Anda di halaman 1dari 51

MODERASI BERAGAMA MASYARAKAT DI DESA PAO KECAMATAN

MATTIRO BULU KABUPATEN PINRANG

Proposal

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Sosial Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam

Pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi

UIN Alauddin Makassar

Oleh :

RESKIANTO
NIM : 50100118091

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila, sangat mengedepankan hidup


rukun antarumat beragama. Bahkan bisa dikatakan Indonesia menjadi contoh bagi
bangsa-bangsa lain dalam keberhasilan mengelola keragaman budaya dan agamanya,
serta dianggap berhasil dalam memposisikan secara harmoni bagaimana cara
beragama dengan bernegara. Konflik atau permasalahan sosial memang terkadang
masih kerap terjadi, namun kita selalu dapat memecahkan hal tersebut dan kembali
kepada kesadaran atas kepentingan persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa
yang besar.1

Tetapi, kewaspadaan harus ada terkait ancaman yang muncul dalam


memecahkan bangsa terutama agamalah yang dijadikan alasannya. Konflik berlatar
belakang agama dapat menimpa siapa saja, baik dalam lingkup kelompok sesame
agama dan dalam lingkup agama yang berbeda. Biasanya, hal tersebut terjadi karena
seseorang menutup diri terhadap pemahaman dan pemandangan orang lain, merasa
benar sendiri, dan sikap saling salah menyalahkan. Munculnya kelompok radikalisme
dihebohkan diakhir ini. Kelompok radikal yang intoleran sangat mudah dalam
mengkafirkan seseorang dan memudahkan mengbid‟ahkan apapun, sehingga konflik
dan permusuhan dimunculkan di dalam kelompok yang memiliki kesepahaman tak
sama.2

Radikalisme adalah sebuah aliran yang memiliki pemahaman keras, sehingga


beranggapan bahwa dirinya merasa benar dari yang lainnya sampai orang radikal

1
kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2019), h. 5.
2
Khairuddin Tahmid, Buletin Al-Ukhwah: Urgensi Madrasah Da‟I Wasathiyah MUI, Edisi 23
Juni, (Lampung: Komisi Dakwah MUI Lampung, 2018), h. 1.

1
2

melakukan pendirian tentang tempat ibadah yang khusus. Ajaran tersebut di dalam
islam bertolak belakang karena bertentangan karena sejatinya islam memiliki sifat
yang universal, penyebar persaudaraan, penyebar perdamaian, serta memiliki
toleransi.3

Seperti firman Allah dalam QS. Al-Anbiya ayat 107

‫َو َم ٓا َاْر َس ْلٰن َك ِااَّل َر ْح َم ًة ِّلْلٰع َلِم ْيَن‬

”Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya‟; [21]: 107)4

Visi dan misi diperlukan ketika melakukan pengelolaan dalam agama,


sehingga mampu menciptakan sebuah kedamaian maupun kerukunan ketika
kehidupan beragama dijalankan dengan menghargai sebuah penafsiran dan
pemahaman yang berbeda, moderasi agama yang diutamakan, serta tidak terjebak di
Tindakan kekerasan, sikap ekstrem, dan intoleran. Islam sebagai suatu agama,
memiliki sejarah Panjang pertemuan dengan agama-agama lain. Sikap keterbukaan
islam dalam menerima keberbagian budaya dan komunitas lain dapat menjadi acuan
bernegara dan berbangsa.

Persoalan yang menimpa bangsa Indonesia semakin hari semakin kompleks


dibandingkan masa-masa sebelumnya. Hampir semua aspek kehidupan mengalami
permasalahan, seperti aspek kehidupan pendidikan politik, hukum, sosial, ekonomi,
budaya, dan agama.5

3
Kamrani Buseri, Islam Wasathiyah Perspektif Pendidikan: disampaikan pada acara Rakerda
Ulama se-Kalimantan Selatan, (Banjarmasin: 28 Desember 2015), Hal. 1
4
Departemen Agama, Al-qur‟an dan Terjemah, Cet. Ke.1 (Jakarta: Hati Emas, 2014) Hal. 331
5
Yedi Purwanto, DKK, “Internalisasi Nilai Moderasi Beragama Melalui Pendidikan Agama
Islam Di Perguruan Tinggi Umum”, Jurnal Edukasi Kemenag, 27 Agustus 2019, h. 111
3

Dalam kondisi seperti ini, tidak sedikit orang menuntut perubahan dari
berbagai aspek kehidupan, termasuk nilai-nilai pemahaman agama.6

Pendidikan sebagai aspek yang fundamentalis juga tak luput dari


permasalahan tersebut. Kondisi ini diperparah dengan terjadinya degradasi nilai
moralitas bangsa yang sangat memprihatinkan. Selain itu pemahaman kegamaan yang
singular (tidak plural), eksklusif (tidak inklusif), dan ekstrim (tidak moderat), turut
mempengaruhi kehidupan beragama, termasuk kehidupan toleransi diantara agama-
agama di Indonesia. Untuk itu moderasi beragama menjadi sangat perlu untuk
ditingkatkan.7

Konflik berkepanjangan atas nama agama sering kali terjadi di berbagai


daerah di Indonesia. Mesjid dibakar, Gereja diserang, tokoh agama menjadi sasaran
kekejaman tangan-tangan tidak bertanggung jawab, bom bunuh diri
mengatasnamakan agama, radikalisme dan diskriminasi atas nama isu sara sering kali
terjadi dan menjadi pemberitaan nasional.

Tentunya, insiden kekerasan atas nama agama tidak bisa dielakkan karena
bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama dan budaya yang beraneka
ragam. Percikan kebencian, kekerasan, dan vandalism pasti terjadi karena
ketersinggungan antar golongan. Jika tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi
boom yang sekali-kali dapat meledak dan menghancurkan tatanan masyarakat
Indonesia yang sudah mapan .8

6
M. Qurasih Shihab, Logika Agama, Ciputat: Lentera Hati, 2017, h. xvi
7
Yedi Purwanto, DKK, Op.Cit, h. 111.
8
Samsul, “Peran Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama”, Jurnal Al-Irfan,
Volume 3, Nomor 1, Maret 2020, h. 38.
4

Indonesia sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia


menjadi sorotan penting dalam hal moderasi Islam. Islam moderat perlu dipahami
dalam konteks agama, adat istiadat, suku dan bangsa itu sendiri.9

Oleh karena itu, pemahaman tentang moderasi beragama harus dipahami


secara kontekstual bukan secara tekstual. Artinya, moderasi dalam beragama di
Indonesia bukan Indonesia yang dimoderatkan, tetapi cara pemahaman dalam
beragama yang harus moderat karena Indonesia memiliki banyak kultur.10

Tantangan implementasi moderasi beragama secara eksternal datang dari


kelompok-kelompok yang tidak menginginkan bangsa Indonesia damai dan tumbuh
besar. Dengan demikian, gerakan membumikan moderasi beragama di Indonesia
selalu dihalangi dengan berbagai cara, termasuk dengan menyuburkan benih-benih
isu sara dan sektarian. Kebijakan geopolitik negaranegara dikuasi oleh Amerika juga
terlihat cukup kuat ketidak berpihakannya kepada independensi Indonesia.
Karenanya, membiarkan umat beragama bersikap moderat berarti sama dengan
membuat batu sandungan bagi misi imperialisme mereka.11

Moderasi bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap
sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis. Bukan
juga sebagaimana yang dikesankan oleh kata moderat atau wasath yakni pertengahan
yang mengantar pada dugaan bahwa moderasi (wasathiyyah) tidak menganjurkan
manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan pasif, seperti ibadah, ilmu,
kekayaan dan sebagainya.12

9
Mohammad Fahri, Ahmad Zainuri, “Moderasi Beragama Indonesia”, Jurnal Intizar, Vol. 25.
No 2, Desember 2019, h. 95.
10
Ibid., h. 45.
11
Muhammad Ulinnuha dan Mamluatun Nafisah, “Moderasi Beragam Perspektif Hasbi
AshShiddieqy, Hamka, dan Quraish Shihab: Kajian atas Tafsir an-Nur, al-Azhar, dan Al-Mishbah”,
Jurnal Suhuf.Kemenag, Vol. 13, No.1 - Juni 2020, h. 57.
12
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, Op.Cit., h. xi
5

Moderasi bukan juga kelemah lembutan. Memang, salah satu indikatorrnya


adalah lemah lembut dan sopan satun, namun bukan berarti tidak lagi diperkenankan
menghadapi segala persoalan dengan tegas.

Disinilah berperan sikap aktif wasathiyyah sebagaimana berperan pula kata


padannya yakni “Adil” dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.13

Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di


tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi beragama merupakan budaya
Nusantara yang berjalan seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan
kearifan lokal (local wlsdom). Tidak saling mempertentangkan namun mencari
penyelesaian dengan toleran.14

Kunci dalam menciptakan kerukunan maupun toleransi dalam tingkat


nasional, local atau global adalah moderasi beragama. Penolakan terhadap liberalisme
dan ektremisme dilakukan dalam pilihan pada moderasi beragama demi tercapainya
keseimbangan, perdamian, dan peradaban yang terpelihara. 15

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus

1. Fokus Penelitian

Fokus penelitian merupakan batasan yang memudahkan untuk mendapatkan


gambaran yang jelas dan sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya kekeliruan
atau kesalahpahaman penafsiran pembaca terhadap pokok permasalahan yang diteliti.
Penulis hanya fokus dengan apa yang akan diteliti yaitu Moderasi Beragama
Masyarakat di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang. Untuk

13
Ibid., h. xi
14
Agus Akhmadi, Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia, (Surabaya: Balai Diklat
Keagamaan Surabaya, Vol. 13, No. 2, 2019), Hal. 49
15
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2019), Hal. 18
6

memudahkan pemahaman penulis dan pembaca dalam menginterpretasikan judul


maka terlebih dahulu penulis mendefinisikan kata-kata dari judul yang dianggap
penting dan merupakan variabel yang dari penelitian ini.

