Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

TEOLOGI ISLAM

Dosen Pengampu : H.Nur Cholid, M Ag, M. Pd

Oleh:
Tegar Bagus Prasetyo 155020096

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2016

PENGERTIAN AT TAWASUTH

A. At Tawasuth.
Dalam tubuh NU terdapat karakteristik khas warga Nahdlatul Ulama yang
membedakannya dengan warga lain. Nahdlatul Ulama didirikan untuk melestarikan ajaran
Ahlussunnah Wal Jama'ah yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rosulullah
SAW. Disebutkan oleh KH Ahmad Shiddiq dalam buku Khittah Nahdliyyah, ada tiga istilah
untuk menggambarkan karakteristik agama Islam, yang kemudian diadopsi sebagai
karakteristik khas warga Nahdlatul Ulama, yaitu : at-Tawasuth, al-Itidal dan at-Tawazun.
At Tawasuth yang berarti pertengahan. al-Itidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan
kananan dan tidak condong ke kirikirian, dan at-Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat
sebelah, tidak berlebihan suatu unsur atau kekurangan unsur yang lain.
Dari berbagai sumber lain, seperti naskah Khittah NU Keputusan Muktamar XXVII
NU dan beberapa buku karya KH Abdul Muchid Muzadi. Ada empat karakter khas
kemasyarakatan warga Nahdlatul Ulama, pertama Tawasuth dan al-Itidal, kedua at-Tawazun,
ketiga sikap Tasamuh yang artinya toleransi terhadap perbedaan pandangan, dan ke empat
Amar Maruf NahiMungkar. At-tawasuth (termasuk al-Itidal dan at-Tawazun) bukan serba
kompromistik dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Juga bukan
mengucilkan diri dari menolak pertemuan dengan unsur apaapa. Karena karakter bagi Islam
adalah memang sejak semula Allah SWT. Sudah meletakkan di dalam Islam segala kebaikan,
dan segala kebaikan itu pasti terdapat di antara ujung Tatharruf () .
Anggapan mengabungkan semua karakter lainnya dengan karakter at-tawasuth,
bahwa secara konteks semua katakata tersebut memang ujungnya pada maksud yang sama
yaitu menempatkan diri di tenggahtengah dalam menghadapi sesuatu. Namun tetap saja dari
semua karakter tersebut ada sekatsekatnya. At-Tawasuth berasal dati kata Wasathan ()
yang berarti pertengahan. Tawassuth dapat diartikan juga sebuah sikap tengah atau moderat
yang tidak cenderung ke kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara dan
dalam bidang lain, pemikiran moderat ini sangat penting menjadi semangat dalam
mengakomodir beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang
paling ashlah (terbaik). Sikap ini didasarkan pada firman Allah:

Artinya:
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan yang
(adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143.

