaraga tradisional (keistimewaan itu seperti hak-hak pewarisan
dan jaminan Kesehatan keluarga). Dengan mendukung keluarga-keluarga non-tradisional,
kaum feminis memajukan kehidupan keluarga yang lebih ekstensif dan menyeluruh. Ketika
kaum feminis mengkritik kehidupan keluarga yang menjadi target biasanya adalah keluarga
yang memajukan dan memperkuat dominasi laki-laki dan ketergantungan perempuan. Hal ini
merupakan suatu kejelasan bahwa mengkritik bentuk keluarga tersebut merupakan penolakan
atas kehidupan keluarga semacam itu. Perjuangan dari kaum feminis yang menentang
dominasi dari laki-laki dalam keluarga adalah berat yaitu menciptakan institusi-institusi sosial
yang lebih tegas terhadap penyalahgunaan semacam itu, seperti penolakan istri, perkosaan
dalam perkawinan dan berzinah. Kaum feminis juga menjelaskan bahwa sekalipun tampak
jahat, paternalism keluarga laki-laki merupakan problem bagi perempuan dalam peran-peran
keluarga tradisional. Seorang perempuan yang menciptakan cinta dan mendukung kehidupan
rumah tangga untuk anggota-anggota keluarganya memberi kado moral dan material,
aktivitas-aktivitas semacam itu dapat menjadi sumber keyakinan yang mendalam dan sah
bagi dirinya. Mengasuh anak, bahkan lebih dari itu, merupakan domain tantangan yang
mendebarkan hati dan berpahala. Mengasuh anak juga merupakan keniscayaan sosial yang
tinggi bila melakukannya dengan baik berarti telah lolos melakukan pelayanan public.
Seorang perempuan yang memilih waktunya untuk melakukan pekerjaan rumah dan menjadi
ibu adalah salah satu pilihan pekerjaan yang sekarang bisa diterima oleh perempuan.

Namun tidak ada satu pun yang khusus yang dapat dihargai mengenai subordinasi
perempuan atas laki-laki. Tidak ada alasan mengapa seorang perempuan yang menyediakan
seluruh waktunya untuk melakukan pekerjan rumah dan menjadi ibu harus melepaskan
otonomi kediriannya sendiri kepada suaminya, atau berbagi control yang sama atas rumah
yang dia buat atau keluarga yang dia munculkan. Tradisi filsafat telah kaya dengan
penghargaan atas hak-hak untuk menentukan sendiri dan pentingnya keberadaan „‟kebebasan
manusia.‟‟ Namun, hingga dekade feminism kontemporer sekarang ini, cita-cita tentang
kebebasan dan otonomi tak pernah diterapkan oleh para filsuf konvensional terhadap peran
tradisional perempuan. Keluarga yang didominasi laki-laki lebih mengancam ketimbang
integritas moral perempuan, hal tersebut juga mengancam kesejahteraan material dan
kesejahteraan anaknya. Seorang perempuan yang seluruh waktunya bekerja di rumah dan ibu
dalam perkawinan heteroseksual secara ekonomi bergantung, dan karenanya dalam berbagai
hal sangat rentan terhadap suaminya. Untuk alasan finansial saja, perempuan lebih banyak
membutuhkan kelangsungan perkawinan daripada laki-laki.

Standard keuangan hidupnya mungkin akan turun setelah perceraian, sementara


suaminya hampir pasti akan naik. Karena penghasilannya, suami lebih beruntung untuk
meninggalkan perkawinan setiap saat bila dia tidak memperolehnya, maka perempuan lebih
membutuhkan kepuasaan dan menangguhkan padanya daripada sebaliknya dalam situasi
yang tak terelakkan di mana Hasrat dan nilai-nilai berkonflik. Satu perkecualian menyangkut
banyaknya penolakan perempuan terhadap kebengisan para suami merupakan ketakutan atas
hilangnya dukungan finansial, sebuah pertimbangan utama ketika anak-anak dilibatkan.
Seorang Wanita yang memilih seluruh hidupnya untuk bekerja di rumah dan menjadi ibu
bukanlah pilihan yang meyakinkan, demi dirinya sendiri, subordinasi dan kemudahan eksesif
yang dia pertaruhkan dengan ketergantungan finansia pada suaminya. Namun resiko ini
menyatu dengan karakteristik ketergantungan finansial. Menambahkan cita-cita kultural
maskulin dengan tekanan yang tak henti-henti kepada laki-laki sebagai kuat, menentukan,
agresif, dan berkuasa hanya memperhebat risiko untuk perempuan.

