Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr. Wb


Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya
lah kami dapat menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa kami mengucapakan terima
kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Aswaja dosen pengampu Akhmad
Nurul Huda, M.Pd dan pihak-pihak lain yang telah mendukung dalam kelancaran
pembuatan makalah ini.

Adapun maksud dan tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas kelompok Mata Kuliah. Didalam penulisan makalah ini kami menyadari bahwa
masih terdapat kekurangan dan kekeliruan. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca untuk menyusun makalah lain di masa yang
akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat tidak hanya bagi kami tetapi juga bagi
pembaca.

Wassalamu Alaikum Wr. Wb 

Jakarta, 13 Oktober  2018

Penyusun

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah....................................................................................................3
B.     Rumusan Masalah.............................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN
A. Metodologi atrau Teologi Aswaja…………………………………………………………5
B. Dasar Hukum Ahlu Sunnah wal Jama’ah…………………………………………………..8
C. Aswaja Dalam Menanggapi Masalah Aqidah……………………………………………...9

BAB III PENUTUP


A.    Kesimpulan.......................................................................................................................10
B.     Saran................................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................11

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Aqidah pada masa Nabi adalah aqidah paling bersih, yaitu aqidah islam yang
sebenaranya, karena belum tercampur oleh kepentingan apapun selain hanya karena
Allah SWT. Ini disebabkan karena Nabi adalah sebagai penafsir al-Qur’an satu-
satunya, sehingga setiap sahabat yang membutuhkan penjelasan al-Qur’an yang
berkaitan dengan keyakinan maka Nabi langsung menjelaskan maksudnya. Selain itu
umat terbimbing langsung oleh Nabi, sehingga dalam memahami agama tidak terjadi
perbedaan.
Kemudian, aqidah pada masa sahabat masih sama dengan zaman Nabi, belum
membentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri apalagi membentuk sebuah nama
tertentu, maupun aliran-aliran pemikiran tertentu.
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang
ilmu kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat
dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga
teolog disebut sebagai “mutakallim”, yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata.
Ilmu “kalam” juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, yaitu ilmu yang
membahas ajaran dasar dari agama.
Perbedaan yang muncul pertama kali dalam Islam bukanlah masalah teologi,
melainkan bidang politik. Kemudian, seiring dengan perjalanan waktu, perselisihan
politik ini meningkat menjadi persoalan teologi. Bahkan ada dua teori yang
membahas latar belakang timbulnya persoalan teologi yakni perbedaan aliran ilmu
kalam. Pertama, awal tercampurnya masalah aqidah dengan hal yang lain adalah
sejak mulai dari  khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan terbunuh karena beberapa
sahabat Nabi terlibat dalam urusan yang bersifat politis. Dan masalah ini kian rumit
ketika peristiwa tahkim terjadi pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Kedua,
aliran ilmu kalam muncul karena hasil iterpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur’an
maupun kajian terhadap hadits yang bersifat teologis. Diantara sekian banyak ilmu
kalam yang bermunculan ialah Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Qadiriyah, Jabariyah, dan
Mu’tazilah yang berakhir dengan peristiwa mihnah yang menjadi sebab awal
terbentuknya aliran Ahlussunnah wal Jama’ah.

3
Ahlussunnah wal Jama’ah memang “satu istilah” yang mempunyai “banyak
makna” , sehingga banyak golongan dan faksi dalam Islam yang mengklaim dirinya
adalah “Ahlussunnah wal Jama’ah”. ‘Ulama dan pemikir Islam mengatakan, bahwa
Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan golongan mayoritas umat Islam di dunia
sampai sekarang, yang secara konsisten mengikuti ajaran dan amalan (sunnah) nabi
dan para sahabat-sahabatnya, serta memperjuangkan berlakunya di tengah-tengah
kehidupan masyarakat Islam.
Meskipun pada mulanya Ahlussunnah wal Jama’ah itu menjadi identitas
kelompok atau golongan dalam dimensi teologis atau aqidah Islam dengan fokus
masalah ushuluddin (fundamental agama), tetapi dalam perjalanan selanjutnya tidak
bisa lepas dari dimensi keislaman lainnya, seperti Syari’ah atau Fiqhiyah, bahkan
masalah budaya, politik, dan sosial.
Melalui makalah ini nantinya akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, baik tentang riwayat asal mula munculnya aliran
ini, perkembangannya, doktrin-doktrinnya dan yang terpenting adalah
kepercayaannya. Semoga makalah ini dapat memberikan gambaran dan penjelasan
yang baik terhadap Ahlussunnah wal Jama’ah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Memahami teologi ASWAJA
2. Memahami dasar ASWAJA dan posisi akal.
3. Memahami ASWAJA dalam menyikapi masalah akidah