Ukuran penilaian dalam ayat diatas dimaksudkan bahwa Rasululloh S.A.W sebagai
pengukur umat islam sedangkan umat islam menjadi pengukur bagi manusia pada umumnya.
Menurutnya KH. Said Agil Siradj, Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang
memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya
Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni Ahlussunnah
Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr (cara berpikir
tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para muridnya, yaitu generasi tabiin yang
memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu.
Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj alfikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang
melingkupinya.
Al Munawwir menyatakan kata Wasathan ( )artinya tengahtengah. Dan terdapat
makna yang sama dalam Kamus Al Qalam karya Ahmad Syabi, kata Wasathan ()
diartikan sebagai pertengahan. Khittah NU Keputusan Muktamar XXVII NU, Nomor
02/MNU-27/1984 menyebutkan bahwa sikap (karakter) at-Tawasuth dan itidal memiliki
pengertian sebagai sikap tengah yang berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung
tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengahtengah kehidupan bersama.
Menurut Abdul Muzid Muzadi selaras dengan yang termaktub dalam naskah Khittah
NU, bahwa karakter at-Tawasut disandingkan dengan karakter itidal yang memiliki arti sikap
tengah
dan
tegak
lurus,
berintikan
keadilan
dan
tidak
ekstrim.
Karakter at-tawasuth ini harus mampu dimanifestasikan dalam berbagai bidang, agar
nantinya sikap dan tingkah laku umat Islam dapat dijadikan sebagai teladan dan ukuran
manusia pada umumnya. Karena Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi
kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta
menghindari
segala
bentuk
pendekatan
yang
bersifat
ekstrim.
Untuk itulah karakter at-Tawasuth, merupakan karakter agama Islam yang paling
essensial. Maka semua warga Nahdlatul Ulama berpendirian faham Ahlussunnah Wal
Jama'ah harus diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian
sikap yang bertumpu pada karakter at-Tawasuth dan itidal. Diungkapkan oleh M. Nur
Hasan,MA dalam bukunya Ijtihad Politik NU, bahwa prinsip tawasuth (moderasi)
mengorientasikan sikap, tindakan dan sifatsifat manusia maupun masyarakat selalu dalam
kadar yang tepat. Penempatan tersebut dilakukan dalam semua segi, baik secara sosial,
budaya, cara menuntut ilmu, dan politik bahkan dalam kemasyarakatan.
Alfandienk menyebutkan, karakter at-tawasuth dapat juga dijadikan sebagai landasan
dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya kita mengarahkan pemikiran kita agar
tidak terjebak dalam agama an rich. Dengan cara menggali dan menglaborasi dari dengan
berbagai metodologi dan pemikiran ilmu baik dari Islam maupun Barat, serta mendialogkan
agama,filsafat dan sains. Diungkapkan lebih lanjut oleh Nur Hasan, bahwa kadar moderasi
atau ekstrimnya suatu tindakan, sikap, paham dan pandangan seseorang atau kelompok
mengenai hal tertentu diandaikan begitu saja telah menjadi kesadaran individu maupun
masyarakat, tetapi bagi NU, kesadaran seperti itu harus ditanamkan melalui pendidikan dan
latihan yang kontinyu.
Diharapkan nanti penanaman yang dilakukan secara terus menerus akan menjadi
suatu yang mengakar dalam diri warga NU dan menjadikan suatu karakter yang secara

spontan dan sulit untuk ditinggalkan.Jadi berdasarkan uraian diatas, penulis dapat
menyimpulkan bahwa berkarakter At Tawasuth, berarti dia mampu membawa dirinya untuk
selalu mengambil jalan tengah, tidak condong kanan dan kiri dalam bertindak, dan juga
memiliki sikap ditengahtengah. Sikap seperti ini sangat dibutuhkan dan sangat penting
dimiliki oleh orang Indonesia, di mana masyarakatnya masih belum mampu bersikap
profesional dalam berbagai hal. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan keluarganya
daripada kepentingan umum, sehingga mereka belum mampu membawa diri dan sikapnya di
tengahtengah dalam menghadapi berbagai persoalan.
PRINSIP DAN KARAKTER TAWASUTH
Manefestasi prinsip dan karakter tawasuth ini tampak pada segala bidang ajaran
agama Islam dan harus dipertahankan, dipelihara dan dikembangkan sebaik-baiknya,terutama
oleh pengikiut setia ASWAJA.
Manifestasi dari prinsip Tawasuth itu antara lain tercermin :
1.
Pada Bidang Aqidah
Keseimbangan antara penggunaan dalil aqli (argumentasi rasional) dengan dalil naqli
(nash Al Quran dan hadits) dengan pengertian bahwa dalil aqli dipergunakan dan
ditempatkan dibawah dalil naqli.
Berusaha sekuat tenaga memurnikan aqidah dari segala campuran aqidah dari luar
Islam.
Tidak tergesa gesa menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan sebagainya atas mereka
yang karena satu dan lain hal belum dapat memurnikan tauhid atau aqidah secara
murni.
2.
Bidang Syariah
Menggunakan metode dan sisitem yang dapat dipertanggung jawabkan dan melalui
jalur-jalur yang wajar sebelum langsung mengambil dari al Quran dan as Sunah
Pada masalah yang sudah ada dalil nash yang sarih dan qothI (tegas dan pasti) tidak
boleh ada campur tangan pendapat akal.
Pada masalah yang zaniyat (tidak tegas dan pasti) dapat ditoleransi adanya perbedaan
pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama.
3.
Bidang Tasawuf atau Aklak
Tidak mencegah bahkan mengajurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam,
dengan riyadhah dan mujahadah menurut kaifiyat yang tidak bertentangan dengan
prinsip prinsip hokum dan ajaran agama Islam.
Mencegah ektrimisme yang dapat menjerumuskan orang kepada penyelewengan
aqidah dan syariah
Berpedoman bahwa akhlak yang luhur dan selalu berada diantara dua ujung sikap
yang menjunjung atau tathruf umpamanya: sikap asy-syajaah atau berani yang
merupakan langkah tengah antara penakut(al-jubn) dan sembrono (attahawwur).Demikian pula sikap at-tawadhu yang merupakan sikap menempatkan diri
secara tepat diantara at-takabbur (sombong) dan at-tadzallul atau (rendah dir)i.pun
juga sikap al jud atau al karomu (dermawan) sebagai jalan tengah diantara sikap
bakhil (kikir) dan israf(boros).

