Anda di halaman 1dari 24

KEGIATAN BELAJAR 3

GENDER, CADAR SERTA LGBT

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Selamat datang Saudara mahasiswa, pada pembelajaran modul PAI


kontemporer pada Kegiatan Pembelajaran 3. Saudara semua mungkin
pernah membaca, mendengar atau bahkan mendiskusikan istilah Gender,
Cadar dan LGBT. Pada Kegiatan Pembelajaran 3 ini akan disajikan uraian
mengenai Gender, Cadar dan LGBT. Dengan mempelajari materi pada KB
3 diharapkan mahasiswa memiliki pengetahuan secara komprehensif
terkait Gender, Cadar dan LGBT.

SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

3.1. Menganalisis kedudukan gender dan cadar dalam Islam;


3.2. Menunjukkan perilaku penyetaraan gender di masyarakat;
3.3. Menunjukkan kedudukan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan
Transgender) sebagai manusia yang terhormat dan kembali pada fitrah
yang sesungguhnya.

POKOK-POKOK MATERI

1. Gender
2. Cadar bagi wanita; dan
3. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender).

44
URAIAN MATERI

A. Gender
1. Konsep Dasar Gender
Konsep urgen yang perlu dipahami dalam diskursus gender adalah
membedakan dua hal yang berbeda, yaitu gender dan jenis kelamin.
Dengan memisahkan makna antara gender, maka setiap pendidik dan
orang tua akan mampu membedakan antara yang kodrati dengan yang
bukan kodrati.
Jenis kelamin adalah suatu hal yang menunjukkan pada pembagian
sifat dua jenis kelamin manusia secara biologis. Sebagai contoh dari jenis
kelamin laki-laki yaitu memiliki organ-organ yang menunjukkan sifat
kelaki-lakian, seperti memiliki penis, jakun, serta mampu menghasilkan
sperma. Sementara itu, jenis kelamin perempuan juga memiliki organ-
organ yang menunjukkan sifat perempuan, di antaranya memiliki vagina,
rahim, payudara, serta menghasilkan ovum. Sifat-sifat tersebut melekat
selamanya pada manusia yang memiliki jenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Hal ini memberikan makna bahwa secara biologis, semua
organ yang dimiliki baik oleh laki-laki tidak akan bisa ditukar pada jenis
kelamin perempuan. Begitu pula sebaliknya, seluruh organ yang dimiliki
perempuan tidak akan dibenarkan untuk ditukar dengan organ laki-laki.
Hal demikian inilah yang disebut ketentuan ilahi yang tidak dibenarkan
untuk dipertukarkan dan bersifat kodrati.
Gender adalah sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang
dibangun dari interaksi sosial dan budaya. Sebagai contoh bahwa
perempuan lebih dipahami sebagai seseorang yang feminim, lemah
lembut, serta memiliki sifat-sifat keibuan. Sementara laki-laki lebih
dipahami sebagai sosok seseorang yang maskulin, rasionalis, serta

45
memiliki kekuatan yang lebih dari perempuan. Namun, kedua sifat
tersebut esensinya dapat dipertukarkan.
Dalam kehidupan sehari dapat ditemukan bahwa ada laki-laki yang
memiliki sifat-sifat perempuan seperti lemah lembut dan keibuan.
Perubahan tersebut berlangsung dari masa ke masa dan di berbagai tempat.
Hal inilah yang disebut sebagai hal yang bukan kodrati.51 Gender juga
dipahami sebagai konstruksi sosial yang terkait sikap, peraturan, tanggung
jawab, dan pola tingkah laku laki-laki dan perempuan dalam segala
kehidupannya.52
Selain itu, dalam pemahaman gender, dikenal juga dengan sifat gender,
peran gender, dan ranah gender. Sifat gender merupakan sifat dan tingkah
laku yang terdapat pada laki-laki dan perempuan. Peran gender
merupakan hal-hal atau perilaku yang wajar atau tidak dilakukan oleh laki-
laki dan perempuan yang berlandaskan pada value (nilai), kultur, serta
norma masyarakat yang berlangsung pada waktu tertentu. Sedangkan
ranah gender yaitu ruang bagi laki-laki dan perempuan untuk memainkan
perannya masing-masing. Ranah dalam hal ini terbagi dua yaitu ranah
domestik dan publik Ranah domestik yaitu ruang atau wilayah sekitar
kehidupan rumah tangga seperti sumur, dapur dan kasur, sementara
wilayah publik yaitu ruang atau wilayah pekerjaan umum seperti
pekerjaan di kantor, pasar dan pusat-pusat perbelanjaan.53
Sastryani menyatakan bahwa konsepsi terhadap patriarki merupakan
sistem sosial yang mementingkan garis keturunan bapak (esensi laki-laki)
menjadi pertimbangan utama untuk ditempatkan sebagai obyek pelaku

51
Ana Rosilawati, Perempuan dan Pendidikan: Refleksi atas Pendidikan Berspektif Gender,
Hasil Penelitian Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Pontianak, hlm. 2.
52
Gouri Srivastava, Gender Concerns in Education, NCERT: India, tt, hlm. 1.
53
Siti Azisah dkk, Buku Saku Kontekstualisasi Gender, Islam dan Budaya, Makassar: UIN
Alauddin Makassar, 2016, hlm. 6.

46
dari sistem sosial.54 Dampak dari konsepsi tersebut pada akhirnya
berimplikasi terhadap kehidupan sehari-hari pada masyarakat umum.
Sehingga mereka mengasumsikan bahwa laki-laki (bapak) sebagai
pendamping bagi perempuan. Persepsi ini pada akhirnya menghasilkan
persepsi gender, yakni laki-laki dan perempuan mempunyai karakteristik
dan sifat yang berbeda, laki-laki memiliki dominasi untuk mendapatkan
penghargaan, penghormatan dan menjaga kewibawaannya.55
Kehidupan masyarakat yang menganut sistem garis kebapakan
(patriarki), memposisikan laki-laki sebagai pemimpin dan pengambil
segala keputusan, sementara perempuan tidak diberikan ruang dan posisi
yang signifikan dalam segala lini kehidupan bermasyarakat. Kaum
perempuan dianggap berada pada posisi kelas kedua (the second class) di
bawah jenis kelamin laki-laki.56 Perempuan diposisikan sebagai istri yang
bertugas mendampingi, melengkapi, menghibur, dan melayani suami (the
patriarch), sementara anak diposisikan sebagai generasi penerus dan
penghibur ayahnya.57
Berbeda dengan patriarki, pada masyarakat yang menganut sistem
jalur keibuan (matriarki) memposisikan perempuan di atas laki-laki.
Mereka memberikan ruang yang cukup besar kepada kaum perempuan
untuk memerankan peran laki-laki seperti menjadi pemimpin dan
pengambil keputusan dalam kehidupan bermasyarakat.
Praktik ketimpangan gender terjadi dalam berbagai bentuk, yaitu:
a. Marginalisasi atau proses peminggiran/pemiskinan, yang
mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi. Seperti dalam

