Anda di halaman 1dari 6

ASWAJA KELOMPOK 5

MANHAJ AL-FIKR ( METODOLOGI PEMIKIRAN NU)


Konsep Aswaja yang dibawa sebagai manhaj al-fikr atau metode berfikir tidak terlepas
dari gagasan KH. Aqil Siroj. Aswaja adalah pandangan bagi orang yang memiliki metode
berfikir keagamaan secara moderasi,menjaga keseimbangan dan sikap toleran. Bukan hanya
sekedar berbicara madzhab, aswaja juga merupakan sebuah langkah untuk menyelesaikan
persoalan agama, maupun sosial kemasyarakatan. Prinsip yang terdapat dalam aswaja untuk
mencegah perpecahan atau konflik, pertama Attawasuth(ditengah-tengah), kedua At-
tawazun(menimbang-nimbang), ketiga al-‘adl(adil),dan at-tasamuh(menghormati atau
menghargai). Empat prnsip tersebut merupakan prinsip dasar yang harus dimiliki setiap orang
yang ingin berpandangan Aswaja dalam Berfikir. Makna dan relevansi yang terdapat pada prinsi
p dasar aswaja merupakan pilihan tepat untuk menjaga keberbedaan yang ada disetiap Negara
khususnya negara Indonesia.
Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Metodologi Berpikir Sebenarnya Aswaja sebagai
Manhajul Fikr secara eksplisit-meskipun sedikit berbeda terminologi- sudah dikenal dalam
tubuh Nahdlotoel Oelama. Aswaja yang seperti ini digunakan sebagai metode alternatif untuk
menyelesaikan suatu masalah keagamaan ketika dua metode sebelumnya yakni metode Qauly
dan Ilhaqy tidak dapat menyelesaikan problem keagamaan tersebut. Di NU sendiri metode
seperti ini terkategorikan sebagai salah satu metode ber-madzhab dan disebut dengan metode
Manhaj yang menurut Masyhuri adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang
ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum
yang telah disusun imammadzhab. Pada kenyataannya Aswaja tidak hanya dapat dimaknai
sebagai ajaran teologis saja, karena problem yang dihadapi oleh umat saat ini tidaklah
sesederhana dan se-simple periode Islam terdahulu. Lebih luasnya Aswaja dapat
ditransformasikan ke dalam aspek ekonomi, politik, dan social. Pemaknaan seperti ini berangkat
dari kesadaran akan kompleksitas masalah di masa kini yang tidak hanya membutuhkan solusi
bersifat konkret akan tetapi lebih pada solusi yang sifatnya metodologis, sehingga muncul term
Aswaja sebagai Manhajul Fikr (metode berpikir).
1. Tawasuth
Kata tawasuth  berasal dari kata wasatha berarti tengah atau pertengahan.
Kata tawasuth  secara bahasa berarti moderat. Secara istilah tawasuth ialah sikap terpuji
di mana menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem dan memilih sikap
dengan berkecenderungan ke arah jalan tengah. Allah Swt. berfirman:

“Dan   demikian     pula     kami    telah    menjadikan    kamu    (umat    Islam)   


‘umat  pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. al-Baqarah [2]: 143).
Ukuran penilaian dalam ayat di atas dimaksudkan bahwa Rasulullah Saw. sebagai
pengukur umat Islam, sedangkan umat Islam menjadi pengukur manusia lainnya.

Sikap tawasuth merupakan sikap yang paling esensial karena sikap ini tegak lurus, tidak
condong ke kanan atau ke kiri. Hal itu membentuk sikap bijaksana dalam mengambil keputusan.
Sikap moderat Ahlussunnah Wal Jamaah tercermin pada metode pengambilan hukum (Istinbat)
yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula
dalam berpikir selalu menjembatani antara Wahyu dengan rasio. Metode (manhaj) seperti inilah
yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) serta
generasi lapis berikutnya dalam menerapkan hukum-hukum.

