Anda di halaman 1dari 9

PENERAPAN PRINSIP TAWASSUTH DALAM PELAYANAN KEFARMASIAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


Dosen pengampu :
H. Nur Cholid, M.Ag., M.Pd.

Disusun Oleh :
Istiyati Wuraningsih
Elisa Dwi Restiana
Purnama Romadhon
Puji Rahayu Astuti
I Gede Sumardiana
Atik Wulandari

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN

A. PENDAHULUAN
Ahlussunnah Wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan ASWAJA secara
bahasa berasal dari kata Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut.
Ahlussunnah berarti orang orang yang mengikuti sunnah (perkataan, pemikiran atau
amal perbuatan Nabi Muhammad SAW.) Sedangkan al Jamaah adalah sekumpulan
orang yang memiliki tujuan. Jika dikaitkan dengan madzhab mempunyai arti
sekumpulan orang yang berpegang teguh pada salah satu imam madzhab dengan
tujuan mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam tubuh NU terdapat karakteristik khas warga Nahdlatul Ulama yang
menbedakannya dengan warga lain. Nahdlatul Ulama didirikan untuk melestarikan
ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah yang murni sebagaimana diajarkan oleh Rosulullah
SAW. Nahdlatul Ulama dalam menjalankan paham ahlusunah waljamaah pada
dasarnya menganut lima prinsip. Yakni, at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh
(toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (patuh pada hukum), dan amar makruf
nahi mungkar.
Tawassuth ialah sebuah sikap tengah atau moderat yang tidak cenderung ke
kanan atau ke kiri. Dalam konteks berbangsa dan bernegara dan dalam bidang lain,
pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir
beragam kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling
ashlah.
Apotek merupakan tempat atau sarana untuk melakukan pelayanan kefarmasian
oleh seorang Apoteker. Sedangkan apoeker sendiri merupakan seseorang yang
berprofesi sebagai pemimpin di apotek yang melaksanakan tugasnya dalam
melakukan pelayanan kefarmasian. Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa
harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik,
mengambil keputusan yang tepat, kemampuan berkomunikasi antar profesi,
menempatkan dir i sebagai pimpinan, kemampuan mengelola sumber daya manusia
secara efektif, selalu sabar sepanjang karier, dan membantu member pendidikan dan
memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. Pelayanan kefarmasian pada
saat ini telah bergeser orientasinya dari Drug Oriented menjadi Patient Oriented.
Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat
sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Depkes RI, 2006).
Berdasarkan latar belakang tersebut makalah ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran dan membahas bagaimana prinsip tawassuth bagi apoteker
dalam pelayanan kefarmasian.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan tawassuth ?
2. Bagaimana penerapan tawassuth dalam praktik kefarmasian oleh Apoteker?

C. TUJUAN
1. Mengetatahui pengertian tawassuth.
2. Mengetahui penerapan tawasuth dalam praktik kefarmasian oleh Apoteker.

BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN
A. Tawassuth (Moderat)
Sikap tengah yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Dengan
sikap ini NU sulalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan berlaku serta
bertindak lurus dan dengan selalu membangun dan menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat ekstrim (keras).
Tawasuth merupakan ciri dari ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita
sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya:
At-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri
ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT :




<>

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan
(adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan
perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran
penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Ayat diatas menjelaskan bahwa Rasulullah SAW sebagai pengukur bagi


umat islam sedangkan umat islam sebagai pengukur bagi manusia pada
umumnya (Muzadi, 2007). Umat islam dijadikan umat pertengahan, yakni umat
yang adil dan pilihan, karena mereka akan enjadi saksi atas perbuatan orang
yang menyimpang dari kebenaran baik di dunia maupun di akhirat dan akan
bersaksi di akhirat bahwa para Rasul telah menyampaikan risallah kepada
kaumnya, sebagaimana nabi Muhammad SAW akan menjadi saksi terhadap
umatnya.

B. Prinsip dan Karakter Tawassuth


Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq
bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut:

1. Akidah
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis musyrik, kufur dan
sebagainya.
2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan
metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang tidak ada nash yang je1as
(sharih/qotht'i).
c. Adanya perbedaan pendapat pada masalah yang Zaniyat (tidak tegas dan
pasti) dapat ditoleransi selama masih tidak bertentangan dengan prinsip
agama.
3. Tashawwuf/Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan
ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu yang dapat
menjerumuskan orang kepada penyelewengan aqidah dan syariah..
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syajaah atau
berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu'
(antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan
boros).
4. Muasyarah (Pergaulan antar golongan)
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok
berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan
menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.
5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan
karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang
dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang
sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya
dengan cara yang baik.
6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan
diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat
diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus
ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama
yang masih relevan (al-muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil
jadidil ashlah).
7. Dakwah
a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah,
tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas,
disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.

C. Tawassuth dalam Bidang Pelayanan Kefarmasian


Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu atau kualitas
kehidupan pasien ( Peraturan Mentri Kesehatan No.58 tahun 2014).
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan profesi dan
telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai
apoteker (Keputusan Menteri Kesehatan RI No 1027/Menkes/SK/IX 2004)
Apoteker harus bersikap tawassuth (sikap tengah, adil dan tidak memihak
dalam menjalankan pelayanan kefarmasian). Tidak boleh memihak pendapat
dokter ataupun pihak sponsor lain yang dapat menguntungkan dirinya sendiri.
Harus selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan
dalam menjalankan pelayanan kefarmasian.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN

DAFTAR PUSTAKA
Al Khaidar, 1995. Pendekatan Fikih dalam Politik. Gramedia, Jakarta.

Depkes RI, 2006. Tanggung Jawab Apoteker Terhadap Keselamatan Pasien


(Patient Safety). Bakti Husada, Jakarta.

KH. Achmad Siddiq, 2005. Khittah Nahdliyyah, cetaka III. Khalista-LTNU,


Surabaya.

KH. Muchit Muzadi, 2007. NU dalam Prespektif Sejarah dan Ajaran. Khalisa,
Surabaya.

KH. Said Aqil Siradj, 1993. Ahlusunnah Waljamaah dalam Lintas Sejarah.
LKPSM, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai