Anda di halaman 1dari 29

KEGIATAN BELAJAR 4 :

MODERASI BERAGAMA

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Selamat datang Saudara mahasiswa,


Pada pembelajaran modul PAI kontemporer pada Kegiatan Pembelajaran 4
Saudara tentu pernah membaca, mendengar dan bahkan mendiskusikan
tema mengenai Moderasi Beragama. Pada Kegiatan Pembelajaran 4 ini akan
disajikan mengenai, pengertian moderasi, nilai moderasi, dan
implementasi moderasi. Dengan mempelajari materi pada KB 4 diharapkan
mahasiswa memiliki pengetahuan secara komprehensif terkait moderasi
dalam beragama dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

1. Memahami makna moderasi beragama


2. Memahami nilai-nilai moderasi beragama
3. Mampu mengimplementasikan sikap moderat dalam pembelajaran
dan kehidupan sehari-hari
4. Bersikap moderat dalam menghadapi perbedaan pendapat

POKOK-POKOK MATERI

1. Pengertian moderasi beragama


2. Nilai-nilai moderasi beragama
3. Implementasi moderasi beragama

68
URAIAN MATERI

A. Pengertian Moderasi Beragama


Moderasi pada Kamus Besar Bahasa Indonesia online adalah
pengurangan kekerasan, penghindaran keekstreman63. Moderasi dalam
bahasa arab disebut dengan al-Wasathiyyah al-Islamiyyah64. Secara etimologi,
kata wasatiyyah berasal dari bahasa Arab. Kata wasatiyyah tersebut
mengandung beberapa pengertian, yaitu adaalah (keadilan) dan khiyar
(pilihan terbaik) dan pertengahan.65 Al-Qaradawi menyebut beberapa kosa
kata yang serupa makna dengannya termasuk kata tawazun, i'tidal, ta'adul
dan istiqamah.66
Kata al-wasathiyah atau moderat yang mempunyai lebih dari satu
makna yang satu dengan lainnya saling mendukung, yaitu (1) Tawassuth,
berada pada posisi tengah antara dua sisi yang berseberangan. Kedua titik
itu tidak dipertentangkan atau dibenturkan tetapi dipertemukan pada
posisi tengah. Moderasi antara sikap ifrāth (berlebihan) dan tafrīth
(mengabaikan), antara sikap terlalu berpegang pada zhahir nash atau
terlalu memperhatikan jiwa nash. (2) Mulāzamatu al-Adli wa al-‘Itidal,
mempertahankan keseimbangan dan sikap yang proporsional, sehingga
permasalahan yang ada disikapi dengan wajar. Memberi porsi yang wajar
kepada ta’aqqul (rasionalitas) dan ta’abbud (kepatuhan) yang tanpa reserve.
(3) Afdhaliyyah/Khairiyyah, memiliki sikap dan posisi yang afdhal, tidak
menegasikan sama sekali pendapat-pendapat yang berlawanan, tetapi

63
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/moderasi, diakses tanggal 17 Februari 2022
64
Abd. Rauf Muhammad Amin, “Prinsip dan Fenomena Moderasi Islam dalam Tradisi Hukum
Islam”, Jurnal Al-Qalam, Desember 2014, h. 24
65
Mushaddad Hasbullah dan Mohd Asri Abdullah, Wasatiyyah Pemacu Peradaban Negara,
(Negeri Sembilan: Institut Wasatiyyah Malaysia, 2013), h. 73
66
Yusuf al Qaradawi, al Khashâ’is al ‘Âmmah li al Islâm, (Bairut: Mu’assasah ar Risalah, 1983), h.
131.

69
mengambil sisi positif atau keunggulan dari semuanya. (4) Istiqāmah ala al-
Thorīq, konsisten di jalan yang lurus, karena posisi tengah memberikan
kestabilan dan kemantapan.67
Wasathiyah berarti sikap Islam yang dipilih, terbaik, adil, rendah hati,
moderat, istiqamah, ikuti ajaran Islam, tidak ekstrim untuk kedua ujung
dalam hal-hal yang berkaitan duniawi atau kehidupan setelah kematian,
spiritual atau jasmani tetapi harus seimbang antara keduanya. Oleh karena
itu, sikap moderat (wasatiyyah) merupakan pendekatan yang diakui oleh
Islam. Sebuah pendekatan yang komprehensif dan terpadu yang mampu
memecahkan permasalahan umat, terutama dalam hal manajemen konflik
untuk memelihara perdamaian. Sikap moderat dengan jalan tengahnya
dapat menjadikan kehadiran Islam di Indonesia sebagai agama rahmatan
lil alamin dan agama yang selamat.
Dari beberapa uraian di atas, moderasi beragama dapat diartikan
sebagai sebuah pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil
posisi tengah dari dua sikap yang berseberangan dan berlebihan sehingga
salah satu dari kedua sikap yang dimaksud tidak mendominasi dalam
pikiran dan sikap seseorang.68 Moderasi beragama berarti cara beragama
jalan tengah sesuai pengertian moderasi tadi. Dengan moderasi beragama,
seseorang tidak ekstrem dan tidak berlebih-lebihan saat menjalani ajaran
agamanya. Orang yang mempraktekkannya disebut moderat.69

B. Nilai-nilai Moderasi Beragama


Moderasi (wasathiyyah) merupakan prinsip dalam beragama yang perlu
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa nilai

67
Achmad Ismail Satori dkk, Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan Lil ‘Alamin (Jakarta: Pustaka
Ikadi, 2007), h. 8
68
Sudarji, “MODERASI ISLAM: Untuk Peradaban dan Kemanusiaan”, Edukasia: Jurnal Pendidikan
dan Pembelajaran, Volume 1 Issue 1, 2020, h. 97.
69
Kementerian Agama RI; Tanya Jawab Moderasi Beragama, 2019 hal: 2

70
moderasi yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan beragama dan
bermasyarakat. Nilai-nilai moderasi ini dipandang relevan dengan ajaran
agama Islam. Tujuh di antara sembilan nilai itu dirumuskan oleh para
ulama peserta KTT Bogor 2018. Sementara itu, dua nilai tambahan (anti
kekerasan dan menghormati adat) berasal dari sumbang saran para ahli
kepada Kementerian Agama. Kesembilan nilai moderasi tersebut adalah
tengah-tengah (tawassuth), tegak-lurus (i’tidal), toleransi (tasamuh),
musyawarah (syura), reformasi (ishlah), kepeloporan (qudwah),
kewargaan/cinta tanah air (muwathanah), anti kekerasan (la ’unf) dan ramah
budaya (i’tibar al-‘urf)70.
Berikut 9 nilai moderasi beragama disajikan dalam bentuk diagram:

1. Tawassuth (mengambil jalan tengah)


Tawassuth atau wasathiyyah adalah memilih jalan tengah di antara dua
kutub ideologi keagamaan ekstrem fundamentalisme dan liberalisme. Ciri
sikap tawassuth ini, antara lain: tidak bersikap ekstrem dalam
menyebarluaskan ajaran agama; tidak mudah mengkafirkan sesama
muslim karena perbedaan pemahaman agama; memposisikan diri dalam
kehidupan bermasyarakat dengan senantiasa memegang teguh prinsip