4.

Bidang Muasyarah (pergaulan) antar golongan


Mengakui watak dan tabiat manusia yang selalu senang berkelompok berdasar atas
dasar unsure pengikatnya masing masing.
Pergaulan antar golongan harus diusahakan berdasar saling pengertian dan saling
menghormati.
Permusuhan terhadap suatu golongan hanya boleh dilakukan terhadap golongan yang
nyata; memusuhi agama dan umat Islam.Terhadap yang tegas memusuhi Islam tidak
ada sikap lain kecuali tegas
5.
Pada Bidang Kehidupan Bernegara
Negara nasional yang didirikan bersama oleh seluruh rakyat wajib dipelihara dan
dipertahankan dan dipertahankan eksistensinya.
Penguasa Negara (pemerintah) yang sah harus ditempatkan pada kedudukan yang
terhormat dan ditaati, selama tidak menyeleweng, dan atau atau memerintah kearah
yang bertentangan dengan hokum dan ketentuan Alloh swt.
Kalau terjadi kesalahan dari pihak pemerintah, memperingatkannya adalah melalui
tata cara yang sebaik baiknya.
6.
Pada Bidang Kebudayaan
Kebudayaan, termasuk didalamnya adat istiadat, tata pakaian, kesenian dan
sebagainya adalah hasil budi daya manusia yang harus ditempatkan pada
kedudukan yang wajar bagi pemeluk agama.Kebudayaan harus dinilai dan diukur
dengan norma-norma hokum dan ajaran agama.
Kebudayaan yang baik, dalam arti menurut norma agama, dari manapun datangnya
dapat diterima dan dikembangkan dengan prinsip hal lama yang baik dipelihara dan
dikembangkan, sedangkan yang baru dan lebih baik untuk dicari dan
dimanfaatkan. al-muhafadhoh ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid alashlah
Tidak boleh ada sikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak yang baru
atau sebaliknya selalu meneriama yang baru dan menolak yang lama.
7.
Pada Bidang Dakwah
Berdakwah adalah mengajak masyarakat untuk membuat dan menciptakan keadaan
yang lebih baik, terutama menurut ajaran agama.Tidak mengkin orang berhasil
mengajak seseorang dengan cara yang tidak mengenakan hati yang diajak.Berdakwah
bukan menghukum
Dakwah dilakukan dengan saran tujuan yang jelas, tidak hanya sekedar mengajak
berbuat saja.
Berdakwah harus dilaksakan dengan keterangan yang jelas, dengan petunjuk-petunjuk
yang baik sebagaimana seorang dokter atau perawat berbuat terhadap pasien.Kalau
terdapat kesulitan, makaharus ditanggulangi dan diatasi dengan cara yang sebaiik
baiknya.