2. Deskripsi Fokus
Deskripsi fokus adalah deskripsi penelitian yang bertujuan memberikan
gambaran secara umum terhadap apa yang akan di teliti pada penelitian tersebut
adapun deskripsi fokus pada penelitian ini yaitu:
a. Radikalisme adalah sebuah aliran yang memiliki pemahaman keras, sehingga
beranggapan bahwa dirinya merasa benar dari yang lainnya sampai orang
radikal melakukan pendirian tentang tempat ibadah yang khusus.
b. Moderasi beragama merupakan budaya Nusantara yang berjalan seiring, dan
tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wlsdom).
Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran.
c. Mahasisiwa Komunikasi Penyiaran Islam angkatan 2018 merupakan salah
satu jurusan yang ada di UIN Alauddin Makassar.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai latar belakang masalah yang telah dipaparkan,
penulis merumuskan yang dibahas dalam hal ini adalah tentang “Moderasi Beragama
Masyarakat di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang.” maka
dirumuskan submasalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran masyarakat tentang adanya Moderasi Beragama Masyarakat di
Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang?
2. Apa saja faktor pendukung dalam menyikapi Moderasi Beragama Masyarakat di
Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang?
D. Kajian Pustaka/Penelitian Terdahulu
Eksistensi kajian pustaka dalam bagian ini dimaksud oleh penulis untuk
memberi pemahaman serta penegasan bahwa masalah yang menjadi kajian tentang
7

“Moderasi Beragama Masyarakat di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten


Pinrang.” Penelitian ini ada beberapa refensi yang relevan dengan penelitian ini yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan oleh Suci Khaira Tahun 2020 dengan judul skripsi
“MODERASI BERAGAMA (Studi Analisis Kitab Tafsir Al-Muharrar Al-Wajȋz
Karya Ibnu ‘Athiyyah)” yang pertama Bagaimana penafsiran Ibnu ‘Athiyyah pada
ayat Al-Qur’an yang membahas tentang moderasi beragama, yang kedua
Bagaimana analsis penafsiran Ibnu ‘Athiyyah dalam teori Abdullah Saeed. Dari
hasil penelitian ini adalah yang pertama penafsiran Ibnu ‘Athiyyah pada ayat yang
menjelaskan tentang moderasi beragama, yaitu pada Q.S Al-Baqarah ayat 143
Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan bahwa yang di maksud ummatan wasathan yang
terdapat pada ayat ini ialah umat moderat (‘adl), kemudian wasath juga bisa
diartikan sebagai khiyar pilihan terbaik, derajat tertinggi atau di tengah-tengah.
Jadi seseorang bisa dikatakan ummatan wasathan apabila ia diberi tempat lebih
luhur dari golongan terpilih yang mengikuti jejak Nabi Muhammad. Kemudian
Q.S AlBaqarah ayat 256 menurut Ibnu ‘Athiyyah ayat ini menjelaskan bahwa
dengan adanya petunjuk dan adanya Rasul yang mengajak kepada Allah tentu itu
sudah menjadi sebuah cahaya yang ditunjukkan Allah kepada hambanya. Dengan
itu sesungguhnya tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Islam), karena
sudah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Kemudian Q.S Hud ayat
118- 119 dalam ayat ini Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan bahwa Allah menciptakan
makhluknya untuk kebahagiaan namun disisi lain juga ada keburukan. Maka
sebagian mereka adalah orang-orang yang celaka dan sebagian lainnya tergolong
ke dalam orang-orang yang beruntung, Karena tujuan inilah akhirnya Allah
menciptakan manusia. Perbedaan dalam kehidupan menurut Ibnu ‘Athiyyah
menjadi sebuah naluri bahwa naluri berbeda pasti ada, dan dengan adanya
perselisihan dapat menjadi tanda atau bukti keburukan umatnya yang karenanya
Allah berhak menyiksa terhadap mereka yang berselisih, dan pada Q.S An-Nisa
ayat 135 Ibnu ‘Athiyyah menjelaskan maksud ayat ini ialah barangsiapa yang
meniatkan akhirat (dalam amalannya), yaitu berbuat adil dan menegakkan
8

keadilan serta menjadi saksi yang baik, yang memberi pernyataan seseorang
dengan perkataan yang jujur dan tidak berbuat dzalim dengan mengikuti hawa
nafsu, maka Allah akan memberinya pahala dunia serta memberikan apa yang ia
inginkan. Kemudian barangsiapa yang meniatkan amalannya hanya untuk dunia
semata, maka Allah hanya akan memberikan apa yang dia usahakan saja dan akan
memberikan azab kepadanya (karena kesalahan dalam amalannya) di akhirat.
Kemudian yang kedua adalah analisis Ibnu Athiyyah dalam teori konteksual
Abdullah Saeed (l. 1960 M) ternyata relevan dengan ayat-ayat moderasi
beragama, hal ini terlihat pada ayat Al-Qur’an yang telah di jelaskan oleh Ibnu
‘Athiyyah. pertama Q.S Al-Baqarah ayat 143 yakni pergeseran makna ummatan
wasathan telah sampai pada pemaknaan yang lebih selaras dengan konteks,
dimana Islam datang di bumi Andalusia yang sudah memiliki perdaban maju
sebelumnya, maka kemoderatan dalam beragama yang di tafsirkan pada ayat ini
oleh Ibnu ‘Athiyyah sudah sangat relevan, sehingga agama Islam pada saat itu
dapat hidup berdampingan degan agama-agama lain sebelumnya. Tentunya
dengan penafsiran yang dilakukan Ibnu ‘Athiyyah ini memberikan peluang yang
lebih luas dalam melakukan istimbat hukum yang tidak condong ke kanan
maupun ke kiri. Kedua Q.S Al-Baqarah ayat 256 penafsiran yang dilakukan oleh
Ibnu ‘Athiyyah memberikan pandangan bahwa kemerdekaan atas manusia
ternyata dilegalkan oleh Allah Swt. Dalam hal ini Al-Qur’an harus diyakini
sebagai tanggapan atas realitas kehidupan masyarakat pada saat itu baik
masyarakat arab maupun diluar arab, maka sudah sangat selaras dengan konteks
dimana tidak hanya agama Islam yang berkembang pada saat itu. Namun tugas
kekhalifahan manusialah yang seharusnya menutun akal sehat pada sebuah
kebenaran yang hakiki. Ketiga Q.S Hud ayat 118-119 pada ayat ini Ibnu
‘Athiyyah melakukan identifikasi bahasa dan disiplin ulumul Qur’an dimana
walau syâa dalam kaidah bahasa menunjukkan kaliman inkari dimana hal itu tidak
akan terjadi sehingga interpretasi ini sangat mendukung adanya perbedaan antar
sesama manusia. Bukankah hal ini menjadi refleksi bagi manusia pada umumnya
9

dimana perbedaan atas ras, kesukuan, dan agama yang hari ini menjadi bahasan
banyak orang ternyata juga tertulis dalam Al-Qur’an. Keempat Q.S An-Nisa ayat
135 melihat interpretasi yang dilakukan oleh Ibnu ‘Athiyyah pada ayat ini cukup
jelas dalam mendudukkan seseorang saksi agar selalu bersikap adil yakni
menetapkan sesuatu pada tempatnya dan senantiasa bersikap jujur dalam sebuah
kesaksian, kontekstualisasi nilai keadilan ini tenteunya menjadi auto kritik pada
kegiatan hukum legal formal yang umumnya terjadi pada masa kini, dimana
kedzaliman atau tidak menetapkan sesuatu pada tempatnya sering dianggap
sebuah tindakan sepele. Bukankah hal ini yang pada akhirnya menjadikkan
hukum seakan tumpul ke atas dan runcing ke bawah.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Laila Fitria Anggraini Tahun 2021 dengan
judul skripsi “ MODERASI BERAGAMA DALAM MEDIA SOSIAL
(Analisis Wacana Model Van Dijk pada Channel Youtube Najwa Shihab)”
Berdasarkan uraian latar belakang pada skripsi tersebut, ada beberapa hal
yang menjadi fokus permasalahan dan akan dikaji dalam penelitian ini,
permasalahan tersebut antara lain, yang pertama Bagaimana teks moderasi
beragama pada program Shihab & Shihab edisi Ramadhan 2020 dilihat dari
segi dimensi teks, yang kedua Bagaimana teks moderasi beragama pada
program Shihab & Shihab edisi Ramadhan 2020 dilihat dari segi kognisi
social dan yang ketiga Bagaimana teks moderasi beragama pada program
Shihab & Shihab edisi Ramadhan 2020 dilihat dari segi konteks social. Dari
hasil penelitian ini adalah yang pertama Dari segi tematik, analisis ini
berkaitan dengan tema besar yang diangkat dalam acara. Struktur makro
menunjuk pada makna keseluruhan yang dicermati dari tema atau topik yang
diangkat oleh pemakaian bahasa dalam suatu wacana. Dalam program acara
Shihab & Shihab edisi Ramadhan dari 30 video yang memiliki karakteristik
moderasi beragama terdapat pada sembilan video yang telah disebutkan
diatas. Sembilan video ini memiliki tema dan tujuan yang sama yakni
menyuarakan sikap moderasi dalam beragama. Kemudian skematik.
10

Superstruktur dalam penelitian ini menganalisis terkait skema yang tersusun


dalam sebuah teks. Mulai dari pendahuluan, isi, penutup, dan simpulan dalam
wacana keseluruhan. Dalam program acara Shihab & Shihab ini, pendahuluan
dibuka oleh Najwa Shihab selaku moderator yang langsung memunculkan
pertanyaan terhadap M. Quraish Shihab tentang berbagai isu agama yang
sedang diangkat. Di bagian isi dalam acara ini, adalah penjelasan dari M.
Quraish Shihab dari pertanyaan yang dilontarkan, serta tanya jawab sebagai
upaya pemahaman yang mendalam. Di bagian akhir ditutup dengan penegasan
dari Najwa Shihab atas jawaban yang telah diberikan. Selanjutnya dari aspek
semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris. Secara umum memiliki makna yang
eksplisit, karena semua pesan disampaikan dengan tegas dan baik tanpa
berbelit-belit. Bentuk kalimat yang digunakan pun universal sehingga
masyarakat akan mudah dalam memahami pesan yang sedang disampaikan.
yang kedua dari segi Kognisi Sosial Peneliti menganalisis kesadaaran mental
dari Najwa Shihab dan M. Quraish Shihab dalam mengeluarkan pernyataan.
Didalam program acara Shihab & Shihab, keduanya dengan lantang
menyuarakan sikap moderasi dalam beragama serta terlihat memihak kepada
aparat pemerintah dalam hal upaya menggalakkan moderasi beragama serta
pembelaan negara. Upaya gerakan moderasi beragama terus disampaikan oleh
M. Quraish Shihab sebagai wujud pembelaan terhadap tanah air. Dan yang
ketiga dari segi Konteks Sosial. Dari segi kekuasaan, M. Quraish Shihab
memiliki pengetahuan dan juga status sosial sebagai ahli agama di Indonesia.
Statement yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab sangat berpengaruh
karena memiliki banyak jamaah dari berbagai daerah. Program acara Shihab
& Shihab pada Channel Youtube Najwa Shihab sebagai media untuk
mempublikasikan kampanye moderasi beragama. Sedangkan dari segi akses,
M. Quraish Shihab memiliki akses perencanaan (planning), akses wacana
dalam hal mengontrol peristiwa komunikasi (communicative event), dan akses
yang dapat mengontrol wacana atas khalayak. Selain itu M. Quraish Shihab
11

juga memiliki akses terhadap media, terlihat beliau memiliki beberapa


program acara salah satunya adalah Shihab & Shihab yang dikembangkan
oleh Narasi TV untuk membahas isu-isu agama di Indonesia.
3. Moderasi merupakan ajaran Islam yang mengarahkan umatnya agar adil,
seimbang, bermaslahat dan proporsional, atau sering disebut dengan kata
“moderat” dalam semua dimensi kehidupan. Wasathiyyah atau moderasi saat
ini telah menjadi diskursus dan wacana keislaman yang diyakini mampu
membawa umat Islam lebih unggul dan lebih adil serta lebih relevan dalam
berinteraksi dengan peradaban modern di era globalisasi dan revolusi industri,
informasi dan komunikasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan nilai-nilai moderasi beragama dalam buku paket mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas XI Sekolah
Menengah Atas karya Sadi dan M. Nasikin. Untuk mencapai tujuan tersebut,
digunakan penelitian kepustakaan/library research. Teknik pengumpulan data
menggunakan telaah dokumentasi dan teknik analisis data menggunakan
teknik analisis isi (content analysis). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
terdapat nilai-nilai moderasi beragama dalam buku paket mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti kelas XI Sekolah Menengah Atas
karya Sadi dan M. Nasikin, yaitu keseimbangan (tawazun), toleransi
(tasamuh), anti kekerasan, moderasi dalam akidah dan komitmen terhadap
kebenaran.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui peranan masyarakat tentang adanya Moderasi Beragama
Masyarakat di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang.
b. Untuk mengetahui faktor pendukung dalam menyikapi Moderasi Beragama
Masyarakat di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrang.
2. Kegunaan Penelitian
12