Mengutip buku Moderasi Islam Nusantara oleh H. Mohamad Hasan, M.Ag., ada lima alasan
mengapa sikap tawassuth dianjurkan ada pada diri seorang Muslim, yaitu:

1. Sikap tawassuth dianggap sebagai jalan tengah dalam memecahkan masalah, maka
seorang Muslim senantiasa memandang tawassuth sebagai sikap yang paling adil dalam
memahami agama.
2. Hakikat ajaran Islam adalah kasih sayang, maka seorang Muslim yang bersikap tawassuth
senantiasa mendahulukan perdamaian dan menghindari pertikaian.
3. Pemeluk agama lain juga mahluk ciptaan Allah yang harus dihargai dan dihormati, maka
seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa memandang dan memperlakukan
mereka secara adil dan setara
4. Ajaran Islam mendorong agar demokrasi dijadikan alternatif dalam mewujudkan nilai-
nilai kemanusiaan, maka Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa mengutamakan
nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
5. Islam melarang tindakan diskriminasi terhadap individu atau kelompok. Maka sudah
sepatutnya seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa menjunjung tinggi
kesetaraan.

Adapun contoh sikap tawassuth dalam kehidupan sehari-hari adalah:

 Tidak membeda-bedakan golongan dalam berinteraksi dan berkomunikasi.


 Menjalin silaturahmi antar sesama agar tidak timbul pertikaian.
 Menerima pendapat orang lain yang tidak sepaham.
 Menerima saran, masukan, dan kritik membangun dari orang lain.
 Menggunakan bahasa yang santun dan menyejukkan saat berkomunikasi.
 Bersikap toleransi terhadap segala perbedaan yang ada.

2. Tawazun
Menurut bahasa tawazun berarti keseimbangan atau seimbang, sedangkan menurut istilah
adalah suatu sikap seseorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam
menghadapi suatu permasalahan. Tawazun adalah suatu sikap yang mampu
menyeimbangkan diri seseorang pada saat memilih sesuatu sesuai kebutuhan, tanpa
condong atau berat sebelah terhadap suatu hal tersebut. Dengan kita mensyukuri suatu
nikmat dari Allah, yakni berupa jasad, maka kita penuhi kebutuhan dasar jasad kita,
seperti halnya makan, minum, bekerja dan belajar.
Tawazun mempunyai makna seimbang. Hal ini berarti setiap jengkal langkah dalam sendi
kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan dalam pemecahan
setiap permasalahan yang muncul. Seimbang dalam menjalin hubungan dengan Allah,
seimbang dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, seimbang dalam menjalin
hubungan dengan alam. Dengan sikap seimbang inilah nantinya akan menemukan esensi
Islam yang sebenarnya. Dalam konteks tawazzun ini bisa di implementasikan ke dalam
ranah negara dan bangsa. Bagaimana kita bergaul dan berhubungan dengan individu,
masyarakat dengan masyarakat, negara dengan rakyatnya maupun manusia dengan alam.

Dalam QS. Al Qashash ayat 77 yang artinya :

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.

Dalam ayat di atas dijelaskan bagaimana tawazun merupakan sikap yang mampu
menyeimbangkan diri seseorang pada saat memilih sesuatu sesuai kebutuhan, seimbang
antara kebutuhan dunia dan akhirat, seimbang kebutuhan rohani dan jasmani, seimbang
kebutuhan Ilahiah dan aqliah, seimbang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
dan beribadah kepada Allah. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang
bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits).
Selain itu, bisa juga diartikan sebagai keseimbangan antara jasad, akal, dan hati nurani
seseorang.
Berdasarkan fitrah Allah Swt, manusia dalam Islam mempunyai tiga potensi yaitu al-
jasad, ar-ruh, dan al aql. Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam
keadaan tawazun (seimbang).
1) al-jasad(jasmani).
Jasad/jasmani atau yang biasa kita sebut dengan raga, merupakan suatu amanah
dari Allah kepada manusia untuk dijaga dan dirawat sebaik-baiknya. Maka dari
itu kita harus menjaga raga ini dengan cara memenuhi kebutuhannya, baik itu
kebutuhan fisiologis maupun biologis. Dengan kita mensyukuri suatu nikmat dari
Allah, yakni berupa jasad, maka kita penuhi kebutuhan jasad kita seperti halnya
makan, minum, bekerja dan lain sebagainya.
2) Kedua ar-ruh (rohani).
Rohani atau yang biasa kita kenal dengan jiwa juga merupakan suatu amanah dari
Allah yang harus kita jaga, yakni dengan cara zikrullah atau mengingat Allah.
Dengan mengingat Allah, maka hati/ruh manusia akan merasa tenang, aman,
nyaman dan memiliki suatu semangat untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.
3) Ketiga, al ‘aql (Akal)
Akal merupakan suatu keistimewaan yang dimiliki manusia merupakan
pemberian Allah Swt. Akal adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan
hewan, tumbuhan dan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia dapat
berfikir dengan baik dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
dapat berfikir untuk menjauhi sifat keji dan munkar, serta dengan akal manusia
dapat memanfaatkan alam sebaik-baiknya, yakni dengan menjadi seorang
pemimpin/khalifah di muka bumi ini.
3. Ta’adul
Ta’adul akar kata dari lafad Adala yang mempunyai arti adil, bersifat adil, tidak
memihak. Dalam kehidupan bermasyarakat pastilah banyak problematika menghadang
meskipun besar dan kecil. Dengan masalah itulah, bagaimana pijakan gerakan kita
mampu mencerminkan sifat adil tanpa harus membela tangan kanan maupun tangan kiri.
Setiap pemikiran, gerakan, moral bahkan kebijakan sekalipun harus mengedepankan sifat
adil di berbagai aspek kehidupan maupun negara. Aspek sosial, negara, syariah, ekonomi,
budaya, pendidikan dan hal lainnya harus disikapi dengan fikiran jernih –adil- sehingga
mampu mengembangkan sayap nilai Islam menuju nilai peradaban tinggi dan unggul
dalam mengikuti zaman.
Bentuk-Bentuk Adil

