Anda di halaman 1dari 9

MODERASI BERAGAMA DALAM KONTEKS KEAGAMAAN DI INDONESIA

Natasya Rahmawati

rahmawatinatasya138@gmail.com

Pendahuluan

Moderasi beragama berasal dari 2 kata yaitu moderasi dan beragama. Moderasi
memiliki arti lawan dari Berlebihan atau dalam bahasa Arabnya lawan dari ekstrem.
Moderasi beragama adalah satu program yang muncul dari masyarakat dan bukan dari negara
atau pemerintah. Karena masyarakat Indonesia terkenal sebagai bangsa yang tidak berlebihan
dalam hal beragama dan agar hal ini dapat menjadi milik bersama, sehingga pemerintah
menggaungkan program moderasi beragama melalui kementerian agama.

Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia


menjadi sorotan penting dalam hal moderasi Islam. Bangsa Indonesia merupakan bangsa
yang memiliki keragaman, mencakup beraneka ragam ras, etnis, bahasa, agama, budaya,dan
status sosial yang berbeda-beda. Kemajemukan ini terjalin dalam satu ikatan bangsa
Indonesia sebagai kesatuan bangsa yang utuh dan berdaulat, sehingga diperlukan toleransi
dalam memahami semua perbedaan yang ada. Indonesia memiliki kekhasan yang unik dan
distingtif, namun disatu sisi juga dihadapkan dengan berbagai tantangan serius, mulai dari
sekedar stereotip dan prasangka antar suku, rasisme, diskriminasi, hingga ke konflik terbuka
dan pembantaian antar suku yang memakan korban jiwa.

Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang
Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing, dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
Dalam kemajemukan ini Indonesia mempunyai 6 agama yang diakui negara yaitu Islam
Kristen Katolik Hindu Budha dan Konghucu yang harus saling menghormati dan menghargai
antar umat beragama sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yaitu berbeda-beda
tetapi tetap satu jua.

Moderasi beragama atau juga disebut dengan religius moderat dipandang sebagai
satu-satunya pilihan yang paling tepat bagi model keberagamaan dunia, khususnya negara
Indonesia. Model pemahaman dan gerakan moderasi beragama dipandang efektif untuk
memberi ruang yang terbuka bagi tumbuhnya beragam suku, agama, etnis dan ras. Moderasi
beragama dapat berfungsi sebagai rumah bersama bagi seluruh penduduk bangsa Indonesia
yang beragam, untuk menata kehidupan keagamaan yang sangat majemuk di Indonesia, dan
bersama-sama membangun bangsa yang maju dan sejahtera.

Pembahasan

1. Pengertian Moderasi Beragama

Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-Wasathiyah yang memiliki
makna sama dengan kata tawassut (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).
Al-Wasathiyah merupakan kata yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143.
Kata al-Wasath dalam ayat tersebut, bermakana terbaik dan paling sempurna. Dalam bahasa
Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak
berlebih-lebihan. Sedangkan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti
penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman.

Moderasi beragama yaitu sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip
untuk selalu menghindarkan dari perilaku yang ekstrem (radikalisme) dan pengambilan jalan
tengah yang dapat membersamakan dan menyatukan semua elemen dalam kehidupan
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.

Terdapat beberapa ciri-ciri tentang wasathiyyah yakni sebagai berikut :

a. Tawassuth (mengambil jalan tengah)


yaitu pemahaman dan pengamalan yang tidak ifrath (berlebih-lebihan dalam beragama)
dan tafrith (mengurangi ajaran agama).
b. Tawazun (berkeseimbangan)
yaitu pemahaman dan pengamalan agama secara seimbang yang meliputi segala aspek
kehidupan, baik duniawi maupun ukhrawi, dapat membedakan antara inhira,
(penyimpangan) dan ikhtilaf (perbedaan).
c. I’tidal (lurus dan tegas)
yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya dan melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban secara proporsional.
d. Tasamuh (toleransi)
yaitu mengakui dan menghormati perbedaan, baik dalam aspek keagamaan dan berbagai
aspek kehidupan lainnya.
e. Musawah (egaliter)
yaitu tidak bersikap diskriminatif pada yang lain disebabkan perbedaan keyakinan, tradisi
dan asal-usul seseorang.
f. Syura (musyawarah)
yaitu setiap persoalan diselesaikan dengan jalan musyawarah untuk mencapai mufakat
dengan prinsip menempatkan kemaslahatan di atas segalanya.
g. Ishlah (reformasi)
yaitu mengutamakan prinsip reformatif untuk mencapai keadaan lebih baik yang
mengakomodasi perubahan dan kemajuan zaman dengan berpijak pada kemaslahatan
umum (mashlahah ‘ammah) dengan tetap berpegang pada prinsip al-muhafazhah ‘ala al-
qadimi al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (melestarikan tradisi lama yang masih
relevan, dan menerapkan hal-hal baru yang lebih relevan).
h. Aulawiyah (mendahulukan yang prioritas)
yaitu kemampuan mengidentifikasi hal ihwal yang lebih penting harus diutamakan untuk
diterapkan dibandingkan dengan kepentingan yang lebih rendah.
i. Tathawwur wa Ibtikar (dinamis dan inovatif)
yaitu selalu terbuka untuk melakukan perubahan-perubahan kearah yang lebih baik.

Dalam hadits juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di tengah-
tengah. Dalam artian melihat dan menyelesaikan suatu masalah, moderasi beragama
melakukan pendekatan kompromi dan berada di tengah-tengah, begitu pula dalam menyikapi
sebuah perbedaan, baik perbedaan agama, ras, suku, etnis, budaya, dan status sosial.
Moderasi beragama selalu mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap
meyakini kebenaran dan keyakinan masing-masing. Sehingga semua dapat menerima
keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis.

Menurut Quraish Shihab terdapat pilar-pilar penting dalam moderasi (wasathiyyah) yakni :

Pertama, pilar keadilan yaitu pilar yang paling utama, keadilan memiliki makna “sama” yakni
persamaan dalam hak. Persamaan inilah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak
kepada salah seorang yang berselisih. Adil juga berarti moderasi (tidak mengurangi tidak
juga melebihkan). Kedua, pilar keseimbangan. Keseimbangan dapat ditemukan pada suatu
kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan yang sama.
Keseimbangan menjadi prinsip pokok dalam wasathiyyah. Karena tanpa adanya
keseimbangan tidak dapat terwujudnya keadilan. Ketiga, pilar toleransi. Toleransi adalah
batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih bisa diterima. Dengan kata lain
toleransi memiliki makna penyimpangan yang dapat dibenarkan.1

Hashim Kamali, juga menegaskan bahwa moderate tidak dapat dipisahkan dari dua
kata kunci, yakni berimbang (balance), dan adil (justice). Tanpa keseimbangan dan keadilan
praktik moderasi beragama tidak akan menjadi efektif. Dengan demikian, moderat memiliki
arti bahwa setiap orang atau suatu kelompok tidak boleh ekstrem ke kanan maupun ekstrem
ke kiri pada masing-masing sisi pandangnya. Menurut pandangan Hashim Kamali bahwa
Moderasi adalah ajaran inti agama Islam. Islam moderat adalah paham keagamaan yang
sangat relevan dalam konteks keberagaman dalam segala aspek, baik agama, adat istiadat,
suku dan bangsa itu sendiri.

Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara
pengamalan agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain
yang berbeda keyakinan (inklusif). Keseimbangan atau jalan tengah dalam praktik beragama
ini niscaya akan menghindarkan kita dari sikap ekstrem berlebihan, fanatik dan sikap
revolusioner dalam beragama. Seperti telah diisyaratkan sebelumnya, moderasi beragama
merupakan solusi atas hadirnya dua kutub ekstrem dalam beragama, kutub ultrakonservatif
(ekstrem kanan) disatu sisi, dan liberal atau (ekstrem kiri) disisi lain. Moderasi beragama
merupakan kunci terciptanya toleransi dan kerukunan, baik ditingkat lokal, nasional,
maupung global. Pilihan pada moderasi dengan menolak ekstremisme dan liberalisme dalam
beragama adalah kunci keseimbangan, demi terpeliharanya peradaban dan terciptanya
perdamaian. Dengan cara inilah masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang
lain secara terhormat, menerima perbedaan, serta hidup bersama dalam damai dan harmoni.
Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, moderasi beragama bisa jadi bukan
pilihan, melainkan keharusan.

2. Moderasi Beragama Dalam Konteks Agama di Indonesia

1
M Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi beragama, Tangerang:
Lentera Hati, 2019
Semua agama yang diakui di Indonesia juga mengenal ajaran moderasi beragama atau
wasathiyah. Orangyang menerapkan prinsip wasathiyah bisa disebut wasith.2

Dalam ajaran Islam yang bersifat universal (rahmatan lil’alamin) mengajarkan


umatnya untuk berpikir, berperilaku, dan berinteraksi yang didasari pada sikap tawazun
(seimbang) dalam dimensi duniawi dan ukhrawi. Islam juga meletakkan dasar ajaran untuk
mengimplementasikan sikap moderasi beragama, termasuk di dalamnya menghargai
perebedaan agama, menghormati keyakinan dan cara beribadah umat yang berbeda agama,
bersikap toleransi, berbuat baik dan berlaku adil terhadap semua umat beragama selama
mereka memelihara dua hal utama, yakni tidak memerangi umat Islam karena agama, dan
tidak mengusir kaum Muslimin dari negeri yang sah mereka tempati.

Dalam tradisi Kristen, moderasi beragama menjadi cara pandang untuk menengahi
ekstremitas tafsir ajaran Kristen yang dipahami sebagian umatnya. Moderasi beragama ini
berkaitan dengan menjalankan keyakinan dan ajaran sesuai agama yang di anut, moderasi
juga merupakan jalan tengah dan tidak bersifat ekstrim, yakni ekstrim kanan dan ekstrim kiri,
yang mana ekstrim kanan berkaitan dengan apa yang dilakukan seseorang itu paling benar,
misalnya beranggapan bahwa ajaran agamanya paling benar dari agama orang lain.
Sedangkan ekstrim kiri berkaitan dengan bagaimana seseorang menjalankan sesuatu secara
duniawi. Salah satu kiat untuk memperkuat moderasi beragama adalah melakukan interaksi
semaksimal mungkin antara agama yang satu dengan agama yang lain, antara aliran yang satu
dengan aliran yang lain dalam lingkup umat beragama.

Dalam agama Katolik makna moderasi dapat dijumpai dalam kata kunci yang terdapat
dalam Kitab suci antara lain, kebebasan, hak, hukum, kedamaian, memaafkan/mengampuni,
kejujuran, keadilan dan kebenaran. Kitab suci atau al-kitab melambangkan tentang juru
damai, dalam ajaran Yesus Kristus tidak mengindikasikan mengajak orang untuk membuat
kerusakan, kekerasan bahkan peperangan. Justru, hampir semua ayat mengajarkan cita-cita,
harapan untuk mewujudkan kedamaian di muka bumi ini.

Moderasi beragama juga dapat dilihat dalam perspektif Gereja Katolik. Dalam Gereja
Katolik istilah moderat memiliki arti terbuka terhadap fundamentalis dan tradisionalis. Gereja
Katolik tidak menolak apapun, karena dalam agama itu serba benar dan suci.

2
Aksin Wijaya, Berislam di Jalur Tengah. Yogyakarta: IRCiSOD, 2020
Adapun dalam tradisi Hindu, akar ruh moderasi beragama atau jalan tengah dapat
ditelusuri hingga ribuan tahun ke belakang. Periode itu terdiri dari gabungan empat Yuga
yang dimulai dari Satya Yuga, Treta Yuga, Dwapara Yuga dan Kali Yuga. Dalam setiap
Yuga umat Hindu mengadaptasikan ajaran-ajarannya sebagai bentuk moderasi. Untuk
mengatasi kemelut zaman dan menyesuaikan irama ajaran agama dengan watak zaman,
moderasi tidak bisa dihindari dan menjadi keharusan sejarah. Berkaitan dengan moderasi
beragama, agama Hindu memiliki pokok ajaran yang terpenting yakni susila. Susila yaitu tata
cara menjaga hubungan yang harmonis antara sesama manusia, yang menjadi salah satu dari
tiga penyebab kesejahteraan. Kasih sayang adalah hal yang paling utama dalam moderasi di
semua agama.