Adapun manfaat dari dilaksanakannya penelitian ini adalah sebagai berikut:


a. Dapat bermanfaat sebagai pengembangan ilmu komunikasi, menerapkan dan
mengembangkan teori yang telah diperoleh dalam bangku perkuliahan pada
dunia nyata khususnya dalam penelitian kualitatif.
b. Diharapkan penelitian ini dapat menambah dan memperluas wawasan berpikir
penulis terhadap bidang ilmu pengetahuan yang diteliti, serta sebagai tambahan
pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan ilmu komunikasi.
BAB II
TINJAUAN TEORETIS
1. Pengertian Moderasi
Kata moderation (inggris) berasal dari bahasa latin moderatio yang berarti
kesedangan (tidak berlebihan dan tidak kekurangan) dalam kamus besar Indonesia,
kata ‘moderasi’ berarti penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Hal
ini hamper sejalan dengan istilah ‘keseragaman’. Keseragaman adalah kehendak
tuhan. Tuhan memang menghendaki manusia beragam dan tidak sama semua.
Namun, manusia diperintah untuk saling membantu dalam kebaikan dan taat
beragama.
Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku, budaya, bahasa, dan
agama. Meski beragam etnis, suku, budaya, bahasa, dan agama, bangsa Indonesia
tetap bersatu dalam bingkai kesatuhan NKRI yang berdasarkan pancasilah dan UUD
1945. Berangkat dari pertanyaan ini, semua pemeluk agama berhak memeluk agama
yang di anutnya dan berpandangan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang
benar dan baik menurut keyakinannya masing-masing. Namun, di sisi lain setiap
pemeluk agama juga harus menghargai hak pemeluk agama lain yang juga
berpandangan bahwa agama yang dianutnya adalah agama yang benar dan baik
menurut pemeluknya, tanpa harus menafikan dan memusuhi keyakinan kuat yang di
miliki oleh umat yang beragama lain. Hal tersebut harus dihadapi dengan toleransi
dan saling menghargai. Dengan terciptanya toleransi dan kerukunan, maka masing-
masing pemeluk agama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat, menerima
perbedaan, serta hidup bersama secara damai dan tentram.16

2. Pengertian beragama
Salah bentuk kepercayaan seseorang untuk mempercayai tuhannya masing-
masing bahwa dengan melalui agama serta aliran yang saya anut ini benar-benar

16
Kementerian Agama RI dan Forum kerukunan umat beragama, Moderasi Beragama, Kota
Pasuran Tahun 2021.

13
14

dapat mengenal tuhannya. Beragama juga adalah sebuah prinsip yang digunakan
untuk mendukung kebebasan dalam memilih agama yang akan di anutkannya.
Masyrakat mengenai hakikat beragama sebagai salah satu jalan menuju
kedamaian sehinggah ketika melihat perbedaan antara agama bahkan dalam satu
ruang lingkup agama yang dianutnya sering kali terjadi perselisihan atau pertikaian
yang disebabkan oleh sifat fanatisme atau ke eksremisan dari si penganut agama
tersebut. Maka dari itu di perluhkan pemikiran memiliki pandangan di tengah-tengah
bersifat tidak terlalu fanatik namun juga tidak mudah goyang oleh doktrin-doktrin
dari agama atau aliran yang lain maka sifat, jalan atau pemikiran tersebutdi namakan
dengan moderasi. Untuk mencapai moderasi di butuhkan pemahaman yang cukup
sehinggah memunculkan perilaku yang baik dari implementasi moderasi tersebut
yakni dengan cara shaleh dengan perilaku.
C. Pengertian Moderasi Beragama
Moderasi beragama merupakan bagian strategi bangsa Indonesia dalam
merawat persatuan dan kesatuan. Sebagai bangsa yang majemuk, para tokoh pendiri
telah mewariskan bentuk kesepakatan dalam berbangsa dan bernegara di bawah
naungan negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara kesatuan ini telah
berhasil menyatukan berbagai kelompok agama, etnis, dan budaya yang tersebar di
wilayah Indonesia.
Indonesia bukanlah negara agama, namun tidak memisahkan agama dari
kehidupan sehari-hari warganya. Nilai-nilai agama di jaga, di padukan dengan nilai-
nilai kearifan dan adat istiadat lokal. Beberapa hukum agama juga di lembagakan
oleh negara, ritual agama dan budaya terjalin dengan rukun dan damai.17
Dari berbagai macam keberagaman yang di miliki oleh bangsa Indonesia,
yang terkuat keberagaman agama dalam membentuk radiakalisme. Munculnya
kelompok-kelompok ekstrem yang kian hari semakin mengembang sayapnya sedang
di faktori berbagi hal seperti sensitifitas kehidupan beragama, masuknya aliran
kelompok ekstrem dari luar negeri, bahkan permasalahan politik dan pemerintahan

17
Misroh Sulaswari, Edukasi Moderasi Beragama di Tengah Pluralitas Masyarakat,
Guepedia The First On-Publisher in Indonesia, Desember 2021.
15

pun turun mewarnai. Maka di tengah hiruk-pikuk permasalahan radikalisme ini,


muncul sebuah istilah yang di sebut “moderasi beragama”.18
Moderasi beragama pada dasarnya merupakan sebuah paradigma yang kritis
terhadap realitas ketimpangan sosial yang terjadi. Kemudian ia memberi solusi, tentu
saja berdasarkan asumsi-asumsinya tentang nilai-nilai kemanusiaan dan
kemasyarakatan ideal bagi ideologi ini. Moderasi beragama tidak hanya pedulih
kepada problem ketimpangan internal sebuah praktik keberagaman kelompok tertentu
akan tetapi juga antar kelompok masyarakat sebuah bangsa, bahkan antar bangsa.
Kata “wasathiyah” merupakan bentuk isim masdhar dari kata kerja yang
terdiri “waw”, “sin”, dan “tha” yang berarti ‘adil’ atau ‘pertengahan’. Keduanya
memiliki makna yang sama karena sesuatu di sebut adil jika ia berada di tengah-
tengah atau berada dipertengahan.19 Dan juga berarti “pilihan” atau sesuatu yang baik.
Keduanya pun memiliki makna yang sama karena sesuatu yang berada ditengah-
tengah itulah pilihan yang terbaik. Hal ini sesuai dengan hadits nabi Muhammad
SAW yang berarti : “sebaik-baik sesuatu atau pilihan itu adalah pertengahan”, dan
hadits yang lain berarti “telah datang rasullah SAW orang yang terbaik dan termulia
diantara kaum”.20
1. Pengertian Moderasi Beragama Secara Etimologi
Kata Wasathiyyah terambil dari kata wastha yang memenculkan kata
al-wasathu berarti yang tengah-tengah. Kemudian dari kata al wasathiy atau
al- wasthiyyah.21
Dalam bahasa arab, kata moderasi biasa diistilah dengan Wasath atau
Wasathiyyah orangnya disebut Wasith. Kata Wasith sendiri sudah diserap
kedalam bahasa indonesia yang memiliki tiga pengertian, yaitu: pertama
sebagai penengah, perantara (misalnya dalam perdagangan bisnis dan
sebagainya), kedua sebagai pelerai (pemisah, pendamai) antara yang
18
Kementrian Agama, Moderasi Beragama, kabupaten Purbalingga, Mei 2021
19
Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariya, Maqayis al-Lugah. Juz VI. (Iskandariyah:
Dar al –Fikr, 1979), 108.

20
Ibnu Mandzur, Lisan al-'Arab, (Kairo: Dar al-Ma'arif, 1119),4832.
21
Kamrani Buseri, Islam Wasathiyyah dalam Perspektif Pendidikan, Banjarmasin, 28
Desember 2015, h. 2.
16

berselisih, dan ketiga sebagai pemimpin dipertandingan. Yang jelas, menurut


pakar bahasa arab, kata tersebut merupakan segala yang baik sesuai objeknya.
Dalam sebuah ungkapan bahasa arab sebaik-baik segala sesuatu adalah yang
berada ditengah-tengah.22
Kata wasath sering kali disamakan dengan kata moderat. Islam
moderat yang memiliki arti sikap pertengahan, menghindari sikap ektrimis. 23
Wasath juga dapat dipahami dalam konteks moderasi, ia menuntut umat Islam
menjasi saksi dan sekaligus disaksikan, guna menjadi teladan bagi umat lain,
dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad sebagai
panutan yang diteladani sebagai saksi pembenaran dari seluruh aktivitasnya.24
Dalam kamus besar bahasa Indonesia moderat artinya selalu
menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrim, kecenderungan
kearah dimensi atau jalan tegah, dapat mempertimbangkan pandangan pihak
lain.25
Wasathiyyah (Moderasi) secara bahasa berarti sikap yang tengah-
tengah, tidak terlalu ekstrem ke kanan atau ke kiri, serta tidak berlebih-lebihan
dalam menerapkan ajaran agama.26
2. Pengertian Moderasi Beragama Secara Terminologi
Wasathiyyah secara terminologis berangkat dari makna-makna
etimologis di atas adalah suatu karakteristik terpuji yang menjaga seseorang
dari kecenderungan bersikap ekstrim. Dalam buku Strategi al-Wasathiyyah
yang dikeluarkan oleh kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam Kuwait,
wasathiyyah didefinisikan sebagai sebuah metode berpikir, berinteraksi dan
berperilaku yang didasari atas sikap tawazun (seimbang) dalam menyikapi

