Sikap tawasuth merupakan sikap yang paling esensial karena sikap ini tegak lurus, tidak
condong ke kanan atau ke kiri. Hal itu membentuk sikap bijaksana dalam mengambil keputusan.
Sikap moderat Ahlussunnah Wal Jamaah tercermin pada metode pengambilan hukum (Istinbat)
yang tidak semata-mata menggunakan nash, namun juga memperhatikan posisi akal. Begitu pula
dalam berpikir selalu menjembatani antara Wahyu dengan rasio. Metode (manhaj) seperti inilah
yang diimplementasikan oleh Imam mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali) serta
generasi lapis berikutnya dalam menerapkan hukum-hukum.
Mengutip buku Moderasi Islam Nusantara oleh H. Mohamad Hasan, M.Ag., ada lima alasan
mengapa sikap tawassuth dianjurkan ada pada diri seorang Muslim, yaitu:
1. Sikap tawassuth dianggap sebagai jalan tengah dalam memecahkan masalah, maka
seorang Muslim senantiasa memandang tawassuth sebagai sikap yang paling adil dalam
memahami agama.
2. Hakikat ajaran Islam adalah kasih sayang, maka seorang Muslim yang bersikap tawassuth
senantiasa mendahulukan perdamaian dan menghindari pertikaian.
3. Pemeluk agama lain juga mahluk ciptaan Allah yang harus dihargai dan dihormati, maka
seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa memandang dan memperlakukan
mereka secara adil dan setara
4. Ajaran Islam mendorong agar demokrasi dijadikan alternatif dalam mewujudkan nilai-
nilai kemanusiaan, maka Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa mengutamakan
nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
5. Islam melarang tindakan diskriminasi terhadap individu atau kelompok. Maka sudah
sepatutnya seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa menjunjung tinggi
kesetaraan.
2. Tawazun
Menurut bahasa tawazun berarti keseimbangan atau seimbang, sedangkan menurut istilah
adalah suatu sikap seseorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam
menghadapi suatu permasalahan. Tawazun adalah suatu sikap yang mampu
menyeimbangkan diri seseorang pada saat memilih sesuatu sesuai kebutuhan, tanpa
condong atau berat sebelah terhadap suatu hal tersebut. Dengan kita mensyukuri suatu
nikmat dari Allah, yakni berupa jasad, maka kita penuhi kebutuhan dasar jasad kita,
seperti halnya makan, minum, bekerja dan belajar.
Tawazun mempunyai makna seimbang. Hal ini berarti setiap jengkal langkah dalam sendi
kehidupan beragama senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan dalam pemecahan
setiap permasalahan yang muncul. Seimbang dalam menjalin hubungan dengan Allah,
seimbang dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia, seimbang dalam menjalin
hubungan dengan alam. Dengan sikap seimbang inilah nantinya akan menemukan esensi
Islam yang sebenarnya. Dalam konteks tawazzun ini bisa di implementasikan ke dalam
ranah negara dan bangsa. Bagaimana kita bergaul dan berhubungan dengan individu,
masyarakat dengan masyarakat, negara dengan rakyatnya maupun manusia dengan alam.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Dalam ayat di atas dijelaskan bagaimana tawazun merupakan sikap yang mampu
menyeimbangkan diri seseorang pada saat memilih sesuatu sesuai kebutuhan, seimbang
antara kebutuhan dunia dan akhirat, seimbang kebutuhan rohani dan jasmani, seimbang
kebutuhan Ilahiah dan aqliah, seimbang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
dan beribadah kepada Allah. Keseimbangan dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang
bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan
Hadits).
Selain itu, bisa juga diartikan sebagai keseimbangan antara jasad, akal, dan hati nurani
seseorang.
Berdasarkan fitrah Allah Swt, manusia dalam Islam mempunyai tiga potensi yaitu al-
jasad, ar-ruh, dan al aql. Islam menghendaki ketiga dimensi tersebut berada dalam
keadaan tawazun (seimbang).
1) al-jasad(jasmani).
Jasad/jasmani atau yang biasa kita sebut dengan raga, merupakan suatu amanah
dari Allah kepada manusia untuk dijaga dan dirawat sebaik-baiknya. Maka dari
itu kita harus menjaga raga ini dengan cara memenuhi kebutuhannya, baik itu
kebutuhan fisiologis maupun biologis. Dengan kita mensyukuri suatu nikmat dari
Allah, yakni berupa jasad, maka kita penuhi kebutuhan jasad kita seperti halnya
makan, minum, bekerja dan lain sebagainya.
2) Kedua ar-ruh (rohani).
Rohani atau yang biasa kita kenal dengan jiwa juga merupakan suatu amanah dari
Allah yang harus kita jaga, yakni dengan cara zikrullah atau mengingat Allah.
Dengan mengingat Allah, maka hati/ruh manusia akan merasa tenang, aman,
nyaman dan memiliki suatu semangat untuk melanjutkan perjalanan hidupnya.
3) Ketiga, al ‘aql (Akal)
Akal merupakan suatu keistimewaan yang dimiliki manusia merupakan
pemberian Allah Swt. Akal adalah sesuatu yang membedakan manusia dengan
hewan, tumbuhan dan makhluk Allah lainnya. Dengan akal, manusia dapat
berfikir dengan baik dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
dapat berfikir untuk menjauhi sifat keji dan munkar, serta dengan akal manusia
dapat memanfaatkan alam sebaik-baiknya, yakni dengan menjadi seorang
pemimpin/khalifah di muka bumi ini.
3. Ta’adul
Ta’adul akar kata dari lafad Adala yang mempunyai arti adil, bersifat adil, tidak
memihak. Dalam kehidupan bermasyarakat pastilah banyak problematika menghadang
meskipun besar dan kecil. Dengan masalah itulah, bagaimana pijakan gerakan kita
mampu mencerminkan sifat adil tanpa harus membela tangan kanan maupun tangan kiri.
Setiap pemikiran, gerakan, moral bahkan kebijakan sekalipun harus mengedepankan sifat
adil di berbagai aspek kehidupan maupun negara. Aspek sosial, negara, syariah, ekonomi,
budaya, pendidikan dan hal lainnya harus disikapi dengan fikiran jernih –adil- sehingga
mampu mengembangkan sayap nilai Islam menuju nilai peradaban tinggi dan unggul
dalam mengikuti zaman.
Bentuk-Bentuk Adil
a) Adil terhadap Allah, artinya menempatkan Allah pada tempatnya yang benar, yakni
sebagai makhluk Allah dengan teguh melaksanakan apa yang diwajibkan kepada kita,
Sehingga benar-benar Allah sebagai Tuhan
b) Adil terhadap diri sendiri, yaitu menempatkan diri pribadi pada tempat yang baik dan
benar. Untuk itu kita harus teguh, kukuh menempatkan diri kita agar tetap terjaga dan
terpelihara dalam kebaikan dan keselamatan. Untuk mewujudkan hal tersebut kita harus
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani serta menghindari segala perbuatan yang dapat
mencelakakan
c) Adil terhadap orang lain, yakni menempatkan orang lain pada tempatnya yang sesuai,
layak, dan Kita harus memberikan hak orang lain dengan jujur dan benar tidak
mengurangi sedikitpun hak yang harus diterimanya.
d) Adil terhadap makhluk lain, artinya dapat menempatkan makhluk lain pada tempatnya
yang sesuai, misalnya adil kepada binatang, harus menempatkannya pada tempat yang
layak menurut kebiasaan binatang.
4. Tasamuh
Kata tasamuh berasal dari bahasa Arab secara bahasa artinya, murah hati, lapang hati.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tasamuh diartikan lapang dada, keluasan pikiran,
toleransi. Adapun pengertian tasamuh adalah sikap atau perbuatan melapangkan dada,
tenggang rasa dalam menghadapi perbedaan, baik pendapat, keyakinan dan agama.
Islam, adalah agama yang sangat menghargai perbedaan, dalam batasan tertentu. Nabi
Muhammad Saw. telah memberikan contoh dalam hal tasamuh ini, yakni di saat ingin
memajukan Madinah, yang di dalamnya banyak suku dan agama. Dalam al-Qur’an dijelaskan
pada surah ke-109, Al Kafirun ayat 1-6:
Artinya: Katakanlah: “Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan
yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kaafirun [109]:1-6)
Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam sangat toleran terhadap adanya perbedaan
agama.
Bentuk-bentuk Tasamuh
Tidak ada paksaan dalam memilih agama, sebagaimana disebutkan pada surah ke 2, al-
Baqarah ayat 256:
Tidak memaksakan kepentingan dan keinginan
Tidak menghalangi hak orang lain walaupun dalam perasaannya terdapat rasa benci
karena akhlaknya yang Sebagaimana disebutkan pada surah Az- Zukhruf (43) ayat 83: