Anda di halaman 1dari 20

“Moderasi Beragama Dengan Berbasis Kearifan Lokal”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Islam dan Moderasi Beragama
Dosen pengampu: M. Khoirur Rofiq , SHI., MSI.

Disusun oleh kelompok 6:

1. Prabowo Rizki Dewantoro 2102026102


2. Meisya Anjely 2102026104
3. Fadli Sidik Rifai 2102026106

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah melimpah-ruahkan rahmatNya


beserta nikmat yang tiada habisnya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah dari
mata kuliah Islam dan Moderasi Beragama yang kami beri judul Moderasi Beragama
Dengan Berbasis Kearifan Lokal

Menimbang proses yang tidak mudah, kami masih perlu banyak belajar. Selama kami
berproses, kami ingin mengucapkan dengan penuh rasa syukur ucapan terimakasih kepada
seluruh pihak yang sudah mendukung hingga makalah ilmiah ini dapat diselesaikan. Dan
kami ucapkan banyak terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Islam dan Moderasi
Beragama bapak M. Khoirur Rofiq, SHI., MSI. Yang telah memberi kami kesempatan untuk
mencari, memahami dan menyampaikan ilmu yang bermanfaat ini.

Begitu banyaknya kekurangan kami, membuat kami tak lupa untuk terus evaluasi dan
intropeksi. Kritik dan saran akan kami terima dengan lapang dada. Sehingga kedepannya
kami mampu berkarya dan terus memberi kemanfaatan kepada masyarakat luas.

Sekian dari kami,

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Sulawesi Selatan, 04 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................iii
BAB 1...................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................................1
BAB 2...................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN...................................................................................................................................2
A. Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara..............................................................................2
B. Walisongo dan Kearifan Lokal; Akar Moderasi...................................................................7
C. Revitalisasi Interaksi Agama dan Kearifan Lokal..............................................................10
BAB 3..................................................................................................................................................12
PENUTUP..........................................................................................................................................12
A. Kesimpulan............................................................................................................................12
B. Saran.......................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................13

iii
iv
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam bidang muamalah, umat Islam dalam berkehidupan harus selalu menghargai berbagai
kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam dan wajib meluruskannya manakala
bertentangan dengan syariat Islam, sehingga kearifan lokal tetap harus tunduk kepada aturan
Allah SWT, tidak sebaliknya.Karena tidak semua kearifan lokal sesuai dengan syariat ajaran
Islam.

Kearifan lokal merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat yang tidak dapat dipisahkan
dari bahasa masyarakat itu sendiri, karena kearifan lokal ini menjadi satu kesatuan dengan
masyarakat setempat. Masyarakat disetiap daerah pun memiliki kearifan lokal yang berbeda-
beda, tergantung dengan kultur dan kebiasaan masayarakatnya tersendiri.

Kearifan lokal (local wisdom) ini biasanya diwariskan secara turun temurun dari satu
generasi ke generasi setelahnya melalui cerita dari mulut ke mulut yang disyiarkan melalui
masyarkaat setempat itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
a. Seperti apa itu Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara?
b. Bagaimana Walisongo dan Kearifan Lokalnya?
c. Seperti apa Revitalisasi Interaksi Agama dan Kearifan Lokal?
C. Tujuan Penulisan
a. Mendeskripsikan Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara
b. Mendeskripsikan Walisongo dan Kearifan Lokalnya
c. Mendeskripsikan Revitalisasi Interaksi Agama dan Kearifan Lokal

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Agama dan Kearifan Lokal di Nusantara

Meskipun di setiap daerah mempunyai kultur yang berbeda dengan daerah lainnya dan
memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda pula, tetapi kearifan lokal terbukti memberikan
solusi kongkrit terhadap persoalan lokal dan regional yang terjadi di masyarakat.

Di antara kearifan lokal itu ialah adat istiadat dan hukum adat. Adat istiadat lebih merupakan
sistem nilai yang sifatnya lebih abstrak. Sedangkan hukum adat sudah menjadi norma-
norma sosial kemasyarakatan yang memiliki reward dan punishment.

Hukum adat di dalam lintasan masyarakat Nusantara sudah sekian lama mengabdikan diri
menyelesaikan sejumlah persoalan di dalam masyarakat, termasuk di dalamnya terkait
konflik horizontal, baik yang bertema etnik maupun agama atau kepercayaan. Meskipun
berada dibawah naungan hukum undang-undang, tetapi dalam masyarakat adat ada sebuah
kearifan lokal yaitu hukum normatif yang disepakati secara kolektif sebagai instrumen
penyelesaian masalah yang sifatnya di daerah itu sendiri, ini terbukti ampuh dalam
penyelesaian masalah yang terjadi di masyarakat adat.

Indonesia yang memiliki ribuan pulau dengan berbagai etnik tidak dapat disangkal juga
memilki kearifan lokal yang amat kaya dan melimpah. Kearifan secara harfiah, berasal dari
bahasa Arab dari akar kata‫ عرف – يعرف‬/‘arafa-ya’rifu berarti memahami atau menghayati,
kemudian membentuk kata “kearifan” yang bisa diartikan dengan sikap, pemahaman, dan
kesadaran yang tinggi terhadap sesuatu.

Kearifan adalah kebenaran yang bersifat universal sehingga jika ditambahkan dengan kata
lokal maka bisa mereduksi pengertian kearifan itu sendiri. Setiap kali kita berbicara tentang

2
kearifan maka setiap itu pula kita berbicara tentang kebenaran dan nilai-nilai universal.
Menentang kearifan lokal berarti menolak kebenaran universal.

Kebenaran universal itu sesungguhnya akumulasi dari nilai-nilai kebenaran lokal. Tidak ada
kebenaran universal tanpa kearifan lokal. Jadi tidak tepat memperhadap-hadapkan antara
kearifan lokal dan kebenaran universal.

Itulah sebabnya di dalam Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 104 disebutkan bahwa:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang
yang beruntung. (Q.S. Ali ‘Imran/3:104):

Untuk urusan kebaikan Allah menggunakan kata menyerukan (‫يدعون‬/yad’una) dan untuk kata
makruf digunakan istilah menyuruh ( ‫يأمرون‬/ya’muruna). Kata makruf (‫معروف‬/ma’ruf) dapat
disinonimkan dengan kearifan yang disepakati kebenarannya oleh umumnya komunitas.
Sedangkan kebaikan ( ‫الخير‬/al-khair) adalah kebenaran yang belum serta-merta diterima oleh
sebagian orang non-Islam.

Kearifan lokal sudah menjadi istilah bagi nilai-nilai istimewa dan unggul di dalam suatu
masyarakat. Mungkin anggapan itu benar namun masih mengesankan sebuah kearifan lokal
tidak serta-merta diterima sebagai kebenaran universal melainkan harus menunggu waktu
yang cukup lama untuk diakui sebagai kearifan bangsa, yang melintasi sejumlah nilai-nilai
etnik.

Contoh kearifan lokal ialah gotong-royong menyelesaikan sarana umum seperti perbaikan
jalan, pos yandu poskamling dan lain sebagainya, toleransi dalam merayakan seremoni
keagamaan, urung rembuk (musyawarah) di dalam menentukan pemimpin, dan menyerahkan

3
kepada lembaga adat untuk menyelesaikan konflik yang sifatnya terjadi dalam ruang lingkup
daerah setempat.

Dalam era globalisasi saat ini kearifan lokal semakin diperlukan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan tertentu yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum formal kita
yang bersifat general. Kearifan lokal juga bisa menyelesaikan konflik yang bertema
keagamaan.

Biasanya para pihak yang bertikai mempunyai agama, aliran, dan mazhab yang berbeda tetapi
memiliki budaya leluhur yang sama. Budaya luhur inilah yang berpotensi menjembatani para
pihak yang bertikai. Budaya luhur yang merupakan istilah lain dari kearifan lokal ini dapat
mencairkan kembali hubungan yang renggang satu sama lain.

Meskipun memberikan banyak dampak positif, kearifan lokal terkadang juga menyimpang
dengan ajaran-ajaran syariat Islam, Dalam kearifan lokal yang berbungkus adat istiadat,
Tidak sedikit tradisi (adat-istiadat) yang mayoritas dianut oleh muslim di Indonesia sangat
jauh dari nilai-nilai murni dan shahih dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.

Kita akan mudah menyaksikan, melihat, mengamati, mendengar, merasakan bahkan turut
terlibat dalam ritual tradisi yang turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi bahkan
hingga di zaman digital hari ini, Tetapi kebiasaan yang dilakukan bersimpangan dengan
syariat Islam yang menjadi falsafah hidup umat Islam itu sendiri.

