Anda di halaman 1dari 7

Topik 3 Ruang Kolaborasi

Kelompok 3 : 13 Dwi Nanda Febriyanti


14 Nikmah Fitria Surya
27 Rohmatul Umah

Pengembangan Pendidikan Karakter Berbasis Tasawuth pada Anak Sekolah Dasar

Karakter Berbasis Tawasuth


Pengertian Tawassuth Tawassuth memiliki arti pertengahan. Tawassuth memiliki arti
pertengahan diambil dari firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 143, yang artinya:
”Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan
agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi
saksi atas (perbuatan) kamu. Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu
(sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi
orang-orang yang telah diberi petunjuk Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (Q.S Al-
Baqarah: 143).
Istilah tawassuth diambil dari kata wasathan, yang berarti pertengahan, moderat,
teladan (Nikmah, 2018). Posisi pertengahan dapat menjadikan manusia tidak memihak ke kiri
dan ke kanan, suatu hal yang dapat menjadikan kita berlaku adil. Posisi pertengahan
menjadikan seseorang dapat dilihat oleh siapapun dengan berbagai penjuru yang berbeda, dan
ketika itu ia dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Tawassuth adalah sikap tengah-tengah
atau sedang diantara dua sikap, tidak terlalu kaku (fundamentalis) dan juga tidak terlalu bebas
(liberalisme) (Abdullah & Alfatra, 2019; Ardiansyah & Erihadiana, 2022). Dengan sikap
inilah, Islam bisa diterima di segala lapisan masyarakat. Seperti yang dipaparkan oleh
Muhammad Az-Zuhaili, dalam bukunya moderat dalam Islam, yakni; sesungguhnya Allah
mengutus para Rasul serta menurunkan kitab-kitab dan syariat-syariat sebagai pelita bagi
umat manusia dalam kehidupan mereka, sebagai jalan yang lurus dan muamalah (pergaulan)
mereka dan sebagai keimanan yang benar dan murni dalam akidah mereka. Sehingga, mereka
dapat keluar dari kondisi-kondisi kegelapan menuju kondisi yang penuh dengan cahaya dan
mendapatkan petunjuk kepada yang lebih lurus. Juga mengajak mereka kepada sesuatu yang
dapat membuat mereka tetap hidup di dunia dan akhirat dengan sesuatu yang sesuai dengan
fitrah yang sehat jiwa insaniyah.
Sikap tawassuth berpegang pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keadilan dan
keseimbangan ditengah-tengah kehidupan bersama, bertindak lurus dan selalu bersifat
membangun serta menghindari sikap tatharruf atau ekstrim. Penerapan sikap tawassuth
dengan berbagai dimensinya bukan berarti bersifat serba boleh atau kompromistik dengan
mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme). Tetapi juga bukan mengucilkan diri dan
menolak pertemuan dengan unsur-unsur lain. Prinsip dan karakter tawassuth sudah menjadi
karakter Islam yang harus diterapkan dalam segala bidang, supaya agama Islam dan sikap
serta tingkah laku umat Islam selalu menjadi saksi dan pengukur kebenaran bagi semua sikap
dan tingkah laku manusia pada umumnya. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan
tawassuth yaitu tidak bersikap ekstrim dalam menyebarkan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah;
tidak mudah mengkafirkan sesama muslim karena perbedaan pemahaman beragama;
memposisikan diri dalam kehidupan bermasyarakat dengan selalu memegang teguh prinsip
persaudaraan atau ukhuwah dan toleransi, hidup berdampingan baik dengan sesama warga
NU, sesama umat Islam maupun sesama warga negara yang memeluk agama lain. Setelah
memahami betul bagaimana pentingnya memiliki sikap tawassuth, maka diperlukan adanya
suatu pendekatan yang bertujuan supaya sikap tersebut dapat melekat dalam kepribadian
setiap manusia. Sikap tawassuth dikembangkan melalui karakter dalam perspektif Islam yang
dilakukan dengan melalui beberapa konsep, diantaranya tawasuth dalam bidang akidah,
ibadah, dan akhlak.
Menurut Jannah dkk., 2023 tawassuth Dalam Bidang Akidah Dalam hal akidah,
ahlussunnah wal jama’ah mempertimbangkan dan menetapkan beberapa hal yaitu
keseimbangan dalam telaah dan penggunaan dalil akal (aqli) dan dalil syara’ (naqli) agar
tidak mengalahkan salah satunya; memurnikan akidah dengan cara membersihkan dan
meluruskan dari pengaruh akidah yang sesat, baik dari dalam maupun luar Islam; dan
menjaga keseimbangan berpikir, supaya tidak menilai salah, menjatuhkan vonis musyrik,
bid’ah pada orang lain, bahkan mengkafirkannya. Ahlussunnah wal jama'ah menekankan
pentingnya menggunakan kedua jenis dalil, yaitu dalil akal yang bersumber dari pemikiran
rasional dan dalil syara' yang berasal dari teks agama . Hal ini dilakukan agar tidak terjadi
ketidakseimbangan di mana satu jenis dalil mendominasi yang lain. Pemahaman terhadap
akidah dapat lebih utuh dan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam (Nugraha & Sandhubaya,
2023). Sedangkan, menurut Shodiq, 2015 yaitu dalam upaya menjaga kesucian akidah,
ahlussunnah wal jama'ah melakukan pemurnian dan peluruskan dari pengaruh akidah yang
sesat. Ini mencakup identifikasi dan penolakan terhadap pemahaman yang menyimpang dari
ajaran Islam, baik yang berasal dari dalam maupun luar Islam. Tujuannya adalah untuk
menjaga kemurnian akidah umat Islam dan menghindari pengaruh yang dapat merusak
keyakinan. Prinsip ini mendorong pemikiran yang seimbang dan objektif dalam menilai dan
mengevaluasi pandangan orang lain. Ahlussunnah wal jama'ah mengajarkan agar tidak
mudah menilai orang lain sebagai musyrik, bid'ah, atau bahkan kafir tanpa dasar yang kuat.