54
Sastryani, Glosarium, Seks, dan Gender, Yogyakarta: Carasuati Books, 2007, hlm. 65.
55
Israpil, “Budaya Patriarki dan Kekerasan terhadap Perempuan (Sejarah dan
Perkembangannya)”, Pusaka; Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 5, No. 2 (2017), hlm. 142.
56
Ade Irma Sakina dan Dessy Hasanah Siti A., “Menyoroti Budaya Patriarki di Indonesia”,
Share: Social Work Jurnal, Vol. 7, No. 1, hlm. 72.
57
Nina Nurmila, “Pengaruh Budaya Patriarki terhadap Pemahaman Agama dan Pembentukan
Budaya”, KARSA, Vol. 23 No. 1, (Juni 2015), hlm. 2.

47
memperoleh akses pendidikan, ada pandangan yang menganggap
bahwa perempuan tidak penting untuk mengenyam pendidikan yang
tinggi dikarenakan nantinya akan mengerjakan pekerjaan rumah
tangga.
b. Subordinasi, yaitu pemahaman yang meyakini salah satu jenis kelamin

dianggap lebih unggul dan urgen dibanding jenis kelamin lain.


Pemahaman in juga memposisikan perempuan lebih rendah daripada
laki-laki. Hal ini dapat dilihat pada masa lampau dimana perempuan
tidak mendapatkan kesempatan dan akses yang sama seperti laki
dalam bidang pendidikan. Pada saat yang bersamaan, ketika kondisi
keuangan keluarga pas-pasan maka yang diprioritaskan untuk
mengenyam pendidikan adalah laki-laki.
c. Stereotipe, yaitu labeling (pelabelan) terhadap seseorang atau kelompok

yang tidak sesuai dengan realita yang terjadi. Kegiatan ini secara
umum akan selalu melahirkan ketidakadilan. Hal ini berimplikasi
kepada terjadinya penindasan dan ketidakadilan bagi kaum
perempuan. Sebagai contoh berkembang pemahaman di masyarakat
bahwa perempuan hanya mampu berperan untuk mengerjakan tugas-
tugas rumah tangga. Sementara laki-laki memiliki peran yang lebih
dominan dalam hal melakukan pekerjaan di luar rumah seperti
mencari nafkah, menjalankan bisnis, bahkan aktif dalam perpolitikan.
d. Violence yaitu suatu bentuk serangan terhadap fisik maupun psikologis

seseorang. Kekerasan terhadap seseorang tidak hanya tertuju pada fisik


saja seperti tindakan asusila dan lain sebagainya, namun juga
mengarah pada psikis seseorang.
e. Beban ganda yaitu tanggung jawab yang dipikul satu jenis kelamin

tertentu secara berlebihan. Hal ini merujuk pada penelitian yang


menunjukkan bahwa mayoritas pekerjaan rumah tangga dikerjakan

48
oleh perempuan.58
Hal-hal tersebut di atas bermuara pada terjadinya diskriminasi antara
laki-laki dan perempuan di lingkungan keluarga dan maupun sosial
masyarakat. Membahas tentang gender berarti memberikan ruang dan
kesempatan yang sama antara laki-laki untuk berkontribusi dalam
pembangunan, ekonomi, politik dan budaya. Dengan demikian kesetaraan
gender bermakna memberikan akses yang sama kepada laki-laki dan
perempuan untuk menikmati pembangunan.
2. Gender dalam Pandangan Islam
Persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangun
melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu, pandangan
gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki, bahkan dominasi
budaya laki-laki tidak hanya mempengaruhi perilaku masyarakat saja,
tetapi juga penafsiran terhadap teks-teks agama (Al-Qur’an dan al-Hadits
khususnya yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari budaya
laki-laki. Hal ini sering kali mengakibatkan dalil-dalil agama dijadikan
sebagai alasan untuk menolak kesetaraan gender (Arifin, et.al: 238). Akibat
lain yang tidak kalah pentingnya adalah timbulnya anggapan dan tuduhan
dari pihak yang tidak menyukai Islam atau yang dangkal pemahamannya
terhadap Islam bahwa bahwa dalam ajaran Islam penuh diwarnai dengan
ketidakadilan, terutama yang berkaitan dengan masalah gender, seperti
masalah poligami, pembagian harta warisan, dan lain-lain.
Salah satu tema pokok ajaran Islam adalah persamaan derajat di antara
manusia, baik laki-laki atau perempuan, antar suku bangsa atau keturunan.
Al-Qur’an tidak membeda-bedakan derajat kemuliaan manusia atas dasar
itu semua, melainkan tinggi rendahnya derajat kemuliaan manusia itu
diukur dengan tinggi rendahnya tingkat ketakwaan dan nilai-nilai

58
Iswah Adrian, Kurikulum Berbasis Gender (Membangun Pendidikan yang Berkesetaraan)
Jurnal Tadris Vol. 4 No. 1, 2009, h. 140-141.

49
pengabdian terhadap Allah Swt. Mengenai kedudukan perempuan dalam
pandangan Islam tidak seperti yang diduga dan dipraktikkan oleh sebagian
anggota masyarakat, tidak pula seperti yang dituduhkan oleh orang-orang
yang tidak menyukai Islam. Ajaran Islam (Al-Qur’an), sangat memuliakan
dan memberikan perhatian serta penghormatan yang besar kepada
perempuan tidak ubahnya seperti halnya kepada laki-laki. Allah Swt telah
berfirman dalam Q.S. an-nisa’ [4] ayat 1, Q.S. al-hujurat [49] ayat 13 dan Q.S.
an-nahl [16] ayat 97:
ۚ ‫س ٕا ًء‬
َ ‫ث ِم َْ ُه َما ِر َج ًاال َكثِي ًْوا َّو ِن‬
َّ ‫احدَة َّو َْ َلقَ ِم َْ َها زَ ْو َج َها َو َب‬ ْ ‫اس اتَّقُ ْوا َر َّب ُك ُم الَّ ِذ‬
ِ ‫ي َْلَقَ ُك ْم ِ ِّم ْن نَّ ْرَ َّو‬ ُ ََّ ‫ى ٓياَي َها ال‬
ُ َ
‫ّللاَ كَا َ ََل ْيك ْم َرقِ ْيبًا‬ ْ
َ ‫سا َءل ْو َ بِه َواالَ ْر َح‬
ٰ َّ ِ‫ام ۗ ا‬ ُ ٕ َ َ‫ي ت‬ َّ ٰ ‫َوات َّقُوا‬
ْ ‫ّللاَ ال ِذ‬
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah)
menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya
Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling
meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (Q.S. an-nisa’ [4] ayat 1).