22
Mohammad Fahri, Ahmad Zainuri, Op. Cit, h. 96-97.
23
Alamul Huda, “Epistimologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderasi Islam di Era
Modern”, De Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 2, Maret 2010, h. 188
24
Lukmanun Hakim, Op.Cit., h. 27.
25
Pusat Bahasa Departemen Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2008, h. 751.
26
Abdul Mustaqim dan Dicky Adi Setiawan, Gagasan Moderasi Beragama Habib Ali Zainal
Abidin al-Jufri, Purwakerto Selatan: Pena Persada, 2021, h. xvii
17

dua keadaan perilaku yang dimungkinkan untuk dianalisis dan dibandingkan,


sehingga dapat ditemukan sikap yang sesuai dengan kondisi dan tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama dan tradisi masyarakat.27
Dengan pengertian ini sikap wasathiyyah akan melindungi seseorang
dari kecenderungan terjerumus pada sikap berlebihan. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia edisi 2008, wasathiyyah atau moderasi diartikan sebagai
pengurangan kekerasam dan penghindaran ekstremisme. Dalam kamus-kamus
bahasa arab, kata wasathiyyah (‫ ) وسطية‬terambil dari kata wasata (‫) وسظ‬yang
mempunyai sekian banyak arti.28
Adapun pengetian wasathiyyah menurut terminologi Islam, yang
bersandarkan kepada sumber-sumber otoritatifnya, secara terperinci al-
Qardawi mendefinisikannya wasathiyyah (pemahaman moderat) adalah salah
satu karakteristik Islam yang tidak dimiliki oleh ideologi-ideologi lain.
Sebagaimana dijelaskan dalam QS. al-Baqarah/2: 143

‫َو َك ٰذ ِلَك َجَع ْلٰن ُك ْم ُاَّم ًة َّوَس ًطا ِّلَتُك ْو ُنْو ا ُش َهَد ۤا َء َع َلى الَّناِس َو َيُك ْو َن الَّرُس ْو ُل َع َلْيُك ْم َش ِهْيًداۗ َو َم ا َجَع ْلَن ا اْلِقْبَل َة‬
‫اَّلِتْي ُكْنَت َع َلْيَهٓا ِااَّل ِلَنْع َلَم َم ْن َّيَّتِبُع الَّرُسْو َل ِمَّم ْن َّيْنَقِلُب َع ٰل ى َع ِقَبْيِۗه َو ِاْن َكاَنْت َلَك ِبْيَر ًة ِااَّل َع َلى اَّلِذ ْيَن َهَدى‬
‫ُهّٰللاۗ َو َم ا َك اَن ُهّٰللا ِلُيِض ْيَع ِاْيَم اَنُك ْم ۗ ِاَّن َهّٰللا ِبالَّناِس َلَر ُءْو ٌف َّر ِح ْيٌم‬

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam),

umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia

dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami

tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar

Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang

membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali

27
Muchlis M. Hanafi, “Konsep Wasathiyyah dalam Islam”, Jurnal Multikultural dan
Multireligius, Vol VIII, Nomor. 32, Oktober-Desember, 2009, h. 40.
28
M. Quraish Shihab, Wasathiyyah Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, Op.Cit., h.
1-2.
18

bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan Allah tidak akan

menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang kepada manusia”. (Q.S Al-Baqarah: 143) Hukum yang adil

merupakan tuntutan dasar bagi setiap struktur mastarakat. Hukum yang adil

menjamin hak-hak semua lapisan dan individu sesuai dengan kesejahteraan

umum, diiringi penerapan perilaku dari berbagai peraturannya.29

Al-qur‟an juga menyebutkan secara tersirat, tentang baiknya sikap

moderasi (tengah-tengah). Misalnya, perintah Allah swt kepada Bani Israil

agar meneymbelih sapi betina yang usianya tengah-tengah, tidak terlalu muda

dan tidak terlalu tua. (Q.S Al-Baqarah [2]: 68).

Moderasi juga ditunjukkan oleh sikap para Ash-Habul Kahfi ketika

keluar dari gua, hendak mencari makanan, mereka bersikap moderat. Al-

qur‟an memerintahkan bersikap “wal yatalathaf” (lemah lembut) kepada

mereka ketika harus menemuai para penduduk (Q.S Al-Kahfi : 19). 30 Hashim

Kamali, menegaskan bahwa moderate, tidak dapat dilepaskan dari dua kata

kunci lainnyam yakni berimbang (balance), dan adil (justice), moderat bukan

berarti kita kompromi dengan prinsip-prinsip pokok (ushuliyyah) ajaran

agama yang diyakini demi bersikap toleran kepada umat agama lain. Moderat

berarti confidace, right balancing, and juice. Tanpa keseimbangan dan

keadilan seruam moderasi beragama akan menajdi tidak efektif. Dengan

29
Mohammad Fahri, Ahmad Zainuri, Op.Cit., h. 97.
30
Abdul Mustaqim dan Dicky Adi Setiawan, Op.Cit., h. xviii
19

demikian, moderat berarti masing-masing tidak boleh ekstrem di masing-

masing sisi pandangannya. Keduanya harus mendekat dan mencari titik temu.

Ekstremitas ada disalah satu sisi, dan moderasi beragama tidak hadir,

maka intoleransi dan konflik keagamaan tetap akan menjadi bara dalam

sekam, yang setiap saat bisa melesak, apalagi jika disuluti dengan sumbu

politik. Sebab, seperti ditegaskan Kamali diatas “Moderation is about puling

together the disparate centers than want to find a proper balance whwrein

people of different cultures, religions and politics listen to each other and

learn hpw to work out their differences”.31

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Islam sebagai sebuah

ajaran memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang membedakannya

dengan agama-agama lainnya. Salah satu karakteristik tersebut adalah

wasathiyyah atau tawazun (moderasi, keseimbangan).

Di mana, di atas keseimbangan inilah Allah meletakkan manhaj-Nya

(agama) dalam mengatur umat manusia dan di atasnya pula Allah

menghendaki tegaknya umat Islam yang terwujud dalam world view agama

Islam dan segala konsep-konsepnya, baik di bidang aqidah, syariah maupun

akhlaq.

Wasathiyyah dan keseimbangan ini selaras dengan keseimbangan

penciptaan alam semesta oleh Allah, yang bisa dilihat dalam keteraturan luar

31
Edi Sutrisno, Op.Cit., h. 328
20

biasa sistem kerja alam semesta (makro kosmos) maupun yang ada dalam diri

manusia (mikro kosmos).

3. Prinsip-prinsip Moderasi

Moderasi beragama seringkali dimaknai sikap ketidak jelasan ataupun ketidak

tegasan, karena posisi di tengah-tengah memang tidak mudah.

Pertengahan diantara ekstrim kiri dan ekstrim kanan, ketika berdiri mendekati

yang kanan, maka akan diklaim sebagai fundamentalis-konservatif, ketika berdiri

mendekati posisi kiri, maka akan diklaim sebagai liberalis. Karena itu sebagai ummat

Islam, untuk bisa bersikap moderat, dan beragama secara moderat, wajib mengetahui

prinsip-prinsip dalam moderasi. Ammar Sukri dan Yusuf Qardawy sebagaimana telah

dikutip oleh Afifuddin Muhajir menyepadankan wasathiyyah dengan tiga hal yang

menjadi ciri utama agama Islam, yaitu: 1) tawassuth (pertengahan); 2) ta’adul (adil);

dan 3) tawazun (seimbang). Maka tiga ungkapan itulah kemudian disatukan dalam

istilah “wasathiyyah” atau dalam bahasa lainnya moderasi. 32

a. Tawassuth

Quraish Shihab menjelaskan bahwa Makna tawassuth yang seringkali

dianggap tidak memiliki ketegasan dalam sikap, tidak menganjurkan manusia

berusaha mencapai puncak sesuatu baik dalam beribadah, ilmu, kekayaan dan

seterusnya. Akan tetapi yang dimaksudkan tawassuth atau pertengahan di sini


32
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis, (Tanwirul
Afkar, Situbondo, 2018), 1.
21

bukan berarti bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap

netral yang pasif, bukan juga pertengahan matematis sebagaimana yang

dipikirkan orang-orang dari filosofis Yunani. Moderasi bukan juga berarti

kelemah lembutan, meski salah satu indikator moderasi adalah lemah lembut, tapi

yang dimaksud d sini bukan berarti tidak diperkenankan menghadapi persoalan

dengan tegas.

b. Ta’adul

Ta’adul (adil) dalam arti “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. 33 Sehingga

memberlakukan hokum ‘azimah dalam kondisi normal, dan hu kum rukhshah

dalam keadaan darurat. Perubahan fatwa karena perubahan situasi dan kondisi dan

perbedaan penetapan hokum karena kondisi dan psikologi seseorang adalah adil. 34

Islam mengedepankan keadilan bagi semua pihak. Terdapat banyak sekali ayat-

ayat al Qur’an maupun hadits yang memerintahkan untuk berbuat adil. Sekurang-

kurangnya ada empat makna adil yang ditemukan oleh para para ahli agama.

1) Adil dalam arti sama, yang dimaksud adalah persamaan hak (QS. An Nisa (4):

58).

2) Adil dalam arti seimbang, keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok

yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu.

Seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang

dari kadar atau syarat seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan

33
M.Quraish Shihab, Wasathiyyah: wawasan Islam tentang moderasi beragama, (Lentera
Hati, Tangerang, 2019), xi.
34
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis, (Tanwirul
Afkar, Situbondo, 2018), h. 2.
22

(keadilan). Namun perlu dicatat bahwa kesimbangan tidak mengharuskan

persamaan.

3) Adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak

itu kepada setia pemiliknya. Pengertian inilah yang didefinisikan

“menempatkan sesuatu pada tempatnya”, dan lawannya adalah “dzalim”.