Menurut pakar kebudayaan, Koentjaraningrat dalam bukunya bahwasanya dalam adat istiadat
akan ditemukan tiga wujud kebudayaan pertama, wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan,
nilai atau norma. Kedua, wujud kebudayaan sebagai aktivitas atau pola tindakan manusia
dalam masyarakat. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.

4
Sebagaimana definisi tersebut maka tradisi (adat-istiadat) merupakan suatu kesatuan yang
terpolakan, tersistem dan terwariskan turun temurun. Nilai-nilai yang dianut dalam sebuah
tradisi pada masyarakat tertentu misalnya nilai sirri na pacce (harga diri dan rasa malu) di
Makassar adalah suatu kekayaan leluhur yang hingga hari ini masih diyakini masyarakat
Bugis-Makassar Sulawesi-Selatan. Bukan hanya di Makassar saja, masih begitu banyak
tradisi yang diagungkan oleh setiap suku di Indonesia dan menjadi sebuah kebanggaan dan
pemersatu antar suku bangsa.

Setiap aturan-aturan, anjuran, perintah tentu saja akan memberi dampak positif dan setiap
larangan yang diindahkan membawa keberuntungan bagi hidup manusia. Salah satu larangan
yang akan membawa maslahat bagi manusia adalah menjauhkan diri dari kebiasaan-
kebiasaan nenek moyang terdahulu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal tersebut
sebagaimana yang Allah firmankan dalam AlQur’an :

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka
menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami
(melakukannya).” Padahal,nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak
mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah:170)

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti) apa yang diturunkan Allah dan
(mengikuti) Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek
moyang kami (mengerjakannya).” Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang
mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula)
mendapat petunjuk?” (QS Al-Maidah:104)

Kedua ayat tersebut menjelaskan kepada kita tentang orang-orang yang lebih patuh pada
ajaran dan perintah nenek moyangnya daripada Syariat yang diwahyukan oleh Allah didalam
Al-Qur’an. Seperti adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu pada ritual-ritual yang
menjanjikan keselamatan, ketenangan hidup, penolak bala yang menjadi salah satu tradisi
masyarakat Indonesia di berbagai daerah.

5
Salah satu contoh kearifan lokal yang ada di Indonesia seperti yang tertera di bawah ini

Kearifan lokal pada masyarakat Sulawesi

Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa
disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di
Tongkonan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun
sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si
mayat. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau
dinding gunung.

Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya
diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. Musim festival
pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan
paling lambat bulan September.

Dalam kepercayaan asli masyarakat Tana Toraja yang disebut Aluk Todolo, kesadaran bahwa
manusia hidup di Bumi ini hanya untuk sementara, begitu kuat. Sesuai mitos yang hidup di
kalangan pemeluk kepercayaan Aluk Todolo, seseorang yang telah meninggal dunia pada
akhirnya akan menuju ke suatu tempat yang disebut puyo; dunia arwah, tempat
berkumpulnya semua roh. Letaknya di bagian selatan tempat tinggal manusia. Hanya saja
tidak setiap arwah atau roh orang yang meninggal itu dengan sendirinya bisa langsung masuk
ke puyo. Untuk sampai ke sana perlu didahului upacara penguburan sesuai status sosial
semasa ia hidup. Jika tidak diupacarakan atau upacara yang dilangsungkan tidak sempurna
sesuai aluk (baca: ajaran dan tata cara peribadatan), yang bersangkutan tidak dapat mencapai
puyo. Jiwanya akan tersesat.

Selama orang yang meninggal dunia itu belum diupacarakan, ia akan menjadi arwah dalam
wujud setengah dewa. Roh yang merupakan penjelmaan dari jiwa manusia yang telah
meninggal dunia ini mereka sebut tomebali puang. Sambil menunggu korban persembahan
untuknya dari keluarga dan kerabatnya lewat upacara pemakaman, arwah tadi dipercaya tetap
akan memperhatikan dari dekat kehidupan keturunannya.

6
Oleh karena itu, upacara kematian menjadi penting dan semua aluk yang berkaitan dengan
kematian sedapat mungkin harus dijalankan sesuai ketentuan. Sebelum menetapkan kapan
dan di mana jenazah dimakamkan, pihak keluarga harus berkumpul semua, hewan korban
pun harus disiapkan sesuai ketentuan. Pelaksanaannya pun harus dilangsungkan sebaik
mungkin agar kegiatan tersebut dapat diterima sebagai upacara persembahan bagi tomebali
puang mereka agar bisa mencapai puyo alias surga.Semakin sempurna upacara pemakaman
seseorang, maka semakin sempurnalah hidupnya di dunia keabadian yang mereka sebut puyo
tadi.