CONTOH CONTOH SIKAP TAWASUTH


Aswaja juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan perbedaan.
Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif terhadap paradigma
demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat merupakan keniscayaan. Karena itu harus
disikapi secara arif dengan mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal
dan ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja dikenal dengan
prinsip al-Sawad al-Adham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan faalaykum
bi sawad al-adzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak).
Prinsip al-Sawad al-Adhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits:
La tajtamiu ummati ala al-dlalalah (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).
Sikap kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan
bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam, lintas agama dan
bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini dikarena NU mampu menyajikan
Islam yang rahmatan lil-Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.
Seringkali tanpa sengaja dan disengaja seseorang mengucapkan ungkapan yang pada
hakikatnya menghina Allah SWT dan Rasul-Nya. Apakah hal itu dapat menggelincirkan
keluar dari Dien Islam ? Apakah benar ada yang disebut kufurn amaliy (kekafiran yang
disebabkan oleh perbuatan) dan kufurn itiqadi (kekafiran yang timbul dari keyakinan).
Bukti ini mengupas akar kekafiran, dengan mengemukakan sikap para ulama
Ahlussunnah wal Jamaah terhadap beberapa jenis kekafiran yang dewasa ini berkembang di
masyarakat. Penulis menegaskan, menurut Ahlussunnah, di antara perkataan dan perbuatan
ada yang merupakan kufurn akbar (kekafiran yang terbesar) yang mengeluarkan pelakunya
dari agama.
Banyak dari kalangan ulama yang menukilkan ijma bahwa menghina Allah dan
Rasul-Nya adalah kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama. Banyak dari kalangan
ulama Ahlussunnah menukilkan ijma bahwa kekafiran bisa dilakukan dengan perkataan,
perbuatan, dan keyakinan. Mengutip pendapat dari para ulama Ahlussunnah, menegaskan
bahwa orang yang kafir dalam perbuatan dan ucapan, serta menyakini dalam hati tentang hal
tersebut, maka ia betul-betul kafir.
Dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jamiyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah
(Preambule AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyari secara tegas
terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jamaah untuk bersatu memagari umat
dari propaganda pada ahli bidah. Yang dimaksud tentu saja adalah orang-orang pendukung
ajaran Wahhabi yang dalam dawahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah
kubur, qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bidah. Selain itu, mereka
menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai sesuatu yang mengandung
unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran
madzhab merupakan sumber bidah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju ila
al-Quran wa al-Sunnah).

Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan terhadap madzhab
tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan (metode
berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan bahwa pola bermadzhab
dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat umat jumud, tidak berkembang. NU juga
telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni
Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), Itidal (adil dan
tegas), dan Amar Maruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah
kemunkaran).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan Ttawasuth Aswaja oleh NU adalah pola
keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama
yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan
transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini.
Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).
Selain itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah baik
dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ala al-qadim alshalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja
mengajarkan kita untuk lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta
mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8] Demikian juga
terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh meremahkan dan mengabaikannya
sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya
tradisi-tradisi tersebut perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih
mengandung relevansi dan kemaslahatan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adien Jauharuddin, Ahlussunah wal Jamaah Manhajul Harakah, (Jakarta: PMPI, 2008)
2. H Soelaman Fadeli,Antologi NU (Surabaya,Khalista;2008)
3. http://www.facebook.com/topic.php?uid=82847570775&topic=16306&post=85421
4. http://alfarabi1984.wordpress.com/2010/11/
5. http://hasanahmuslim.com/2009/10/31/at-tawasuth-wal-iqtishad.html
6.http://books.google.co.id/books?
id=e9XSR2EyJrMC&pg=PA158&dq=tawasuth+nu&hl=id&ei=ryy6Tc7gOY2kuAPr76S
3Cw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=2&ved=0CDIQ6AEwAQ#v=onepage
&q=tawasuth%20nu&f=false
7. KH. Said Aqil Siradj, Ahlussunnah waljamaah dalam Lintas Sejarah, (Yogyakarta:
LKPSM, 1999),
8. KH Muchit muzadi,NU dalam prespektif sejarah dan ajaran, (Surabaya:khalista,2007)

Anda mungkin juga menyukai