4) Adil yang dinisbatkan pada ilahi. Artinya memelihara kewajaran atas

berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan

rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Keadilan Tuhan

pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikanNya.35

c. Tawazzun Wasathiyyah

Juga memiliki arti jalan tengah atau tawazzun (keseimbangan) antar dua hal

yang berbeda atau berkebalikan, seperti keseimbangan antara ruh dan jasad,

antara dunia dan akhirat, antara individu dan masyarakat, antara idealitas dan

realitas, dan seterusnya. Misalnya konsep Islam tentang nafkah adalah jalan

tengah antara kikir dan boros, antara liberalis dan konservatif. 36 Sebab dalam

konteks keseimbangan, rasulullah saw. pun mengajak ummatnya untuk tidak

bersikap berlebihan sekalipun dalam menjalankan agama. Beliau lebih senang

apabila hal itu dilakukan secara wajar dan tidak berlebihan. Pada tataran lebih

rinci dapat diklasifikasikan menjadi empat aspek : teologi, ritual keagamaan, budi

pekerti dan proses tasyri’.37 Beberapa gambaran tentang sikap tengah-tengah


35
Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual Dan Kontekstual (Usaha Memaknai Kembali Pesan
AlQur’an) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h. 104-105.
36
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis, (Tanwirul Afkar,
Situbondo, 2018), h. 5.
37
Abu Yasid, Islam Moderat (Jakarta: Erlangga, 2014), h. 52.
23

(tawassuth), adil (ta‘adul)dan seimbang (tawazzun) inilah yang kemudian dikenal

dengan istilah “moderasi” atau “wasathiyyah”, dan menjadi ciri utama agama

Islam, baik dalam akidah, akhlak, fiqh dan manhaj. Maka terminology

wasathiyyah di sini fokus pada sikap moderat (tengah-tengah), adil dan seimbang,

tidak sampai pada pembahasan tasammuh atau ekslusuf dan inklusif.

4. Macam-Macam Moderasi Berbagai

a. Aspek Akidah

Akidah adalah kepercayaan, sedang obyek kepercayaan tidak harus

terjangkau oleh nalar. Menurut para filosof: “anda harus percaya bukan karena

anda tahu, tetapi karena tak tahu”. Islam mempertemukan gaib yang tidak

terjangkau oleh akal dan pancaindra dengan kenyataan yang dijangkau oleh

indra dan akal, lalu mempertemukan keduanya melalui fitrah manusia yang

menuntut pemuasan akal sekaligus kerinduan kalbu kepada sang ghaib.

Konsep keseimbangan perlu dicatat bahwa Islam menetapkan keharusan

mempercayai akidah, keharusan yang mestinya mutlak, tetapi kendati

demikian siapa yang terpaksa oleh satu dan lain hal sehingga muncul

semacam keraguan dalam benakknya atau tanda tanya, maka itu dapat

ditoleransi sambil menganjurkannya untuk terus berusaha menampiknya dan

memantapkan hatinya. Keraguan itu karena keterbatasan iman dan

kedangkalan pengetahuan, dan keraguan itulah yang dapat mengantarkannya


24

pada kemantapan iman. Berikut ini beberapa contoh Moderasi Islam dalam

aspek akidah di antaranya adalah : 38

1) Ketuhanan antara atheisme dan politheisme

Islam ada diantara atheism yang mengingkari adanya Tuhan, dan

politheisme yang mempercayai adanya banyak Tuhan. Sedangkan

Islam adalah monotheisme yang menolak faham atheisme dan faham

politheisme.

2) Antara Nyata dan Khayalan.

Islam juga memiliki watak moderat dalam pandangan antara

kenyataan dan khayalan. Diantara yang tidak mempercayai wujud

selain alam nyata dan pandangan bahwa alam ini adalah sebuah

khayalan yang tidak memiliki hakekat wujud yang sebenarnya. Bagi

Islam, alam ini merupakan sebuah hakikat yang tidak diragukan,

namun dibalik itu, ada hakekat yang lain yaitu Dzat yang

Menciptakan dan Mengaturnya.39

3) Sifat Allah antara ta’thil (mengososngkan) dan tasybih

(menyerupakan) Sebagian faham ada yang tidak mengakui adanya

sifat-sifat Allah, sebab Allah hanya Dzat yang tidak memiliki sifat

apapun. Sementara sebagian lagi menyifati Allah dengan sifat-sifat

makhlukNya. Islam berada di tengah-tengah antara kedua faham

38
Ibid., 7-14
39
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis, (Tanwirul
Afkar, Situbondo, 2018), 1.
25

tersebut, yaitu menetapkan sifat-sifat yang layak bagi Allah SWT.,

sebagaimana tersebut dalam al Qur’an maupun Hadits.40

4) Kenabian antara kultus dan ketus Ada sekelompok ummat yang

mengkultuskan para nabi dengan setinggi-tingginya, sehingga

menyamai martabat Tuhan, atau memposisikan mereka sebagai anak

Tuhan. Sementara kelompok lain menganggap nabi itu adalah

pembohong. Islam menempatkan nabi adalah manusia biasa, yang

makan, minum, tidur, menikah, dan lain sebagainya seperti manusia

pada umumnya, akan tetapi yang membedakannya di sini adalah

karena nabi menerima wahyu dari Allah. 41

5) Sumber kebenaran antara akal dan wahyu Sebagian kalangan

meyakini bahwa wahyu adalah satu-satunya sumber untuk

menemukan hakikat wujud, sementara sebagian kalangan lagi

meyakini bahwa akal adalah satu-satunya sumber untuk menemukan

hakikat wujud. Sedangkan bagi Islam, akal dan wahyu sama-sama

memiliki peran yang sangat penting, saling melengkapi dalam

menemukan hakikat wujud. Betapa banyak kaum intelektual yang

menemukan Tuhannya melalui akal dengan ketajaman berfikirnya.

Meskipun menurut al Ghazali iman burnani para intelektual posisinya

di bawah iman wijdani yang dimiliki para nabi dan rasul. Mereka

40
Ibid., 8
41
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis, (Tanwirul
Afkar, Situbondo, 2018), 8.
26

hanya mengetahui alam tanpa melihat Tuhannya, sedangkan para nabi

dan rasul melihat alam dan Penciptanya.42

6) Manusia antara al-jabr dan al ikhtiar Islam meyakini bahwa manusia

tidak bisa menciptakan atau mewujudkan sesauatu, tetapi ia punya

ruang untuk berikthiar. Apa yang terjadi pada manusia adalah atas

kehendak Allah SWT., sudah ditetapkan oleh Allah sejak pada zaman

azali. Akan tetapi, ada qadha dan qadarnya Allah yang bisa

diusahakan ada yang tidak.43

b. Moderasi beragama dalam Fiqh / Syari’ah

1) Antara ketuhanan dan kemanusiaan Ummat Islam tidak mempunyai hak

untuk men tasyri’, para mujtahid hanya menggali hokum-hukum Allah SWT.

Yang belumtampak atau masih tersembunyi di bawah permukaan sehingga

menjadi ketentuan yang bisa diamalkan. Dari situlah tampak sisi ketuhanan

pada hukum Islam. namun di sisi lain, hokum Islam juga memeiliki sifat

kemanusiaan, karena bertujuan untuk memenuhi kepentingan dan

mewujudkan kesejahteraan manusia, lahir-batin, dunia akhirat.44

2) Syari’ah antara idealitas dan realitas Hukum Islam yang berasal dari Tuhan,

tidak serta merta kemudian diterapkan tanpa melihat realita atau konteks

yang ada, yang banyak diwarnai oleh hal-hal yang tidak ideal. Untuk itu,

42
Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis, (Tanwirul
Afkar, Situbondo, 2018), 10-11.
43
Ibid., 13.
44
Ibid., 17
27

Islam rela turun ke bumi untuk melihat realita yang ada, daripada terus

melayang-layang di ruang idealitas yang hampa.45

3) Antara tahlil dan tahrim Agama Yahudi banyak melakukan pengharaman

(tahrim), sedangkan agama Nasrani banyak melakukan pembolehan (tahlil).

Maka agama Islam posisinya adalah tengah-tengah, diantara keduanya.

Ajaran Islam mengandung pelarangan juga pembolehan, didasarkan pada

petunjuk Allah SWT. yang terdapat dalam al Qur’an.46

4) Antara kemaslahatan individu dan kolektif Syari’at berorientasi pada

terwujudnya kemaslahatan individu dan kolektif secara bersama-sama. Akan

tetapi, apabila terjadi pertentangan antara kemaslahatan individu dan kolektif

yang tidak mungkin dikompromikan, maka didahulukan kepentingan

kolektif.47

5) Antara ketegasan dan kelenturan Hukum-hukum yang berkaitan dengan

masalah ushuliyyah (prinsipprinsip) dan maqashid (tujuan), bersifat tegas.

Sedangkan hal-hal yang bersifat furu’iyyah (cabang-cabang) dan wasa’il

(sarana untuk mencapai tujuan), bersifat lentur. Sehingga tidak benar kalau

moderat itu tidak bisa tegas dalam menyikapi persoalan.48

c. Moderasi beragama dalam akhlak

1) Antara khauf dan raja’

Tasawwuf mengajarkan keseimbangan antara khauf (pesimis) dan raja’

(optimis). Optimis yang berlebihan akan mengantarkan manusia pada sikap berani
45
Ibid., 18
46
Ibid., 19
47
Ibid., 20
48
Ibid., 21
28

berbuat dosa, karena yakin Allah akan mengampuni dosadosanya. Sedangkan

berlebihan dalam pesimis , akan seseorang akan mudah putus asa, sebab dia tidak

yakin akan rahmat Allah.SWT.49

2) Antara jasmani dan ruhani

Muslim yang baik adalah yang selalu memperhatikan kesucian jiwa/ruhani

juga jasmani. Misalnya dalam menunaikan sholat, juga disyaratkan untuk bersih

pakaian, badan dan tempat. Disamping itu juga, kekesucian hati dan ruhani juga

dibutuhkan dalam melaksanakan ibadah.50

3) Antara lahir dan batin

Tasawuf juga memperhatikan aspek lahir dan batin sekaligus. Misalnya ketika

sholat, ada format lahir dan juga hakikat batin. Takbir, ruku’, itidal, dan seterusnya

adalah dimensi lahir, sedangkan khusyu’, khudhu’, tadharru’ adalah dimensi batin.

d. Moderasi Beragama dalam Ibadah

Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan

jumlah yang sangat terbatas, misalnya shalat limat kali dalam sehari, puasa sebulan

dalam setahun, haji sekali dalam seumur hidup, agar selalu ada komunikasi antara

manusia dengan Tuhannya. Selebihnya Allah mempersilahkan manusia untuk

berkarya dan bekerja mencari rezeki Allah di muka bumi. Moderasi dalam

peribadatan sangat jelas dalam firman Allah QS. Al-Jumuah : 9-10:

49
Ibid., 15
50
Ibid., 16
29

Artinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat

Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual

beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui {9}. Apabila telah

ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia

Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” {10}. (QS. Al-

Jumuah : 9-10).51

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa setelah selesai melaksanakan shalat

jum'at, umat Islam boleh berteburan di muka bumi untuk melaksanakan urusan

duniawi, dan berusaha mencari rezeki yang halal, sesudah menunaikan yang

bermanfaat untuk akhirat. Hendaklah mengingat Allah sebanyak-banyaknya dalam

mengerjakan usahanya dengan menghindarkan diri dari kecurangan,

penyelewengan, dan lainnya.52

5. Ciri dan Karakteristik Moderasi Beragama

a. Keseimbangan (tawazun)

Salah satu prinsip dasar dalam moderasi beragama adalah selalu

menjaga keseimbangan diantara dua hal, misalnya keseimbangan antara

akal dan wahyu, antara jasmani dan rohani, antara hak dan kewajiban,

antara kepentingan individual dan kemaslahatan komunal, antara keharusan

dan kesukarelaan, antara teks agama dan ijtihad tokoh agama, antara

gagasan ideal dan kenyataan, serta keseimbangan antara masa lalu dan

51
Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemah
52
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakrta: Departemen Agama RI, 2008),
h.135-136
30

masa depan.53

Keseimbangan atau tawazun menyiratkan sikap dan gerakan moderasi.