‫َ ِل ْي ٌم َْ ِبي ٌْو‬ ٰ َّ ِ‫ّللاِ اَتْ ىقِ ُك ْم ۗا‬


َ َ‫ّللا‬ َ َ‫شعُ ْوبًا َّوقَبَ ٕا َكِ َل ِلتَع‬
ٰ َ‫اراُ ْوا ۚ اِ َّ ا َ ْك َو َم ُك ْم َِ َْد‬ ُ ‫اس اِ َّنا َْلَ ْق ىَ ُك ْم ِِّم ْن ذَكَو َّوا ُ ْن ىثى َو َجعَ ْل ىَ ُك ْم‬
ُ ََّ ‫يى ٓاَي َها ال‬
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha
Mengetahui, Maha Teliti” (Q.S. al-hujurat [49] ayat 13)

ۚ َ ً ‫م ْن َ َل صالحا م ْن ذَكَو اَو ا ُ ْن ىثى ومُو مؤْ نٌ اَلََُحْ ييََّه حيى وة‬
َ ْ‫ط ِِّي َبةً َولَََجْ ِز َيََّ ُه ْم اَجْ َو ُم ْم ِباَح‬
َ ‫س ِن َما كَانُ ْوا َي ْع َملُ ْو‬ َ َِ ِ‫َ َ ُ م‬ ْ ِِّ ً ِ َ ِ‫َ َم‬
“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”
(Q.S. an-nahl [16] ayat 97)

Ketiga ayat tersebut menegaskan bahwa Islam (al-Qur’an) menolak


pandangan-pandangan yang membeda-bedakan laki-laki dan perempuan.
Keduanya (laki-laki maupun perempuan) berasal dari jenis yang sama
(jenis manusia), memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk

50
memperoleh kebahagiaan dan kemuliaan. Menurut Nurmila bahwa dalam
Islam adalah agama anti-patriarki, yang menjunjung tinggi keadilan dan
menghargai manusia bukan atas dasar jenis kelaminnya, melainkan
usahanya. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman baru terhadap agama
dengan menggunakan perspektif keadilan gender, yang lebih bisa
membuka mata masyarakat Muslim akan pesan keadilan gender dalam al-
Qur’an.59
Allah menjadikan mereka (manusia) beraneka ragam suku dan bangsa
agar saling mengenal satu sama lain untuk berkasih sayang dan saling
memuliakan, bukan untuk saling menghinakan dan saling merendahkan.
Tanpa membedakan jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit dan
sebagainya, Allah menjanjikan kehidupan yang baik
(kebahagiaan/kemuliaan) bagi siapa saja yang beriman dan bertakwa
kepada-Nya. Jenis kelamin laki-laki atau perempuan tidaklah menjadi
ukuran kemuliaan, akan tetapi iman dan takwa itulah yang menjadi ukuran
kemuliaan yang sebenarnya.
Allah tidak membebani hambanya dengan sesuatu pekerjaan diluar
kesanggupannya. Kesetaraan gender dalam ajaran Islam bukanlah
penyamarataan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Adanya
perbedaan dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan di
dalam ajaran Islam sama sekali bukan untuk merendahkan martabat
perempuan, melainkan pembagian tugas secara proporsional yang justru
untuk memuliakan perempuan.
Sesuai dengan kodratnya, laki-laki dan perempuan dilahirkan dengan
struktur anatomi tubuh dan kekuatan yang berbeda. Ada jenis pekerjaan
yang hanya dapat dilakukan oleh perempuan, ada pula yang hanya sesuai
untuk laki-laki. Pekerjaan hamil, menyusui, melahirkan, tentu hanya bisa

59
Nina Nurmila, “Pengaruh Budaya Patriarki terhadap Pemahaman Agama dan ..., hlm. 15.

51
dilakukan oleh perempuan, sementara itu pekerjaan berat yang
membutuhkan kekuatan fisik (otot) tentu tidak sesuai jika harus
dibebankan kepada perempuan. Seandainya pun ada pekerjaan fisik yang
dapat dikerjakan oleh perempuan, tentu harus disesuaikan dengan
kemampuannya.
Pada dasarnya, perempuan juga boleh melakukan pekerjaan apa saja
selama mereka sanggup mengerjakannya, namun jika perempuan bahkan
juga laki-laki harus dibebani dengan pekerjaan diluar batas
kesanggupannya, maka hal ini tentu melanggar prinsip keadilan. Oleh
karena itu, laki-laki dan perempuan ditakdirkan untuk berpasangan atas
dasar persamaan derajat, duduk sama rendah berdiri sama tinggi, saling
melengkapi dan saling memuliakan antara yang satu dengan yang lain
yang dibangun di atas dasar prinsip keadilan, bukan untuk saling
berhadapan dan saling merendahkan. Tidak ada kelebihan derajat laki-laki
atas perempuan dan sebaliknya kecuali karena ketakwaannya kepada
Allah Swt.
Kesalahpahaman di dalam memahami ajaran Islam tentang gender
antara lain disebabkan karena orang tersebut tidak meletakkan masalah
gender itu dalam Islam sebagai suatu sistem, melainkan ia melihat
persoalan gender itu sebagai suatu aspek ajaran Islam yang terpisah dari
aspek-aspek ajaran Islam yang lainnya. Jika hendak menilai ajaran Islam,
seseorang harus melihat Islam sebagai suatu sistem. Orang tidak boleh
menilai Islam pada aspek tertentu saja yang terpisah dari sistemnya. Secara
akademis hal demikian tidak dapat dibenarkan. Misalnya tentang
pembagian warisan yang dinyatakan secara shahih (jelas) di dalam al-
Qur’an, bahwa anak laki-laki mendapat bagian lebih besar, yakni dua kali
dari anak perempuan. Melihat hal ini, orang segera mengambil kesimpulan
bahwa ajaran Islam tidak adil. Kesimpulan semacam ini tidak sah karena
ada kesalahan pada segi epistemologi.