4
BAB II
PEMBAHASAN

A.Metodologi atau Teologi Aswaja

Ahlussunnah wal Jama'ah yang dikembangkan oleh NU memiliki prinsip-


prinsip dasar yang menjadi rujukan bagi tingkah laku sosial dan pemahaman
keagamaan warga NU.
Prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama'ah, yang bersumber kepada al-Qur'an,
sunnah, ijma', dan qiyas ini telah menjadi paradigma sosial-kemasyarakatan warga
NU yang terus dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat
Islam dan pemikirannya.
Prinsip-prinsip dasar ini meliputi :

1.Prinsip Tawassuth
Tawassuth merupakan sebuah sikap tengah atau moderat.  Sikap moderat
tersebut berdasarkan firman Allah SWT:

ٰ
ِ َّ‫ لِتَ ُكونُوا ُشهَدَا َء َعلَى الن‬a‫م أُ َّمةً َو َسطًا‬aْ ‫َو َك َذلِكَ َج َع ْلنَا ُك‬
‫اس َويَ ُكونَ ال َّرسُو ُل َعلَ ْي ُك ْم َش ِهيدًا‬
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al-Baqarah: 143).
Dalam Tafsir Al-Qurthubi, redaksi Wasathon dalam ayat tersebut diartikan
dengan sifat adil atau sifat tengah. Penafsiran seperti ini berdasarkan penjelasan
langsung dari Rasulullah SAW sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
At-Thurmudzi.
Dalam konteks pemikiran dan amaliyah keagamaan, prinsip moderat yang
diusung oleh Aswaja sebagai upaya untuk menghindar dari sikap ekstrem kanan yang
berpotensi melahirkan paham fundamentalisme atau radikalisme, dan menghindari 
sikap kebebasan golongan kiri yang berpotensi melahirkan liberalisme dalam ajaran
agama. Dan dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran dan sikap moderat
seperti ini sangat urgen dalam menjadikan semangat untuk mengakomodir beragam
kepentingan dan perselisihan serta jalan keluar untuk meredamnya.

2.Prinsip Tawâzun,

5
Tawazun merupakan sikap berimbang dan harmonis dalam mengintegrasikan
serta mensinergikan pertimbangan-pertimbangan untuk mencetuskan sebuah
kebijakan dan keputusan. Sikap seperti ini berdasakan firman Allah SWT:

ِ ‫َاب َو ْال ِميزَ انَ لِيَقُو َم النَّاسُ بِ ْالقِس‬


‫ْط‬ َ ‫ َم َعهُ ُم ْال ِكت‬a‫ت َوأَ ْن َز ْلنَا‬
ِ ‫لَقَ ْد أَرْ َس ْلنَا ُر ُسلَنَا بِ ْالبَيِّنَا‬
“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan” (QS. Al-Hadid: 25).
Kalau diaktualisasikan dalam ranah kehidupan, dengan prinsip tersebut
Aswaja memandang realitas kehidupan secara substantif. Sehingga menjadikan
Aswaja tidak mau terjebak dalam klaim kebenaran dalam dirinya ataupun
memaksakan pendapatnya kepada orang lain yang mana hal tersebut merupakan
tindakan otoriter dan pada gilirannya akan mengakibatkan perpecahan, pertentangan,
maupun konflik.

3.Prinsip Netral (Ta’adul)atau (I’tidal)


Ta’adul merupakan sikap adil atau netral dalam melihat, menimbang,
menyikapi dan meyelesaikan segala permasalahan. Dengan artian, sikap ini adalah
bentuk upaya yang proporsional yang patut dilakukana berdasarkan asas hak dan
kewajiban masing-masing. Sesuai firman Allah SWT:

‫م َعلَى أَال تَ ْع ِدلُوا ا ْع ِدلُوا‬aٍ ْ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ُكونُوا قَ َّوا ِمينَ هَّلِل ِ ُشهَدَا َء بِ ْالقِ ْس ِط َوال يَجْ ِر َمنَّ ُك ْم َشنَآنُ قَو‬
َ‫هُ َو أَ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى َواتَّقُوا هَّللا َ إِ َّن هَّللا َ َخبِي ٌر بِ َما تَ ْع َملُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS. Al-Maidah: 8).
Kalaupun keadilan menuntut adanya kesamaan dan kesetaraan, hal tersebut
hanya berlaku ketika realita individu benar-benar sama secara persis dalam segala
sifatnya. Namun, apabila dalam realitanya terjadi keunggulan (tafadhul), maka
keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdhil). Bahkan penyetaraan antara
dua hal yang jelas terjadi tafadhul adalah tindakan aniaya yang bertentangan dengan
prinsip keadilan itu sendiri.