Berbagai bentuk tradisi yang dilakukan secara turun-temurun oleh para penganut kepercayaan
Aluk Todolo-termasuk ritus upacara kematian adat Tana Toraja yang sangat dikenal luas
itukini pun masih bisa disaksikan. Meski terjadi perubahan di sana-sini, kebiasaan itu kini tak
hanya dijalankan oleh para pemeluk Aluk Todolo, masyarakat Tana Toraja yang sudah
beragama Kristen dan Katolik pun umumnya masih melaksanakannya.

Adapun Karakteristik Kearifan Lokal di Nusantara adalah sebagai berikut.

Karakteristik kearifan lokal adalah suatu bentuk kearifan lingkungan yang adadalam
kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah.jadi merujuk pada lokalitas dan
komunitas tertentu.kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal
dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif.sebagai salah satu bentuk
perilaku manusia,kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan
dengan waktu,tergantung dari tatanan dan ikatan social budaya yang ada di masyarakat.

Karakteristik kearifan lokal adalah sebagai berikut:

1. Mampu bertahan terhadap budaya luar

2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar

3. Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsure budaya luar ke dalam budaya asli

4. Mempunyai kemampuan mengendalikan

5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya

Kearifan Lokal juga memiliki manfaat, adapun manfaat dari Kearifan Lokal Di Nusantara
adalah sebagai berikut:

1. Bidang Ekonomi

7
Dengan menggunakan kearifan lokal sebagai strategi utama dalam perbaikan ekonomi dimasa
depan khususnya ekonomi berkelanjutan sangatlah tepat. Dikarenakan masyarakat dapat
mengetahui lebih jauh apa yang harus dilakukan dan dibutuhkan dalam melakukan kegiatan
ekonomi sesuai dengan potensi yang dimiliki suatu daerah. Dengan demikian, kegiatan
perekonomian disuatu daerah dapat berjalan dengan baik.

2. Bidang Pendidikan

Pendidikan adalah sebagai upaya sadar manusia dalam memahami diri sendiri dan
lingkungannya. Oleh sebab itu pendidikan harus mampu memupuk dan menumbuhkan
kesadaran akan arti keberadaan manusia untuk lingkungan dan alam semesta. Dengan
pendidikan yang berbasis pada kearifan lokal maka kita bisa optimis akan terciptanya
pendidikan yang mampu memberi makna bagi kehidupan manusia Indonesia. Artinya,
pendidikan kemudian akan menjadi spirit yang bisa mewarnai dinamika manusia Indonesia
kedepan. Pendidikan nasional kita harus mampu membentuk manusia yang berintegritas
tinggi dan berkarakter sehingga mampu melahirkan anak-anak bangsa yang hebat dan
bermartabat sesuai dengan spirit pendidikan yaitu memanusiakan manusia.

3. Bidang Politik

Dibidang politik, bila dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarat lain sebagai


unsure pembentuk bangsa Indonesia, masyarakat adat menghadapi situasi yang lebih sulit
lagi. Kondisi ini bermuara pada politik penghancuran system pemerintahan adat yang
dilakukan secara sistematis dan terus menerus sepanjang pemerintahan rezim Orde Baru
upaya penghancuran ini secara gamblang bisa dilihat dari pemaksaan konsep desa yang
seragam diseluruh Indonesia sebagaimana diatur dalam UU No 5 Tahun 1979 tentang
pemerintahan desa.

Kehancuran sistem-sistem adat ini menjadi lebih diperparah lagi dengan kebijakan
militerisasi kehidupan pedesaan lewat konsep pembinaan territorial TNI dengan masuknya
Bintara Pembina Desa (BABINSA) sebagai salah satu unsur kepemimpinan desa. Dengan
kebijakan-kebijakan ini bisa dikategorikan bahwa Negara telah melakukan pelanggaran hak-
hak sipil dan politik masyarakat adat selama lebih dari 20 tahun, termasuk hak asal-usul dan
hak-hak tradisional yang dilindungi oleh UUD 1945.