SEKS

Libertinisme seksual menghadapi krisis di tahun 1990-an. Mereka merupakan sebuah


kebudayaan yang sangat kebingungan mengenai seks. Hidup di dunia yang sedang
berkembang dengan populasi yang para komentator telah ingat akan kebrutalan yang sebentar
lagi datang, militeristik, anarkhi global. Ketika kontak seksual individual dapat menjadi
Tindakan pemujaan kematian. Eros menjadi Thanatos. Kaum ini meratapi, problem-problem
kehamilan anak umur belasan tahun yang meraja-lela, pertumbuhan global yang berdesak-
desakan, penyebaran penyakit yang ditularkan secara seksual, namun dalam nafas berikutnya
kaum feminis menghardik atas kekenasan mereka. Di tengah-tengah seluruh kekacauan
seksual ini, anggapan antiseptik dan usang tentang informed consent menawarkan beberapa
bimbingan individual dan lokal kepada perempuan. Informed consent merupakan hak
perlindungan diri seseorang terhadap resiko serius yang diakibatkan oleh hubungan seksual.

MENGAPA SEORANG LAKI-LAKI TAK BISA LEBIH MENYERUPAI


SEORANG PEREMPUAN

Pada dasarnya, cita-cita androgini keayahan - keayahan tapa maskulinitas-muncul


sebagai prinsip animasi model New Father kontemporer. Michael Lamb mendasarkan
pembelaannya atas model New Father ini dalam premis dasar bahwa "sangat sedikit gender
orang tua yang tampak memiliki perbedaan penting. Karakteristik ayah sebagai orang tua
yang lebih daripada karakteristik ayah sebagai laki-laki tampaknya berpengaruh pada
perkembangan anak."' Demikian pula, Andrew M. Greeley juga menjelaskan masyarakat
untuk mengambil "dosis androgini" untuk laki-laki. Kita harus "menegaskan bahwa laki-laki
meniadi lebih mirip perempuan." Diana Ehrensaft pun setuju. Dalam Parenting Together, dia
menanyakan: "Bisakah laki-laki dan perempuan menjadi ibu secara bersama-sama?" Jawaban
dasar dia adalah bisa, bila mereka mencobanya dengan sangat tekun. Bukunya
menginvestigasi keibuan yang berdampingan, atau "laki-laki dan perempuan yang memulai
proyek” Tema pokok dari seluruh literatur New Father adalah kebutuhan mendesak untuk
mensosialisasikan kembali anak laki-laki. Sebagaimana Lety Cottin Pogrebin katakan: "masa
anak-anak adalah tempat keayahan harus diubah.

Logikanya sederhana: Pemasangan maskulinitas baru dengan memasang sedikit anak


laki-laki. New Child adalah orang tua New Father. Logika ini menginformasikan aliran
rekomendasi New Father. Tugas mengasuh anak di sekolah-sekolah pada anak laki-laki,
menggantikan permainan dan menuliskan kembali buku-buku mereka,' serta menawarkan
model peran non tradisional kepada mereka. Mengajarkan mereka bahwa agresi adalah buruk
sedang ketampanan adalah baik. Menurunkan olahraga yang kompetitif. Mengecilkan
pencarian. Mengecilkan peran gender tradisional. Mengajarkan mereka bagaimana
mentransendensikan maskulinitas. Aspek ketiga yang tampak dari etos New Father adalah
toleransi dan bahkan perayaan pandangan tentang ibu sebagai kepala rumah tangga yang
dianut oleh banyak pendukung model New Father.

Secara fundamental, imperatif konvergensi peran New Father didasarkan pada


persamaan seksual dari apa yang beberapa ilmuwan politik istilahkan "The end of History"
Secara politik, the end of history merujuk pada berakhirya persaingan historis antara
komunisme dan kapitalisme, antara dua ideologi politik yang saling berjuang, yang sekarang
ini telah berakhir dan membentuk era politik modern. Perjuangan telah berakhir karena yang
satu telah memnangkan yang lain. Kekalahan yang satu bukan hanya kekalahan, namun
sekarang ini berusaha menyamai kejayaan. Jadi, dalam bahasa politik, konsensus
menggantikan konflik; persamaan menggantikan perbedaan; universalisme menggantikan
partikularisme. Secara historis, ayah yang baik melindungi keluarganya, mencukupi
kebutuhan-kebutuhan materialnya, mencurahkan dirinya untuk pendidikan anaknya dan
mewakili kepentingan-kepentingan keluarganya di dunia yang lebih luas: Pekerjaan in
merupakan landasan yang niscaya dalam nyanyian nilai-nilai ke- lakian yang diwariskan:
secara historis dan secara sosial menjembatani pema- haman tentang sarana-sarana untuk
menjadi ayah yang baik Nilai-nilai ini tidak terbatas pada kekerasan, kompetisi,
instrumentalisme dan agresi--tetapi mereka lentunva memasukkan nilai-nilai itu. Nilai-nilai
"kekerasan" laki-laki ini telah berubah dan akan terus berubah. Tetapi nilai-nilai itu tidak
akan hilang atau kembali ke dalam nilai-nilai yang sebaliknya. Akhirnya, saya
memperselisihkan imperatif konvergensi peran gender New Father karena saya tidak percava
pada janjinya tentang kebahagiaan manusia yang lebih besar.

