(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan Islam)
Dosen Pengampu: M. Ainul Yaqin, S.Ag., M.Pd.I.
Disusun oleh :
FAKULTAS TARBIYAH
1
1.3 Tujuan Makalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Agar mahasiswa/i mengetahui arti dari Islam Wasathiyah.
2. Agar mahasiswa/i mengetahui nilai-nilai Islam Wasathiyah dalam pendidikan.
3. Agar Mahasiswa/i mengetahui peranan Islam Wasathiyah sebagai solusi masyarakat
multikultural.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Makna yang sama juga dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asyur bahwa kata wasath berarti sesuatu
yang ada di tengah, atau sesuatu yang memiliki dua ujung dengan ukuran masing-masing
sebanding. Terdapat beberapa ayat Al-Qur’an yang menyebut kata wasath, antara lain dalam
QS. Al-Baqarah (2) ayat 143 dan 238, QS. Al-Qalam: 48, dan Al-Isra’: 78.
Dalam Ensiklopedia Al-Qur’an kata wasatha berarti posisi menengah di antara dua
posisi yang berlawanan, seperti kata “berani” berada pada posisi ceroboh dan takut, kata
“dermawan” antara boros dan kikir. Pada dasarnya penggunaan kata wasath dalam ayat-ayat
tersebut mengarah kepada makna “tengah”, ‘adil”, dan “pilihan”.
Adapun makna wasathiyah secara istilah adalah nilai-nilai Islam yang dibangun atas
dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, tidak berlebihan dalam hal-hal tertentu. Istilah
Wasathiyah juga memiliki pemahaman lain yang sangat banyak, karena memang Al-Qur’an
menyebut kata tersebut atau yang seakar dengannya berkali-kali. Antara lain bermakna Al-Adl
(keadilan), keadilan menjadi salah satu sifat yang sangat dibutuhkan oleh manusia, khususnya
jika terkait dengan persaksian satu hukum atau perkara, tanpa kehadiran saksi yang adil, maka
kesaksiannya tidak dapat diterima, keadilan seorang saksi dan keadilan hukum menjadi
harapan besar masyarakat.
Pemaknaan Istilah Wasathiyah dengan adil sebagaimana Nabi menafsirkan surat Al-
Baqarah: 143 dengan makna adil. Adil adalah berada pada posisi antara pihak-pihak yang
bertikai dengan menjauhi condong kepada salah satu pihak. Memberikan hak-hak kedua belah
pihak secara seimbang, dan tidak berat sebelah.
3
2.3 Nilai-nilai Islam Wasathiyah dalam Pendidikan
Umat Islam sebagai umat yang selalu berada pada posisi menengah, tampil sebagai
umat pilihan yang menjadi syuhada dalam arti menjadi saksi atau disaksikan dan diteladani,
juga tampil sebagai panutan dan tolok ukur kebenaran. Islam tidak menghendaki kelompok
ekstrem karena hal tersebut melambangkan kepicikan dan kekakuan dalam menghadapi
persoalan. Posisi menengah tersebut menghimbau umat Islam agar tampil mengadakan
interaksi sosial, berdialog dan terbuka dengan semua pihak yang mempunyai latar belakang
agama, budaya dan peradaban yang berbeda.
Dalam The Wisdom Al-Qur’an Al-Karim diuraikan bahwa dunia diciptakan Allah
dalam keragaman dan kemajemukan, entah menyangkut aspek lingkungan, keyakinan, ataupun
ras. Dalam Alquran, penjelasan tentang keragaman tersebar di berbagai ayat seperti keragaman
berbagai warna kulit dan bahasa (Q.S. 30: 22), berbagai suku bangsa (Q.S. 49:13), Allah
menegaskan eksistensi keragaman dengan penegasan bahwa jika Allah menghendaki, maka
semua manusia bisa dijadikan satu kelompok saja (seragam), baik secara fisik, pemikiran,
bangsa, ideologi, bahkan agama. Namun itu tidak diinginkan-Nya (Q.S. Al-Maidah: 48). Jelas
bahwa keragaman merupakan keniscayaan dan tentu mengandung maksud dan tujuan. Allah
menegaskan bahwa keragaman merupakan bukti kebesaran dan manifestasi kemahakuasaan-
Nya (Q.S. 30: 22), manusia bersuku-suku itu dalam rangka menjalin sebuah ikatan
persaudaraan kemanusiaan atas dasar saling mengenal (ta’aruf) (Q.S. 49: 13).
Dalam konteks kemajemukan, umat Islam sebagaimana isyarat Alquran berada pada
posisi di tengah (ummatan wasatan) umat Islam tidak boleh berada pada dua posisi ekstrem,
yaitu sikap terlalu fanatik atau liberal. Dalam konteks inilah, umat Islam diseru agar
mengembangkan dan menjadi contoh toleransi (tasamuh). Toleransi adalah kesediaan untuk
secara terbuka mau menerima perbedaan. Di dalamnya terkandung sikap saling menghargai
dan menghormati eksistensi masing-masing pihak yang berbeda. Dalam kehidupan yang
toleran, keseimbangan dalam hidup mendapatkan prioritas karena di dalamnya ada keadilan,
kasih sayang dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kemajemukan tidak
4
dianggap sebagai ancaman, namun justru peluang dan energi untuk saling bersinergi secara
positif. Salah satu monumen sejarah penting tentang umat Islam yang toleran adalah
pendeklarasian Piagam Madinah.