B. Walisongo dan Kearifan Lokal; Akar Moderasi

8
Para Walisongo sangat mengerti betul bahwa Islam yang kini berkembang di Indonesia
adalah bermula dari Jazirah Arab. Karakter dan budaya orang arab sangat jauh berbeda
dengan kondisi masyarakat Indonesia, pola-pola ajaran keislaman yang berkembang di arab
berdasarkan budayanya ini tidak bisa semerta diajarkan mentah-mentah kepada masyarakat
Indonesia. Karakter orang arab yang keras dan egoistik, sementara rakyat Indonesia lebih
mengedepankan karakter ‘ngejawi’-nya. Maka pola dan strategi dalam berdakwah tidak bisa
di samakan.

Itulah sebabnya pola komunikasi yang digunakan Walisongo dalam berdakwah adalah
dengan menggunakan budaya setempat, tidak menganggap budaya itu harus diubah tetapi
Walisongo sangat mengapresiasi budaya yang berkembang dengan ditambah nilai nilai
keislaman. Strategi dakwah yang digunakan Wali Songo amat bervariasi, tergantung wilayah
dan kondisi masyarakatnya. Sebagian besar dari para penyebar Islam ini beradaptasi dengan
luwes agar penyampaian Islamnya diterima masyarakat.

Penamaan Wali Songo sering kali dilekatkan dengan wilayah dakwahnya. Akibatnya,
sebagian besar masyarakat tidak mengenal nama asli dari masing-masing wali.

Nama-nama Wali Songo

Berikut adalah sembilan tokoh Wali Songo, nama asli, strategi, dan wilayah persebaran
dakwahnya, sebagaimana dituliskan Agus Sunyoto di buku Atlas Wali Songo (2016):

1. Sunan Gresik

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim dianggap sebagai orang pertama yang
menyebarkan Islam di Jawa. Ia pertama kali datang ke desa Sembolo, sekarang Desa Laren di
kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik. Strategi dakwahnya dimulai dari
perdagangan, yang dilanjutkan dengan pendekatan politik. Sunan Gresik kemudian menjalin
hubungan dengan penguasa saat itu. Sunan Grasik juga mendirikan pesantren dan masjid
untuk menyebarkan Islam. Keberadaan Sunan Gresik ini menjadi kontroversi. Selama ini, ada
perbedaan antara pandangan masyarakat dan fakta sejarah. Sebagaimana dilansir dari NU

9
Online, keberadaan Sunan Gresik tidak diakui secara akademis, namun tetap berkembang
sebagai kepercayaan masyarakat.

2. Sunan Ampel

Nama asli Sunan Ampel ialah Raden Rahmat. Sunan Ampel lahir pada tahun 1401. Wilayah
dakwahnya berada di sekitar Surabaya. Ia juga memiliki pesantren Ampeldenta yang terletak
di daerah Denta, Surabaya. Strategi dakwahnya yang terkenal adalah dengan mendidik para
dai atau juru dakwah. Kemudian, ia menikahkan banyak juru dakwah dengan putra-putri
penguasa bawahan Majapahit.

3. Sunan Kudus

Sunan Kudus bernama asli Ja’far Shadiq, ia lahir pada tahun 1400. Wilayah dakwahnya
adalah di Kudus, Jawa Tengah. Sunan Kudus terkenal tegas dalam menegakkan ajaran syariat
Islam. Di masanya, ia dikenal sebagai eksekutor Ki Ageng Pengging dan Syaikh Siti Jenar.

Strategi dakwah yang digunakan Sunan Kudus untuk menyebarkan Islam adalah dengan
mendekati masyarakat melalui kebutuhan mereka. Ia mengajarkan alat-alat pertukangan,
kerajinan emas, membuat keris pusaka, dan lain sebagainya.

4. Sunan Giri

Sunan Giri bernama asli Muhammad Ainul Yakin, ia lahir pada tahun 1442. Orang tuanya
adalah Syaikh Maulana Ishaq bersama Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu yang
merupakan seorang penguasa wilayah Balambangan di ujung kerajaan Majapahit.

Sunan Giri dikenal sebagai raja sekaligus guru suci. Ia berperan penting dalam
pengembangan dakwah di Nusantara. Strategi dakwahnya yang terkenal adalah dengan
memanfaatkan kekuasaan, perniagaan, dan pendidikan.

Dengan cara dakwah tersebut, pengaruh Sunan Giri mencapai wilayah Banjar, Martapura,
Pasir, Kutai, hingga Nusa Tenggara dan Maluku.

10
5. Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati mempunyai sebuah nama asli Syarif Hidayatullah. Ia lahir pada tahun
1448 di Kairo, Mesir.