52
Demikian pula dalam masalah poligami atau masalah-masalah lain
yang terkait dengan gender maupun yang tidak. Oleh karena itu, jika ada
pernyataan bahwa dalam kitab suci al-Qur’an terdapat unsur
ketidakadilan, maka yang harus dilakukan adalah membaca ulang dan
mencoba memahami al-Qur’an secara komprehensif. Apabila setelah
menelaah ulang masih juga merasa ada ketidakadilan, yang perlu
diperhatikan adalah mungkin saja ada kesalahan persepsi manusia dalam
mendefinisikan sebuah konsep keadilan.

B. Cadar Bagi Wanita


Cadar bagi wanita, menurut Imam Asy Syafi’i r.a. menegaskan dalam
al-Umm (1/109):
‫وكل الموأة َورة إال كريها ووجهها‬
“Dan setiap wanita adalah aurat kecuali kedua telapak tangan dan
wajahnya”
Pendapat ini yang masyhur dari pendapat ulama Syafi’iyah yang ada.
Imam Nawawi r.a. dalam al-Majmu’ (3/169) mengatakan,
‫ا المشهور من مذمبَا أ َورة الوجل ما بين سوته وركبته وكذل االمة وَورة الحوة‬
‫جميع بدنها اال الوجه والكرين وبهذا كله قال مال وطائرة ومي رواية َن احمد‬
“Pendapat yang masyhur di mazhab kami (Syafi’iyah) bahwa aurat
pria adalah antara pusar hingga lutut, begitu pula budak wanita.
Sedangkan aurat wanita merdeka adalah seluruh badannya kecuali
wajah dan telapak tangan. Demikian pula pendapat yang dianut oleh
Imam Malik dan sekelompok ulama serta menjadi salah satu pendapat
Imam Ahmad.”

Ibnu Mundzir menyandarkan pendapat ini kepada Imam Asy Syafi’i


dalam al-Awsath (5/70), beliau katakan dalam kitab yang sama (5/75),
‫َلى الموأة أ تخمو اي الصالة جميع بدنها سوى وجهها وكريها‬
“Wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dalam shalat kecuali
wajah dan kedua telapak tangannya”.

53
Syaikh ‘Amru bin ‘Abdil Mun’im Salim mengatakan, “Sungguh sangat
aneh sebagian orang yang menukil dari ulama Syafi’iyah dalam masalah
ini, tidak bisa membedakan antara dua hal:
a. Melihat wajah dan telapak tangan, itu boleh selama aman dari fitnah
(godaan). Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah.
b. Hukum menyingkap wajah dan kedua telapak tangan, telah terbukti di
atas bahwa ulama Syafi’iyah membolehkan tanpa syarat.
Mereka tidak bisa membedakan dua hal ini sampai akhirnya rancu,
sehingga mereka pun mensyaratkan hal kedua di atas (hukum menyingkap
wajah) selama aman dari fitnah. Ini jelas keliru karena telah
mencampuradukkan dua hukum di atas.
Demikian pula dengan contoh lainnya, seperti bagaimana hukum suara
wanita, apakah aurat atau bukan? Bagaimana hukum wanita memberi
salam pada laki-laki, boleh ataukah tidak? Suara wanita bukanlah aurat
sebagaimana diterangkan dalam hadits yang shahih. Sedangkan memberi
salam pada laki-laki itu disyaratkan boleh selama aman dari fitnah.” (Jilbab
al-Mar’ah al-Muslimah, 192-193)
Dalam mazhab Syafi’I, jika dikatakan pendapat yang masyhur berarti
adalah pendapat di kalangan ulama mazhab (bukan pendapat Imam
Syafi’i) dan merupakan pendapat yang lebih tersohor, namun ada
pendapat ulama Syafi’iyah lainnya yang dalilnya juga kuat. Artinya, ada
sebagian ulama Syafi’iyah yang juga punya pendapat bahwa menutup
wajah itu wajib dan dalilnya sama kuat. Namun sebagaimana kata Imam
Nawawi, pendapat yang menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh
badan selain wajah dan telapak tangan merupakan pendapat yang lebih
tersohor di mazhab Syafi’iyah.
Ada beda pendapat antara ulama Syafi’iyah terdahulu dan belakangan.
Ulama Syafi’iyah membedakan bahwa aurat wanita adalah seluruh badan
kecuali wajah dan telapak tangan, ini berlaku dalam shalat. Sedangkan

54
aurat di luar shalat adalah seluruh badan termasuk wajah dan telapak
tangan. Namun yang dipahami oleh Syaikh ‘Amru di atas, ulama Syafi’iyah
terdahulu (Imam Asy Syafi’i dan Imam Nawawi) memutlakkan aurat
wanita adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Jika
diperhatikan beda antara hukum memandang wajah wanita dan hukum
menyingkap wajah, ini dua hal yang berbeda.
Dalam buku “al-Niqab adah wa laisa ibadah” yang ditulis Hamdi Zaqzuq,
Menteri Perwakafan tahun 2008, menyatakan para ulama Mesir senior
berpendapat bahwa cadar adalah sebagai tradisi kaum wanita, bukan
ibadah. Lebih rinci pada buku itu dengan mengutip pandangan Syeikh
Muhammad al-Ghazali, dalam bukunya Al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahli
al-Fiqh wa al-Ra’yi, bahwa Islam telah mewajibkan bagi wanita untuk
membuka wajah dalam ibadah haji, ibadah shalat dan tidak ada dalil dalam
al-Qur’an hadis dan akal yang menyuruh menutup wajah. Ibadah perlu
dalil yang tegas, memang diketahui bahwa sebagian kaum wanita pada
masa jahiliyah dan awal Islam mengenakan cadar penutup wajah, tetapi
perbuatan ini hanya tradisi bukan ibadah.60

C. LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender)


Ada empat istilah yang terangkum dalam singkatan LGBT ini yaitu: 1)
Lesbian artinya wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan seksual
dengan sesama wanita; 2) Gay adalah istilah yang digunakan bagi lelaki
penyuka sesama lelaki; 3) Biseksual adalah orang yang memiliki
ketertarikan kepada lelaki sekaligus kepada perempuan; dan 4) Transgender
adalah orang yang memiliki identitas gender atau ekspresi gender yang
berbeda dengan seksnya yang ditunjuk saat lahir (waria/wadam).