Terkait dengan pendidikan, secara umum adalah bagaimana memproses manusia muda
(anak manusia) menjadi manusia dewasa baik dalam arti individual, sosial dan susila, sehingga
betul-betul menjadi manusia yang mandiri secara individu, mampu menjalankan tugasnya
sebagai makhluk sosial dalam arti mampu menjalan hubungan yang baik dalam konteks sosial
pada berbagai kesempatan serta memiliki kepribadian yang mantap, stabil dan berakhlak mulia.
Watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dengan ciri utama beriman dan
bertakwa, berakhlak mulia dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung
jawab, itu erat kaitannya dengan nilai-nilai wasathiyah di atas. Nilai-nilai Islam wasathiyah
tersebut, jelas terkait dengan tujuan pendidikan Islam.
Adapun tujuan pendidikan Islam menurut rumusan hasil Konperensi Pendidikan Islam
Dunia ke-1 di King Abdul ‘Aziz University Jeddah, tahun 1977, dinyatakan: “Pendidikan Islam
bertujuan menyeimbangkan pertumbuhan dari total kepribadian manusia melalui pendidikan
spiritual, intelektual, rasio, rasa dan fisik manusia. Pendidikan di sini tidak terlepas dari
memasukkan keimanan kepada keseluruhan kepribadiannya sehingga akan tumbuh semangat
dan kegairahan terhadap Islam dan memampukannya mengikuti Alquran dan Sunnah dan
mampu diarahkan oleh sistem nilai Islam dengan senang dan bahagia, dengan begitu dia
dibolehkan merealisasikan statusnya sebagai khalifatullah, yang kepadanya Allah mengizinkan
untuk menguasai alam semesta ini”.
Pendidikan Islam harus sesuai dengan ajaran Islam yakni menjadikan manusia sebagai
abdullah dan khalifatullah. Sebagai abdullah, menjadi manusia yang selalu ingat dan beribadah
kepada Allah, dan sebagai khalifatullah, menjadi manusia yang memiliki pengetahuan,
keterampilan dan sikap-sikap mulia untuk mampu hidup mandiri, mampu mengadakan
hubungan yang baik dengan alam lain termasuk dengan sesama sehingga mampu membangun
dunia sebagai tempat hidup bersama.
Pendidikan Islam menghantar seseorang menjadi saleh secara individual tetapi juga
saleh secara sosial. Kesalehan sosial erat kaitannya dengan konsep Islam wasathiyah yakni
bersikap inklusif dengan menerapkan beberapa prinsip dan nilai-nilai seperti uraian
sebelumnya.
7
sangat diharapkan menjadi petuah dan pijakan masyarakat dalam bertingkah laku. Sebagai
masyarakat yang dikenal sangat fanatik dengan keyakinannya, bangsa Indonesia harus
mengkampanyekan paham agama yang sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang
multikultural.
Dalam konteks inilah moderasi Islam yang ramah, toleran, terbuka, fleksibel dapat
menjadi jawaban terhadap kekhawatiran konflik yang marak terjadi di tengah masyarakat
mulkultural. Moderasi Islam tidak berarti bahwa mencampuradukkan kebenaran dan
menghilangkan jati diri masing-masing. Juga tidak berarti bahwa kita tidak memiliki sikap
yang jelas dalam sebuah persoalan. Tapi moderasi Islam lebih pada sikap keterbukaan
menerima bahwa diluar diri kita ada saudara yang juga memiliki hak yang sama dengan kita
sebagai masyarakat yang berdaulat dalam bingkai kebangsaan.
Di luar agama kita, ada saudara yang beragama lain yang mesti kita hormati dan akui
keberadaannya. Di luar kultur bahasa, adat, dan suku kita ada ribuan suku, bahasa dan adat
yang berbeda dengan kita yang tentu memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan
keyakinan itulah akan mengantarkan kepada sikap keterbukaan, toleran, dan fleksibel dalam
bertingkah. Berlaku adil atas sesama tanpa harus melihat latar belakang agama, ras, suku dan
bahasa.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
9
3.2 Saran
Pada makalah ini, saya merasa masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan
maupun pembahasan. Untuk itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar saya
lebih baik lagi dalam penyusunan makalah di kemudian hari. Harapan kami semoga makalah
ini dapat menambah wawasan, bisa menjadi referensi tambahan bagi pembaca, dan semoga
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
10
REFERENSI
Buseri, Kamrani. 2015. Islam Wasathiyah dalam Prespektif Pendidikan. Makalah disajikan
dalam Rakerda/Sarasehan Ulama se-kalimantan Selatan. Banjarmasin, 28 Desember.
Maimun dan Muhammad Kosim. 2009. Moderasi Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS.
11
BIODATA PENULIS
Tuban.
IAINU Tuban
12