Sikap tengah ini mempunyai komitmen kepada masalah keadilan,
kemanusiaan dan persamaan serta bukan berarti tidak mempunyai pendapat.
Keseimbangan merupakan suatu bentuk pandangan yang melakukan sesuatu
secukupnya, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Keseimbangan juga
merupakan sikap seimbang dalam berkhidmat demi terciptanya keserasian
hubungan antara sesama umat manusia dan antara manusia dengan Allah.54
b. Toleransi (tasamuh)
Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak
mengganggu orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya
dan menyampaikan pendapat meskipun hal tersebut berbeda dengan yang kita
yakini. Sikap terbuka seperti ini menjadi titik terpenting dari toleransi. Selain
keterbukaan dalam menyikapi perbedaan, toleransi mengandung sikap
menerima, menghormati orang lain yang berbeda, serta menunjukkan
pemahaman yang positif.55
Fakta empiris menampilkan bahwa umat Islam terpecah belah dalam
berbagai sekte, paham dan aliran yang masing-masing di antaranya saling
menghantam sebagaimana terjadi di Timur Tengah riuh dengan perang
saudara. Hal ini merupakan kesempatan emas bagi lawan-lawan Islam, untuk
dimanfaatkan menghancurkan Islam. Dan apa yang disaksikan sekarang, label
Islam radikal, Islam teroris, Islam fundamental selalu disandang pada pundak
mereka. Kondisi demikian sulit dapat dibendung dan diatasi, karena
pemahaman umat Islam sekarang terhadap ajaran agamanya tidak seimbang,
53
Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019),h.
19

54
Abdullah Munir dkk, Op. Cit, h. 48
55
Kementerian Agama Republik Indonesia, Implementasi Moderasi Beragama dalam
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019), h. 18
31

kurang tepat, lemah bersifat parsial dan fanatik. Sehingga mereka benci
kepada agama lain dan saling mengkafirkan sesamanya sendiri, tambahan lagi
dalam bidang ekonomi, industri dan teknologi dunia Islam ketinggalan jauh
dari mereka di mana sebelumnya umat Islam berada pada garda depan dalam
peradaban dunia.
Menurut Yusuf Qardhawi (2017) yang dianggap sebagai bapak
moderasi beragama di dunia Islam menyatakan bahwa terjadi kericuhan di
kalangan umat beragama karena berlebih-lebihan dalam beragama dan hal ini
ditandai dengan sikapnya sebagai berikut:
1. Fanatik pada suatu pendapat;

2. Kebanyakan orang mewajibkan atas manusia sesuatu yang tidak


diwajibkan oleh Allah;
3. Memperberat yang tidak pada tempatnya;

4. Sikap kasar dan keras;

5. Buruk sangka terhadap manusia;

6. Terjerumus ke dalam jurang pengafiran.

Keenam hal di atas disebabkan karena pemahaman agama umat Islam


yang ekstrem dan tidak seimbang, sehingga terjadilah berlebih- lebihan
dalam praktik amalan beragama. Pemahaman ajaran agama yang tidak
seimbang tersebut berakibat kepada melesetnya misi suci agama Islam itu
sendiri yaitu “rahmatan lil „alamin” atau “rahmat bagi seluruh alam.56
Dengan demikian, toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada,
sukarela dan kelembutan dalam menerima perbedaan. Setuju dalam
56
Fauziah Nurdin, Moderasi Beragama menurut Al-Qur‟an dan Hadist, Jurnal Ilmiah Al
Mu‟ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif, Vol. 18, No. 1, Januari
2021, h. 66
32

perbedaan, disertai dengan sikap hormat, penerimaan orang yang berbeda


sebagai bagian dari diri kita, serta kemampuan berpikir positif dan percaya
terhadap orang yang berbeda adalah nilai- nilai penting yang ada dalam
toleransi.57 Hal ini dilakukan baik dengan kelompok lain yang berbeda agama
maupun dengan satu kelompok sendiri (seagama), guna menciptakan
kehidupan yang damai dan jauh dari konflik.
c. Anti Kekerasan
Kekerasan dalam konteks moderasi beragama muncul sebagai akibat
dari pemahaman keagamaan yang sempit, sikap dan ekspresi yang muncul dari
ideologi dan pemahaman ini cenderung ingin melakukan perubahan dalam
tatanan kehidupan sosial masyarakat dan politik dengan menggunakan cara-
cara kekerasan. Kekerasan yang muncul dari sikap dan ekspresi keagamaan
radikal tidak hanya pada kekerasan fisik namun juga pada kekerasan non fisik,
seperti menuduh sesat kepada individu maupun kelompok masyarakat yang
berbeda paham dengan keyakinannya tanpa argumentasi teologis yang benar.58
Apa yang muncul dari tindakan kekerasan akan mengembangkan sikap
egoisme dalam diri manusia, yang ujungnya adalah menghancurkan
equlibrium (keseimbangan) yang terdapat dalam tatanan sosial masyarakat.
Sebaliknya, tindakan anti kekerasan akan menjernihkan nurani. Dan hasilnya
adalah membangkitkan introspeksi dalam diri individu serta harapan di dada
masyarakat.59
Jadi sikap anti kekerasan diharapkan dapat dibangun sejak dini sebagai
pondasi awal moderasi beragama, sebab tindakan kekerasan akan
menimbulkan bencana kehancuran dan kebinasaan persatuan. Anti kekerasan
ini merupakan dasar agar kekerasan tidak akan terjadi meskipun banyak sekali

57
Abdullah Munir dkk, Op. Cit, h. 96
58
Ibid, h.19-20
59
Maulana Wahiduddin Khan, Islam Anti Kekerasan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2000),
h. 155
33

perbedaan disekitar lingkungan hidup. Kekerasan dalam bentuk apapun tidak


diperbolehkankan di segala aspek kehidupan seperti sosial, budaya, agama
maupun pendidikan. Untuk itu tindakan kekerasan harus dilawan dengan sikap
santun, lembut, dan mencintai kedamaian yang diharapkan mampu untuk
mendorong terjalinnya kerukunan masyarakat.
d. Menghargai Kemajumukan
Dalam realitasnya seringkali perbedaan yang terjadi diantara manusia dapat
menimbulkan permusuhan, dan ini pada gilirannya akan menimbulkan
kelemahan serta ketegangan antar mereka. Di sisi lain, manusia dianugerahi
Allah kemampuan untuk dapat mengelola aneka perbedaan tersebut menjadi
kekuatan manakala dapat disinergikan. Untuk dapat bersinergi maka
diperlukan sikap terbuka, disinilah peran ajaran Islam yang mendorong
umatnya untuk terus melakukan upaya- upaya perbaikan guna menjadikan
perbedaan tersebut bukan sebagai titik awal perpecahan melainkan menjadi
berkah untuk mendinamisir kehidupan.60
e. Persamaan (musawah)
Secara bahasa, musawah berarti persamaan. Secara istilah, musawah adalah
persamaan dan penghargaan terhadap sesama manusia sebagai makhluk Allah.
Semua manusia memiliki harkat dan martabat yang sama tanpa memandang
jenis kelamin, ras ataupun suku bangsa. 61Artinya tidak ada pihak yang merasa
lebih tinggi dari yang lain, sehingga dapat memaksakan kehendaknya.
memaksakan kehendaknya. Islam mengajarkan persamaan antara manusia,
baik antara laki- laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan
keturunan. Perbedaan yang hanya dapat terlihat dari tinggi rendahnya nilai
pengabdian dan ketaqwaannya manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa.62 Salah

60
Abdullah Munir dkk, Op. Cit, h. 61
61
Eva Iryani, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017, h. 29
62
Hasnani Siri, Gender dalam Perspektif Islam, Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2 Juli-
Desember 2014, h. 234
34

satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Tuhan,


sebagaimana disebutkan dalam QS. Al - Zariyat ayat :

Artinya : “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. (QS. Al-Zariyat : 56).63
Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara laki-
laki dan perempuan. Barangsiapa yang banyak amal ibadahnya, maka dialah yang
akan mendapat pahala besar tanpa harus melihat dan mempertimbangkan jenis
kelaminnya terlebih dahulu. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama
untuk menjadi hamba ideal.64
Jadi jelas bahwa pada hakikatnya semua manusia itu sama, baik laki-laki
maupun perempuan. Hal yang membuat derajat manusia lebih baik dimata Tuhan
adalah ketaqwaannya, karena manusia yang paling mulia adalah manusia yang
paling bertaqwa. Dengan demikian, semua manusia akan bersikap biasa saja tanpa
merasa bangga diri. Walaupun memiliki banyak perbedaan seperti suku, ras,
budaya dan agama, akan tetapi tetap memiliki kedudukan yang sama. Dengan
begitu, maka akan terciptalah moderasi ditengah kehidupan masyarakat.
6. Implementasi Moderasi Beragama Di Indonesia
Moderasi beragama bagi bangsa Indonesia mutlak diperlukan karna
disadari atau tidak bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam.
Keberagaman bangsa Indonesia bukan hasil karya manusia, tetapi merupakan
takdir yang diwariskan oleh Tuhan terhadap bangsa Indonesia. Hal ini dapat dilihat
dari jumlah suku besar sebanyak 633, jumlah bahasa daerah sebanyak 652 dan
sekitar 18.306 pulau. Keberagaman bangsa Indonesia bukan untuk ditawar tetapi
untuk diterima dan dijaga agar tercipta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia

63
Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemah
64
Susanti, Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an, Al-Munawwarah: Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 11, Nomor 1, Maret 2019, h. 43
35

yang damai.65
Moderasi beragama merupakan pemahaman keagamaan yang mengambil
posisi tengah, tidak condong ke kiri maupun ke kanan. Dalam konteks Islam
wasathiyah, pemahaman ini pada dasarnya juga mengandung prinsip keagaman
yang mengarah pada upaya untuk mengatur kehidupan yang seimbang.
Keseimbangan dalam mengamalkan ajaran Islam menjadi hal amat penting untuk
dipahami oleh setiap muslim. Dengan pemahaman Islam yang seimbang seseorang
tidak akan condong pada suasana batin keimanan yang emosional karena ia akan
dikendalikan oleh sikap dan pemahaman keagamaannya yang berlebihan. Ketika
sikap keagamaan ditunjukkan melalui ekspresi kemarahan, akan mudah ditebak
bahwa seseorang telah dikuasai oleh nafsu dan amarahnya. Konsekuensinya,
karakteristik seperti ini kemudian membuat seseorang kurang bijaksana dalam
bersikap dan bertindak, terutama kepada kelompok lain yang dianggap berbeda.66
Moderasi beragama penting untuk digaungkan dalam konteks global di
mana agama menjadi bagian penting dalam perwujudan peradaban dunia yang
bermartabat. Di sinilah diperlukan moderasi beragama sebagai upaya untuk
senantiasa menjaga agar seberagam apapun tafsir dan pemahaman terhadap agama
tetap terjaga sesuai koridor sehingga tidak memunculkan cara beragama yang
ekstrem.
Penguatan moderasi beragama di Indonesia saat ini penting dilakukan
didasarkan fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat majemuk dengan
berbagai macam suku, bahasa, budaya dan agama. Indonesia juga merupakan
negara yang agamis walaupun bukan negara berdasarkan agama tertentu. Hal ini
bisa dirasakan dan dilihat sendiri dengan fakta bahwa hampir tidak ada aktivitas
keseharian kehidupan bangsa Indonesia yang lepas dari nilai-nilai agama.
Keberadaan agama sangat vital di Indonesia sehingga tidak bisa lepas juga dari
kehidupan berbangsa dan bernegara.
65
Abdullah Munir dkk, Op. Cit, h. 105-106
66
Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, h. 16
36

Pendekatan edukatif bagi seluruh peserta didik yang dapat


diimplementasikan dalam pendidikan damai yang diintegrasikan dengan kurikulum
sekolah, latihan penyelesaikan konflik secara konstruktif, mediasi dan negosiasi
oleh teman sebaya merupakam usaha bersama agar bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang mendamaikan. Pengetahuan keagamaan yang luas dan tidak parsial
harus diajarkan dilembaga pendidikan agar peserta didik memiliki pondasi paham
keagamaan yang tidak sempit.67
Jadi jelas bahwa moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga
kebersamaan dengan memiliki sikap „tenggang rasa‟, sebuah warisan leluhur yang
mengajarkan kita untuk saling memahami satu sama lain yang berbeda dengan
kita. Seruan untuk selalu menggaungkan moderasi, mengambil jalan tengah,
melalui perkataan dan tindakan bukan hanya menjadi kepedulian para pelayan
publik seperti penyuluh agama, atau Kementerian Agama namun seluruh warga
negara Indonesia dan seluruh umat manusia.68
Berdasarkan pada realitas diatas, maka indikator moderasi beragama yang
hendak dijelaskan disini adalah sikap ekspresi paham keagamaan dengan
komitmen kebangsaan, toleransi, anti radikalisme dan kekerasan, dan melihat
ekspresi keagamaan yang akomodatif terhadap kebudayaan lokal.
a. Komitmen Kebangsaan

Persoalan komitmen kebangsaan saat ini sangat penting untuk diperhatikan


terutama ketika dikaitkanan dengan kemunculan paham- paham baru keagamaan
yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai dan budaya yang sudah lama terpatri
sebagai identitas kebangsaan yang luhur. Pada tingkat tertentu, kemunculan paham
keagamaan yang tidak akomodatif terhadap nilai-nilai dan budaya bangsa tersebut

67
Samsul AR, Peran Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama, Jurnal Al-
Irfan, Vol. 3, No. 1, Maret 2020, h. 39

68
Agus Akhmadi, Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia, Jurnal Diklat
Keagamaan, Vol. 13, No. 2, Pebruari - Maret 2019, h. 50
37

akan mengarah pada sikap mempertentangkan antara ajaran agama dengan budaya,
karena ajaran agama seolah-olah menjadi musuh budaya. Pemahaman keagamaan
seperti ini kurang adaptif dan tidak bijaksana, karena sejatinya ajaran agama
mengandung spirit dalam menumbuhkan rasa cinta terhadap tanah air dan bangsa.
Orientasi gerakan dan pemikiran keagamaan yang memiliki cita- cita untuk
mendirikan sistem negara seperti mencita-citakan bentuk negara dengan sistem
khilafah, daulah islamiyah, maupun imamah yang berseberangan dengan prinsip
negara bangsa Indonesia tentu tidak dibenarkan karena hal tersebut tidak sesuai
dengan komitmen kebangsaan yang telah disepakati bersama oleh para pejuang
dan pendiri bangsa Indonesia. Untuk itu, pemahaman keagamaan dan kebangsaan
harus diletakkan dalam nafas keseimbangan. Dalam hal ini indikator moderasi
beragama bisa dilihat dari komitmen pemahaman keagamaan seseorang yang
sekaligus dibungkus dalam bingkai kebangsaan. Segala bentuk paham keagamaan
yang memiliki ideologi untuk menjauhkan individu maupun kelompok masyarakat
dari komitmen kebangsaan dengan cita-cita mendirikan negara di luar sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia dianggap tidak sesuai dengan indikator
moderasi beragama.69
Jadi komitmen kebangsaan ini harus tertanam kuat di dalam diri seseorang
maupun kelompok, agar selalu menjalankan ideologi-ideologi kebangsaan serta
tidak mudah rusak ataupun terpengaruh oleh ideologi- ideologi lain yang dapat
mengusik komitmen kebangsaan tersebut.
b. Toleransi (tasamuh)

Toleransi merupakan sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu


orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan
menyampaikan pendapat, meskipun hal tersebut berbeda dengan yang kita yakini.
Sikap terbuka seperti ini menjadi titik penting dari toleransi. Selain keterbukaan
dalam menyikapi perbedaan, toleransi mengandung sikap menerima, menghormati
69
Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, h. 18
38

orang lain yang berbeda, serta menunjukkan pemahaman yang positif.70


Dalam kehidupan demokrasi, toleransi memiliki peran yang sangat penting
untuk menghadapi berbagai tantangan yang muncul karena perbedaan. Demokrasi
akan terlihat dan terlaksana dengan baik ketika masyarakat memiliki kepekaan
yang tinggi dalam segala macam perbedaan yang muncul di tengah-tengah
kehidupan mereka. Dalam konteks yang lebih luas, toleransi tidak hanya
berhubungan dengan keyakinan beragama, namun juga mengarah pada perbedaan,
ras, jenis kelamin, perbedaan orientasi seksual, budaya, dan lain sebagainya.71
Islam adalah agama yang penuh toleransi, Islam menginginkan agar
kedamaian terwujud di dunia. Al-Qur‟an menyebut jalan Islam dengan Subulus
Salam (jalan kedamaian). Keadaan damai tidak akan pernah terwujud dalam
sebuah masyarakat, saat masyarakat itu sendiri kurang memiliki sikap toleran.
Toleransi adalah satu-satunya basis untuk mencapai kedamaian. Sebab dalam
masyarakat dimana toleransi tidak bisa hidup, maka tidak bisa pula diharapkan
kedamaian akan terwujud.72
Perbedaan adalah suatu sunnatullah yang pasti ada dalam lini kehidupan,
untuk itu diperlukanlah sikap toleransi guna menghormati perbedaan tersebut.
Demikianlah pentingnya menumbuhkan rasa toleransi dalam kehidupan
bermasyarakat, supaya terciptanya kehidupan yang damai, aman, sentosa serta
sejahtera.
c. Anti Radikalisme dan Kekerasan

Radikalisme dan kekerasan dalam konteks moderasi beragama muncul


sebagai akibat dari pemahaman keagamaan yang sempit. Sikap dan ekspresi yang
muncul dari ideologi dan pemahaman ini cenderung ingin melakukan perubahan
dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat dan politik dengan menggunakan cara-

70
Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, h. 18
71
Ibidh, h. 18-19
72
Maulana Wahiduddin Khan, Op. Cit, h. 91
39

cara kekerasan. Kekerasan yang muncul dari sikap dan ekspresi keagamaan
radikal tidak hanya pada kekerasan fisik, namun juga pada kekerasan non-fisik,
seperti menuduh sesat kepada individu maupun kelompok masyarakat yang
berbeda paham dengan keyakinannya tanpa argumentasi teologis yang benar.73
Anti kekerasan diajarkan dan disampaikan dalam Al-Qur‟an diantaranya
terdapat dalam QS. Al-Imran ayat 159

Artinya : “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah


lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” (QS. Al-Imran: 159).74
Berdasarkan ayat tersebut, Al-Qur‟an sebagai sumber utama ajaran Islam
telah banyak memberikan kesadaran bagi manusia tentang pentingnya perilaku
kasih sayang, saling tolong menolong, mengutamakan perdamaian bukan
kekerasan, menghormati hak orang lain, berlaku lemah lembut, tidak kasar, tidak
berhati keras, pemaaf, dan bertawakkal. 75 Dengan demikian, jika dikaitkan dengan
moderasi beragama, maka anti kekerasan ini sangat penting guna mencegah
adanya perpecahan didalam perbedaan. Untuk itu, indikator moderasi beragama
dalam hubungannya dengan paham radikalisme terletak pada sikap dan ekspresi
keagamaannya yang seimbang dan adil, yaitu sikap dan ekspresi keagamaan yang

73
Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, h. 19

74
Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahan
75
Rubini, Pendidikan Anti Kekerasan dalam Al-Qur‟an, Jurnal Komunikasi dan
Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 2, Desember 2018, h. 141
40

mengutamakan keadilan, menghormati, dan memahami realitas perbedaan di


tengah-tengah masyarakat.
d. Akomodatif terhadap Budaya Lokal

Perjumpaan antara agama, khususnya Islam, dan budaya kerap


mengundang perdebatan yang cukup panjang dan menyisakan beberapa persoalan.
Islam sebagai agama bersumber dari wahyu yang setelah nabi wafat sudah tidak
turun lagi, sementara budaya adalah hasil kreasi manusia yang dapat berubah
sesuai kebutuhan hidup manusia. Hubungan antara agama dan budaya merupakan
sesuatu yang ambivalen. Di titik ini, kerap kali terjadi pertentangan antara paham
keagamaan, terutama keislaman dengan tradisi lokal yang berkembang di
masyarakat setempat.
Dalam Islam, peleraian ketegangan antara ajaran keagamaan dan tradisi
lokal dijembatani oleh fiqh. Fiqh yang merupakan buah ijtihad para ulama
membuka ruang untuk menjadi alat dalam melerai ketegangan. Sejumlah kaidah-
kaidah fiqh dan ushul fiqh seperti al-„adah muhakkamah (tradisi yang baik bisa
dijadikan sumber hukum) terbukti ampuh untuk mendamaikan pertentangan antara
ajaran Islam dan tradisi lokal. Kaidah fiqh di atas menjadi dasar pengakuan dalam
menyelesaikan berbagai hal yang bersifat tradisi di satu sisi dan ajaran Islam di sisi
lain, yang memang secara tekstual tidak diberikan dasar hukumnya.
Dari peleraian ketegangan ini membuktikan bahwa hukum Islam itu
bersifat fleskibel dan dinamis. Ia bisa menyesuaikan dengan ruang dan zaman.
Oleh karenanya, Islam akan terus relevan dalam konteks apapun dan di manapun.
Dalam konteks Islam di Indonesia, penyesuaian ajaran agama dengan masyarakat
Indonesia dan tradisi serta kearifan lokal yang tidak bertentangan dengan syariat
menjadi ciri khas dari keislaman masyarakat di Indonesia, yang dalam bahasa
lainnya disebut sebagai Pribumisasi Islam.76

76
Kementerian Agama Republik Indonesia, Op. Cit, h. 21-22
41
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Lokasi Penelitian


1. Jenis Penelitian

Penelitian kualitatif menganalisis data yang berlansung sejak peneliti turun


lapangan mengobservasi dan mewawancarai sekaligus tahap pencapaian dan
pengumpulan data, mendeskripsikan berbagai fakta lapangan dengan menganalisis
data secara logis, rasional, sistematis dan objektif, jenis penelitian ini menganalisa
bagaimana “Moderasi Beragama Masyarakat Di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulo
Kabupaten Pinrang”.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan metode analisis
kehidupan sosial dengan menggambarkan dunia sosial dari sudut pandang atau
interpretasi individu. Penelitian kualitatif juga bisa disebut dengan penelitian yang
biasa digunakan untuk memahami segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita atau yang
dialami oleh subjek penelitian dengan mendeskripsikan ke dalam susunan kata-kata
yang baku dengan baik dan benar, pada suatu konteks khusus yang dialami dan
dimanfaatkan dalam berbagai metode ilmiah.77

2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yang bersifat kualitatif. Penelitian
ini dilakukan pada saat peneliti telah menyelesaikan ujian atau seminar proposal.

Lokasi penelitian m erupakan sumber utama data yang diperoleh dari


interpretasi dan wawancara peneliti di lapangan, di Desa Pao Kecamatan Mattiro
Bulu Kabupaten Pinrang

B. Sumber Data
77
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2007),
hlm.5.

42
43

Dalam penelitian ini, sumber data yang akan digunakan ada dua sumber,
yakni sumber data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer merupakan sumber dari informan atau orang yang akan
menjadi sumber data, yang memberikan penjelasan lebih detail mengenai penelitian
yang akan dilakukan di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulu Kabupaten Pinrangdengan
memberikan beberapa pertanyaan mengenai penelitian yang dilakukan.

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder merupakan jenis data yang diperoleh untuk mendukung
atau melengkapi data-data primer yang berupa dokumen-dokumen tambahan yang
dapat mendukung pembahasan dalam penelitian ini.

C. Metode Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan peneliti sebagai berikut:

1. Pengamatan (Observasi),
teknik pengumpulan data dengan cara melakukan kunjungan langsung terhadap
semua kegiatan yang ada di lokasi penelitian agar mendapatkan data yang objektif
mengenai penelitian yang dibahas. Metode ini dimaksudkan utnuk melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatat bagaimana “Moderasi Beragama Masyarakat
Di Desa Pao Kecamatan Mattiro Bulo Kabupaten Pinrang”.
2. Wawancara (Interview)
teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab langsung kepada orang yang
akan menjadi sumber data penelitian. Adapun informan yang akan berpartisipasi
dalam hal ini Pak RT/RW, Pak Kades, dan tokoh masyarakat.
3. Dokumentasi
44

teknik pengumpulan data dengan cara melengkapi data-data hasil observasi


melalui dokumentasi sebagai bukti dari penelitian.
D. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang dimaksud adalah alat yang digunakan peneliti dalam
pengumpulan data untuk membantu dalam pelaksanaan penelitian agar kegiatan
tersebut menjadi lebih sistematis dan mudah untuk mencari data yang akurat. Adapun
alat atau instrumen yang akan digunakan dalam penelitian sebagai berikut:

1. Pulpen dan buku catatan


2. Alat perekam
3. Daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
E. Tekhnik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik analisis kualitatif dimana


penelitian kualitatif merupakan penelitian hasil pengamatan manusia dengan
menggunakan akal dan pemikiran sendiri. Pengolahan data adalah suatu cara untuk
mengolah data setelah hasil penelitian diperoleh. Pengolahan data bisa diartikan
sebagai suatu hal yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.

Adapun teknik pengolahan dan analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah:

1. Redaksi Data

Redaksi data adalah diuraikan data yang sesuai dengan rumusan masalah atau
fokus peelitian agar mempermudah peneliti menyimpulkan isi peelitian dan untuk
menghindari kesalahpahaan pembaca dalam memberikan tafsiran, pemilihan redaksi
data sangat penting karena dapat menentukan alur pembahasan secara sistematis dan
koerensi.
45

2. Penyajian Data

Data disajikan dan diuraikan dalam bentuk kalimat dari hasil yang diperoleh
dari lapangan penelitian, mengutip pendapat informan baik secara langsung maupun
tidak langsung maupun tidak langsung lalu memberikan interpretasi atau penilaian
terhadap pernyataan yang diuraikan, tahap penyajian juga dilakukan pendegradasian
data yang kurang penting agar memudahkan peneliti mengambil kesimpulan.

3. Penarikan Kesimpulan
Tahap ini, peneliti mengambil kesimpulan dari premis-premis dan pernyataan
yang diuraikan dari hasil penelitian, kesimpulan yang bersifat dugaan sementara
tidak lagi di gunakan dalam pengambilan kesimpulan ini, dalam artian apa yang
diperoleh sesuai rumusan pertanyaan sudah sudah ditetapkan dalam kesimpulan
dengan menggunakan pandangan yang universal dan radikal, didukung oleh
beberapa literature seperti tokoh yang dikutip dalam referensi.
Dengan penelitian tersebut peneliti juga mampu meneliti dari apa yang telah
diteliti sejauh ini. Bahwa peneliti juga bisa berinteraksi dengan masyarakat
setempat sehingga mendapat informasi yang lebih detail.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi, Agus. Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia. Surabaya: Balai


Diklat Keagamaan Surabaya, Vol. 13, 2019.

Buseri, Kamrani. Islam Wasathiyah Perspektif Pendidikan: disampaikan pada acara


Rakerda Ulama se-Kalimantan Selatan. Banjarmasin: 2015.

Departemen Agama RI. Al-qur‟an dan Terjemah, Cet. I; Jakarta: Hati Emas, 2014.
Sutrisno, Op.Cit., h. 328.

Fahri, Mohammad dan Ahmad Zainuri. “Moderasi Beragama Indonesia”, Jurnal


Intizar, Vol. 25. 2019.

Hanafi, Muchlis M. “Konsep Wasathiyyah dalam Islam”. Jurnal Multikultural dan


Multireligius, Vol VIII, 2009.

Huda, Alamul. “Epistimologi Gerakan Liberalis, Fundamentalis, dan Moderasi


Islam di Era Modern”, De Jure Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 2, Maret
2010.

Kementerian Agama RI, Moderasi Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI, 2019.

Lukmanun Hakim, Op.Cit., h. 27.

Muhajir, Afifuddin. Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis. Tanwirul


Afkar, Situbondo, 2018.

Mustaqim, Abdul dan Dicky Adi Setiawan. Gagasan Moderasi Beragama Habib Ali
Zainal Abidin al-Jufri. Purwakerto Selatan: Pena Persada, 2021.

Purwanto, Yedi. Dkk. “Internalisasi Nilai Moderasi Beragama Melalui Pendidikan


Agama Islam Di Perguruan Tinggi Umum”, Jurnal Edukasi Kemenag. 2019.

46
Pusat Bahasa Departemen Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 2008, h. 751.

Samsul. “Peran Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama”, Jurnal Al-
Irfan, Volume 3, 2020.

Shibab, Quraish. Wasathiyyah: wawasan Islam tentang moderasi beragama.


Tanggerang: Lentera Hati, 2019.

Shibab, Qurasih. Logika Agama. Ciputat: Lentera Hati, 2017.

Syafrudin, Paradigma Tafsir Tekstual Dan Kontekstual: Usaha Memaknai Kembali


Pesan AlQur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Tahmid, Khairuddin. Buletin Al-Ukhwah: Urgensi Madrasah Da‟I Wasathiyah MUI.


Lampung: Komisi Dakwah MUI Lampung, 2018.

Ulinnuha, Muhammad dan Mamluatun Nafisah. “Moderasi Beragam Perspektif


Hasbi AshShiddieqy, Hamka, dan Quraish Shihab: Kajian atas Tafsir an-Nur,
al-Azhar, dan Al-Mishbah”, Jurnal Suhuf.Kemenag, Vol. 13, 2020.

Yasid, Abu. Islam Moderat. Jakarta: Erlangga, 2014.

Kementerian Agama RI dan Forum kerukunan umat beragama, Moderasi Beragama,


Kota Pasuran, 2021.

Muhajir Afifuddin, Membangun Nalar Islam Moderat: kajian metodologis, Tanwirul


Afkar, Situbondo, 2018

Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Tafsirnya, (Jakrta: Departemen Agama RI,


2008).

Kementerian Agama Republik Indonesia, Implementasi Moderasi Beragama dalam

Pendidikan Islam, Jakarta: Kementerian Agama RI, 2019 .

47
Fauziah Nurdin, Moderasi Beragama menurut Al-Qur‟an dan Hadist, Jurnal Ilmiah Al
Mu‟ashirah: Media Kajian Al-Qur'an dan Al-Hadits Multi Perspektif, Vol.
18, No. 1, Januari 2021.

Wahiduddin Khan Maulana, Islam Anti Kekerasan, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,


2000)

Iryani Eva, Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Jurnal Ilmiah

Universitas Batanghari Jambi Vol.17 No.2 Tahun 2017.

Hasnani Siri, Gender dalam Perspektif Islam, Jurnal Al-Maiyyah, Volume 07 No. 2
Juli- Desember 2014

Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemah

Susanti, Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur‟an, Al-Munawwarah: Jurnal


Pendidikan Islam, Volume 11, Nomor 1, Maret 2019.

AR Samsul, Peran Guru Agama Dalam Menanamkan Moderasi Beragama, Jurnal Al-
Irfan, Vol. 3, No. 1, Maret 2020.

Akhmadi Agus, Moderasi Beragama dalam Keragaman Indonesia, Jurnal Diklat


Keagamaan, Vol. 13, No. 2, Pebruari - Maret 2019.

Rubini, Pendidikan Anti Kekerasan dalam Al-Qur‟an, Jurnal Komunikasi dan


Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 2, Desember 2018.

48
49

Anda mungkin juga menyukai