Internalisasi Nilai Tawasuth dalam Pembelajaran


Murtadlo (2021) mengatakan bahwa nilai-nilai Islam moderat seperti tawasuth
diinternalisasikan ke dalam lembaga pendidikan Islam dengan cara, pertama, membangun
lingkungan pendidikan yang moderat dengan menghadirkan guru-guru dan tenaga
kependidikan yang moderat. Kedua, menyisipkan nilai-nilai Islam moderat ke dalam
kurikulum pendidikan Islam yang menjadi acuan dalam proses pembelajaran sehari-hari.
Misalnya, menyisipkan nilai-nilai Islam moderat melalui tujuan pembelajarannya, materi
pembelajarannya, media pembelajarannya, dan evaluasi pembelajaran.
Sebuah proses internalisasi akan lebih cepat terealisasi jika dengan keterlibatan atau
orang yang dijadikan panutan, ada orang yang dihormati dan kemudian dijadikan panutan,
sehingga dengan demikian dia akan menerima serangkaian ajaran atau norma melalui
peneladanan.dalam psikologi dan sosiologi, proses ini diartikan sebagai identifikasi. Sikap
dan perilaku kemudian terwujud melalui pembelajaran. Proses Internalisasi Nilai Islam
tawasuth dalam pembelajaran di SD dilakukan dengan 3 tahap yaitu: Tahap Transformasi
Nilai, Tahap Transaksi Nilai, Tahap Transinternalisasi Nilai. Tahapan Transformasi Nilai
menggunakan metode ceramah yaitu guru menjelaskan tentang materi kemudian dibuka tanya
jawab, tahapan Transaksi Nilai yakni guru menggunakan metode keteladanan, tahapan
Transinternalisasi yakni Nilai guru melakukan pengamatan dan pengawasan (Saifullah 2017).

Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Tawasuth


Nahdlatul Ulama (Aziz, 2007: 184) memiliki kerangka berpikir yang didasarkan pada
ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah yang akhirnya menghasilkan Khittah Nahdlatul Ulama.
Khittah ini diterapkan menurut kemasyarakatan di Indonesia dan digali dari intisari sejarah
NU. Sudah sangat jelas dalam Khittah Nahdlatul Ulama ini, disebutkan (Siddiq, 2005: 59)
bahwa warga Nahdlatul Ulama memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya
dengan kelompok lain. Karakter tersebut adalah at-Tawasuth (pertengahan), al-I’tidal (tegak
lurus) dan at-Tawazun (keseimbangan).
Termaktub juga dalam khittah Nahdlatul Ulama (Muzadi, 2006: 27), jika warga NU
mau memanifestasikan apa yang dilandaskan pada dasar–dasar keagamaan serta karakteristik
di atas, terutama Tawasuth yang merupakan tumpuan dari serangkaian sikap, maka akan
menciptakan beberapa sikap terpuji dan beradab. Untuk itulah karakter at-Tawassuth,(Siddiq,
2005: 38) merupakan karakter agama Islam yang paling esensial, dan sasaran yang utama
adalah di lembaga pendidikan dasar dimana yang menjadi objeknya adalah para anak – anak.
Karena pendidikan agama di sekolah dasar mempunyai peranan yang sangat penting,
diungkapkan oleh Syamsu Yusuf dan Nani M. Sugandhi (2011: 69), yang mengutip
pernyataan dari Zakiyat Darajat, bahwa pendidikan agama disekolah dasar merupakan dasar
bagi pembinaan sikap positif terhadap agama, pembentukan kepribadian dan akhlak anak.
Apabila berhasil, maka pengembangan sikap keagamaan pada masa remaja akan mudah,
karena anak telah mempunyai pegangan atau bekal dalam menghadapi berbagai guncangan
yang biasa terjadi pada masa remaja.
Secara etimologi, kata karakter berasal dari bahasa Inggris (character) dan Yunani
(character) yang berarti membuat tajam, membuat mendalam. Karakter juga bisa diartikan
sebagai tabiat, perangai atau perbuatan yang selalu dilakukan (kebiasaan). Karakter juga
diartikan sebagai watak atau sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan
tingkah laku. Menurut Thomas Lickona sebagaimana dikutip oleh Agus Wibowo (2012: 32),
karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat
alami itu dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya.
Karakter at-tawassuth (Hasan, 2010: 70) harus mampu dimanifestasikan dalam
berbagai bidang, agar nantinya sikap dan tingkah laku umat Islam dapat dijadikan sebagai
teladan dan ukuran manusia pada umumnya. Karena Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini
akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat
membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim. Untuk itulah
karakter at-Tawassuth, (Siddiq, 2005: 38) merupakan karakter agama Islam yang paling
esensial. Maka semua warga Nahdlatul Ulama berpendirian faham Ahlussunnah Wal Jama'ah
harus diterapkan dalam tata kehidupan nyata di masyarakat dengan serangkaian sikap yang
bertumpu pada karakter at-Tawassuth.
Konsep at-tawassuth adalah suatu nilai yang bersikap awang-awangan bagai anak.
Dalam mengajarkan suatu nilai bersifat awang-awangan, para orang tua dan pendidik harus
mampu memberikan pemahaman yang sedikit demi sedikit terhadap makna-makna segala
sesuatunya. Nilai-nilai tersebut akan lebih mengena pada jiwa anak jika mampu dibenturkan
pada fenomena dan pengalaman yang mereka hadapi atau mereka temukan. Sekolah mampu
memberikan pembelajaran yang terarah, terstruktur dan berjenjang, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Sagala (2008: 231) bahwa Pendidikan formal adalah lembaga yang disebut
dengan sekolah yang merupakan bagian dari pendidikan yang berjenjang dan
berkesinambungan. Sekolah berfungsi untuk mempertahankan dan mengembangkan tatanan
tatanan sosial serta kontrol sosial melalui program program atau kurikulum yang diberikan.
Dalam menciptakan suatu sekolah yang berbasis pendidikan karakter dapat diterapkan
melalui manajemen sekolah yang berkarakter, mengintegrasikan pendidikan karakter dalam
proses pembelajaran, pengembangan budaya sekolah berbasis pendidikan karakter dan
menggunakan ekstrakurikuler sebagai wahana pendidikan karakter.
Implementasi khittah NU tentang konsep at-Tawassuth ahlus sunnah wal jamaah
dalam membangun karakter anak secara garis besar meliputi:
1. Pada bidang Akidah
Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. Dengan pengertian dalil
aqli ditempatkan dibawah dalil naqli. NU mengenal hirarki sumber ajaran Islam
sebagaimana dilakukan oleh mayoritas umat Islam, yaitu mulai Alquran, sunnah,
ijma’ (kesepakatan jumhur ulama’), dan qiyas (pengambilan hukum melalui analogi
tertentu.
2. Pada Bidang Akhlak
Ahlussunnah wal Jamaah berupaya untuk membimbing manusia dalam mencapai
derajat keikhlasan. dan dasar yang paling penting diajarkan kepada anak adalah
tauhid. Selain itu untuk menciptakan suatu kehidupan yang baik harus selalu berlaku
seimbang dalam urusan hablum min Alla) dan hablun min al-nasatau nilai tauhidiyan
dan nilai insaniyah.
3. Pada Bidang Pergaulan antar golongan
Penerapan Karakter at-tawassuth (moderat) menerapkan sikap menghargai plurarisme
yang berlandaskan pada nilai-nilai plural, moderat, dan adil dalamukhuwwah
nahdliyyiah, baik ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, atau pun ukhuwah
insaniyah
4. Pada Bidang Kebudayaan
Perilaku budaya kaum nahdliyyin adalah menempatkan kebudayaan dengan segala
manifestasinya pada posisi yang wajar. Dan menyikapi kebudayaan dengan ukuran
nilai atau norma-norma hukum dan ajaran agama. Sehingga akan menghasilkan sikap
menghargai suatu kebudayaan dan tidak berlebih-lebihan dalam menilai budaya asing.
Pada hakikatnya, dalam amaliyah NU sudah terdapat nilai-nilai ynag tepat untuk
digunakan dan diterapkan di beberapa lembaga pendidikan sekolah dasar sebagai sarana
untuk mengaktualisasikan konsep At Tawasuth Ahlus Sunnah Wal Jamaah dalam
membangun karakter Anak.
1. Bidang Akidah
Kaum Nahdliyin sangat akrab dengan budaya khatmil Quran, yaitu mengatamkan
kitab suci Al-Quran dalam sehari secara bersama-sama. Amaliyah ini sangat penting
diajarkan kepada anak, karena melalui khotmil Quran, anak-anak akan terbiasa mengamalkan
Al-Quran dalam dirinya. Selain itu mengajarkan kandungan atau maksud yang terdapat pada
suatu ayat kepada anak juga sangat penting, sehingga anak-anak tersebut akan mampu
mengambil pelajaran dari ayat-ayat Al- Quran tersebut dan menjadikannya sebagai pedoman
dalam kehidupan sehari- hari.
2. Bidang Pendidikan
Melalui pengajaran Pengenalan atau penanaman pengertian nilai pada anak
merupakan hal yang sangat penting karena tanpa mengetahui maksud dari suatu nilai tersebut
ketika anak mengerjakannya maka anak tersebut hanya sekedar mengerjakan tanpa paham
apa maksud, tujuan dan fungsi suatu nilai tersebut bagi anak. Dan cara yang paling efektif
untuk menanamkan pengertian nilai pada anak adalah melalui pengajaran atau pendidikan.
Pengajaran nilai attawasuth dapat menggunakan strategi 3M (Moral Knowing, Moral Loving
and Moral Doing), Sebagaimana yang diungkapkan oleh Gunawan (2012: 193-194), moral
knowing merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter, dimana dalam langkah ini
diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nili-nilai. Selanjutnya moral loving
merupakan penguatan aspek emosi dan afektif anak untuk menjadi manusia karakter, dimana
dalam langkah ini diharapkan anak mampu mencintai dan merasa butuh terhadap nilai-nilai
akhlak mulia. Dan terakhir moral doing menyentuh pada ranah psikomotorik, dimana anak
mampu melakukan atau bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang tertanam dalam diri anak.
3. Bidang Kebudayaan
Aktualisasi penerapan karakter at-Tawasuth pada bidang kebudayaan dapat dilakukan
melalui pemahami, mengikuti dan membiasakan amaliyah-amaliyah budaya NU yaang sudah
mengalami proses Islamisasi. Amaliyah-amaliyah tersebut, diantaranmya adalah: kupatan,
mitoni, khajatan dan lainnya. Pengenalan tradisi-tradisi seperti ini atau tradisi lain yang
mengalami islamisasi misalnya tradisi ngapati dan mitoni pada wanita hamil, syuronan,
ruwahan dan tradisi lainnya pada anak juga sangat penting. Dengan memahami tradisi-tradisi
tersebut maka akan tertanam dalam jiwa anak untuk tidak memandang secara berlebihan
terhadap tradisi, serta tidak phobia terhadang budaya asing. Selain itu keikutsertaan anak-
anak dalam pengadaan tradisi-tradisi tersebut akan menimbulkan rasa ukhuwah
(persaudaraan) terhadap sesama karena disini anak dibiasakan untuk berhubungan dengan
orang lain.
4. Bidang Pergaulan Antar Golongan
Dalam menanamkan karakter at-tawasuth dalam bidang pergaulan antar golongan,
dapat dilakukan dengan mengikut sertakan anak pada kegiatan ziarah (kunjungan) ke makam
para wali, sesepuh, dan para guru. Kemudian mengenalkan Budaya,Agama, Suku lain.
Beberapa amaliyah NU diatas dapat digunakan sebagai sarana untuk aktualisasi Implementasi
karakter at-tawasuth dalam diri anak. Selain amaliah diatas penulis berpendapat bahwa
pengenalan agama, suku, ras dan budaya lain juga perlu karena dengan sedikit tahu
keberadaan agama lain, anak- anak akan mampu menghormati agama, suku, ras dan budaya
lain. Dengan munculnya sikap menghormati terhadap yang lain maka secara tidak lansung
akan muncul sikap menghargai pluralisme dalam diri anak.
Dengan tumbuh rasa menghargai pluralisme dalam diri anak, akan selalu tertanam
dalam diri anak pula untuk tidak bersifat fanatik pada hal yang diyakininya dan tidak akan
ada rasa menganggap salah pada agama, suku, ras dan budaya lain diluar yang diyakininya.
Amaliyah-amaliyah NU diatas, dapat digunakan sebagai sarana menanamkan karakter At-
Tawasuth dalam diri anak melalui mengintregasikan pada pembelajaran atau digunakan
sebagai progam ektrakulikuler wajib pada anak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. D. A., & Alfatra, S. (2019). Narration of Islamic Moderation: Counter over
Negative Content on Social Media. Millati: Journal of Islamic Studies and
Humanities, 4(2), 153–164. https://doi.org/10.18326/mlt.v4i2.153-164

