Anda di halaman 1dari 20

4.

Prinsip Dasar Akidah Ahlussunah Wal Jamaah An


Nahdliyah

1. Tawassuth

Prinsip dasar akidah Ahlussunah Wal jamaah An Nahdliah yang pertama dalam
moderasi beragama yaitu At-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak
ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.
Ada yang mengartikan tawassuth adalah sikap tengah-tengah atau sedang di antara dua
sikap, tidak terlalu keras dan terlalu bebas. Dengan sikap inilah Islam bisa di terima di
segala lapisan masyarakat. Tawassuth lebih dikenal sekarang ini dengan istilah “moderasi”.
Allah swt. berfirman :

ً‫ون الرَّ سُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدا‬


َ ‫اس َو َي ُك‬ ُ ‫ك َج َع ْل َنا ُك ْم ُأم ًَّة َو َسطا ً لِّ َت ُكو ُنو ْا‬
ِ ‫ش َهدَاء َعلَى ال َّن‬ َ ِ‫َو َك َذل‬

“Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia
umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan
perbuatan) kamu sekalian”. (QS . Al Baqarah/2:143).

Tawassuth merupakan sikap seseorang yang moderat atau berada di tengah-tengah, tidak


terlalu bebas juga tidak keras dalam berprinsip, sehingga sikap ini yang mudah diterima
oleh seluruh lapisan yang ada pada masyarakat. Sikap tawassuth ini sangat mudah
diterima oleh lapisan masyarakat karena berada di tengah-tengah atau moderat, bijak
dalam bersikap dan santun dalam berbicara.
Bagaimana kita menerapkan sikap tawassuth dalam keseharian kita?
Kita ketahui bersama bahwa keberagaman bangsa Indonesia menjadikan penduduknya
berbeda suku, agama, ras dan antar golongan sehingga memunculkan sikap yang
berbeda-beda dalam menanggapi sesuatu hal atau permasalahan.
Misalnya ketika kita dalam beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-
masing dengan aman, nyaman, tenang dan tidak saling mengganggu. Tentu saja kita
menjalankan ibadah dengan penuh keimanan dan ketaatan kepada Allah Tuhan Yang
Maha Esa sesuai agama dan keyakinan masing-masing sebagaimana nilai-nilai tawassuth.

Dan ini artinya  linier dengan tujuan akhir pendidikan Nasional yang menjadikan peserta
didik beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa pada fungsi dan tujuan
Pendidikan Nasional yang terdapat dalam pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003
yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta


peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Dalam buku Moderasi Islam Nusantara oleh H. Mohamad Hasan, M.Ag., ada lima alasan
mengapa bersikap tawassuth itu dianjurkan dan harus ada pada diri seorang Muslim?

1. Sikap tawassuth dianggap sebagai jalan tengah dalam memecahkan masalah, maka


seorang muslim senantiasa memandang tawassuth sebagai sikap yang paling adil
dan bijak dalam memahami agama.

2. Bahwa hakikat ajaran islam adalah kasih sayang, maka seorang muslim yang
bersikap tawassuth senantiasa mendahulukan perdamaian, cinta kasih dan
menghindari pertikaian.

3. Pemeluk agama lain juga mahluk ciptaan Allah yang harus dihargai dan dihormati,
maka seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa memandang dan
memperlakukan mereka secara adil dan setara.

4. Ajaran Islam mendorong agar demokrasi dijadikan alternatif dalam mewujudkan


nilai-nilai kemanusiaan, maka Muslim yang bersikap tawassuth selalu
mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi.
5. Islam melarang tindakan diskriminasi terhadap individu atau kelompok. Maka sudah
sepatutnya seorang Muslim yang bersikap tawassuth senantiasa menjunjung tinggi
kesetaraan.

Dari kelima alasan tersebut di atas, kita seharusnya sudah memahami arti pentingnya
sikap tawassuth dalam kehidupan sehari-hari.

Tawassuth (sikap tengah-tengah) sangat tepat diterapkan dalam kehidupan sosial antar


sesama manusia di lingkungan bermasyarakat dan bersosialisasi dalam lingkup
pendidikan. Terlebih di masa sekarang era  yang penuh dengan problematika intoleransi
dan diskriminasi antar umat beragama.

Berikut dicontohkan bagaimana  bersikap tawassuth dalam kehidupan sehari-hari yang


terjadi di masyarakat, seperti tidak membeda-bedakan suku dan golongan dalam
berinteraksi sosial  dan berkomunikasi. Ketika berkumpul sekelompok orang yang berbeda
suku terjadi perbincangan serius di antara mereka, karena berbeda suku seharusnya
perbincangan dengan bahasa Indonesia bukan dengan bahasa daerah. Karena jika terjadi
dengan berbahasa daerah sesuai sukunya masing-masing tentu saja berkelompok dengan
kesukuannya, misalnya sesama suku Jawa, Sunda atau Minang, dll. Akan terjadi
kesenjangan komunikasi pada akhirnya. Manusia sama di mata Tuhan dan kita harus
berprasangka positif terhadap sesama dan mengutamakan ukhuwah/persaudaraan.

Kemudian dalam menjalin silaturahmi antar sesama manusia harus terus ditumbuhkan
dengan bahasa yang sejuk dalam komunikasi agar tidak timbul pertikaian dan
menghadirkan nilai-nilai kasih sayang. Silaturahmi bertujuan agar antar sesama saling
mendoakan dan memberikan informasi penting dan positif  dalam kehidupan sehari-hari.

