Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH SOFTSKILL PENGADERENG

ADE’

“Makalah ini kami ajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Softskill
Pengadereng”

Dosen Pengampu :
Dr. Muhammad Ali, S.Pd., M.Pd.
Oleh :
Kelompok 4
Yuniar S (2269010129)
Ninda Julfikarni (2269010116)
Nur Hikmah (2269010130)
Jumalil Rahman (2269010114)
Karmila (2269010115)
Nirmalasari (2269010128)
Nuraeni (2269010127)
Septian Bayu A. (2269010113)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT. Atas berkat rahmat dan karunia-
Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Ade’” ini
tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Softskill Pangadereng. Dalam penyusunan makalah ini, kami
berusaha menggali informasi mengenai Ade’.
Makalah ini kami selesaikan dengan semaksimal mungkin, berkat
kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada segenap pihak yang telah berkontribusi secara
maksimal dalam penyelesaian makalah ini.
Diluar itu, kami sebagai manusia biasa menyadari sepenuhnya bahwa
masih banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, baik dari segi tata bahasa,
susunan kalimat maupun isi. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami
selaku penyusun makalah menerima segala kritik dan saran yang membangun dari
pembaca. Semoga makalah ini dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
bermanfaat buat kita semua serta mampu memberikan nilai yang memuaskan.

Watampone, 17 November 2022

Kelompok 4

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................I
DAFTAR ISI..........................................................................................................II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
C. Tujuan penulisan...........................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ade’...............................................................................................................2
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................9
B. Saran..............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................10

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman suku, agama, dan bahasa yang
memungkinkan diadakannya penelitian bidang folklor. Pengetahuan dan
penelitian folklor sangat penting untuk inventarisasi, dokumentasi, dan referensi.
Dalam mencari identitas bangsa Indonesia, sangat perlu menelusuri keberadaan
folklor sebagai bagian kebudayaan bangsa. Kebudayaan adalah keseluruhan
kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan
kemampuan serta kebiasaan yang dipunyai manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan yang di hasilkan manusia sebagai wujud. Sistem norma dan aturan-
aturan adat yang mengatur kehidupan orang Bugis ini kemudian dikenal dengan
ade’. Di dalamnya terdapat tata tertib yang bersifat normatif yang menjadi
pedoman sikap hidup dalam menghadapi, menanggapi, dan menciptakan harmoni
kehidupan.

Tradisi adalah kebiasaan turun-temurun sekelompok masyarakat berdasarkan


nilai budaya masyarakat bersangkutan. Tradisi anggota masyarakat berperilaku
baik dalam pan yang bersifat duniawi maupun terhadap hal-hal yang bersifat gaib
dan keagamaan (Esten, 1999: 21).Suku Bugis sebagai salah satu suku terbesar di
Sulawesi Selatan memiliki nilai kebudayaan tersendiri. Salah satu kekayaan
budaya Bugis ialah folklor. Folklor dalam masyarakat Bugis biasanya
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lainnya melalui penuturan lisan.
Penuturan lisan demikian lazim disebut sastra lisan.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini dibuat untuk mengetahui
1. Apa itu ade dalam bugis?

C. Tujuan penulisan
Untuk mengetahui dan memahami ade dalam bugis

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Ade’
Ade’ (diterjemahkan sebagai adat) sebab Ade’ adalah pribadi
kebudayannya. Adat merupakan konsep kunci keyakinan orang Bugis yang
mendasari segenap gagasannya mengenai hubungannya, baik dengan sesama
manusia, pranata-pranata sosial, maupun dengan alam sekitarnya, bahkan dengan
makrokosmos (Rahim, 2011). Adat tidaklah berarti hanya sekedar
kebiasaan. Ade’ tersebut terwujud dalam watak masyarakat dan kebudayaan serta
orang-orang yang menjadi pendukungnya (Rahim, 2011). Nilai-nilai utama
Masyarakat Bugis, termasuk Siri’ dan Pesse dapat ditanamkan dan dikuatkan
melalui Ade’.
Sesungguhnya kata Makkiade’ dan Mangade’ adalah sama-sama berasal dari kata
“Ade’” (adat). Bahwa inti sari dari keluhuran budaya, itulah Adat Istiadat menurut
definisi yang dikemukakan oleh DR. I Wayan Bawa. Namun bagaimanakah
pengertian adat menurut Masyarakat Bugis ?. Bahwa “ade’” secara harfiah adalah
berarti hulu atau arah darimana arus sungai berasal. Ketika sebuah perahu dikayuh
menuju arah hulu sungai, maka dibahasakanlah : “nawisei lopinna mangade’ lao
riyase’” (ia mendayung perahunya menuju keatas hulu). Maka “ade’”
sesungguhnya bermaknakan sebagai tempat yang terletak pada tempat yang
tinggi, hal yang kiranya kurang lebih sama dengan pemaknaan “inggil” pada
masyarakat Suku Jawa. Olehnya itu, Ade’ dimaknakan sebagai tata cara yang
bersumber dari pribudi Tinggi dengan meliputi pranata-pranata berbahasa,
berprilaku dan bertingkah laku. Maka La Paturusi To Maddualeng Paddanreng
bettempola dalam Abad 15 menguraikan Ade’ dalam 4 bagian, sebagai berikut :
“Patampuengengngi nariyaseng Ade’ iyanaritu//Engka warina//Engka Tuppuna//
Engka Rapangna//Engka Bicaranna” (bahwa sesungguhnya terdiri dari kesatuan
empat hal sehingga disebut sebagai adat, yaitu//Memiliki tatanan (pranata/trata
sosial)//memiliki keselarasan//memiliki sejarah (pengandaian/pengibaratan)
//memilki hukum tertulis/Undang-Undang/Peraturan).

2
Konsep pangadereng ini meliputi sistem norma, tata tertib dan aturan-
aturan adat, yang mengatur tingkah laku setiap orang dalam lingkungan sosialnya.
Sistem norma dan aturan-aturan adat yang mengatur kehidupan orang Bugis ini
kemudian dikenal dengan ade’. Di dalamnya terdapat tata tertib yang bersifat
normatif yang menjadi pedoman sikap hidup dalam menghadapi, menanggapi,
dan menciptakan harmoni kehidupan.

Sistem pangadereng ini diatur dalam suatu sistem yang kuat yang saling
mengikat, meliputi ade’(adat-istiadat), tentang bicara (peradilan), tentang rapang
(pengambilan keputusan/kebijakan berdasarkan perbandingan dengan negara
lain), tentang wari (sistem protokoler kerajaan) dan tentang sara (syariat islam).
Sara ini merupakan aturan baru yang masuk dalam konsep pangngadereng pasca
masuknya Islam di Sulawesi Selatan.

Ade’ mengatur tata hidup dan tingkah laku setiap individu dalam
bermasyarakat. Ada yang dikenal dengan ade puraonro yang kurang lebih
merupakan suatu tingkah atau cara memperlakukan sesama di dalam masyarakat.
Adat ini sudah ada dan berlaku secara turun temurun sehingga meninggalkannya
akan dianggap telah meninggalkan ade’ atau sudah tidak memiliki etika, misalnya
ikwal tata cara peminangan. Ada juga yang dikenal dengan ade’ maraja, yang
lahir dari suatu kebiasaan yang disepakati dan telah disahkan dalam suatu
perjanjian yang dikenal dengan wari’.

Melalui Ade’, Siri dan Pesse dapat dikuatkan untuk mempromosikan


perilaku berkelanjutan masyarakat Bugis.  Pesan “malu secara bersama demi
kehidupan yang akan datang” dapat dijadikan sebagai suatu tujuan Ade’ yang
akan dicapai. Selanjutnya, pemangku Ade’ dapat membuat aturan legal atas nama
Ade’. Secara logis, jika masyarakat Bugis melanggar Ade’ maka itu adalah
tindakan mappakasiri’siri dan akhirnya menimbulkan rasa malu (masiri’) yang
mengganggu harga diri dan martabatnya. Sebagai contoh, aturan-aturan pro-
lingkungan dimasukkan menjadi bagian dari sistem adat. Masyarakat yang
membuang sampah di sungai ataupun di lokasi tertentu dan masyarakat yang

3
mengambil sumber daya hutan tanpa izin akan mendapatkan sanski adat yang
lebih menonjolkan terganggunya martabat mereka yang kemudian menimbulkan
rasa malu. Aturan untuk membagikan hasil sumber daya alam secara merata
kepada semua kalangan masyarakat juga dapat dimasukkan sebagai aturan Ade’
yang merefleksikan nilai Pesse, apabila dilanggar akan membuat seseorang malu.