PERSAMAAN DAN ORANG TUA TAK SADAR GENDER

Neotradisionalis yang mengkritik feminisme egalitarian kadangkala mengklaim


bahwa pengajuan persamaan berarti mendukung ide tentang keluarga yang tidak sadar gender
yang rata-rata memisahkan tugas mencari nafkah, ibu rumah tangga dan mengasuh anak
antara suami dan istri. Karena itu,kaum neotradrisionalis menjelaskan bahwa mengeliminasi
perbedaan antara peran ayah dan ibu akan memperkuat baik laki-laki atau perempuan untuk
mengabaikan komponen-komponen esensial identitas merekasebagaiorang tua yang tidak saja
buruk untuk diriny sendiri. tetapi juga mengabaikan keluarga-keluarga yang banyak
membutuhkan stabilitas dan komplementaritas yang disediakan oleh model laki- laki sebagai
pencari nafkah/perempuan sebagai ibu rumah tangga. Pertama, bila kita mengeliminasi
perbedaan-perbedaan antara apa yang diartikan sebagai ayah dan apa yang diartikan sebagai
ibu, maka kita akan kehilangan manfaat-manfaat dari model-model perbedaan peran dalam
keluarga. Misalnya, Blankenhorn mengutip studi-studi yang menunjukkan bahwa laki-laki
cenderung mengilhami kepetualangan, ketegasan, danmengambil risiko pada anaknva.
sementara perempuan cenderung lebih menolak risiko dan protektif.
Bila, anak perlu mempelajari keseimbangan antara dua bentuk perilaku ini agak- nva
masuk akal, maka hal itu akan benar-benar hilang bila deversitas ini dieliminasi. Kedua,
seperti halnya banyak organisasi sosial, keluarga yang mengambil keuntungan dari
deferensiasi fungsional berasal dari diversitasperan-peran dan fungsi-fungsi yang
komplementer satu sama lain ketimbang dari setiap orang yang menjalankan peran-peran
yang sama. Atas dasar inilah kaum neotradisionalis berpendapat, misalnya bahwa anak paling
baik berada dalam situasi di mana figur otoritas ayah berseberangan dengan ibu muda yang
simpatik. Ketiga, kaum neotradisionalis menjelaskan bahwa dengan mengatakan laki-laki
harus memikirkan dirinya sendiri sebagai ibu-ibu rumah tangga, maka para pendukung
persamaan gender lebih memperburuk perpecahan keluarga karena meninggalkan perasaan
laki-laki bahwa mereka tidak memiliki apapun yang secara spesial untuk member kontribusi.

Tanpa perasaan kebanggaan maskulin yang berasal dari keadaan sebagai pemberi
yang baik dan model peran yang kuat dalam keluarga, keikutsertaan laki-laki pada tanggung
jawab keayahan telah diturunkan. Jadi, orang tua yang tidak sadar gender menyangkal
perasaan harga diri laki-laki ini. Dalam hal ini kita harus sangat jelas tentang apa yang
mengokohkan perempuan dalam diskusi ini. Neotradisionalis berusaha memperbaiki ide
bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran-peran spesifik sebagai ibu, dan ayah yang
mengancam situasi yang mengelilingi tanggung jawab perempuan untuk menjaga anak
melihat kesempatannya mengurangi kembalinya job-job yang menarik. Sebagaimana
dijelaskan diskusi-diskusi tentang "mommy tracks" dan "gals ceiling,tugas pokok menjaga
anak mereka seringkali merintangi pekerjaan perempuan yang semula, baik dengan
pembatasan jumlah waktu untuk dapat mencurahkan pekerjaannya atau dengan menjadikan
mereka calon yang kurang atraktif untuk keadaan posisi-posisi tanggung jawab yang
dipromosikan.