4. Prinsip Tasâmuh

6
Tasamuh merupakan sikap toleran yang bersedia menghargai terhadap segala
kenyataan keanekaragaman dan perbedaan, baik perbedaan dalam segi pemikiran,
keyakinan, suku, bangsa, agama, tradisi, budaya dan lain sebagainya. Pluralitas dan
multikulturalitas merupakan sebuah keniscayaan yang sepatutnya disadari.
Kemajemukan  yang melandasi semua aspek kehidupan manusia tentu saja tidak
pernah terlepas dari sebuah latar belakang, sebab, maupun tujuan. Dalam Alquran
disebutkan:

‫ت َوي ُْؤ ِم ْن بِاهَّلل ِ فَقَ ِد ا ْستَ ْم َسكَ بِ ْالعُرْ َو ِة‬


ِ ‫َي فَ َم ْن يَ ْكفُرْ بِالطَّا ُغو‬
ِّ ‫ِّين قَ ْد تَبَيَّنَ الرُّ ْش ُد ِمنَ ْالغ‬
ِ ‫ال إِ ْك َراهَ فِي الد‬
َ ِ‫ْال ُو ْثقَى ال ا ْنف‬
‫صا َم لَهَا َوهَّللا ُ َس ِمي ٌع َعلِي ٌم‬
“Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam Sesungguhnya Telah jelas
jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar
kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang
kepada tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi
Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 256).
Namun soal akidah dan ibadah dalam Islam tidak ada toleransi. Dalam
melakukan ibadah tidak boleh dicampur dengan kegiatan yang di luar agama, dan
juga tidak boleh dicampur dengan keyakinan yang berasal dari luar agama Islam,
tidak boleh bersama-sama dalam melakukan ibadah dengan agama selain Islam.
Karena agama Islam menegaskan “Bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Perlu
disadari bahwa betapa penting peranan toleransi antar elemen umat dan masyarakat.
Hal tersebut tak lain demi terciptanya kedamaian dan mobilisasi ketahanan suatu
negara sebagai wadah dalam membumikan syariat dan manivestasi nyata tugas
manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.
Jika dicermati secara intensif, doktrin-doktrin Aswaja sebagai paham dengan
metodenya yang komprehensif baik dalam bidang akidah (Iman), syariat (Islam), dan
akhlak (Ihsan), dapat diambil sebuah kesimpulan berupa metodologi pemikiran
(Manhaj Al-Fikr) yang moderat (tawassuth), berimbang (tawazun), netral (ta’adul),
dan toleran (tasamuh). Sehingga pemahaman Aswaja hanya terbatas dalam kajian
akidah dan fikih sudah bisa ditepis. Dengan beberapa prinsip itu pula Aswaja sangat
mudah diterima dan diterapkan di dalam masyarakat serta ikut berperan dalam
memajukan kehidupan yang penuh perdamaian dalam wahana kebangsaan dan
kenegaraan bersama tradisi, peradaban, dan kebudayaan lain. waAllahu A’lam.

B. Dasar Hukum Ahlussunnah wal Jama'ah

7
Ahlussunah Wal Jama’ah (ASWAJA) didalam mengambil hukum
menggunakan dasar Al-qur’an dan AL-Hadis disamping itu juga menggunakan
Ijma’Qiyas.
1. Al-Quran
Al-qur’an adalah merupakan dasar hukum yang paling kuat didalam  Islam
sebelum tiga dasar yang lain (Surat An-Nisa’:105)

a‫انا انزلنا اليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما ارئك هللا والتكن للخائنين خصيما‬
Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepada. (Q.S. S.An – Nisa : 105)

2. Al-Hadits
Al-Hadis adalah dasar hukum kedua setelah Al-Qur’an, bila didalam AL-
qur’an tidak secara tegas disebutkan maka hadis yang menjelaskan. Contoh: dalam
AL-Qur’an disebutkan kewajiban sholat dan mengeluarkan zakat, namun jumlah
rekaat dan kewajiban pengeluaran zakat berapa nishobnya tidak dijelaskan secara
detail maka hadist Nabi yang menjelaskan tentang penjabaran tesebut.