Ketika seseorang sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesama harus bisa
menerima pendapat orang lain yang tidak sepaham dan menghargai perbedaan pendapat
yang ada. Jika temannya sedang berbicara, maka teman yang lain harus mendengarkan
dan memperhatikan dengan seksama. Jadilah pendengar yang baik, menghargai yang
sedang berbicara maka kita akan menjadi lebih berharga dan dihargai. Ini sangat penting
sekali, mengapa? agar kita bisa menerima segala bentuk perbedaan dalam komunikasi dan
membuka diri menerima saran, masukan dan kritikan yang membangun dari orang lain
kepada diri kita. Semakin membuka diri akan semakin terbuka pemikiran dan cakrawala
berpikir seseorang untuk lebih menerima perbedaan.

Ketika dalam berbicara dan berdebat pun kita harus bisa menggunakan bahasa yang
santun, membuat aman orang lain dan menyejukkan saat berbicara. Tentu saja dalam
mengkomunikasikan pendapat kita selalu bersikap baik dan sopan,  sekalipun terjadi
perbedaan pendapat dan terdapat perdebatan diskusi panjang yang terkadang melelahkan.
Nah, di sinilah perlunya sikap toleransi, saling menghargai terhadap segala perbedaan
yang ada dengan jalan damai, mendiskusikannya dengan baik dan tidak perlu saling adu
otot.
Hal ini penting kita contoh dalam perilaku-perilaku tawassuth agar kita dapat menjauhkan
diri terhadap sikap egoisme pribadi, ekstrimisme dan sikap berlebih-lebihan dalam
beragama untuk menjadi pribadi santun yang menenangkan umat.

Dikatakan pula oleh Muhammad Makhdum  bahwa salah satu karakter beragama Islam ala
Ahlussunnah wal Jama’ah yang paling menonjol adalah tawassuth. Tawassuth atau
moderat adalah berada di tengah-tengah, di pertengahan tidak terjebak pada titik-titik
ekstrim, tidak condong ke kiri atau cenderung ke kanan, seimbang antara dalil aqli (akal)
dan naqli (teks kitab suci), tidak memihak tetapi lebih lebih bersifat menengahi atau menjadi
penengah yang adil.

Dalam kehidupan sehari-hari  selanjutnya tawassuth terekspresikan pada sikap yang


seimbang antara pikiran, akal dan tindakan, selalu bersikap tenang, bisa membuat nyaman
dan aman, tidak gegabah dan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, cerdas dalam
mengambil langkah dan tidak menghakimi sendiri.
Bayangkan jika kita menjadi pribadi yang apriori dan maunya menang sendiri, tentu saja
kita akan dijauhi dan dihindari teman karena pribadi yang arogansi tersebut.

Ketika kita belajar di kelas umpamanya, terjadi perdebatan sengit dan berdiskusi
membahas tema-tema faktual, kita harus selalu mengedepankan akal pikiran, berpikir
jernih, bersumber pada data dan data bukan emosi atau egoisme pribadi.

Tawassuth sebenarnya telah melekat sangat kuat pada mayoritas umat Islam di dunia
sebagai pola pikir dan bersikap dalam kehidupan beragama, termasuk juga di Indonesia.
Sejak jaman dahulu hingga sekarang tawassuth ini mengakar dan terus dipelihara dalam
keseharian, menciptakan ketenangan, bersikap ramah bukan marah dan mengusung
perdamaian berbingkai kebhinekaan, senantiasa menjaga kerukunan umat beragama dan
antar umat beragama.
Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu jua Indonesia.

2. Tawazun

At-tawazun atau seimbang dalam segala aspek dan berbagai hal. Tawazun menurut
bahasa berarti keseimbangan atau seimbang. Sedangkan menurut istilah tawazun
merupakan suatu sikap seseorang untuk memilih titik yang seimbang atau adil dalam
menghadapi suatu persoalan. Tawazun merupakan model berpikir seimbang, moderat dan
tidak ekstrim kanan atau kiri.

Sikap tawazun sangat diperlukan oleh manusia agar dia tidak melakukan sesuatu hal yang
berlebihan dan mengesampingkanhal-hal yang lain, yang memiliki hak harus ditunaikan.
Tawazun merupakan Kemampuan seorang individu untuk menyeimbangkan kehidupanya
dalam berbagai dimensi, sehingga tercipta kondisi yang stabil, sehat, aman dan nyaman.

Sikap tawazun ini sangat penting dalam kehidupan seorang individu sebagai manusia. Oleh
karena itu sikap tawazun ini harus diterapkan dan dilaksanakan dalam diri peserta didik;
agar mereka dapat melakukan segala sesuatu dengan seimbang dalam kehidupannya.
Karena jika mengabaikan sikap tawazun dalam kehidupan ini, maka akan lahir berbagai
masalah.

Dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan juga hadis, agama juga menuntut kita untuk bersikap
tawazun dalam segala aspek kehidupan. Kita tidak boleh belebihan dalam menyikapi suatu
permasalahan atau sebaliknya. Diantara ajaran yang menjadikan Islam sebagai agama
yang sempurna adalah karena keseimbangannya.

Keseimbangan merupakan kewajiban sekaligus keharusan sosial. Dengan demikian


seseorang yang tidak seimbang dalam kehidupan individu dan sosialnya dapat
menyebabkan hubungan interaksi sosialnya akan rusak.

Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :

‫ان لِ َيقُو َم ال َّناسُ ِب ْال ِقسْ ط‬ َ ‫اب َو ْالم‬


َ ‫ِيز‬ َ ‫ت َوَأ‬
َ ‫نز ْل َنا َم َع ُه ُم ْال ِك َت‬ ِ ‫َل َق ْد َأرْ َس ْل َنا ُر ُس َل َنا ِب ْال َب ِّي َنا‬
Artinya : Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran
yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang
keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25).

Dalam kehidupan selalu ada suatu kejadian di mana seseorang hanya mementingkan
urusan dunianya saja atau memiliki prinsip hidupnya hanyalah untuk mencari kesenangan
duniawi semata.  Perilaku yang dilakukannya dalam aktivitas sehari-hari sehingga menjadi
kebiasaan dan dianggap sudah menjadi hal yang biasa dalam pergaulannya.

Seperti lupa akan sholat, melakukan maksiat; atau memenuhi kebutuhan secara
berlebihan, seperti makan dengan berlebih-lebihan, tidur tak kenal waktu atau bermalasan-
malasan. Perilaku yang seperti ini merupakan suatu kecendrungan terus-menerus terhadap
hal yang negatif. Sedang kecendrungan yang terus-menerus terhadap hal positif;
umpamanya seperti seseorang yang terus-menerus melakukan ibadah dengan cara
mengurung diri, serta tak memperdulikan lingkungan sosial sekitar.

Meskipun tawazun memiliki arti sebagai suatu keseimbangan atau adil, hal itu bukan berarti
harus menempatkan posisi di tengah-tengah atau jalan tengah. Karena realitanya suatu
pertengahan belum tentu menunjukkan suatu keseimbangan, karena tergantung bobotnya.

Contoh mudahnya dapat dalam lingkup keluarga, seorang ibu mempunyai dua orang anak,
yang satu sedang duduk di bangku SD, sedangkan yang lain duduk di bangku perguruan
tinggi. Tentunya si ibu tersebut tidak akan memberikan uang saku dengan jumlah yang
sama kepada masing-masing anaknya tersebut. Jika Ibu tersebut berpegang pada prinsip
keadilan dan seimbang tentu ia akan memberikan uang dengan dengan jumlah yang lebih
kepada anaknya tertua; karena anak ini mempunyai kebutuhan yang lebih dari pada
adiknya yang masih SD.

Sebagai insan yang muslim dan beriman penting menerapkan sikap tawazun. Tujuannya
adalah agar kita tidak melakukan sesuatu hal yang berlebihan dan mengesampingkan hal-
hal yang lain atau bahkan melupakannya, karena kita memiliki dan menunaikan hak untuk
diri kita.

Rasulullah Saw memerintahkan kita untuk bersikap tawazun seperti contoh kisah para
sahabat Rasulullah saw. Ada tiga orang sahabat Rasulullah saw yang datang kepada
beliau dan mengutarakan maksudnya masing-masing. Orang pertama mengatakan bahwa
dia tidak akan menikah selama hidupnya. Kemudian orang yang kedua mengatakan bahwa
dia akan berpuasa setiap hari dan terus-menerus seumur hidupnya dan yang terakhir
mengatakan bahwa ia akan sholat tanpa henti-hentinya.

Namun apa kata Rasulullah Saw, kalian jangan seperti itu. Masing-masing urusan ada
haknya, urusan dunia ada haknya dan urusan akhirat juga haknya, jalankanlah hal itu
dengan seimbang. Dalam kutipan kisah tersebut kita dapat memaknai bahwa dunia dan
akhirat harus berjalan seimbang, tidak memberatkan masalah dunia dan tidak terlalu berat
dalam beribadah.

Dunia dan akhirat adalah dua tempat yang berbeda namun memiliki kelebihan masing-
masing.  Dengan keseimbangan manusia mampu mendapatkan kebahagiaan yang haqiqi
dari Allah Swt; yang berupa ketenangan jiwa dan tergolong orang yang
pandai bersyukur terhadap nikmat yang Allah berikan.

Sikap tawazun juga adalah seimbang dalam menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa
kini, dan masa yang akan datang. Tawazun juga diperlukan di antara hak dan tanggung
jawab tidak menumpukkan salah satu di antara keduanya; misalkan lebih mengutamakan
hak saja dan mengenyampingkan kewajiban atau sebaliknya.

Ketika seseorang tidak mampu menata pikiran secara seimbang, maka kebenaran atau
kebaikan  hanya ada pada dirinya, orang lain salah dan buruk. Ketika seseorang menutup
peluang/ kemungkinan “benar atau baik” bagi orang lain, maka orang lain tersebut
dianggap sebagai musuh. Demikian seterusnya. Sehingga beragam realitas sosial
dianggap atau sebagai sumber persoalan, bukan diterima sebagai keniscayaan.
Ketidakmampuan berpikir seimbang simetris dengan ketidakmauan menerima realitas
keanekaragaman, yang merupakan sunnatullah.

3. Tasamuh

Pengertian Tasamuh

Kata tasamuh berasal dari bahasa Arab yang berarti murah hati atau lapang hati. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tasamuh artinya kelapangan dada, keluasan
pikiran, dan toleransi.
Secara istilah, dalam buku Akidah Akhlak kelas XII yang diterbitkan Kementerian Agama
(Kemenag) Tahun 2019, halaman: 32, tasamuḥ adalah sikap akhlak terpuji dalam
pergaulan, di mana terdapat rasa saling menghargai antara sesama manusia dalam batas-
batas yang digariskan oleh agama Islam.

Maksud dari tasamuh adalah bersikap menerima dan damai terhadap keadaan yang
dihadapi, misalnya toleransi dalam agama ialah sikap saling menghormati hak dan
kewajiban antaragama.

Tasamuḥ dalam agama bukanlah mencampuradukkan keimanan dan ritual dalam agama,
melainkan menghargai eksistensi agama yang dianut orang lain.

Dalil tentang Tasamuh

Islam, adalah agama yang sangat menghargai perbedaan, dalam batasan tertentu. Nabi
Muhammad SAW telah memberikan contoh dalam hal tasamuh ini, yakni di saat ingin
memajukan Madinah, yang di dalamnya banyak suku dan agama.

Dalam Al-Qur'an penjelasan Tasamuh salah satunya dijelaskan pada surah Al-Kafirun ayat
1-6 yang artinya:

"Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah;
Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah; Dan Aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah; Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah
Tuhan yang Aku sembah; Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Dalam ayat tersebut dapat dipahami bahwa Islam sangat toleran terhadap adanya
perbedaan agama. Pada akhir ayat ditegaskan, bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.

Islam sangat menghargai jalan berfikir seseorang, tentang hal ini Allah SWT berfirman:

‫هّٰللا‬
َ ‫ك ۡال َب ٰل ُغ  َفا ِۡن َحٓاجُّ ۡو‬
ُ ‫ك َفقُ ۡل اَ ۡس َل ۡم‬
‌ؕ ‫ت‬ َ ‫ َف ِا َّن َما َع َل ۡي‬w‫َو ُ بَصِ ۡي ۢ ٌر ِب ۡال ِع َبا ِد ‌ۚ َوا ِۡن َت َولَّ ۡوا‬
‫ب َوااۡل ُ ِّم ٖ ّي َن َءاَ ۡس َل ۡم ُت ؕمۡ‌ َفا ِۡن اَ ۡس َلم ُۡوا َف َق ِد‬ ‌ِؕ ‫َو ۡج ِه َى هّٰلِل ِ َو َم ِن ا َّت َب َع‬
َ ‫ ۡالك ِٰت‬w‫ن ا ُ ۡو ُتوا‬wَ ‫ن َوقُل لِّلَّذ ِۡي‬
ْ ‫ۡاه َت‬
‫دَوا‬

Fa in haaajjuuka faqul aslamtu wajhiya lillaahi wa manit taba'an; wa qul lillaziina uutul
Kitaaba wal ummiyyiina 'a-aslamtum; fa in aslamuu faqadih tadaw wa in tawallaw fa
innamaa 'alaikal balaagh; wallaahu basiirum bil 'ibaad

ِArtinya: “Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah, "Aku


berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku." Dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Kitab dan kepada orang-orang buta huruf,
"Sudahkah kamu masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah mendapat
petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu hanyalah menyampaikan. Dan
Allah Maha Melihat hamba-hamba-Nya." (QS. Ali Imran: 20)

Tidak ada paksaan pula dalam memilih agama, sebagaimana diterakan pada surah Al-
Baqarah ayat 256:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan
yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut
dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”( QS.
Al Baqarah [2]:256)

Karakteristik Tasamuh

Tasamuḥ menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik, yaitu sebagai berikut:

 Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan.


 Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan.
 Kelemah-lembutan karena kemudahan.
 Muka yang ceria karena kegembiraan.
 Rendah diri di hadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan.
 Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan.
 Menggampangkan dalam berdakwah ke jalan Allah tanpa basa-basi.
 Terikat dan tunduk kepada agama Allah SWT tanpa rasa keberatan.

Tasamuh adalah modal utama dalam menghadapi keragaman dan


perbedaan (yanawwu'iyyah). Tasamuh bisa bermakna penerimaan kebebasan beragama
dan perlindungan undang-undang bagi hak asasi manusia dan warga negara.

Tasamuh adalah sesuatu yang mustahil untuk dipikirkan dari segi kejiwaan dan intelektual
dalam hegemoni sistem-sistem teologi yang saling bersikap ekslusif.

Namun, jika pengertian ini diimplementasikan dalam kehidupan beragama, maka dapat
berarti mengakui, menghormati daan membiarkan agama atau kepercayaan orang lain.

Contoh Perilaku Tasamuh

Berikut ini contoh perilaku tasamuh dalam kehidupan sehari-hari seperti dikutip dari
buku Akidah Akhlak kelas VIII terbitan Kemenag Tahun 2020:

1. Menghentikan sementara acara atau rapat karena tiba waktu shalat.


2. Tidak menyalakan klakson motor atau mobil ketika melewati tempat ibadah.
3. Ikut menjaga keamanan dan ketertiban pada waktu umat agama lain merayakan hari
rayanya.
4. Memberi waktu untuk libur bagi karyawan yang sedang berhari raya.
5. Menghormati pendapat orang lain terhadap penafsiran dan pemahaman suatu
masalah.
6. Tidak makan di sembarang tempat pada waktu siang hari bulan puasa.
Hikmah Perilaku Tasamuh:

o Dapat memberikan kesejukan jiwa kepada diri sendiri dan orang lain.
o Menimbulkan sikap dan perangai yang mulia.
o Mendapatkan teman yang semakin banyak.
o Timbul rasa tenang pada diri sendiri dan orang lain.
o Memudahkan penyelesaian persoalan yang nampak sulit bagi orang lain.
o Mudah mendapatkan relasi.
o Jika mendapat kesulitan, akan banyak orang yang menolong.
o Jika melakukan kesalahan, banyak orang yang mau memahami.

Upaya Membiasakan Diri Bersikap Tasamuh

Untuk mempunyai akhlakul karimah dalam bentuk tasamuh, maka perlu melakukan
hal-hal seperti di bawah ini:

1. Memahami jalan pikiran orang lain atas perbuatan yang dilakukan. Dengan


demikian kita dapat lebih mengetahui hakikat dari perbuatan tersebut. Dengan kata
lain, tidak hanya menilai fakta, namun perlu memahami proses.

2. Menghargai dan menghormati hak-hak orang lain. Sebagaimana kita juga


merasa senang jika keadaan kita dihargai dan dihormati oleh orang lain.

3. Mencoba mengetahui lebih mendalam atas perbuatan orang lain terhadap


kita. Sehingga mengetahui sejauh manakah hubungan perbuatan dengan motivasi,
keyakinan dan kepentingannya.

4. Berusaha lebih teliti melihat perbuatan sendiri. Kemungkinan, orang lain lebih


benar daripada apa yang kita lakukan.

5. Senantiasa mengevaluasi diri. Sehingga tahu akan kekurangan diri sendiri


untuk diperbaiki dan mau menghargai orang lain
4. I'tidal

Konsep agama Islam mengajarkan bagaimana etika keberagamaan dapat


diaktualisasikan dalam hubungannya dengan kehidupan sosial untuk lebih mampu
berlaku adil kepada siapapun dan dalam hal apapun. Sikap “adil” berhubungan
langsung dengan perbuatan baik/ihsan yang seharusnya menjadi perwujudan sikap
dalam keberagamaan seseorang.

Nilai moderasi beragama tentang i’tidal/keadilan akan dikupas bersama disini dan untuk
selanjutnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita ketahui bersama kata adil dalam bahasa arab artinya berada di tengah-tengah,
jujur, lurus, dan tulus. Adil itu wajar, pantas, patut, setimpal dan bijaksana. Secara
terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi, ketidakjujuran.
Kata i’tidal dalam nilai moderasi sering disamakan dengan tawassuth yang dianggap
sama artinya dengan adil. Menurut Muhamad Yunus kata adil memiliki arti lain bisa
berarti jujur atau benar, sedangkan orang yang tidak bisa melakukan perbuatan adil itu
disebut aniaya.

Berlaku adil dalam Alqur’an dijelaskan dalam QS. Al Maidah ayat 8 yang
pembahasannya sudah kita sampaikan dalam nilai tasamuh/toleransi yang erat pula
kaitannya dengan keadilan.
QS. An Nahl ayat 90 dijelaskan bahwa Allah Tuhan Yang Maha Kuasa menyuruh
manusia untuk bersikap adil dan berperilaku baik serta menolong kerabatnya yang
terdekat, sekaligus melarang kepada manusia untuk berbuat keji, kemungkaran dan
permusuhan. Melihat kepada konteks ayat tersebut setiap muslim dapat menilai bahwa
adil sebenarnya akan mendatangkan sikap kebaikan dan kebajikan yang pada tataran
tertentu justru dapat mencegah perbuatan-perbuatan kejahatan yang justru akan
merugikan manusia.

Orang yang bersikap adil adalah orang yang perilakunya sesuai dengan standar hukum
baik hukum agama, hukum positif/hukum negara, maupun hukum sosial/hukum adat
yang berlaku.
Orang yang adil selalu bersikap tegas, jujur dan tidak memihak kecuali kepada
kebenaran. Bukan berpihak karena pertemanan, kelompok, persamaan suku, adat
istiadat, bangsa maupun agama.

Penilaian, pertimbangan, kesaksian dan keputusan hukum hendaknya selalu berdasar


pada kebenaran walaupun kepada diri sendiri, saat di mana bersikap adil terasa berat
dan sulit melaksanakannya.

Sesungguhnya keadilan itu adalah milik seluruh umat manusia tanpa memandang suku,
kelompok, agama, status jabatan ataupun strata sosial. Keadilan harus berlaku sama
untuk semua manusia. Di bidang yang selain persoalan hukum, keadilan membuat
seseorang harus dapat membuat penilaian obyektif dan kritis kepada siapapun.
Mengakui adanya kebenaran, kebaikan dan hal-hal positif yang dimiliki kalangan lain
yang berbeda agama, suku, adat istiadat dan bangsa serta dengan lapang dada
membuka diri untuk belajar dan dengan bijaksana memandang kelemahan atau sisi-sisi
negatif mereka.

Bersikap adil itu merupakan salah satu cara untuk mendapat kepercayaan orang dan
untuk mendapatkan reputasi yang baik. Karena dengan reputasi yang baik itulah kita
akan memiliki kemampuan untuk berbagi dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan dan
kebenaran dengan orang lain. Tanpa itu, kebaikan apapun yang kita sampaikan hanya
akan masuk ke telinga kanan dan keluar melalui telinga kiri. Karena apa? Karena
bersikap adil itu identik dengan konsistensi dan kesinambungan antara perkataan, sikap
dan perbuatan yang baik.

Bersikap adil secara prinsip harus diterapkan dalam semua kegiatan beragama,
bermasyarakat, bernegara, terutama dalam bidang hukum atau pengadilan dan tata
negara.