Dalam Agama Buddha, konsep ajaran moderasi beragama dapat dilihat dari
Pencerahan Sang Buddha yang berasal dari Sidharta Gautama. Ia mengikrarkan empat
prasetya, yaitu berusaha menolong semua makhluk, menolak semua keinginan nafsu
keduniawian, mempelajari, menghayati, dan mengamalkan Dharma, serta berusaha mencapai
Pencerahan Sempurna.

Moderasi beragama juga mengakar dalam tradisi agama Khonghucu. Umat


Khonghucu yang junzi (beriman dan luhur budi) memandang kehidupan ini dalam kaca mata
yin yang, karena yin yang adalah filosofi, pemikiran dan spiritualitas seorang umat
Khonghucu yang ingin hidup dalam dao. Yin yang adalah Sikap Tengah, bukan sikap
ekstrem. Sesuatu yang kurang sama buruknya dengan suatu yang berlebihan.

3. Implementasi Moderasi Beragama di Indonesia

Dalam upaya implementasi moderasi beragama perspektif keislaman di Indonesia,


Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama sangat serius. Bagaimana supaya moderasi
beragama perspektif keislaman di Indonesia ini tidak terhenti pada level gagasan dan wacana,
tetapi dapat menjadi cara pandang, sikap, suku, ras, budaya, dan agama. Selanjutnya menolak
segala jenis kekerasan atas nama agama yang dapat menciderai agama itu sendiri serta
mengancam persatuan serta kesatuan bangsa.3

Indonesia harus memiliki cara berpikir dan bernarasi sendiri agar tidak terjebak dalam
sekat dan ruang sosial. Pada titik ini, moderasi sosio-religius sebagai integrasi ajaran inti

3
Kementerian Agama, Moderasi Beragama, 120-124
agama dan keadaan masyarakat multikultural di Indonesia dapat disinergikan dengan
kebijakan kebijakan sosial yang diambil oleh pemerintah negara. Kesadaran ini harus
dimunculkan agar generasi bangsa Indonesia dapat memahami bahwa Indonesia ada untuk
semua.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, menetapkan tahun 2019 sebagai Tahun
Moderasi Beragama Kementerian Agama. Pada saat yang sama, PBB juga menetapkan tahun
2019 sebagai Tahun Moderasi Internasional (The Internasional Year of Moderation).4

Lukman Hakim, menyerukan agar moderasi beragama menjadi arus utama dalam
corak keberagaman masyarakat Indonesia. Alasannya jelas, dan tepat, bahwa ber-agama
secara moderat sudah menjadi karakteristik umat beragama di Indonesia, dan lebih cocok
untuk kultur masyarakat Indonesia yang majemuk. Beragama secara moderat adalah model
beragama yang telah lama dipraktikkan dan tetap diperlukan pada era sekarang. Apalagi
belakangan ini, keragaman Indonesia sedang diuji, dimana sikap keberagamaan yang ekstrem
diekspresikan oleh sekelompok orang atas nama agama, tidak hanya di media sosial, tapi juga
di jalanan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan dunia sedang menghadapi tantangan adanya
kelompok masyarakat yang bersikap eksklusif, eskplosif, serta intoleran dengan
mengatasnamakan agama.

Minimnya pemahaman kebangsaan, karena sekolah menjadi tempat bertarung


ideologi transnasional yang kerap menafikan kebangsaan dan menguatnya paham keagamaan
yang formalis. Memahami agama dengan setengah-tengah dan mementingkan tampak luar
dengan formalitas agama. Sehingga, menurut Lukman Hakim, moderasi beragama harus
diejawantahkan dan bahkan dilembagakan dalam sistem dan struktur kerja pada Kementerian
Agama, karena sepanjang keberadaan Kementerian Agama akan terus diberikan amanah
untuk mengelola kehidupan keagamaan di Indonesia.