a) Adil terhadap Allah, artinya menempatkan Allah pada tempatnya yang benar, yakni
sebagai makhluk Allah dengan teguh melaksanakan apa yang diwajibkan kepada kita,
Sehingga benar-benar Allah sebagai Tuhan
b) Adil terhadap diri sendiri, yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan
benar. Untuk itu kita harus teguh, kukuh menempatkan diri kita agar tetap terjaga dan
terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan. Untuk mewujudkan hal tersebut kita harus
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta menghindari segala perbuatan yang dapat
mencelakakan
c) Adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempatnya yang sesuai,
layak, dan Kita harus memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar tidak
mengurangi sedikitpun hak yang harus diterimanya.
d) Adil terhadap makhluk lain, artinya dapat menempatkan makhluk lain pada tempatnya
yang sesuai, misalnya adil kepada binatang, harus menempatkannya pada tempat yang
layak menurut kebiasaan binatang.
4. Tasamuh
Kata tasamuh berasal dari bahasa Arab secara bahasa artinya, murah hati, lapang hati.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tasamuh diartikan lapang dada, keluasan pikiran,
toleransi. Adapun pengertian tasamuh adalah sikap atau perbuatan melapangkan dada,
tenggang rasa dalam menghadapi perbedaan, baik pendapat, keyakinan dan agama.

Dalam tasamuh terdapat unsur menghormati, menghargai dan simpati. Tasamuh ini


sangat penting, apalagi dalam kehidupan masyarakat yang bersifat heterogen atau
majemuk, terutama dalam kehidupan beragama.

Islam, adalah agama yang sangat menghargai perbedaan, dalam batasan tertentu. Nabi
Muhammad Saw. telah memberikan contoh dalam hal tasamuh ini, yakni di saat ingin
memajukan Madinah, yang di dalamnya banyak suku dan agama. Dalam al-Qur’an dijelaskan
pada surah ke-109, Al Kafirun ayat 1-6:

Artinya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kaafirun [109]:1-6)

Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam sangat toleran terhadap adanya perbedaan
agama.

Bentuk-bentuk Tasamuh

 Tidak ada paksaan dalam memilih agama, sebagaimana disebutkan pada surah ke 2, al-
Baqarah ayat 256:
 Tidak memaksakan kepentingan dan keinginan

 Menghormati dan menghargai

Perilaku Yang Mencerminkan Sikap tasamuh

 Tidak memaksakan agama kepada orang

 Tidak menghalangi hak orang lain walaupun dalam perasaannya terdapat rasa benci

karena akhlaknya yang Sebagaimana disebutkan pada surah Az- Zukhruf (43) ayat 83:

 Memberikan kesempatan kepada orang  lain untuk memanfaatkan


 Memberi kesempatan orang lain untuk melaksanakan tugas kewajiban menurut
keyakinannya,

Anda mungkin juga menyukai