Dalam bermasyarakat salah satu tantangan terberat yang dihadapi manusia adalah
permasalahan like and dislike, “kecintaan” (kesukaan) dan “kebencian” (ketidaksukaan).
Kecintaan dan kebencian yang berlebihan,  seringkali dapat menyebabkan seseorang
tidak dapat bersikap adil, obyektif atau proporsional.
Hal ini diingatkan dalam Q.S. Al Maidah ayat 8 ;
‫ش َهدَٓا َء ِب ْٱل ِقسْ طِ ۖ َواَل َيجْ ِر َم َّن ُك ْم َش َنـَٔانُ َق ْو ٍم‬ َ ‫وا َق ٰوَّ م‬
ُ ِ ‫ِين هَّلِل‬ ۟ ‫وا ُكو ُن‬ ۟ ‫ِين َءا َم ُن‬wَ ‫ٰ َٓيَأ ُّي َها ٱلَّذ‬
‫وا ٱهَّلل َ ۚ ِإنَّ ٱهَّلل َ َخ ِبي ۢ ٌر ِب َما‬
۟ ُ‫وا ه َُو َأ ْق َربُ لِل َّت ْق َو ٰى ۖ َوٱ َّتق‬
۟ ُ‫وا ۚ ٱعْ ِدل‬ w۟ ُ‫َع َل ٰ ٓى َأاَّل َتعْ ِدل‬
َ ُ‫َتعْ َمل‬
‫ون‬

“….Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu


untuk bersikap tidak adil”

Jika seseorang tidak suka (benci), apapun salah dan tidak baik. Sebaliknya jika
seseorang suka (cinta) apapun akan benar dan baik. Kebenaran adalah kebaikan dan
kesalahan adalah kejelekan. Kandungan makna ayat di atas mengingatkan kepada
manusia tidak hanya berlebihan dalam kebencian, tetapi juga tidak boleh berlebihan
dalam kecintaan yang menyebabkan seseorang tidak bersikap adil. Salah satu bentuk
ketidakadilan adalah ketika seseorang menilai sesuatu sudah diliputi terlebih dahulu
oleh rasa kesukaan atau ketidaksukaan. Ini tidak benar.

Bersikap adil merupakan sebuah tuntutan dari agama yang justru harus dijalankan oleh
semua pihak, bukan pada persoalan mencari keadilan yang sering kita lihat adanya
demonstrasi, talkshow keadilan di televisi atau sindiran-sindiran di konten you tube dan
media sosial lainnya.
Upaya mencari keadilan yang diperlihatkan oleh seseorang atau sekelompok orang ini
sesungguhnya adalah akibat dari sikap dan perilaku seorang pemimpin yang tidak bisa
bersikap adil kepada rakyatnya. 
Dalam Alqur’an disebutkan ayat yang artinya ” ….bersikap adillah, karena adil lebih
mendekatkan seseorang kepada takwa”.

Ketakwaan harus terus menerus dilaksanakan sebagai implementasi dari sikap


adil seseorang.
Berikut contoh-contoh bagaimana kita harus bisa bersikap adil ketika di rumah, di
sekolah atau di lingkungan masyarakat.
Ketika di rumah orang tua harus bersikap adil dalam membagi waktu antara beribadah,
bekerja, bermain dan belajar. Ketika memberikan uang jajan kepada anak harus
disesuaikan dengan kebutuhan, bukan keinginannya. Orang tua tidak membeda-
bedakan anggota keluarga, misalnya ada anak yang sakit-sakitan dan ada anak yang
rajin atau kurang mau belajar tetap harus dicintai tanpa dibeda-bedakan. Berbagi tugas
pekerjaan rumah juga harus secara merata, jangan ada yang diberikan pekerjaan yang
banyak sedangkan yang lain tidak mendapatkan tugas untuk dikerjakan. Menyimpankan
makanan kepada anggota yang belum makan itu penting dalam keluarga.
Membagi uang yang adil kepada saudara jika diberikan uang kepada kerabat dan
saudaranya.

Selanjutnya contoh bersikap adil yang bisa dilakukan seorang guru di sekolah yaitu
dengan memperlakukan peserta didiknya sama dan tidak pilih kasih.
Membagikan tugas membersihkan kelas secara merata kepada peserta didiknya.
Bergantian melaksanakan tugas piket dan dilakukan secara bergilir. Semua peserta
didik harus diberikan kesempatan untuk menjadi pengurus kelas dengan
memperbolehkan mereka untuk mengajukan diri menjadi pengurus kelas dan
pemilihannya dilakukan secara demokratis.
Pihak sekolah menyediakan beasiswa atau bantuan untuk peserta didik yang kurang
mampu yang berprestasi dan yang memang membutuhkan.
Pemberian nilai oleh guru kepada peserta didik harus objektif bukan subjektif sesuai
dengan kemampuannya.

Dalam lingkungan masyarakat ketika misalnya ada kegiatan perlombaan, salah satu
aplikasi perilaku adil adalah dengan tidak berpihak kepada salah satu team yang
sedang bertanding sehingga lain dirugikan.