Dalam konteksi ini, pentingnya jalan tengah (the middle path) dalam beragama seperti
yang disampaikn Fathorrahman Ghufron, yakni harus mengutamakan Islam Moderat.
Penggaungan oleh tokoh agama, akademisi kampus yang memiliki otoritas, dan melalui
saluran berbagai media semacam itu berfungsi untuk memberikan pendidikan kepada publik
bahwa bersikap ekstrem dalam beragama pada sisi manapun akan menimbulkan benturan.5

4
Insan Khoirul Qolbi. LHS dan Moderasi Beragama. 2019
Strategi utama yang harus dilakukan untuk menguatkan moderasi beragama yaitu :
Pertama, sosialisasi gagasan, pengetahuan dan pemahaman tentang moderasi beragama.
Kedua, pelembagaan moderasi beragama ke dalam program dan kebijakan yang mengikat.
Ketiga, integrasi rumusan moderasi beragama dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional. Dengan upaya penerapan nilai-nilai dalam moderasi bergama bagi
generasi milenial di era digital ini yang bertujuan untuk membentuk generasi yang moderat
dan tidak mudah terpengaruh oleh dunia maya. Adapun beberapa cara untuk menanamkan
moderasi beragama terhadap generasi milenial di era digital yakni :

a. Dapat memanfaatkan media sosial dengan baik dalam penyebaran nilai-nilai moderasi
beragama.
b. Mengikutsertakan generasi melenial dalam kegiatan positif yang konkret di masyarakat.
c. Memerlukan ruang dialog dengan generasi milenial, baik dalam lingkungan rumah,
sekolah maupun masyarakat dalam menafsirkan agama dengan tidak mendoktrin.
d. Dapat memaksimalkan fungsi keluarga sebagai kunci pembaruan karakter yang positif.

Penutup

Islam tidak menganggap bahwa semua agama itu sama. Tapi memperlakukan semua
agama itu sama, dan ini sesuai dengan konsep-konsep dari Islam wasatiyyah itu sendiri yaitu
konsep egaliter atau tidak mendiskriminasi agama lain yakni dengan melalui cara atau sikap
tasamuh (toleransi) yang berupa pengakuan atas keberadaan pihak lain, kepemilikan sikap
toleran, penghormatan atas perbedaan pendapat, dan tidak memaksakan kehendak dengan
cara kekerasan. Sesuai dengan ciri-ciri moderasi Islam di atas dapat dipastikan jika antar
umat beragama di Indonesia sudah hidup berdampingan dan saling toleransi, akan menjaga
kestabilitasan antar umat beragama dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Sehingga
diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan para penyuluh agama untuk
mensosialisasikan, menumbuhkembangkan wawasan moderasi beragama terhadap
masyarakat Indonesia untuk terwujudnya keharmonisan dan kedamaian.

5
Edy Sutrisno, Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan, Jurnal Bimas Islam
Vol 12 No. 2. 2019, 327
Daftar Pustaka

Aidul Fitriyana, Pipit, dkk. 2020. Dinamika Moderasi Beragama di Indonesia. Jakarta:

Litbangdiklat Press

Kementerian Agama. Moderasi Beragama. 120-124

Khoirul Qolbi, Insan. 2019. LHS dan Moderasi Beragama. Diakses pada 19 November 2021,

dari https://kemenag.go.id/read/lhs-dan-moderasi-beragama-zmme6

Shihab, M Quraish. 2019. Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi beragama.

Tangerang: Lentera Hati

Sutrisno, Edy. 2019. Aktualisasi Moderasi Beragama di Lembaga Pendidikan. Jurnal Bimas

Islam Vol 12 No. 2, 327

Wijaya, Aksin. 2020. Berislam di Jalur Tengah. Yogyakarta: IRCiSOD

Anda mungkin juga menyukai