NEGOSIASI PERSAMAAN POSISI

Kaum neotradisionalis tidak membela ketidaksamaan. Mereka setuju dengan kaum


egalitarian bahwa para istri harus disamakan di muka hukum, harus mandiri serta tidak harus
disyaratkan tunduk pada keinginan-keinginan suaminya. Menurut posisi egalitarian,
persamaan yang murni menuntut komitmen untuk menyeimbangkan kekuasaan sebanyak
mungkin, sekaligus cukupnya kesadaran kekuasaan relatif seseorang dalam sebuah hubungan.
Untuk memahami posisi egalitarian, yang terbaik adalah dengan memfokuskan pada
keputusan-keputusan sulit yang mau tak mau dihadapi keluarga, karena di sana perbedaan-
perbedaan halus pada negosiasi posisi seseorang bisa berdampak sangat besar. Mengambil
keputusan dari para orang tua muda mengenai siapa yang akan mengurangi jam kerjanya
untuk anak, sebagaimana sering terjadi, karir suami yang lebih mapan memberkan
pendapatan yang lebih baik, atau bila dia kurang memiliki ide bagaimana mengasuh anaknya
sendiri, maka negosiasi posisi istri terlemahkan secara serius.

Dengan demikian, bahkan di antara suami/istri yang mencintai satu sama lain,
ketaksamaan negosiasi posisi bisa mengabaikan kesempatan perempuan merencanakan karir
mereka dengan cukup matang. Sekarang ini, laki-laki yang bekerja umumnya lebih baik
daripada perempuan yang bekerja: “pendapatan ibu dan anak menurun rata-rata sekitar 30%,
sementara pendapatan-pendapatan para ayah meningkat antara 10%-15% dalam tahun-tahun
yang berbeda.” Penyebab disparasitas ini adalah kompleks, tetapi disparasitas itu secara
meyakinkan bukan saja meliputi lemahnya penguatan dukungan pembiayaan untuk anak
tetapi sebenarnya juga bahwa sementara para ayah memperbaiki posisi pekerjaan mereka,
para ibu sering memfokuskan pada anak dan menjaga rumah daripada bekerja dan
membangun jaringan. Mengeliminasi bentuk-bentuk ketaksamaan ini merupakan tugas yang
berat. Tugas ini menyangkut perubahan-perubahan signifikan dalam keluarga, publik dan
bisnis. Namun apakah persamaan negosiasi posisi suami/istri benar-benar mengarah pada
sejenis kultur kepentingan pribadi yang mencabik-cabik keutuhan keluarga? Pada dasarnya
ini adalah persoalan empiris dengan kompleksitas isu dan data yang dibutuhkan. Disini kita
dapat membedakan tiga kasus yang berbeda.

Dalam beberapa keluarga, negosiasi posisi kira-kira akan sama. Ketika suami/istri
harus memilih sesuatu yang membahayakan kesempatan meningkatnya karir mereka dan
indepedensi finansial di masa depan, maka pengorbanan dilakukan secara sama. Beberapa
rencana ditempatkan untuk menjamin bahwa baik suami maupun istri tidak akan mengakhiri
keuntungan secara finansial dari sebuah perceraian, dalam kasus semacam itu, kesadaran
persamaan negosiasi posisi agaknya menguatkan stabilitas keluarga, karena suami/istri akan
mengetahui bahwa bahkan ketika mereka tidak berhubungan dengan baik, mereka tidak
dalam posisi untuk mengambil keuntungan dari yang lain. Tentu saja, negosisasi persamaan
posisi tidak cukup untuk mempertahankan perkawinan secara bersama-sama. (2) Dalam
keluarga-keluarga yang sebenarnya mengeksploitasi kekuasaan yang tidak sama, maka
muncul isu yang berbeda seperti apakah mempertahankan keluarga secara bersama-sama
sebenarnya menjadi opsi yang terbaik. Perpecahan keluarga biasanya merupakan sesuatu
yang tak diinginkan orang, dan sesuatu yang buruk. Dalam sebuah keluarga dengan anak
kecil, pilihan untuk mengakhiri perkawinan seringkali mewakili situasi yang tragis, dan
pernyataan kaum neotradisionalis benar bahwa para orang tua harus bertanggung jawab untuk
menerima beberapa pengorbanan untuk situasi yang stabil dalam rumah.

Keberatan neotradisionalis barangkali terbesar berpijak pada kasus di mana ada


negosiasi persamaan posisi, tetapi suami/istri yang lebih berkuasa mengeksploitasi
pasangannya.