Di Mesir, ia adalah putra Sultan Hud dan pernah menjadi pangeran untuk penerus raja Mesir,
menggantikan ayahnya, tetapi ia menolak dan memutuskan untuk menyebarkan ajaran Islam
dengan ibunya di wilayah Jawa.

Strategi dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Jati adalah dengan menguatkan kedudukan
politik. Ia menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon, Banten, dan
Demak untuk memuluskan dakwahnya.

6. Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga atau Raden Said lahir pada tahun 1450 di Tuban. Ayahnya adalah
Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban. Strategi dakwah Sunan Kalijaga amat terkenal melalui
seni dan budaya. Ia piawai mendalang, menciptakan bentuk-bentuk wayang, dan lakon-lakon
carangan.

7. Sunan Muria

Sebagai putra Sunan Kalijaga, Sunan Muria yang bernama asli Raden Umar Said atau Raden
Said mewarisi darah seni ayahnya. Ia lahir pada tahun 1450 dan dianggap sebagai sunan
termuda di antara para Wali Songo lainnya.

Dalam menyebarkan Islam, Sunan Muria melestarikan seni gamelan dan boneka sebagai
sarana dakwah. Dia menciptakan beberapa lagu dan tembang untuk mempraktikkan ajaran
Islam.

8. Sunan Bonang

Sunan Bonang lahir ada tahun 1465 serta nama asli Raden Maulana Makdum Ibrahim. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Julukan Sunan Bonang berasal dari
salah nama desa di kabupaten Rembang, yaitu desa Bonang.

11
Sunan Bonang dikenal amat pandai dengan ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra,
arsitektur, dan lain sebagainya. Wilayah dakwahnya adalah daerah Kediri. Di sana, Ia
mengajarkan Islam melalui wayang, tembang, dan sastra sufistik. Karya sastra terkenal yang
digubah Sunan Bonang adalah Suluk Wujil.

9. Sunan Drajat

Sunan Drajat memiliki nama asli Raden Qasim atau Syarifuddin. Ia lahir pada tahun 1470
dan merupakan putra bungsu Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Wilayah dakwahnya
berada di Paciran, Lamongan. Strategi dakwahnya terkenal dengan pendidikan akhlak kepada
masyarakat.

Di Paciran, Sunan Drajat mendidik masyarakat untuk memperhatikan kaum fakir miskin. Ia
menjunjung tinggi kesejahteraan umat. Selain itu, Sunan Drajat juga dikenal dengan
pengajaran teknik membuat rumah dan tandu.

Walisongo ialah salah satu contoh penerapan moderasi beragama di indonesia


Walisongo mempunyai sikap yang moderat terhadap kebudayaan lokal,mereka
menggabungkan kebudayaan dan tradisi lokal dan mengisinya dengan nilai nilai islam tanpa
menggunakan kekerasan dan pemaksaan.walisongo tetap mempertahankan sikap moderat
walaupun jadi mayoritas,bahkan walisongo hidup berdampingngan dengan masyarakat lokal
dengan berbagai latar belakang tradisi,budaya dan agama yang berbeda.

Banyak bentuk kreasi budaya islam yang di kembangkan oleh walisongo dalam rangka
menyesuaikan islam dengan budaya setempat.dari sisi kesenian kita dapat mencatat kreasi
walisongo yang berupa tembang macapat,lagu lagu pujian keagamaan,lagu lagu dolanan dan
bentuk permainan untuk anak-anak dan remaja.Walisongo mengembangkan lirik dan
langgam tembang-tembang macapat yang sudah di kenal dan berkembang luas di
masyarakat.Hanya saja walisongo turut memberikan nilai-nilai islam melaluu isi dari
tembang tersebut.

Di antara langgam macapat yang di liris walisongo adalah gambuh ,sinom mijil,dan dandang
gula ,walisongo juga menciptakan lagu-lagu pujian keagamaan dengan model lirik yang
semacam lagu pelipur lara, seperti lir-ilir bagi masyarakat umum.untuk anak-anak dan remaja
walisongo menciptakan lagu-lagu dolanan seperti jublak-jublak suweng dan jamuran.