70
Ibid hal 3

71
persaudaraan (ukhuwah) dan toleransi (tasamuh); hidup berdampingan
dengan sesama umat Islam maupun warga negara yang memeluk agama
lain.
Istilah wasathiyyah berasal dari bahasa Arab yang berarti kelas
menengah, bukan ekstrem kanan atau ekstrem kiri. Tidak memihak
individu dengan mengorbankan masyarakat, dan tidak memprioritaskan
masyarakat dengan mengorbankan individu. Wasathiyyah sangat
memperhatikan hak individu dan juga hak masyarakat. Wasathiyyah
sangat memperhatikan kehidupan dunia, seperti halnya perhatiannya pada
kehidupan setelah kematian. Wasathiyyah memberikan perhatian yang
besar pada kesalehan ritual seperti pada kesalehan sosial. Wasathiyyah
menekankan hidup sejahtera di dunia, dan keamanan di akhirat, tidak
mengejar kehidupan duniawi sedangkan kehidupan ukhrawi diabaikan,
begitu pula sebaliknya. Allah Swt., berfirman:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (Q.S. Al-
Qashas: 77).
Ada sejumlah harapan yang dapat disemaikan melalui pengetahuan
nilai wasathiyyah, di antaranya:
a. Terus menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa dengan
berbagai suku bangsa yang mendiami sejumlah pulau, dari Sabang
hingga Merauke, dengan perbedaan agama, ras, Bahasa, dan adat
budaya. Keberagaman ini dibingkai dalam konsep pemahaman
moderasi, cara pandang bangsa Indonesia terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.

72
b. Terus menumbuhkan rasa memiliki dan patriotisme untuk menjamin
kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sikap dan perilaku
patriotik dimulai dengan hal-hal yang mendasar, yaitu: semangat
gotong royong, mewujudkan kerukunan umat beragama dan toleransi
dalam menjalankan ibadah menurut agama masing-masing, saling
menghormati, mengedepankan rasa damai dan menjaga keamanan
lingkungan.
c. Terus meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab sebagai warga
negara Indonesia yang menghormati umat beragama di tanah air, antar
umat beragama, dan antar umat beragama dengan pemerintah, serta
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. (NKRI) untuk mematuhi.
2. I’tidal (adil tegak lurus).
Al-I’tidal adalah sikap tegak lurus dan adil, suatu tindakan yang
dihasilkan dari suatu pertimbangan71. Adil dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) online adalah sama berat, tidak berat sebelah, tidak
memihak, berpihak pada yang benar dan tidak sewenang-wenang.
Sementara keadilan diartikan sebagai suatu sifat atau perbuatan atau
perlakuan yang adil.
Sedangkan menurut bahasa Arab, adil di sebut dengan kata ‘adlun
yang berarti sama dengan seimbang, dan al’adl artinya tidak berat sebelah,
tidak memihak, berpihak kepada yang benar, tidak sewenang-wenang,
tidak zalim, seimbang dan sepatutnya. Menurut istilah, adil adalah
menegaskan suatu kebenaran terhadap dua masalah atau beberapa
masalah untuk dipecahkan sesuai dengan aturan- aturan yang telah
ditetapkan oleh agama.72

71
Abdul Wahid, et. all., Militansi ASWAJA & Dinamika Pemikiran Islam. (Malang:Aswaja Centre
UNISMA, 2001), hlm. 18.
72
Syamsuri, Pendidikan Agama Islam, Jakarta:Erlangga, 2007, h.100

73
Terminologi keadilan dalam Alquran disebutkan dalam berbagai
istilah, antara lain ‘adl, qisth, mizan, hiss, qasd, atau variasi ekspresi tidak
langsung, sementara untuk terminologi ketidakadilan adalah zulm, itsm,
dhalal, dan lainnya. Setelah kata “Allah” dan “Pengetahuan” keadilan
dengan berbagai terminologinya merupakan kata yang paling sering
disebutkan dalam Alquran. Dengan berbagai muatan makna “adil”
tersebut, secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan dimata hukum, kesamaan
hak kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan
dan tidak adanya pihak yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam
setiap aspek kehidupan.73
Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak menzalimi dan tidak
dizalimi.” Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi
tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu
merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan
terkotak-kotak dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan
mendzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas
manusia74. Dalam khazanah islam yang lainnya, keadilan yang dimaksud
adalah keadilan ilahi, yaitu keadilan yang tidak terpisah dari moralitas,
didasarkan pada nilai-nilai absolut yang diwahyukan tuhan dan
penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu
kewajiban.75
Murtadha Muthahhari memaknai keadilan sebagai suatu keadaan
yang seimbang. Dalam suatu masyarakat terdapat bagian-bagian yang
beragam yang menuju satu tujuan tertentu, maka di situ terdapat banyak

73
Ekonomi Islam, Pusat Pengkajian Pengembangan Ekonomi Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada
, 2008, h.59
74
Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, Pekanbaru :Suskapress, h.15
75
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta:Graha Ilmu, h.7

74
syarat. Dengan terhimpunnya syarat ini, kelompok masyarakat tersebut
dapat bertahan dan dapat memberi pengaruh yang dikehendaki darinya,
serta dapat memenuhi tugas yang diletakkan padanya.
I’tidal bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban secara proporsional. I’tidal
merupakan bagian dari penerapan keadilan dan etika bagi setiap muslim.
Tanpa mengusung keadilan, nilai-nilai agama terasa kering dan tiada
bermakna, karena keadilan menyentuh hajat hidup orang banyak. Karena
itu, moderasi beragama juga harus mendorong upaya untuk mewujudkan
kemaslahatan bersama (al mashlahah al-‘ammah)
3. Tasamuh (toleransi)
a. Pengertian Toleransi
Kata toleransi berasal dari toleran dalam KBBI diartikan menenggang
atau menghargai pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan
pendirian sendiri. Dalam bahasa Arab, toleran adalah “tasāmuh”, yang
berarti sikap baik dan berlapang dada terhadap perbedaan-perbedaan
dengan orang lain yang tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya.76
Umat manusia diciptakan dengan berbagai ras, bangsa, suku, bahasa, adat,
kebudayaan, dan agama yang berbeda. Menghadapi kenyataan tersebut,
setiap manusia harus bersikap toleran atau tasāmuh. Dengan sikap toleransi
dan tasāmuh yang luas dan terbuka, maka akan terbentuk suatu masyarakat
yang saling menghargai, menghormati, dan terjalinlah kehidupan yang
harmonis antar anggota masyarakat, bangsa, negara, maupun dalam
kehidupan secara umum. Kemudian masyarakat yang harmonis cenderung
akan menghasilkan karya-karya yang besar yang bermanfaat bagi manusia.
Toleransi dianjurkan dalam masalah muamalah dan hubungan
kemasyarakatan bukan menyangkut masalah akidah dan ibadah. Toleransi

76
Aslati, “Toleransi Antar Umat Beragama dalam Perspektif Islam (Suatu Tinjauan Historis)”,
TOLERANSI; Media Ilmiah Komunikasi Umat Beragama, Vol 4, No 1 (2012), hlm. 1.

75
dalam masalah ibadah dan akidah tertolak sebagaimana yang dicontohkan
Rasulullah saat empat pemuka kafir Quraisy yakni Al-Walid bin Mughirah,
Al-Ash bin Wail, Al-Aswad ibnul Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf
datang menemui Rasulullah seraya berkata, “Wahai Muhammad,
bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (Muslim)
juga beribadah kepada Tuhan kami, kita bertoleransi dalam segala
permasalahan agama kita. Apabila ada sebagian dari ajaran agamamu yang
lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan
hal itu. Sebaliknya, jika ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan
agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”77
Sebagai jawaban dari perkataan mereka, kemudian Allah menurunkan
surat Al-Kafirun ayat 1-6, terutama dalam ayat 6 yang menegaskan bahwa
tidak ada toleransi dalam hal yang menyangkut akidah. Allah Swt
berfirman:

َ ‫لَ ُك ْم ِد ْيَُ ُك ْم َو ِل‬


‫ي ِدي ِْن‬
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (Q.S. al-Kafirun [109]: 6)
Sedangkan sikap toleransi dalam masalah muamalah dan
kemasyarakatan dijelaskan oleh Allah dalam Q.S. al-Mumtahanah [60] ayat
8-9:
ُ ‫ار ُك ْم اَ ْ تَبَو ْو ُم ْم َوت ُ ْق ِس‬
ٰ َّ ِ‫َ ْٓوا اِلَ ْي ِه ۗ ْم ا‬
َ‫ّللا‬ ِ َ‫ّللاُ ََ ِن الَّ ِذيْنَ لَ ْم يُقَاتِلُ ْو ُك ْم اِى ال ِدِّي ِْن َولَ ْم ي ُْخ ِو ُج ْو ُك ْم ِ ِّم ْن ِدي‬ ٰ ‫َال يَ َْهى ِ ُك ُم‬
ٓ ‫ى‬ ِ ‫ي ُِحب ْال ُم ْقس‬
‫ظا َم ُو ْوا ََلى‬ َ ‫ار ُك ْم َو‬ ِ َ‫ّللاُ ٕ ََ ِن الَّ ِذيْنَ قَاتَلُ ْو ُك ْم اِى ال ِدِّي ِْن َوا َ ْْ َو ُج ْو ُك ْم ِِّم ْن ِدي‬ٰ ‫ اِنَّ َما َي َْهى ِ ُك ُم‬٨ َ‫َِيْن‬
َ ‫ٰ ِل ُم ْو‬ ‫اج ُك ْم ا َ ْ ت ََولَّ ْو ُم ۚ ْم َو َم ْن يَّت ََولَّ ُه ْم اَا ُ ى‬
ٰ ‫ول َكِ َ ُم ُم ال‬ ِ ‫ا ِْْ َو‬
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya
melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari
kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang
yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9)

77
Imam Qurthubi, Tafsir Qurthubi, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2006), hlm. 425.

76
Ibnu Katsir ra berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik
kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik
kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah kalian
berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat
adil”.78
Inilah toleransi yang diajarkan di dalam Islam. Allah telah
memerintahkan kepada hamba-Nya untuk bertoleransi pada orang-orang
di luar Islam. Namun demikian, sikap toleransi tidak boleh dipraktikkan
dalam hal yang menyangkut akidah. Inilah ketentuan syariat yang
berhubungan dengan toleransi.
b. Bentuk-bentuk Toleransi dalam Islam
Ada beberapa bentuk toleransi dalam Islam, di antaranya:
1) Islam mengajarkan menolong siapa pun, baik orang miskin maupun
orang yang sakit, muslim atau non-muslim, bahkan terhadap binatang
sekalipun. Dari Abu Hurairah, Nabi Saw bersabda:
ْ ‫اِى ُك ِِّل َك ِبد َر‬
‫ط َبة أَجْ ٌو‬
“Dalam setiap hati yang basah( makhluk hidup yang diberi makan
minum) ada pahalanya” (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah Islam
mengajarkan peduli sesama.
2) Tetap menjalin hubungan kerabat pada orang tua atau saudara non
muslim. Allah Swt telah berfirman dalam Q.S. Luqman [31]: 15
‫اح ْب ُه َما اِي الد ْنيَا َم ْع ُوواًا‬
ِ ‫ص‬َ ‫َْ لَ َ بِ ِه َِ ْل ٌم اَال ت ُ َِ ْع ُه َما َو‬
َ ‫َلى أ َ ْ ت ُ ْش ِوكَ بِي َما لَي‬
َ َ‫َوإِ ْ َجا َمدَاك‬
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah
kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik. (Q.S. Luqman [31]: 15).

Dalam ayat di atas sekalipun seorang anak dipaksa syirik oleh orang
tua, namun tetap kita disuruh berbuat baik pada orang tua. Lihat Asma’
binti Abi Bakr ra ketika ia berkata, “Ibuku pernah mendatangiku di

78
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2004).

77
masa Nabi Saw dalam keadaan membenci Islam. Aku pun bertanya
pada Nabi untuk tetap jalin hubungan baik dengannya. Beliau
menjawab, “Iya, boleh.” Ibnu ‘Uyainah mengatakan bahwa tatkala itu
turunlah ayat,
ِ ِّ‫ّللاُ ََ ِن الَّذِينَ لَ ْم يُقَاتِلُو ُك ْم اِى الد‬
‫ِين‬ َّ ‫الَ يَ َْ َها ُك ُم‬
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tiada memerangimu ….” (Q.S. al-
Mumtahanah [60]: 8)

3) Boleh memberi hadiah pada non-muslim.