Dalam bermusyawarah kita harus memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk
mengeluarkan pendapat dan masukannya. Ketika di jalan raya kita memberikan
kesempatan kepada pejalan kaki untuk menyeberang melalui zebra cross jika sedang
lampu merah, tidak menerobos lampu merah karena itu adalah sikap tidak adil terhadap
pejalan kaki.
Memperlakukan setiap orang sama dalam tindakan hukum dan sesuai UU yang berlaku
ika ada pelanggaran hukum.
Masyarakat yang mampu memberikan bantuan kepada yang memang membutuhkan,
karena saat ini sebagian bantuan-bantuan dari pemerintah justru tidak tepat sasaran.
Dalam keamanan lingkungan kita bisa membagi jadwal ronda dengan adil kepada
setiap warga di lingkungan tempat tinggal. Dan dalam kehidupan bertetangga kita saling
memberikan bantuan apabila ada yang sakit, meninggal atau sedang kesusahan tanpa
membeda-bedakan.

5. Amr Ma'ruf Nahi Munkar

Penerapan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Sesungguhnya, dalam membangun serta membina akidah dan akhlak seorang muslim,
Islam tidak sekadar menjadikannya sebagai pribadi yang saleh. Akan tetapi, juga
mendorongnya untuk menjadi pribadi yang mushlih (selalu mengupayakan terciptanya
perbaikan), saleh bagi dirinya dan mengupayakan kesalehan bagi selainnya.

Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar mengajarkan kepada setiap muslim untuk menjadi
pribadi yang saleh dan mushlih. Untuk itu, menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar haruslah
mengetahui tahapan-tahapannya, dari mana memulainya dan apa yang mesti
diperhatikannya.

Memulai dari yang Paling Penting Kemudian yang Penting Berikutnya


Mendahulukan yang terpenting dari yang penting adalah bagian dari kaidah penerapan
amar ma’ruf nahi mungkar. Seseorang yang akan menerapkannya hendaknya memulai
langkahnya dengan memperbaiki dasar-dasar keyakinan, yaitu memerintahkan tauhid dan
mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya, serta mencegah kesyirikan, kebid’ahan, dan
hal-hal yang berbau sihir.

Kemudian ia memerintahkan menegakkan shalat, menunaikan zakat, serta kewajiban-


kewajiban lainnya. Lalu ia memerintahkan meninggalkan perkara-perkara haram.
Berikutnya, ia memerintahkan perkara-perkara yang sunnah, diikuti dengan meninggalkan
hal-hal yang makruh.

Demikianlah metode dakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar yang diterapkan oleh seluruh
rasul Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka memberikan porsi yang lebih terhadap
pembenahan akidah tanpa mengesampingkan perkara-perkara penting lainnya, karena
pada dasarnya tidak ada masalah yang tidak penting dalam Islam.

Melihat Maslahat dan Mafsadah

Ada satu kaidah yang tidak boleh diabaikan oleh orang yang hendak menerapkan amar
ma’ruf nahi mungkar, yaitu ‘menolak mafsadah (kerusakan) lebih diutamakan daripada
mengambil maslahat’. Oleh karena itu, menjadi keharusan mengetahui maslahat yang
dihasilkan dan mafsadah yang ditimbulkan dari penerapan amar ma’ruf nahi mungkar.
Adapun rinciannya adalah sebagai berikut.

Pertama: Apabila kemaslahatan yang dihasilkan lebih besar dibandingkan mafsadahnya,


wajib beramar ma’ruf nahi mungkar.

Kedua: Apabila yang terjadi kebalikannya, yakni mafsadahnya lebih besar dari


maslahatnya, menjadi tidak wajib menegakkannya bahkan diharamkan.

Ketiga: Jika keadaannya seimbang antara maslahat dan mafsadahnya, atau yang ma’ruf
dan yang mungkar sama-sama dilakukan, maka tidak boleh memerintah kepada yang
ma’ruf, tidak pula mencegah yang mungkar. Artinya, dalam kondisi ini, menghindari
terjadinya mafsadah yang lebih besar diutamakan daripada mengambil maslahat.

Keempat: Apabila bercampur antara yang ma’ruf dengan yang mungkar, langkah yang
diambil adalah menyampaikan seruan/dakwah secara khusus kepada yang ma’ruf dan
menyampaikan ajakan secara khusus agar menjauh dari segala hal yang mungkar.

Sebenarnya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah menjelaskan kaidah ini


dengan gamblang. Beliau mengatakan, “Apabila maslahat dan mafsadah, kebaikan dan
kejelekan, sama-sama mencuat atau sama-sama menguat, yang wajib adalah
mendahulukan mana yang lebih dominan. Hal ini karena amar ma’ruf nahi mungkar,
sekalipun membawa misi untuk mewujudkan maslahat dan menolak mafsadah, tetap harus
mempertimbangkan apa yang menjadi rintangannya.

Jika maslahat yang hendak dicapai tidak sebesar mafsadah yang akan muncul, tidak boleh
menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar, bahkan menjadi haram dalam kondisi tersebut.
Tetapi, mengukur maslahat dan mafsadah itu harus dengan timbangan syariat. Artinya,
kapan seseorang itu punya kemampuan untuk mengikuti dalil, maka tidak boleh berpaling
darinya. Kalau tidak, maka berijtihad dengan pendapatnya jika ia termasuk ahli ijtihad.
Namun, sangat sedikit orang yang berkemampuan seperti di atas. Intinya, ini adalah bagian
yang dikembalikan kepada ahlul ilmi dan ulama.
Dengan demikian, apabila seseorang atau suatu kelompok mencampuradukkan antara
yang ma’ruf dan yang mungkar, serta tidak lagi membedakan keduanya (bisa jadi kedua-
duanya dilakukan atau ditinggalkan), tidak diperkenankan memerintah mereka kepada
yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, akan tetapi hendaknya mempertimbangkan
hal berikut.

Apabila jumlah yang ma’rufnya lebih banyak dilakukan, maka sampaikan perintah kepada
(yang ma’ruf). Meskipun masih terjadi kemungkaran yang jumlahnya lebih sedikit, tidak
boleh dicegah dari melakukannya (nahi mungkar), karena hal tersebut justru akan
menyebabkan hilangnya yang ma’ruf yang secara kuantitas jauh lebih banyak.

Bahkan, mencegahnya (nahi mungkar) ketika itu sama saja dengan menghalang-halangi
dari jalan Allah subhanahu wa ta’ala, mengusahakan hilangnya ketaatan kepada-Nya dan
kepada rasul-Nya, serta dianggap menghilangkan perbuatan baik.
Sebaliknya, apabila kemungkaran yang dilakukannya lebih banyak, maka harus dicegah
(nahi mungkar) meskipun mengakibatkan ditinggalkannya kebaikan yang jumlahnya lebih
sedikit. Ini karena memerintahkan kepada yang ma’ruf yang lebih sedikit dilakukan hanya
akan menyebabkan bertambahnya kemungkaran, sehingga hal itu (amar ma’ruf) justru
masuk dalam kategori mengupayakan terjadinya kemaksiatan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala dan Rasul-Nya.

Kemudian, kalau kedua-duanya sama-sama dilakukan, baik yang ma’ruf maupun yang
mungkar dan keduanya saling terkait, maka tidak boleh menerapkan amar ma’ruf, tidak
pula nahi mungkar. Kadang-kadang amar ma’ruf lebih tepat, tapi kadang juga sebaliknya
nahi mungkar yang lebih tepat. Atau justru lebih tepat untuk tidak menerapkan (menahan
dulu) amar ma’ruf nahi mungkar. Hal ini bisa terjadi dalam perkara tertentu yang nyata.”

Meneliti dan Memastikan Kemungkaran

Di antara yang membawa keberhasilan dalam menerapkan amar ma’ruf nahi mungkar
adalah meneliti dan memastikan kemungkaran yang hendak diubah dan ditiadakan. Karena
itu, memiliki ilmu tentang yang ma’ruf dan yang mungkar menurut kacamata syariat adalah
penting. (lihat kembali pembahasan ini di rubrik ”Manhaji” edisi ini)

Oleh sebab itu, pastikanlah bahwa kemungkaran yang akan dicegah benar-benar perkara
mungkar yang diingkari oleh Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ketika sebagian orang melihat suatu perbuatan atau mendengar suatu ucapan, terkadang
dianggapnya sebagai suatu kemungkaran karena berpatokan kepada kebiasaan yang
berlaku dan adat istiadat manusia pada umumnya. Ternyata menurut syariat Islam ternyata
bukan sesuatu yang mungkar, bahkan boleh jadi malah sesuatu yang ma’ruf. Atau bahkan
sebaliknya, melihat sesuatu yang sebenarnya ma’ruf menurut syariat, tetapi dianggapnya
sebagai sesuatu yang mungkar.

Inilah fenomena yang sering terjadi dan tampak di sebagian wilayah Islam. Semua itu
terjadi semata-mata karena kebodohan yang melekat dalam diri umat Islam.
Jadi, langkah kroscek (memastikan) dari suatu kemungkaran adalah hal yang dituntut dari
siapa saja yang hendak mengingkari kemungkaran, termasuk kita pastikanlah bahwa itu
adalah kemungkaran dan benar-benar dilakukan.

Hal lain yang wajib diperhatikan adalah jangan tergesa-gesa untuk mencegah seseorang
atau sekelompok orang dari suatu kemungkaran, jika dasarnya hanya prasangka tanpa
melalui proses mencari kepastian (tabayyun dan tatsabbut).
Mungkin saja seseorang dihinggapi perasaan ingin melakukan yang baik atau bahkan yang
buruk, atau berpikir untuk melakukan kemungkaran namun ternyata tidak jadi
melakukannya.

Apabila seseorang mendapatkan informasi tentang adanya kemungkaran, maka


hendaknya ia mencari kepastian tentang keadaan si pembawa informasi. Mungkin saja ia
seorang munafik, orang yang fasik, penyebar fitnah, atau tukang ghibah yang ingin
menciptakan kerusakan dan tidak membuat perbaikan.
Boleh jadi, ada sekelompok orang yang sebenarnya tidak punya tujuan untuk mencegah
dan menghilangkan kemungkaran, yang mereka inginkan hanya sekadar mengacaukan
dan memalingkan konsentrasi.

Allah subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada kita tentang orang-orang munafik,


penyebar fitnah dan tukang ghibah, serta orang-orang fasik dalam firman-Nya:
Apabila orang-orang munafik datang kepadamu (Muhammad), mereka berkata, “Kami
mengakui bahwa engkau adalah rasul Allah.” Dan Allah mengetahui bahwa engkau benar-
benar Rasul-Nya; dan Allah menyaksikan bahwa orang-orang munafik itu benar-benar
pendusta.” (al-Munafiqun: 1)

“Dan janganlah engkau patuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina,
suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah.” (al-Qalam: 10—11)

“Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa
suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum
karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatan kamu itu.” (al-
Hujurat: 6)

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong)
tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia
dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (an-Nur: 19)

(al-Amru bil Ma’ruf wan Nahi ‘anil Mungkar fi Dha’ui Kitabillah)

Anda mungkin juga menyukai