60
Muh. Sudirman, “CADAR BAGI WANITA MUSLIMAH (Suatu Kajian Perspektif Sejarah)”,
DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 17, Nomor 1 (Juli 2019)

55
Secara umum, empat istilah di atas disebut homoseksual, yaitu keadaan
tertarik kepada orang lain dari jenis kelamin yang sama. Wahbah Az-
Zuhaili mengidentifikasikan tiga istilah yang relevan dengan LGBT yaitu
zina, liwath dan sihaq. Pertama, zina, yaitu hubungan kelamin antara laki-
laki dengan perempuan yang bukan pasangan suami istri yang sah.
Kedua, liwath (gay), yaitu hubungan homoseksual antara lelaki dengan
lelaki. Ketiga, sihaq (lesbi), yaitu hubungan homoseksual antara wanita dan
wanita.61
Para ulama sepakat bahwa liwath (gay) dan sihaq (lesbi) statusnya lebih
buruk dibandingkan zina. Allah menyebutkan perilaku homoseksual (gay
dan lesbi) dalam al-Qur’an pada ayat-ayat yang mengisahkan kehidupan
umat Nabi Luth as. Dari 27 ayat yang memuat kisah Nabi Luth as. dengan
kaumnya, terdapat tiga ayat yang menyebut perilaku homoseksual (gay
dan lesbi) dengan “fahisyah”. Selain pada kedua ayat di atas (Q.S. al-A’raf
[7]: 80 dan Q.S. al-Ankabut [29]: 28 satu ayat lagi terdapat pada Q.S. an-
Naml [27]: 54.
ِ ‫شةَ َوا َ ْنت ُ ْم تُب‬
َ ‫ْص ُو ْو‬ ِ َ‫طا اِذْ قَا َل ِلقَ ْو ِمه اَت َْْت ُ ْو َ ا ْلر‬
َ ‫اح‬ ً ‫َولُ ْو‬
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya,
“Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah (keji), padahal kamu
melihatnya (kekejian perbuatan maksiat itu)?” (Q.S. an-Naml [27]: 54)

Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan: “Dan


sesungguhnya Kami telah mengutus Luth, dan ingatkanlah Luth ketika ia
berkata kepada kaumnya. Luth adalah putra Haran, putra Azar, putra
saudara laki-laki Nabi Ibrahim as. yang telah beriman bersama Nabi
Ibrahim as. dan hijrah bersamanya ke negeri Syam.
Allah mengutus Nabi Luth as. kepada kaum Sodom dan daerah-
daerah sekitarnya untuk menyeru mereka agar menyembah Allah,

61
Huzaemah Tahido Yanggo, “Penyimpangan Seksual (LGBT) dalam Pandangan Hukum
Islam”, Misykat, Volume 03, Nomor 02, (Desember 2018), hlm. 1

56
memerintahkan mereka untuk mengerjakan kebajikan, melarang mereka
berbuat munkar. Saat itu kaum Sodom tenggelam dalam perbuatan dosa.
Hal-hal yang diharamkan dan perbuatan keji yang mereka ada-adakan dan
belum pernah dilakukan oleh seseorang pun keturunan Adam dan juga
oleh makhluk lain, yaitu mendatangi orang laki-laki, bukan perempuan
(homoseks).
Kota Sodom (bahasa Arab: ‫ سدوم‬/sadūm) inilah yang dari padanya lahir
istilah sodomy. Dalam bahasa Ibrani, sodom berarti terbakar dan Gemorah
(bahasa Arab: ‫َمورة‬/’amūrah) berarti terkubur. Di dalam al-Quran
kaumnnya Nabi Luth as disebut “Al-Mu’tafikat” yang artinya di jungkir-
balikkan (Q.S. an-Najm [53]: 53)
‫َو ْال ُمؤْ ت َ ِر َكةَ ا َ ْم ىوى‬
“Dan prahara angin telah meruntuhkan (negeri kaum Luth)” (Q.S. an-
Najm [53]: 53)
Perbuatan tersebut merupakan suatu hal yang belum pernah dilakukan
oleh seorang keturunan Adam dan belum pernah terlintas dalam hati
mereka untuk melakukannya selain kaum Sodom. Semoga laknat Allah
tetap menimpa mereka”.
Sehubungan dengan firman Allah:
َ‫س َبقَ ُك ْم ِب َها ِم ْن ا َ َحد ِِّمنَ ْالعى لَ ِميْن‬
َ ‫شةَ َما‬ ِ َ‫طا اِذْ قَا َل ِلقَ ْو ِمه اَت َْْت ُ ْو َ ْالر‬
َ ‫اح‬ ً ‫َولُ ْو‬
“Dan (Kami juga telah mengutus) Lut, ketika dia berkata kepada kaumnya,
“Mengapa kamu melakukan perbuatan keji, yang belum pernah dilakukan oleh
seorang pun sebelum kamu (di dunia ini)” (Q.S. al-A’raf [7]: 80)

Amr bin Dinar berkata: “Tidak seorang lelaki pun menyetubuhi lelaki kecuali
kaum Luth yang pertama melakukannya”. Al-Walid bin Abdul Malik, Khalifah
Bani Umayyah, pendiri Masjid Jami’ Damaskus berkata: “Seandainya Allah
tidak menceritakan kepada kita tentang berita kaum Luth, niscaya kita tidak
percaya bahwa ada lelaki yang menaiki lelaki”. Para ahli tafsir juga mengatakan:
“Sebagaimana kaum lelaki, kaum wanitanya Nabi Luth juga melampiaskan
nafsunya dengan sesama wanita”.
Al-Quran menyebutkan perilaku homoseksual ini sebagai “fâhisyah”
karena kaum gay dalam menyalurkan nafsu seksualnya dengan cara

57
sodomi (liwath) yang secara istilah syariat definisinya adalah memasukan
kepala penis ke dalam dubur/anus pria lainnya. Perilaku ini sudah tentu
sangat menjijikan, karena seorang laki-laki menyetubuhi dubur/anus laki-
laki lain, sedangkan di dalam dubur itu terdapat kotoran besar yang bau,
kotor dan jorok, sehingga manusia yang normal pasti menolaknya.
Al-Quran mengisyaratkan dampak negatif perilaku gay sebagai
berikut:
‫ِال ا َ ْ قَالُوا ائْتََِا‬ َ ‫سبِ ْي َل ە َوت َْْت ُ ْو َ اِ ْي نَا ِد ْي ُك ُم ْال ُم َْك ََو ۗاَ َما كَا َ َج َو‬
ٓ َّ ‫اب قَ ْو ِمه ا‬ َّ ‫َعُ ْو َ ال‬ ِّ ِ َ ‫ا َ َكََِّ ُك ْم لَت َْْت ُ ْو‬
َ ‫الو َجا َل َوت َ ْق‬
ٰ ‫ّللاِ اِ ْ ُك َْتَ ِمنَ ال‬
َ‫ص ِدقِيْن‬ ٰ ‫ب‬ ِ ‫ِب َعذَا‬
“Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan
mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka
jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan, “Datangkanlah
kepada kami azab Allah, jika engkau termasuk orang-orang yang
benar.” (Q.S. al-Ankabut [29]: 29)

Menurut Tafsir Jalalain, yang dimaksud “taqtha’ûnas sabîl” adalah


melakukan perbuatan keji di jalan yang dilewati manusia, sehingga
manusia tidak mau lagi melewati jalan itu. Muhammad Quraish Syihab
dalam tafsir Al-Misbah menjelaskan ayat di atas sebagai berikut:
“Sesungguhnya yang kalian lakukan (homoseksual) adalah kemungkaran yang
membinasakan, kalian melakukan perbuatan keji dengan para lelaki, kalian
memutuskan jalan untuk mengembangkan keturunan sehingga hasilnya adalah
kehancuran. Kalian melakukan kemungkaran-kemungkaran dalam masyarakat
tanpa rasa takut kepada Allah dan rasa malu di antara kalian”.
Ibnu Katsir ketika menjelaskan kalimat “fî nâdîkum al-munkar”
(mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuan kalian,) menurut
Mujahid, perbuatan mungkar tersebut adalah sebagian mereka
menyetubuhi sebagian yang lain di depan mata sekumpulan manusia.
Menurut Aisyah ra dan Al-Qasim, perbuatan mungkar tersebut ialah
mereka berkumpul di tempat-tempat pertemuan sambil saling kentut dan
tertawa-tawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa perbuatan mungkar
mereka adalah adu kambing (domba) dan sabung ayam. Semua perbuatan

58
itu merekalah yang mula-mula melakukannya. Bahkan perbuatan mereka
jauh lebih jahat dari pada sekadar itu.
Dari uraian di atas diketahui bahwa LGBT menimbulkan berbagai
dampak negatif di masyarakat dengan terputusnya generasi (keturunan)
dan berbagai tindakan kejahatan lain. Abdul Hamid Al-Qudah, spesialis
penyakit kelamin menular dan AIDS di Asosiasi Kedokteran Islam Dunia
menjelaskan dampak-dampak yang ditimbulkan LGBT sebagai berikut:
1) Dampak kesehatan
78 % pelaku homoseksual terjangkit penyakit-penyakit menular dan
rentan terhadap kematian. Rata-rata usia laki-laki yang menikah adalah
75 tahun, sedangkan rata-rata usia gay adalah 42 tahun, dan menurun
menjadi 39 tahun jika menjadi korban AIDS. Rata-rata usia wanita yang
bersuami dan normal adalah 79 tahun, sedangkan rata-rata usia lesbian
adalah 45 tahun.
2) Dampak sosial
Seorang gay akan sulit mendapatkan ketenangan hidup karena selalu
berganti-ganti pasangan. Penelitian menyatakan: “Seorang gay
mempunyai pasangan antara 20-106 orang pertahunnya. Sedangkan
pasangan zina saja tidak tidak lebih dari 8 orang seumur hidupnya”.
Sebanyak 43 persen orang gay yang didata dan diteliti menyatakan
bahwa seumur hidupnya melakukan homoseksual dengan 500 orang.
28 persen melakukannya dengan lebih dari 1,000 orang. 79 persen
melakukannya dengan pasangan yang tidak dikenali sama sekali dan
70 persen hanya merupakan pasangan kencan satu malam atau
beberapa menit saja. Berdasarkan penelitian tersebut, melegalkan
pasangan LGBT dalam ikatan pernikahan pada hakikatnya adalah
tindakan yang sia-sia.
3) Dampak pendidikan

59
Penelitian membuktikan bahwa pasangan homo menghadapi
permasalahan putus sekolah lima kali lebih besar dari pada siswa
normal karena mereka merasakan ketidakamanan dan 28 persen dari
mereka dipaksa meninggalkan sekolah.
4) Dampak keamanan
Kaum homoseksual menyebabkan 33 persen pelecehan seksual pada
anak-anak di Amerika Serikat (AS), padahal populasi mereka hanyalah
2 persen dari keseluruhan penduduk negara itu. Sementara itu, di
Indonesia melalui riset dengan bantuan Google dalam kurun waktu
2014 hingga 2016, telah terjadi 25 kasus pembunuhan sadis dengan latar
belakang kehidupan pelaku dan atau korban dari kalangan pelaku
homoseksual.
Mengingat buruknya dampak perilaku homoseksual ini, Allah telah
menghukum pelakunya dengan hukuman yang sangat berat. Allah
berfirman dalam Q.S. Al-Hijr [15]: 72-74.
َ ‫َ ْونَا ََلَ ْي ِه ْم ِح َج‬
ً‫ارة‬ َ ‫ص ْي َحة ُ ُم ْش ِو ِقيْنَ اَ َج َع ْلََا ََا ِل َي َها‬
َ ‫سا ِالَ َها َواَ ْم‬ َ ‫لَ َع ْم ُوكَ اِنَّ ُه ْم لَ ِر ْي‬
َّ ‫س ْك َو ِت ِه ْم َي ْع َم ُه ْو َ اَا َ َْذَتْ ُه ُم ال‬
‫ِِّم ْن ِس ِ ِّجيْل‬
“(72) (Allah berfirman), “Demi umurmu (Muhammad), sungguh,
mereka terombang-ambing dalam kemabukan (kesesatan).” (73) Maka
mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika
matahari akan terbit. (74) Maka Kami jungkir balikan (negeri itu) dan
Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras”. (Q.S. al-Hijr
[15]: 72-74)

Ibnul Qayyim menerangkan, karena dampak dari perilaku gay adalah


kerusakan yang besar, maka balasan yang diterima di dunia dan akhirat
adalah siksaan yang sangat berat di dunia dan di akhirat. Pada rangkaian
ayat-ayat ini, Allah menjelaskan tiga bentuk siksaan sekaligus yang
ditimpakan kepada pelaku gay di zaman Nabi Luth a.s. yaitu mereka
disiksa dengan suara keras mengguntur yang terjadi menjelang matahari
terbit, bersama dengan itu, negeri mereka yang terangkat tinggi ke udara

60
kemudian dibalik yang semula di atas menjadi di bawah, sambil dihujani
batu yang keras yang berjatuhan secara bertubi-tubi di atas kepala mereka.
Sebagaimana yang disebutkan di ayat lain, yaitu Q.S. Hud [11]: 82-83:
ٰ َ‫ِي مِ ن‬
َ‫الٰلِمِ يْن‬ ۗ
َ ‫س َّو َمةً َِ َْدَ َر ِِّب َ َو َما م‬ َ ‫َلَ ْي َها حِ َج‬
َ ‫ارة ً ِ ِّم ْن ِس ِ ِّجيْل َّم َْض ُْود ُم‬ َ ‫سااِلَ َها َوا َ ْم‬
َ ‫َ ْونَا‬ َ ‫اَلَ َّما َج ٕا َء ا َ ْم ُونَا َج َع ْلََا‬
َ ‫َا ِليَ َها‬
ࣖ ‫ِب َب ِعيْد‬
Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya
negeri kaum Lut, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu
dari tanah yang terbakar, (83) yang diberi tanda oleh Tuhanmu. Dan
siksaan itu tiadalah jauh dari orang yang zalim” Q.S. Hud [11]: 82-83)

Al-Bukhari menjelaskan “Sijjil” adalah batu yang keras dan besar.


Ulama lain berkata: “yaitu adalah batu tanah liat yang di bakar”. Ketika
menjelaskan kata “musawwamatan” (yang diberi tanda), Ibnu Katsir
menukilkan pendapat Qotadah dan Ikrimah (dua ahli tafsir generasi
tabiin): “Bahwa kaumnya Nabi Luth a.s. dihujani dengan batu yang
ditandai dengan terpahat di atasnya nama-nama orang yang akan ditimpa
batu tersebut”.
Batu itu memercikkan bara dan mengenai penduduk negeri dan
penduduk yang terpencar di berbagai desa sekitarnya. Suatu saat, seorang
sedang berbicara di tengah-tengah manusia, tiba-tiba ia tertimpa batu dari
langit dan jatuh di antara mereka. Batu-batu itu bertubi-tubi menghujani
mereka hingga seluruh negeri dan mereka mati semua.
Menurut para ahli tarikh (sejarah), kehancuran kaumnya Nabi Luth a.s.
yang bergelimang maksiat itu terjadi 4,000 tahun yang lalu. Tidak ada
petunjuk lokasi di mana peristiwa itu terjadi hingga pada tahun 1924,
seorang ahli purbakala bernama Wiliam Albert berangkat menuju Laut
Mati untuk melakukan penelitihan di sana. Akhirnya, dia dan tim
menemukan sisa-sisa kehancuran kaum Sodom dan Gemorah di sekitar
Laut Mati tersebut. Sodom dan Gemora terletak di atas sesar Moab dan
pembinasaan dua kaumnya Nabi Luth a.s. ini diinterpretasikan terjadi
melalui serangkaian bencana geologi dengan urutan:

61
1. Pergerakan sesar Moab
2. Gempa dengan magnitude 7,0 + SR yang menghancurkan kota-kota dan
sekitarnya serta likuifaksi yang menenggelamkan sebagian wilayah
kota-kota.
3. Erupsi gunung garam dan gunung lumpur yang meletuskan halit,
anhirdit, batu-batuan, aspal, lumpur, bitumen dan belerang.
4. Kebakaran kota-kota di sekitarnya karena material hidrokarbon yang
diletuskan terbakar sehingga menjadi hujan api dan belerang. Bencana
katastropik ini telah meratakan Sodom dan Gemorah dan menewaskan
seluruh penduduk kecuali Nabi Luth Alaihissalam dua putrinya dan
seorang yang beriman kepadanya.
Seluruh ulama sepakat (ijma’) atas keharaman homoseksual. Ibnu
Qudamah berkata: “Ulama sepakat atas keharaman liwath (sodomi). Allah
telah mencelanya dalam kitab-Nya dan mencela pelakunya, demikian pula
Rasulullah Saw juga mencelanya.
Beliau bersabda: “Allah mengutuk orang yang berbuat seperti perbuatan
kaum Nabi Luth. Allah mengutus orang yang berbuat seperti perbuatan Nabi Luth.
Beliau bersabda sampai tiga kali”. (H.R. Ahmad).
Beliau juga telah menetapkan hukuman bagi pelaku homoseksual ini
dalam sabdanya: “Barang siapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum
Nabi Luth Alaihissalam maka bunuhlah pelaku dan pasangannya”. (H.R. At-
Tirmidzi).
Beliau mengatakan perbuatan homoseksual adalah sama dengan Zina,
sebagaimana sabdanya: “Apakah seorang lelaki mendatangi lelaki maka kedua-
duanya telah berzina dan apabila seorang dan apabila wanita mendatangi wanita
maka maka kedua-duanya telah berzina”. (H.R. Al-Baihaqi)
Wahbah Az-Zuhaili meriwayatkan hadist ini dari Abu Musa Al-
Asy’ari ra. Berdasarkan hadis-hadis di atas, para ulama berbeda pendapat
tentang hukuman bagi pelaku homoseksual. Imam Malik, Imam Asy Syafi’i

62
dan Imam Ahmad mengatakan bahwa tindakan homoseksual mewajibkan
hukuman Hadd karena Allah memperberat hukuman bagi pelakunya
dalam kitab-Nya sehingga pelakunya harus mendapatkan hukuman hadd
zina karena adanya makna perzinaan di dalamnya.
Menurut ulama Syafi’iyah, hukuman hadd bagi pelaku homoseksual
adalah sama dengan hukuman hadd zina. Jika pelakunya muhshan (sudah
beristri atau bersuami) wajib dirajam sampai mati. Sedangkan jika
pelakunya (belum beristri atau belum bersuami) di cambuk 100 kali dan
diasingkan.ghairu muhshan
Sementara itu, menurut Amir Abdul Aziz, Guru Besar Fiqh
Perbandingan di Universitas dan Najah Al-Wathaniyah, Nablus, Palestina,
pelaku homoseksual baik muhshan maupun ghairu Muhson hukuman
haddnya adalah rajam. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama
Malikiyah dan pendapat ulama Hanafiah dalam salah satu versi riwayat
yang paling kuat dari Imam Ahmad.
Ketika menjelaskan hadist riwayat Imam At-Tirmidzi di atas, Imam
Ash-Shan’ani (1059-1182 H) dalam “Subulus salam” mengatakan ada 4
pendapat tentang hukuman bagi pelaku homoseksual:
1. Dihukum dengan had zina yaitu dirajam bagi yang muhshan dan dijilid
bagi yang ghairu muhshan.
2. Dibunuh baik pelaku maupun obyeknya baik muhshan maupun ghairu
muhshan.
3. Dibakar dengan api, baik pelaku maupun obyeknya. Ini adalah
pendapat para sahabat Rasulullah Saw.
4. Dilempar dari tempat yang tinggi dengan kepala di bawah kemudian
dilempari batu. ini adalah pendapat Abdulllah Bin Abbas ra.
Adapun menurut Imam Abu Hanifah, pelaku homoseksual hanya
dihukum ta’zir karena tindakan homoseksual tidak sampai menyebabkan