Islam memperbolehkan umat Islam memberi hadiah kepada non-
muslim, agar membuat mereka tertarik pada Islam, atau ingin
berdakwah dan atau ingin agar mereka tidak menyakiti kaum
muslimin. Dari Ibnu ‘Umar ra, beliau berkata:
‫ى – صلى هللا َليه وسلم – ا ْبت َْع َم ِذ ِه ْال ُحلَّةَ ت َ ْلبَ ْس َها َي ْو َم ا ْل ُج ُمعَ ِة‬ ِّ ِ ِ‫ع َاقَا َل ِللََّب‬ ُ ‫َ َم ُو ُحلَّةً ََلَى َر ُجل تُبَا‬ ُ ‫َرأَى‬
ُ ِ ‫َ َمذَا َم ْن الَ َْالَقَ لَهُ ِاى‬ ُ ‫ اَقَا َل « ِإنَّ َما َي ْل َب‬. ُ ‫َو ِإذَا َجا َءكَ ْال َو ْاد‬
‫ّللاِ – صلى هللا َليه‬ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫ى َر‬ َ ‫ اَْ ِت‬. » ‫اآلْ َو ِة‬
‫س َها َوقَدْ قُ ْلتَ اِي َها َما قُ ْلتَ قَا َل « ِإنِِّى‬ ُ َ‫ْف أ َ ْلب‬ ُ ‫ اَقَا َل‬. ‫َ َم َو ِم َْ َها ِب ُحلَّة‬
َ ‫َ َم ُو َكي‬ ُ ‫س َل ِإلَى‬ َ ‫وسلم – ِم َْ َها ِب ُحلَل اَْ َ ْر‬
َ َ َ َ َ
‫َ َم ُو إِلى أخ لهُ ِم ْن أ ْم ِل َم َّكة قَ ْب َل أ ْ يُ ْس ِل َم‬ َ َ
َ ‫ اَْ ْر‬. » ‫سومَا‬
ُ ‫س َل بِ َها‬ َ
ُ ‫ تَبِيعُ َها أ ْو تَ ْك‬، ‫س َها‬ َ َ‫س َك َها ِلت َْلب‬
ُ ‫لَ ْم أ َ ْك‬
Umar pernah melihat pakaian yang dibeli seseorang lalu ia pun berkata
pada Nabi shallallahu Saw, “Belilah pakaian seperti ini, kenakanlah ia
pada hari Jum’at dan ketika ada tamu yang mendatangimu.” Nabi
Saw pun berkata, “Sesungguhnya yang mengenakan pakaian semacam
ini tidak akan mendapatkan bagian sedikit pun di akhirat.” Kemudian
Rasulullah Saw didatangkan beberapa pakaian dan beliau pun
memberikan sebagiannya pada ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Mengapa
aku diperbolehkan memakainya sedangkan engkau tadi mengatakan
bahwa mengenakan pakaian seperti ini tidak akan dapat bagian di
akhirat?” Nabi Saw menjawab, “Aku tidak mau mengenakan pakaian
ini agar engkau bisa mengenakannya. Jika engkau tidak mau, maka
engkau jual saja atau tetap mengenakannya.” Kemudian ‘Umar
menyerahkan pakaian tersebut kepada saudaranya di Makkah
sebelum saudaranya tersebut masuk Islam. (HR. Bukhari no. 2619).

Umar bin Khattab masih berbuat baik dengan memberi pakaian pada
saudaranya yang non-muslim.

78
c. Toleransi Antar umat Beragama
Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia diwajibkan mampu
berinteraksi dengan individu/manusia lain dalam rangka memenuhi
kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang
individu akan dihadapkan dengan kelompok-kelompok yang berbeda
dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan/agama. Dalam
menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-
gesekan yang akan dapat terjadi antar kelompok masyarakat, baik yang
berkaitan dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan
kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan
menghormati, sehingga tidak terjadi gesekan-gesekan yang dapat
menimbulkan pertikaian.
Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan
bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya". Sehigga kita sebagai warga Negara sudah
sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara
kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling
toleransi antar umat beragama.
Toleransi berasal dari bahasa latin dari kata "tolerare" yang berarti
dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi pengertian toleransi secara luas
adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari
aturan, di mana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan
yang dilakukan orang lain.79
Toleransi juga dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial
budaya yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya
diskriminasi terhadap golongan-golongan yang berbeda atau tidak dapat
diterima oleh mayoritas pada suatu masyarakat. Misalnya toleransi
beragama di mana penganut agama mayoritas dalam sebuah masyarakat
mengizinkan keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi toleransi antar
umat beragama berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama

79
Dewi Murni, “Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Perspektif Al-Quran”, Jurnal
Syahadah, Vol. VI, No. 2, (Oktober 2018), hlm. 73.

79
dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan menghargai manusia
yang beragama lain.
Istilah toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi
golongan/kelompok yang lebih luas, misalnya orientasi seksual, partai
politik, dan lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi serta
kritik mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum konservatif
maupun liberal.
Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertakwa
kepada tuhan menurut agama dan kepercayaan masing-masing
merupakan hal yang mutlak. Karena Semua agama menghargai manusia,
oleh karena itu semua umat beragama juga harus saling menghargai.
Sehingga terbina kerukunan hidup antar umat beragama.

4. Syura (Musyawarah).
Istilah musyawarah berasal dari kata ‫ مشاوزة‬. Ia adalah masdar dari kata
kerja syawara-yusyawiru, yang berakar kata syin, waw, dan ra‟ dengan pola
fa’ala. Struktur akar kata tersebut bermakna pokok “menampakkan dan
menawarkan sesuatu” Dari makna terakhir ini muncul ungkapan syawartu
fulanan fi amri (aku mengambil pendapat si Fulan mengenai urusanku).80
Pendapat senada mengemukakan bahwa musyawarah pada mulanya
bermakna “mengeluarkan madu dari sarang lebah”. Makna ini kemudian
berkembang sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil atau
dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Karenanya, kata
musyawarah pada dasarnya hanya digunakan untuk hal-hal yang baik,
sejalan dengan makna dasarnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
musyawarah diartikan sebagai: pembahasan bersama dengan maksud
mencapai keputusan atas penyelesaian masalah bersama. Selain itu dipakai
juga kata musyawarah yang berarti berunding dan berembuk.81

80
Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, Juz III (Mesir: Mustafa
AlBab al-Halabi, 1972), 226
81
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai
Pustaka, 1989), 603.

80
Kata “syura” atau dalam bahasa Indonesia menjadi “Musyawarah”
mengandung makna segala sesuatu yang diambil atau dikeluarkan dari
yang lain (termasuk pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini
semakna dengan pengertian yang mengeluarkan madu yang berguna bagi
manusia82. Dengan demikian, keputusan yang diambil berdasarkan Syura
merupakan sesuatu yang baik dan berguna bagi kepentingan kehudupan
manusia. Musyawarah merupakan esensi ajaran Islam yang wajib
ditetapkan dalam kehidupan sosial umat Islam. Syura memang merupakan
tradisi Arab Pra Islamyang sudah turun-temurun. Oleh Islam tradisi ini
dipertahankan karena syura merupakan tuntutan abadi dari kodrat
manusia sebagai mahluk sosial.83
Melalui musyawarah setiap masalah yang menyangjut kepentingan
umum dan kepentingngau suatn rakyat dapat ditemukan dalam satu jalan
keluar yang sebaik baiknya setelah semua pihak mengemukakan
pandangan dan pikir mereka wajib terdengan oleh pemegang negara
supaya ia dalam membuat suatu keputusan dapat mencerminkan
pertimbangan-pertimngandan bijak sna untuk kepentingan umum.
Syura berarti mekanisme pengambilan keputusan yang berlandaskan
pada dialog, komunikasi, saling bertukar pendapat mengenai sesuatu
perkara. Mekanisme musyawarah adalah salah satu ciri masyarakat
beradab dan demokratis, sehingga hak bersuara setiap warga dijamin dan
dilindungi secara sah. Pemahaman ini selaras dengan firman Allah, sebagai
berikut: “Dan bagi orang-orang yang menerima mematuhi seruan
Tuhannya dan mendirikan shalat, sedangkan urusan mereka diputuskan
dengan musyawarah antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian
rizki yang kami berikan kepada mereka”. (QS Al-Syura:38).

82
M. Quraisi Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1996
83
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarata: Mizan, 1995), 203

81
Begitu pentingnya musyawarah bagi kehidupan manusia, maka Al-
Qur‟an telah mengisyaratkan kepentingan sebagai kewajiban bagi seorang
muslim dan menjadikan sistem ini sebagai salah satu undang-undang bagi
hukum Silam. Orgensi dari pembahasan dari masakah ini dapat
menyadarkan masyarakan untuk selalu mengambil segala keputusan
berdasarkan musyawarah agar mencapai suatu mufakat dan tidak
merugikan orang banyak atau rakyat dan tentunya musyawarah rakyat
indonesia selalu merujuk pada kaidah-kaidah yang telah menjadi rebutan
buku yaitu pancasila, dalam Islam adalah Al-Qur‟an, dan Hadist
5. Ishlah (Kreatif Inovatif).
Secara istilah, Ishlah adalah upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan terjadinya kerusakan, dan perpecahan antara manusia dan
melakukan perbaikan dalam kehidupan manusia sehingga tercipta kondisi
yang aman, damai, dan sejahtera dalam kehidupan masyarakat.Karena itu,
dalam terminologi Islam secara umum, Istilah dapat diartikan sebagai
suatu aktivitas yang ingin membawa perubahan dari keadaan yang buruk
menjadi keadaan yang baik.
Ishlah juga dapat difahami sebagai suatu tindakan atau gerakan yang
bertujuan untuk merubah keadaan masyarakat yang rusak akhlak dan
akidah, menyebar ilmu pengetahuan dan memerangi kejahilan. Ishlah juga
menghapus bid’ah dan khurafat yang memasuki agama dan mengukuhkan
akidah tauhid. Dengan ini manusia akan benar-benar menjadi hamba Allah
Swt yang menyembah-Nya. Masyarakat Islam juga menjadi masyarakat
yang memandu ke arah keadilan dan persamaan.84
Menurut syariat Islam, tujuan Ishlah adalah untuk mengakhiri konflik
dan perselisihan sehingga mereka dapat menciptakan hubungan dalam

84
Khairudin bin said dkk, Pemikiran Ishlah Yusuf Ahmad Lubis Di Indonesia: Analisis Berdasarkan
Korpus, dalam buku Tajdid dan Ishlah, (Kuala Lumpur: Organizer Department of Islamic History
and Civilazion, 2011), hlm. 170-171

82
kedamaian dan penuh persahabatan. Dalam hukum Islam, Ishlah adalah
bentuk kontrak yang secara legal mengikat pada tingkat individu dan
komunitas. Secara terminologis, istilah Ishlah digunakan dengan dua
pengertian, yakni proses keadilan restoratif (restorative justice) dan
penciptaan perdamaian serta hasil atau kondisi aktual yang dilahirkan oleh
proses tersebut.85
Ishlah bermakna mengutamakan prinsip kreatif inovatif untuk
mencapai keadaan lebih baik yang mengakomodasi perubahan dan
kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan umum (mashlahah
‘ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip: al-muhafazah ‘ala al-qadimi al-
salih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah.

85
Zakiyuddin Bhaidawy, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, (Jakarta: Erlangga, 2005),
hlm 61

83
6. Qudwah (teladan).
Menurut kamus lisan Al-Arab, qudwah berarti uswah, yaitu ikutan
(teladan). Maka dalam Islam sering digunakan istilah Qudwah hasanah
untuk menggambarkan keteladanan yang baik, atau dima’rifatkan dengan
al (kata sandang) menjadi al-qudwah. Hal ini juga ditegaskan oleh
Zamakhsyari dalam tafsir Al-Kasyaf bahwa qudwah adalah uswah
(Alifnya dibaca dhammah), artinya menjadi (dia) contoh dan mengikuti.
Abdullah Nashih Ulwan mengartikan Uswah Hasanah sebagai
keteladanan, yakni dengan pendidikan dengan keteladanan merupakan
metode yang sangat berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam
mempersiapkan dan membentuk aspek moral, spiritual, dan etos sosial.
Mengingat pendidik adalah seorang figur terbaik dalam pandangan anak,
yang tindak tanduk, akhlaknya, disadari atau tidak, akan ditiru dan
dicontoh mereka. Muhammad Abu Fath Bayanuni, dosen pendidikan dan
dakwah di Universitas Madinah mengatakan bahwa menurut teorinya,
Allah menjadikan konsep Qudwah ini sebagai acuan manusia untuk
mengikuti. Qudwah atau Uswah dalam konteks ini adalah Rasulullah SAW
dan orang-orang saleh. Selain itu, fitrah manusi adalah suka mengikuti dan
mencontoh, bahkan fitrah manusia adalah lebih kuat dipengaruhi dan
melihat contoh ketimbang dari hasil bacaan atau mendengar.
Keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang sengaja diadakan
oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti
memberikan contoh membaca yang baik dan mengerjakan shalat yang
benar. Keteladanan ini disertai penjelasan atau perintah agar diikuti.
Keteladanan yang tidak disengaja ialah keteladanan dalam keilmuan,
kepemimpinan, sifat keikhlasan, dan sebagainya. Dalam pendidikan Islam,
kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya
Keteladanan merupakan suatu cara atau jalan yang ditempuh
seseorang dalam proses pendidikan melalui perbuatan atau tingkah laku

84
yang patut ditiru (modelling). Namun yang dikehendaki dengan metode
keteladanan dijadikan sebagai alat pendidikan Islam dipandang
keteladanan merupakan bentuk prilaku individu yang bertanggung jawab
yang bertumpu pada praktek secara langsung. Dengan menggunakan
metode praktek secara langsung akan memberikan hasil yang efektif dan
maksimal. Qudwah berarti melakukan kepeloporan dalam prakarsa-
prakarsa kebaikan demi kemaslahatan hidup manusia (common good and
well-being) dan dengan demikian umat Islam yang mengamalkan
wasathiyyah bisa memberikan kesaksian (syahadah)
7. Muwathanah (menghargai negara-bangsa dan warga negara).
Al-Muwathanah adalah pemahaman dan sikap penerimaan eksistensi
negara-bangsa (nation-state) dan pada akhirnya menciptakan cinta tanah
air (nasionalisme) di mana pun berada. Al-Muwathanah ini
mengedepankan orientasi kewarganegaraan atau mengakui negara-bangsa
dan menghormati kewarganegaraan. Ramadhan dan Muhammad
Syauqillah (2018) dalam jurnal “An Order to build the Resilience in the
Muslim World against Islamophobia: The Advantage of Bogor Message in
Diplomacy World & Islamic Studies”, mengutip pendapat Yusuf Al-
Qardhawi, mengartikan nasionalisme sama dengan al-wathn (dan
kebangsaan sama dengan al-muwathanah yang harus dihormati, antar
sesama umat Muslim. Secara tekstual, Al-Qur’an tidak menyebutkan cinta
tanah air atau nasionalisme ada di dalamnya.
Dalam konteks al-muwathanah, Islam dan negara memiliki keterkaitan
dengan moderasi beragama, menolak pengertian yang beranggapan bahwa
agama hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan tidak
berkaitan dengan sistem ketatanegaraan. Paradigma moderat justru
berpendirian bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan
yang mutlak tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara

85
Dari uraian di atas dapat ambil simpulakan bahwa al-muwathanah
tersebut menunjukkan bahwa mencintai tanah air atau nasionalisme dan
mengakui kedaulatan negara lain adalah bagian dari prinsip menjalankan
Islam yang moderat. Agama dalam pembangunan cinta tanah air
(nasionalisme Indonesia) memiliki peranan yang sangat penting. Hal ini
juga tidak lepas dari faktor sejarah. Indonesia direbut dan diperjuangkan
atas dasar agama dan oleh orang-orang yang beragama menyatakan
dengan tegas bahwa kemerdekaan adalah pertama-tama atas berkat rahmat
Allah Yang Maha Kuasa, barulah kemudian didorong oleh keinginan
luhur. Ikrar tersebut menunjukkan tingginya keberagaman bangsa
Indonesia, khususnya dalam memperjuangkan dan mensyukuri
kemerdekaan. Akibatnya, agama pun mendapatkan tempat dan perhatian
yang sangat tinggi dalam undang-undang.86
8. Al-La ‘Unf (Anti- Kekerasan)
Anti kekerasan artinya menolak ekstremisme yang mengajak pada
perusakan dan kekerasan, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
tatanan sosial. Ekstremisme dalam konteks moderasi beragama ini
dipahami sebagai suatu ideologi tertutup yang bertujuan untuk perubahan
pada sistem sosial dan politik. Ini merupakan upaya untuk memaksakan
kehendak yang seringkali menabrak norma atau kesepakatan yang ada di
suatu masyarakat.
Ciri-ciri dari anti kekerasan pada moderasi beragama ini adalah
mengutamakan cara damai dalam mengatasi perselisihan, tidak main
hakim sendiri, menyerahkan urusan kepada yang berwajib dan mengakui
wilayah negaranya sebagai satu kesatuan. Sifat anti kekerasan bukan
berarti lemah/lembek, tetapi tetap tegas dan mempercayakan penanganan
kemaksiatan/pelanggaran hukum kepada aparat resmi.

86
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI: Moderasi Beragama
Berlandaskan Nilai-nilai Islam (Buku 1):

86
9. I’tiraf al-‘Urf (Ramah terhadap kebudayaan lokal)
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan
diterima oleh akal sehat”. Secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-
Karim Zaidan, istilah ‘urf berarti sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan
kehidupan mereka baik berupa perbuatan ataupun perkataan. Istilah ‘urf
dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-‘adah (adat
istiadat). Kata al-‘adah itu sendiri, disebut demikian karena ia dilakukan
secara berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat.87
Adat kebiasaan bisa dijadikan Sandaran Hukum Kaidah Fiqh. Seperti
yang dijelaskan oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf bahwa
makna kaidah secara bahasa “ Aladatu“ (‫( العادة‬terambil dari kata “ al audu”
(‫( العود‬dan “ al muaawadatu “ (‫ ( الموادة‬yang berarti “pengulangan”. Oleh
karena itu, secara bahasa al-’adah berarti perbuatan atau ucapan serta
lainnya yang dilakukan berulang-ulang sehingga mudah untuk dilakukan
karena sudah menjadi kebiasaan. Menurut jumhur ulama, batasan minimal
sesuatu itu bisa dikatakan sebagai sebuah ‘adah’ adalah kalau dilakukan
selama tiga kali secara berurutan. Sedangkan “Mukhakkamatun” secara
bahasa adalah isim maf’uI dari “takhkiimun” yang berarti “menghukumi
dan memutuskan perkara manusia.” Jadi arti kaidah ini secara bahasa
adalah sebuah adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran untuk
memutuskan perkara perselisihan antara manusia.
Adat adalah hukum-hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan
mengatur hubungan perorangan dan hubungan masyarakat, atau untuk
mewujudkan kemaslahatan dunia. Tujuan dari Al-‘adat itu sendiri adalah
mewujudkan kemaslahatan dan kemudahan terhadap kehidupan manusia
umumnya. Al-‘adat tersebut tidak akan pernah terlepas dari kebiasaan

87
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2005), h. 153.

87
sekitar dan kepentingan hidupnya.88 Adat istiadat ini tentu saja berkenaan
dengan soal muamalah. Contohnya adalah kebiasaan yang berlaku di
dunia perdagangan pada masyarakat tertentu melalui inden misalnya: jual
beli buah- buahan di pohon yang dipetik sendiri oleh pembelinya, melamar
wanita dengan memberikan sebuah tanda (pengikat), pembayaran mahar
secara tunai atau utang atas persetujuan kedua belah pihak dan lain-lain.89
‘Urf ialah sesuatu yang telah sering dikenal oleh manusia yang telah
menjadi tradisinya, baik berupa ucapan atau perbuatannya dan atau hal
yang meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Karena menurut istilah ahli
syara’ tidak ada perbedaan di antara ‘urf dan adat. Dalam ilmu ushul fiqih,
yang dimaksud dengan ‘urf itu adalah sesuatu yang telah terbiasa (di
kalangan) manusia atau pada sebagian mereka dalam hal muamalat dan
telah melihat / tetap dalam diri-diri mereka dalam beberapa hal secara
terus menerus yang diterima oleh akal yang sehat.
Indikator ini untuk menakar sejauh mana “pemahaman” keagamaan
tertentu mampu berdialog dan mengakomodasi praktik-praktik tradisi dan
kebudayaan lokal. Pemahaman keagamaan yang tidak kaku ditandai
dengan kesediaan untuk menerima praktik dan perilaku yang tidak
semata-mata menekankan pada kebenaran paradigma keagamaan
normatif, namun juga paradigma kontekstualis yang positif.

88
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1967), h. 22
89
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2012), h. 123..