12
C. Revitalisasi Interaksi Agama dan Kearifan Lokal

Salah satu contoh revitalisasi interaksi antara agama dan kearifan lokal ialah sebagai
pencegahan atau alat untuk merendahkan adanya gejolak radikalisme di era globalisasi
seperti saat ini. Radikalisme adalah fenomena global. Ia melintasi sekat-sekat negara maupun
agama. Sampai sekarang, semua negara masih menempatkan radikalisme-ekstrimisme
sebagai musuh bersama. Begitu juga dengan tokoh agama, harus mereinterpretasi doktrin
sebagai kontra-wacana terhadap kaum radikalis-ekstrimis yang menyalah-gunakan agama.

Ada dua hal yang membedakan gejala radikalisme pra dan pasca globalisasi. Pertama, di era
pra-globalisasi, radikalisme mudah dideteksi dan diidentifikasi siapa aktor dan di mana
lokusnya. Sebab, kelompok yang melakukan tindakan radikal-anarkis, adalah mereka yang
tersisih dari kekuasaan, termarjinalisasi, atau mereka yang ingin memisahkan dari negara
berdaulat (Yusuf Zaidan, 2009).

Sementara di era globalisasi, radikalisme itu bersifat acak dan global (Mark Juergensmeyer,
2000). Ia tidak mudah diidentifikasi baik itu aktor, lokus, maupun sebab-musababnya. Ia bisa
saja dari kalangan berpendidikan, kelas ekonomi menengah ke atas, bahkan dari mereka yang
mempunyai pahaman agama yang mendalam.

Kedua, radikalisme pra-globalisasi terjadi di daerah pinggir. Di zaman sekarang, ia sudah


masuk ke pusat, bahkan tak jarang ke jantung pemerintahan. Karen Amstrong (2001)
menyatakan, sejak revolusi Iran, wabah dan aktornya sudah masuk ke pusat kekuasaan,
mereka tidak hanya bekerja di pinggiran saja. Ini bisa dibuktikan, bahwa banyak pejabat,
pengambil kebijakan, pendidik dan Aparatur Sipil Nagara (ASN) yang terjangkit virus
radikalisme.

Revitalisasi Kearifan Lokal.

Kedua tren radikalisme ini tentu memerlukan pendekatan yang berbeda. Masalah yang unik
harus didekati dengan pendekatan yang unik pula. Dalam konteks inilah, kearifan lokal,
sebagai bagian dari warisan leluhur yang sangat berharga memperolah signifikansinya dan
bisa menjadi modal untuk mendektsi, mencegah, bahkan melawan virus radikalisme.

13
Revitalisasi kearifan lokal merupakan strategi untuk menghidupkan kembali tradisi dan
falsafah hidup yang sudah lama bersemayam di tengah masyarakat. Gerakan revitalisasi ini
bisa dilakukan dengan memaksimalkan peran tokoh adat dan tokoh agama. Pelibatan tokoh
masyarakat dan tokoh agama di tingkat lokal bisa mencegah – setidaknya memiminalisir –
virus dan akses-akses radikalisme. Selama ini, kerja-kerja pencegahan lebih banyak bersifat
sentralistik, dengan tak-tik dan prosedur yang ketat. Di tingkat lokal, peran tokoh adat dan
tokoh agama ternyata sangat fungsional.

Peran strategis tokoh adat dan agama ini bisa dilihat dari semboyan adat bersandi syara, di
mana keduanya adalah ibarat dua sisi koin mata uang, tak bisa dipisahkan. Masalah-masalah
yang dihadapai masyarakat –kalau tidak mangatakan seluruhnya –terlebih dahulu
diselesaikan dengan kerja-kerja kekeluargaan yang bersifat lokal nan arif, sebelum masuk ke
institusi formal. Peran strategis ini, bisa dimaksimalkan untuk mengampanyekan nilai-nilai
kedamaian, harmoni dan toleransi.

Selaian itu, memaksimalkan fungsi lembaga-lembaga masyarakat, menghidupkan ritual yang


bersifat lokal merupakan hal yang sangat ampuh dalam melawan radikalisme. Lembaga
masyarakat baik berbentuk artefak seperti rumah adat, ruang-ruang kumpul, maupun bersifat
non-fisik, seperti ikatan kesukuan, marga, dan sistem kekeluargaan memiliki fungsi dalam
menangkal radikalisme.

Ikatan marga umpanya yang ada di suku Batak, Sumatera Utara sangat strategis dalam
meminimalisir konfilik. Bagi sistem kesukuan, marga itu adalah ikatan saudara. Jika marga A
berjumpa dengan marga B umpanya, C dengan D mereka sudah menganggap itu adalah
saudara kandung. Bahkan bagi sebagian orang, ikatan marga jauh lebih tinggi dari pada
ikatan agama. Kita boleh beda agama, asal kita satu marga, kita adalah saudara. Akibatnya
konflik dan perselisihan bisa di-manage.