3.Ijma’
Ijma’ (kesepakatan para ulama) ketika dicari dari AL-qur’an dan Al-Hadis
tentang hukum ternyata tidak ada, maka kita dapat menggunakan dasar hukum yang
ketiga yaitu Ijma’. Contoh : pada zaman Khalifah Utsman tentang penambahan
Adzan Tsani (adzan kedua) yang dikumandangkan sebelum melakukan sholat Jum’at
Qobliyatul Jum’ah, oleh karena kesepakatan para sehabat pada waktu itu dan
kebijakan Khalifah Utsman serta diikuti oleh sahabat lain dan tidak ada yang
menentangnya maka dilaksanakanlah Ijma tersebut (Ijma’ Shohabi).

4.Qiyas
Qiyas (menyamakan hukum sesuatu masalah yang belum diketahui hukumnya
dan masalah lain yang sudah diketahui, karena ada kesamaan illat yang mendasar
penentuan hukum) contoh : menqiyaskan tuak dengan khomer karena tuak itu haram
seperti hukumnya khomer, penentuan hukum tersebut didasarkan pada Q.S. An-Nisa’
ayat 59.

‫ االيه‬   ‫ الرسول والولى االمر منكم‬a‫ياايهاالذين امنوا اطيعوا هللا واطيعوا‬

8
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman taatlah kamu kepada Allah dan
Rasulnya dan Ulil Amri diantara kami, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-qur’an) dan rasulnya (Assunah) jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Qiyamat….

C. Aswaja Dalam Menanggapi Masalah AQidah


Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah “Tauhid”,
sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa
Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam.
Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.
Pilar yang kedua adalah “Nubuwwat”, yaitu dengan meyakini bahwa Allah
telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah
wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam
menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang
diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat  ini, ummat manusia harus
meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT,
yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang
harus diikuti oleh setiap manusia.
Pilar yang ketiga adalah “Al-Ma’ad”, sebuah keyakinan bahwa nantinya
manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan
mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua
akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka
yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk
akan masuk neraka.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai satu doktrin (ajaran) Ahlussunnah Waljamaah sudah ada jauh
sebelum dia tumbuh sebagai aliran dan gerakan, bahkan istilah Ahlussunnah
Waljamaah itu sudah dipakai sejak zaman Rosulullah dan para sahabat. Sebab hakikat
Ahlussunnah Waljamaah sebenarnya adalah Islam itu sendiri.
Di Indonesia sendiri Ahlussunnah Waljamaah muncul sebagai gerakan
pemurnian ajaran-ajaran Islam, sebagai respons dan reaksi atas terjadinya
penyimpangan-penyimpangan ajaran agama yang dilakukan oleh sekelompok yang
mengaku atau mengatasnamakan diri sebagai pembaharu. Sebagai gerakan
pemeliharaan pemurnian ajaran Islam, kaum Ahlussunnah Waljamaah selalu
berpedoman sesuai karakteristik dari Ahlussunnah Waljamaah itu sendiri, yaitu At-
Tawasuth (jalan tengah), Al-I’tidal (tegak lurus), At-Tasamuh (toleran), At-Tawazun
(seimbang) dan amar ma’ruf nah Munkar

B. Saran
Sebagai umat Islam kita harus waspada terhadap sesuatu yang bisa memecah
belah umat Islam sendiri, sehingga apabila umat Islam terpecah belah musuh-musuh
Islam dapat menyerang Islam dengan mudah. Dan juga terhadap kaum kafir yang
selalu berusaha untuk menghancurkan umat Islam yang selalu meluncurkan
propagandanya tersebut.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat memberikan
inspirasi sehingga ada yang meneruskan karya ini karah yang lebih baik, lebih detail,
dan lebih akurat dari yang telah ada.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://kumpulanmakalahkuliahlengkap.blogspot.com/2017/02/makalah-aswaja.html?
m=1,

https://lirboyo.net/implamentasi-metode-pemikiran-aswaja/,

http://atieqfauziati.blogspot.com/2016/01/makalah-ahlussunnah-wal-jamaah-
tugas.html?m=1,

11

Anda mungkin juga menyukai