Aqib, Zainal, 2010, Pendidikan Karakter Membangun Perilaku Positif Anak Bangsa,
Bandung:Yrama Widya.

Azwar, Saifudin, 2011, Metode Penelitian,Yogjakarta: Pustaka Pelajar, cet xii

Darajat, Zakiyah, 2012, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.

Darajat, Zakiyah, 1994, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, Jakarta;Ruhama.

Gunawan, Heri, 2013, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, Bandung; Alfabeta.

Jannah, I. N., Rodliyah, R., & Usriyah, L. (2023). Cultural Transformation in Religious
Activities Based on Ahlussunnah Wal Jama’ah Values in Islamic Boarding Schools.
Nazhruna, 6(2). https://doi.org/10.31538/nzh.v6i2.3404

Murtadlo, M. Pendidikan Moderasi Beragama: Membangun Harmoni, Memajukan Negeri


(Jakarta: LIPI Press, 2021).

Nikmah, F. (2018). Implementasi Konsep At Tawasuth Ahlus-sunnah Wal Jama’ah dalam


Membangun Karakter Anak di Tingkat Sekolah Dasar (Studi Analisis Khittah
Nahdlatul Ulama). Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, 15(1).
https://doi.org/10.34001/tarbawi.v15i1.720

Nugraha, R. M., & Sandhubaya, G. (2023). Ahlussunnah Wal Jama’ah Communication


Forum is an Islamic Political Organizational Movement in Legal Studies. Jurnal
Cakrawala Hukum, 14(2), 212–222. https://doi.org/10.26905/idjch.v14i2.10174

Shodiq, S. (2015). Transmisi Ideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah: Studi Evaluasi


Pembelajaran Ke-Nu-an di SMA Al-Ma’ruf Kudus. Nadwa, 9(2), 183–198.
https://doi.org/10.21580/nw.2015.9.2.523

Saifullah, Idris. Internalisasi Nilai dalam Pendidikan (Konsep dan Kerangka dalam
Pendidikan Islam) (Yogyakarta: Darussalam Publishing, 2017) 18.

Murtadlo, M. Pendidikan Moderasi Beragama: Membangun Harmoni, Memajukan Negeri


(Jakarta: LIPI Press, 2021).

Moderat M. Quraish Shihab).” Al-Fanar: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir 1, no. 1 (2018).

Muhammad Yunus, “Pendidikan Karakter Bangsa berbasis ASWAJA Terintegrasi dalam


Pembelajaran Bahasa Inggris”. http://www.fkipunisma.ac.id/bahasainggris

Anda mungkin juga menyukai