63
percampuran nasab. Sedang ta’zirnya adalah dimasukkan ke penjara
sampai bertaubat atau sampai mati.
Dari uraian di atas, Islam memandang bahwa perilaku LGBT bukanlah
penyakit atau genetik tetapi merupakan tindak kejahatan. Islam menyebut
pelakunya dengan sebutan yang sangat buruk antara lain: (a) Al-
Mujrimun (para pelaku kriminal) (Q.S. al-A’raf[7]: 84) (b) Al-
Mufsidun (pelaku kerusakan) (Q.S. al-Ankabut [29]: 30), (c) Az-Zalimun
(orang yang menganiaya diri) (Q.S. Al-Ankabut [29]: 31)
Apa yang dinyatakan al-Quran ini adalah benar. Susan Cohran,
seorang psikolog dan ahli epidemiologi dari University of California (AS)
berkata: “Tidak masuk akal memasukkannya ke dalam buku dan berkata, “Ini
adalah penyakit” jika tidak ada bukti bahwa itu adalah penyakit”. Demikian kata
Cohran menanggapi soal gay dalam sebuah panel yang diselenggarakan
Lembaga PBB untuk kesehatan, WHO (World Health Organization).
Untuk mencegah kejahatan yang sangat membahayakan ini, Islam
memberikan beberapa ketentuan, antara lain:
1. Merendahkan pandangan/menundukan pandangan.
2. Berpakaian yang menutup aurat.
3. Memperbanyak puasa sunnah.
4. Memisahkan tempat tidur anak ketika ketika sudah berumur 10 tahun.
5. Menghindari perilaku wanita menyerupai pria dan sebaliknya. Sikap
tomboy wanita dan lemah gemulai seorang pria dilarang dalam Islam.
6. Memilih teman pergaulan dan menghindari pergaulan bebas.
7. Mewujudkan keluarga harmonis yang penuh ketenangan dan diliputi
kasih sayang.
8. Rajin dalam beribadah terutama shalat dan membaca Al-Quran.62

62
Tri Ermayani, “LGBT dalam Perspektif Islam”, Jurnal Humanika, Th. XVII, No. 2. (September
2017), hlm. 155-159.

64
TINDAK LANJUT BELAJAR

Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat


melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di
antaranya sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS


Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam
proses pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan
petunjuk dalam LMS program PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas
yang ada di LMS

65
CONTOH SOAL

Fenomena dalam memakaian cadar menjadi suatu yang sangat


digandrungi oleh sebagian masyarakat. Menurut Imam Syafi’i ra., bahwa
fenomena dalam memakai cadar terdapat dalam hal...
A. Keharusan menutup aurat bagi perempuan.
B. Batas menutup aurat bagi perempuan.
C. Hukum menutup aurat bagi perempuan.
D. Fenomena sosial menutup aurat bagi perempuan.
E. Tren dalam menutup aurat bagi perempuan.

GLOSARIUM

Cadar : Kain penutup kepala atau muka bagi perempuan


Lesbian : Wanita yang mencintai atau merasakan rangsangan
seksual sesama jenisnya
Gay : Laki-laki yang mencintai atau merasakan rangsangan
seksual sesama jenisnya
Bisexsual : Tertarik secara seksual kepada laki-laki dan perempuan
Transgender : Orang-orang yang merasa bahwa identitas gendernya
tidak sesuai dengan jenis kelaminnya saat lahir
Zina : Perbuatan bersenggama antara perempuan dan laki-laki
yang belum terikat akada nikah
Homoseksual : Hubungan seksual dengan pasangan sejenis (pria
dengan pria)

66
DAFTAR PUSTAKA

Adrian, Iswah, “Kurikulum Berbasis Gender (Membangun Pendidikan


yang Berkesetaraan)”, Jurnal Tadris, Vol. 4 No. 1, 2009.
Azisah, Siti, dkk, Buku Saku Kontekstualisasi Gender, Islam dan Budaya,
Makasar: UIN Alaudin Makasar, 2016.
Ermayani, Tri, “LGBT dalam Perspektif Islam”, Jurnal Humanika, Th. XVII,
No. 2. (September 2017).
Israpil, “Budaya Patriarki dan Kekerasan terhadap Perempuan (Sejarah dan
Perkembangannya)”, Pusaka; Jurnal Khazanah Keagamaan, Vol. 5, No. 2
(2017).
Nurmila, Nina, “Pengaruh Budaya Patriarki terhadap Pemahaman Agama
dan Pembentukan Budaya”, KARSA, Vol. 23 No. 1, (Juni 2015).
Rosilawati, Ana, Perempuan dan Pendidikan: Refleksi atas Pendidikan Berspektif
Gender, Hasil Penelitian Fakutas Ilmu Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Pontianak.
Sakina, Ade Irma, dan A. Dessy Hasanah Siti, “Menyoroti Budaya Patriarki
di Indonesia”, Share: Social Work Jurnal, Vol. 7, No. 1.
Sastryani, Glosarium, Seks, dan Gender, Yogyakarta: Carasuati Books, 2007.
Srivastava, Gouri, Gender Concerns in Education, NCERT: India, tt.
Sudirman, Muh., “Cadar Bagi Wanita Muslimah (Suatu Kajian Perspektif
Sejarah)”, DIKTUM: Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 17, Nomor 1
(Juli 2019).
Yanggo, Huzaemah Tahido, “Penyimpangan Seksual (LGBT) dalam
Pandangan Hukum Islam”, Misykat, Volume 03, Nomor 02, (Desember
2018).

67

Anda mungkin juga menyukai