Hal yang sama juga terjadi di pulau Jawa. Adanya tradisi ziarah kubur ke makam-makam
yang dianggap suci, ternyata bisa meminimalisir konflik-konflik yang ada di masyarakat.
Perbedaan-perbedaan yang beragam, setelah masuk dalam lingkungan makam suci untuk
ziarah itu bisa membaur dan melebur antar sesama. Sejauh ini, peran strategis kearifan lokal
sudah banyak diekspos media. Tradisi saling membersihkan tempat rumah ibadah di salah
satu daerah di Maluku misalnya; ketika Idul fitri, kaum Kristen yang membersihkan mesjid,
sebaliknya, ketika tiba Natalan, giliran kaum muslim yang membersihkan. Dialog, saling
sapa dan saling asah itu perlu dimaksimalakan untuk menumpas virus radikalisme.

14
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Meskipun di setiap daerah mempunyai kultur yang berbeda dengan daerah lainnya dan
memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda pula, tetapi kearifan lokal terbukti memberikan
solusi kongkrit terhadap persoalan lokal dan regional yang terjadi di masyarakat.

Di antara kearifan lokal itu ialah adat istiadat dan hukum adat. Adat istiadat lebih merupakan
sistem nilai yang sifatnya lebih abstrak. Sedangkan hukum adat sudah menjadi norma-
norma sosial kemasyarakatan yang memiliki reward dan punishment.

Dan juga Walisongo sangat mengapresiasi budaya yang berkembang dengan ditambah nilai
nilai keislaman. Strategi dakwah yang digunakan Wali Songo amat bervariasi, tergantung
wilayah dan kondisi masyarakatnya. Sebagian besar dari para penyebar Islam ini beradaptasi
dengan luwes agar penyampaian Islamnya diterima masyarakat.

Ada dua hal yang membedakan gejala radikalisme pra dan pasca globalisasi. Pertama, di era
pra-globalisasi, radikalisme mudah dideteksi dan diidentifikasi siapa aktor dan di mana
lokusnya. Sebab, kelompok yang melakukan tindakan radikal-anarkis, adalah mereka yang
tersisih dari kekuasaan, termarjinalisasi, atau mereka yang ingin memisahkan dari negara
berdaulat. Sementara di era globalisasi, radikalisme itu bersifat acak dan global (Mark
Juergensmeyer, 2000). Ia tidak mudah diidentifikasi baik itu aktor, lokus, maupun sebab-

15
musababnya. Ia bisa saja dari kalangan berpendidikan, kelas ekonomi menengah ke atas,
bahkan dari mereka yang mempunyai pahaman agama yang mendalam.

B. Saran
Indahnya menikmati setiap ilmu yang Allah berikan. Sayangnya sedikit rasa syukur atas
nikmat yang dapat di rasakan sehingga membuat kami banyak introspeksi diri agar terus
mencari ilmu dan mengajarkannya. Sehingga setiap kita dapat saling menebarkan
kebermanfaatan.

DAFTAR PUSTAKA
https://jejakrekam.com/2019/11/06/islam-dan-kearifan-lokal-1/ di kutip pada tanggal 04
Oktober 2021

http://fitrianahadi.blogspot.com/2015/06/islam-dan-kearifanlokal-di-nusantara.html?m=1 di
kutip pada tanggal 04 Oktober 2021

https://beritajatim.com/politik-pemerintahan/kh-taufik-damas-walisongo-utamakan-kearifan-
lokal-dalam-dakwah/ di kutip pada tanggal 04 Oktober 2021

https://tirto.id/nama-nama-asli-wali-songo-strategi-dakwah-wilayah-persebarannya-garD di
kutip pada tanggal 04 Oktober 1021

https://dutadamaijawatimur.id/urun-ide/revitalisasi-kearifan-lokal-untuk-pencegahan-
radikalisme/235/#:~:text=Revitalisasi%20kearifan%20lokal%20merupakan%20strategi,lama
%20bersemayam%20di%20tengah%20masyarakat.&text=Peran%20strategis%20ini%2C
%20bisa%20dimaksimalkan,nilai%20kedamaian%2C%20harmoni%20dan%20toleransi di
kutip pada tanggal 04 Oktober 2021

16

Anda mungkin juga menyukai