PERSAMAAN KESEMPATAN INDIVIDU

Kritisisme neotradisionalis adalah ancaman meningkatnya individualisme yang


dihadapi keluarga. Kaum neotradisionalis mengira bahwa, dalam mendorong persamaan
perempuan, asumsi-asumsi tradisional mengenai keluarga telah dihilangkan, membicarakan
asumsi-asumsi itu sebagai salah satu pertahanan terbaik terhadap tuntutan-tuntutan yang
bersifat memecah belah. Secara historis, proses industrialisasi mengakibatkan transformasi
fundamental kehidupan keluarga, misalnya pada abad ke-19 di Eropa. Bila mayoritas
masyarakat pra industri tidak memiliki pilihan pekerjaan dalam hal peran mereka, maka
masyarakat industri modern kemungkinan untuk memilih diperluas dalam jangkauan maupun
signifikansinya. Munculnya pandangan modern tentang kebebasan memilih pekerjaan
merupakan basis penting dari kebebasan menjamin kesempatan untuk merealisasikan diri,
kebebasan memilih khususnya memilih pekerjaan, menjadi klaim moral penting secara
fundamental dari individu-individu modern, karena mempengaruhi kemungkinan
keberhasilan hidup seseorang sebagai dirinya sendiri.

Hanya orang-orang yang bisa memilih pekerjaannya sendiri yang benar-benar bebas
mengembangkan kesadaran tentang identitas dan harga dirinya sendiri. Tidak ada yang
menyangkal kesulitan-kesulitan yang ada dalam mempertahankan keluarga, dan kebanyakan
tantangan-tantangan ini sebagian berasal dari meingkatnya persamaan laki-laki dan
perempuan. Tetapi akan menjadi kesalahan pikiran yang sempit mengatakan bahwa
tantangan-tantangan yang berjalan itu berasal dari tuntutan-tuntutan atas persamaan gender.

PANDANGAN GEREJA DAN IMPLIKASINYA


Peranan gender mengacu pada harapan dan tanggung jawab sosial yang secara
tradisional terkait dengan jenis kelamin seseorang. Ini mencakup peran-peran yang dianggap
sesuai atau diharapkan dari laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, seperti peran sebagai
ibu atau pekerja. Moralitas gender mencerminkan norma dan nilai-nilai yang mengatur
perilaku gender, seperti etika dalam hubungan dan tata cara berperilaku sesuai dengan norma-
norma sosial tertentu.

Implikasi peran dan moralitas gender dapat memengaruhi dinamika sosial, ekonomi,
dan budaya. Secara khusus, peran gender yang kaku dapat mengakibatkan ketidaksetaraan
dalam kesempatan, gaji, dan akses terhadap sumber daya. Moralitas gender juga dapat
mempengaruhi hak-hak reproduksi dan kebebasan individu.

Pandangan Gereja terhadap peran dan moralitas gender sangat bervariasi di seluruh
denominasi dan tradisi. Beberapa denominasi mungkin menganut pandangan tradisional yang
menekankan peran khusus laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan gereja. Mereka dapat
menafsirkan ajaran agama secara harfiah dan menganggap perubahan dalam peran gender
sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip agama.

Di sisi lain, ada denominasi dan kelompok gereja yang mengadopsi pandangan yang
lebih inklusif terhadap peran gender. Mereka dapat memandang laki-laki dan perempuan
sebagai mitra setara dalam kehidupan dan pelayanan gereja. Beberapa gereja bahkan aktif
memperjuangkan kesetaraan gender dan mendukung partisipasi perempuan dalam jabatan
gerejawi yang lebih tinggi.

Penting untuk diingat bahwa pandangan individu dan gereja terhadap peran dan
moralitas gender dapat berubah seiring waktu, terutama sejalan dengan perubahan
budaya dan sosial.

BAB III
KESIMPULAN

Gender adalah suatu karakteristik sifat pembeda antara laki-laki dan perempuan yang
terbentuk baik dalam lingkungan sosial maupun budaya. Misalnya laki-laki harus kuat, tegas,
pemberani, rasional, pemimpin dan sebagainya, sementara perempuan penyayang, perhatian,
lemat-lembut, cengeng, keibuan dan sebagainya. Oleh karena itu, karakteristik tidaklah
bersifat kodrat atau dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan seharusnya
karakteristik tersebut terlepas dari tindakan diskriminasi masyarakat. Di dalam Alkitab
menjelaskan bahwa gender adalah sebuah karakteristik yang bisa saling dipertukarkan antara
satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Dalam kitab kejadian melihat manusia
dalam bentuk laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang setingkat dan sederajat yang
hendaknya saling tolong-menolong, tidak di keluarga saja, melainkan juga di lingkungan
publik. Demikianlah manusia menurut rencana Allah, Allah membedakan jenis kelamin
manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya.

Anda mungkin juga menyukai