88
C. Implementasi Moderasi Beragama
Moderasi beragama menjadi salah satu program yang diprioritaskan
pemerintah untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis
dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara (Pokja IMA: 2019, 27).
Selain untuk membangun kehidupan bersama yang harmonis melalui cara
pandang, sikap, dan praktik beragama yang moderat, moderasi beragama
juga menjadi dasar berpikir dalam memahami substansi ajaran agama yang
mengakomodir nilai-nilai kemanusiaan, kebudayaan, kebangsaan,
kebhinnekaan, dan ketaatan pada konstitusi yang berlaku di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Sembilan nilai Wasathiyah al-Islam yang diuraikan di atas dapat
digunakan sebagai bahan penguatan moderasi beragama, dengan
penyesuaian secara luwes untuk jenjang dan lingkungan yang berbeda.
Penyesuaian dapat berupa tata urutan nilai yang penyajiannya
didahulukan atau dikemudiankan, sesuai kebutuhan. Misalnya, untuk
anak usia dini, dapat saja nilai yang didahulukan penguatannya adalah
toleransi (tasamuh). Sedangkan untuk remaja, nilai yang didahulukan
adalah ramah budaya (i’tiraf al-‘urf).
Tantangan bagi Pendidikan Agama Islam dalam pengembangan
moderasi beragama pada saat ini terletak pada komitmen sekolah dan guru
Pendidikan Agama Islam. Sebagaimana terdapat pada guru agama lain,
kondisi tersebut sangat dilematis. Pada saat tertentu pendidikan agama
menekankan pada otoritas kebenaran yang terkandung dalam ajaran
agama, namun pada saat yang sama juga harus bersikap toleran kepada
keyakinan yang berbeda. Begitu juga dengan ajaran Islam, karena secara
umum orientasi Pendidikan Agama Islam adalah untuk memperkuat
pondasi keimanan. Dalam situasi seperti ini, selain mendalami materi
agama yang diajarkan, guru agama juga perlu mendalami berbagai literatur
lain, baik yang berhubungan dengan perbedaan pendapat terkait tafsir

89
keagamaan maupun pemahaman keagamaan dalam konteks kebudayaan
dan kebangsaan.
Kemampuan guru dalam berinteraksi dengan peserta didik
memungkinkan terjadinya transfer nilai-nilai dan paradigma moderasi
beragama sedini mungkin. Guru harus banyak melakukan inovasi dalam
mengembangkan pembelajaran, mendesain kurikulum, serta menciptakan
suasana pembelajaran yang komunikatif dan penuh inspirasi. Meskipun
tidak memberikan seluruh sembilan nilai moderasi beragama pada saat
yang sama, guru dengan kreativitasnya bisa mengintegrasikan satu atau
beberapa nilai moderasi beragama dalam setiap pokok bahasan mata
pelajaran yang disampaikan di kelas. Untuk keberhasilan penguatan
moderasi di kalangan siswa, semua pihak diharapkan memberikan
kontribusinya, terutama keluarga, lingkungan, dan pemerintah.
Guru Pendidikan Agama Islam melakukan penanaman nilai-nilai
moderasi beragama secara langsung kepada para siswa melalui berbagai
“pintu” yang tersedia, seperti pengembangan kurikulum, pengembangan
bahan ajar, dan strategi pembelajaran. Dalam kurikulum Pendidikan
Agama Islam, materi keagamaan yang diajarkan meliputi aspek akidah,
syariah, dan akhlak. Namun, rincian materi pelajaran PAI kemudian
dikembangkan dalam aspek keilmuan Islam yang lebih luas meliputi
bidang Akidah-Akhlak, Al-Qur’an-Hadist, Fiqih, dan Sejarah Peradaban
Islam. Implementasi nilai-nilai moderasi di sekolah bisa dilakukan dalam
beberapa hal berikut ini:
1. Pengembangan PAI Berbasis Nilai-Nilai Moderasi Beragama Melalui
Budaya Sekolah
Strategi penguatan school culture dilakukan dengan mendorong kepala
sekolah sebagai decision maker membuat kebijakan terkait perwujudan
dan implementasi nilai moderasi beragama melalui berbagai program
kebijakannya. Kebijakan tersebut meliputi hal-hal terkait pengelolaan

90
interaksi semua warga sekolah tanpa diskriminasi, pengelolaan
pembelajaran yang mengedepankan nilai-nilai toleransi, penghargaan
terhadap perbedaan, penguatan suasana sekolah yang damai, penguatan
pembiasaan, pengelolaan kegiatan siswa yang mendorong interaksi positif
dan aktif untuk membangun penghargaan, saling menghormati, bersikap
moderat, mencegah paham ekstremisme teroris, serta mewujudkan
suasana sekolah yang harmoni. Strategi penguatan school culture
dilakukan melalui penguatan sasaran strategis, program dan kegiatan,
indikator yang bisa dicapai, dan waktu pelaksanaan. Sasaran strategis yang
dimaksud adalah pembuatan kebijakan implementasi moderasi beragama
melalui berbagai program, penguatan suasana sekolah, tampilan sekolah,
interaksi antar warga sekolah serta quote damai yang ada di sekolah,
termasuk pengelolaan kegiatan kerohanian Islam (Rohis)
2. Penguatan Nilai Moderasi Beragama melalui Budaya Kelas
Program classroom culture mendorong praktik pembelajaran PAI lebih
menyenangkan dan menguatkan nilai-nilai penghargaan terhadap
perbedaan, interaksi yang tanpa diskriminasi dan tanpa bully, dan nilai-
nilai wasathiyah, nasionalisme, dan Pancasila. Di samping itu, classroom
culture mengukuhkan sikap toleran dan anti ekstremisme. Program ini juga
dapat ditempuh dengan membangun kesadaran bahwa keberagaman
adalah niscaya dengan menghadirkan perbedaan di dalam kelas baik
dalam wacana, pendapat, paham, agama, golongan ataupun keyakinan.
Muara pembangunan budaya kelas yang baik ini adalah dalam rangka
untuk mewujudkan pemahaman dan saling pengertian dan menguatkan
nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin.
Penguatan nilai moderasi beragama melalui budaya kelas atau class
room culture yaitu penguatan nilai moderasi beragama di kelas melalui
pembelajaran pada semua mata pelajaran khususnya mata pelajaran PAI.
Guru PAI menyiapkan materi pembelajaran yang menanamkan

91
penghargaan terhadap perbedaan, menguatkan nilai-nilai Islam rahmatan
li al-‘alamin serta yang menghadirkan budaya damai di kelas. Pewujudan
classroom culture ini dapat menghadirkan pembelajaran PAI harus lebih
terbuka, inklusif, dan toleran. Selain itu, classroom culture dapat
menghadirkan perbedaan di dalam kelas baik dalam wacana, pendapat,
paham, agama, golongan, atau keyakinan untuk dihargai, dihormati, dan
didiskusikan dalam kerangka mewujudkan kesepahaman dan saling
pengertian. Pengelolaan kelas mata pelajaran PAI yang lebih variatif serta
mendorong suasana kelas yang dapat menunjukkan penguatan isu-isu
perdamaian dan penghargaan terhadap perbedaan. Inisiatif untuk
membuat quote damai di kelas, pengelolaan kerja kelompok yang
heterogen, perjumpaan dengan orang yang berbeda keyakinan maupun
berbeda daerah dapat ditempuh.
3. Peran Guru PAI dalam Penguatan Moderasi Beragama di Sekolah
Peran penting guru PAI dalam menanamkan nilai-nilai moderasi
beragama tidak bisa dipisahkan dari faktor penguasaan materi agama
Islam, keteladanan, sikap, dan perilaku keseharian dalam
mengimplementasikan nilai moderasi beragama. Faktor-faktor tersebut
menjadi bagian tak terpisahkan dari kompetensi yang harus dimiliki oleh
guru agama Islam, yaitu profesionalitas dan kepribadian.
Keluasan dan kedalaman tentang materi keislaman menjadi syarat
utama dalam penguatan dan pengembangan moderasi beragama. Upaya
guru PAI dalam membangun keluasan dan kedalaman materi PAI tersebut
dapat dilaksanakan melalui berbagai pengayaan sumber bacaan dan
referensi yang dimilikinya. Artinya di luar buku atau modul mata pelajaran
yang sudah ditetapkan, guru agama Islam juga berkewajiban untuk
menambah wawasan keagamaan yang terus berkembang. Isu-isu
multikulturalisme, toleransi, kebangsaan, dan keragaman secara
konseptual harus dikuasai oleh guru PAI.

92
Kemudian dalam hubungannya dengan penguatan nilai-nilai moderasi
beragama dalam pelajaran agama Islam, seluruh muatan materi yang
diberikan kepada peserta didik senantiasa berorientasi penguatan sembilan
prinsip nilai moderasi beragama sehingga penguatan dan pengembangan
moderasi beragama memiliki peran yang sangat penting dalam
membangun pendidikan agama yang berkarakter Islam Indonesia
4. Integrasi Moderasi Beragama dalam Materi PAI di Sekolah
Adapun aspek yang ingin dimunculkan dalam capaian materi
pembelajaran PAI adalah berkaitan dengan kerangka kompetensi dan
standar isi yang diintegrasikan dengan nilai-nilai moderasi beragama.
Kompetensi merupakan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang
diperoleh seseorang untuk dapat melakukan sesuatu dengan baik termasuk
perilaku kognitif, afektif dan psikomotorik. Sementara standar isi adalah
kriteria mengenai ruang lingkup materi dan tingkat kompetensi untuk
mencapai kompetensi lulusan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Standar isi memuat kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar,
kurikulum tingkat satuan pendidikan, dan kalender
akademik/pendidikan.
Secara umum capaian pembelajaran PAI pada masing-masing jenjang
yang dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai moderasi beragama adalah
pada aspek yang berhubungan dengan perilaku. Pada jenjang SD materi
tersebut berkaitan dengan sikap menghargai pendapat yang berbeda,
membangun suasana saling mengenal antar sesama, memahami
keragaman sebagai sunnatullah, mengetahui pentingnya musyawarah,
dialog antar agama, dan membangun kesadaran bahwa keragaman dapat
dijadikan sebagai titik temu (kalimatun sawa) untuk persatuan dan
kerukunan.
Sementara itu, pengembangan moderasi beragama pada jenjang SMP
menekankan pada aspek kehidupan berbangsa dan bernegara,

93
mewujudkan harmonisasi kehidupan umat beragama melalui pendidikan
wawasan kebangsaan, dan menanamkan nilai Pancasila dalam
membangun toleransi dan persaudaraan antar sesama anak bangsa.
Adapun pada jenjang SMA, moderasi beragama diorientasikan pada
penguatan untuk memelihara kehidupan manusia, cinta bangsa dan tanah
air. Selanjutnya, secara spesifik penguatan nilai moderasi yang
dikembangkan menekankan pada etika menggunakan media sosial,
kemauan menaati aturan produk kesepakatan, peduli sosial, tanggung
jawab, cinta kepada sesama, santun, saling menghormati, semangat
kebangsaan, jujur, inovatif, dan rendah hati.

TINDAK LANJUT BELAJAR

Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat


melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di
antaranya sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS


Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam
proses pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan
petunjuk dalam LMS program PPG.

4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas


yang ada di LMS.

94
CONTOH SOAL

Dalam bahasa Arab, toleran bermakna tasāmuh, memiliki makna yakni


bersikap lapang dada terhadap perbedaan-perbedaan dengan orang lain
yang tidak sesuai dengan pendirian dan keyakinannya, sehingga terjalin
suatu keharmonisan dan keserasian dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Sikap toleransi tersebut dapat kita lakukan
dalam hal...
A. Keyakinan.
B. Muamalah.
C. Ibadah.
D. Kepercayaan.
E. Politik.

GLOSARIUM

Toleransi : Sikap menghargai dan menghormati perbedaan antar


sesama manusia
Tasāmuh : Sikap menghormati orang lain untuk melaksanakan
hak-haknya
Moderasi : sikap selalu menghindarkan perilaku atau
pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke
arah jalan tengah.
Wasathiyyah : ajaran Islam yang mengarahkan umatnya agar adil,
seimbang, bermaslahat dan proporsional, atau sering
disebut dengan kata 'moderat' dalam semua dimensi
kehidupan
Tawassuth : Jalan tengah/pertengahan.
Qudwah : Identetik dengan uswah atau teladan

95
DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar, Fathul Bari, Juz 3, Jakarta: Puataka Imam Asy-
Syafi'i, 2010.
Al-Thabari, Imam, Tafsir al-Thabari, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah,
1999.
Ash-Shan'ani, Imam, Subulus Salam, Jil. IV, Riyadh: Al-Ma’arif, tth.
Aslati, “Toleransi Antar Umat Beragama dalam Perspektif Islam (Suatu
Tinjauan Historis)”, TOLERANSI; Media Ilmiah Komunikasi Umat
Beragama, Vol 4, No 1 (2012).
Az-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munīr fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj,
Dar Al-Fikr Al-Maasyir: Beirut, 1411.
Katsir, Ibnu, Tafsir Ibnu Katsir, Bogor: Pustaka Imam Asy Syafi’i, 2004.
Murni, Dewi, “Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Perspektif Al-
Quran”, Jurnal Syahadah, Vol. VI, No. 2, (Oktober 2018).
Qurthubi, Imam, Tafsir Qurthubi, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2006.
Abd. Rauf Muhammad Amin, “Prinsip dan Fenomena Moderasi Islam
dalam Tradisi Hukum Islam”, Jurnal Al-Qalam, Desember 2014, h. 24
Abdul Wahid, et. all., Militansi ASWAJA & Dinamika Pemikiran Islam.
(Malang: Aswaja Centre UNISMA, 2001), hlm. 18.
Abu Husayn Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mu‟jam Maqayis al-Lughah,
Juz III (Mesir: Mustafa AlBab al-Halabi, 1972), 226
Achmad Ismail Satori dkk, Islam Moderat: Menebar Islam Rahmatan Lil
‘Alamin (Jakarta: Pustaka Ikadi, 2007), h. 8
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarata: Mizan,
1995), 203
Dewi Murni, “Toleransi dan Kebebasan Beragama dalam Perspektif Al-
Quran”, Jurnal Syahadah,
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI: Moderasi
Beragama Berlandaskan Nilai-nilai Islam (Buku 1):
Kementerian Agama RI; Tanya Jawab Moderasi Beragama, 2019 hal: 2

96

Anda mungkin juga menyukai