Berkaitan dengan Ade’, masyarakat juga sudah mengenal


istilah Pémmali yang secara umum dikenal sebagai ungkapan tabu. Istilah ini
merupakan bentuk larangan untuk bertutur dan bertindak sesuatu yang tidak
sesuai dengan adat dan aturan (Darmapoetra, 2014). Larangan tersebut dapat
menjadi norma dalam hidup yang kemudian mencerminkan kepatuhan masyarakat
Bugis pada sejumlah keyakinan yang telah ditanamkan leluhurnya. Dengan
demikian, Pemmali dapat diungkapkan untuk mencegah masyarakat melanggar
hukum adat dan hukum alam yang dapat membuat penguasa alam ataupun
kekuatan gaib marah. Keyakinan ini dapat tercermin dalam berbagai ritual budaya
Masyarakat Bugis yang tersisa dari kepercayaan orang terdahulu (tau riolo), yang
dipengaruhi oleh animisme dan dinamisme, seperti Mappanre Tasiq (sesajian
untuk laut), Cera Labu (selamatan laut) dan tradisi Maccera’ Tappareng yang
terkenal di Danau Tempe (Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan). Inti dari ritual-
ritual tersebut adalah memohon keselamatan dan rezeki yang banyak, menolak
bala dan murka penguasa alam, juga menjaga ekosistem danau dan laut serta
kohesivitas sosial masyarakat nelayan (Mustamin, 2016). Pémmali juga dapat
terlihat dari adanya wilayah-wilayah hutan adat yang tidak dapat diganggu oleh
masyarakat setempat karena akan mengundang bala, yang pada akhirnya dapat
membantu menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Oleh karena
itu, Pémmali lebih lanjut dan juga dapat lebih menguatkan nilai
Siri’ dan Pesse melalui Ade’ dalam mendukung perilaku berkelanjutan.

Adapun bahasa yang dipergunakan dalam lingkup Istana sebagai bagian


dari Ade’ Maraja, dikenal sebagai Bicara Mangade’ ataupun Bicara Baruga. Kata-
katanya sedemikian halus yang dapat dimengerti oleh penutur Bicara Ammeng,
namun banyak menggunakan kalimat-kalimat tidak langsung, misalnya : “Tabe’,

4
Risompai cero dewatana datue. Majeppu ripangoloi ricappa’ ajena Opukku datue,
yinaritu minassanna atanna marennu pakengkai Datu Puengna riappabbotingenna
Sengngatakku maloloe, Puengku. Riorennungnamua Sengngatakkeng
makkasiwieng ri Opukkeng Datue, mamuare maminasa ammani engka ripatudang
cado ie’ rigau’na atanna, nariyala bunga-bunga enrengng Etopa paramata masua’,
nariyassuloang lao ri jemmana Datue” (Mohon ampun, sesungguhnya kami
menyembah pada darah kedewataannya sang Datu. Sesungguhnya dengan inilah
dihadapkan pada ujung kaki Pertuananku Sang Datu, yaitu permohonan abdinya
yang sangat berharap kiranya dapat mengahadirkan Tuannya pada acara
pernikahan sesamaku abdi yang bungsu, Tuanku. Sungguh dengan suka cita dan
harapan jua dari sesamaku abdi terhadap Tuanku Datu, semoga berkenan hadir
untuk didudukkan dalam acara yang diselenggarakan segenap hambanya,
sehingga menjadi bunga dan permata yang bersinar, untuk dijadikan suluh bagi
segenap rakyatnya Sang Datu).

Dalam bugis terdapat banyak ade’ (adat), disini kita mengambil contoh
ade’ (adat) perkawinan dalam bugis.

1. Tahap-tahap perkawinan

Tahap pra nikah atau Mappesek-pesek (penjajakan) merupakan langka awal


dari pihak laki laki dahulu mengadakan penjajakan terhadap wanita yang akan
dilamarnya dengan menanyakan apakah tidak ada orang yang melamar lebih
dahulu kepadanya. Dalam bahasa bugis dikatakan “De’togaga Taroi”. Mappesek-
pesek ini biasanya dilakukan oleh utusan pihak laki-laki yang terdiri dari satu
orang atau lebih laki-laki atau perempuan dari keluarga terdekat yang dapat
menyimpan rahasia, dengan maksud manakala usaha ini gagal, maka tidak mudah
diketahui oleh orang lain yang mungkin dapat mendatangkan perasaan malu (siri’
dalam bahasa bugis) bagi pihak laki-laki.

Madduta/Massuro (Melamar) adalah kelanjutan dari tahap pertama


(mapesekpesek) dengan mengutus orang yang dituakan dari pihak laki-laki ke
rumah pihak perempuan untuk menyampaikan amanah dan menyatakan

5
lamarannya secara resmi. Pada acara ini, pihak keluarga perempuan mengundang
keluarga terdekatnya, utamanya keluarga yang pernah dipanggil bermusyawarah
pada waktu dilakukan pembicaraan mammanu-manu, serta orang-orang yang
diangap bisa mempertimbangkan hal-hal lamaran. Pada waktu pelamaran,
keluarga wanita berkumpul di rumah orang tua atau wali wanita. Biasanya
Perwakilan orang tua pihak perempuan terdiri dari beberapa orang tua berpakaian
resmi/lengkap. Pakaian resmi laki- laki, yaitu jas, sarung, songkok, dan wanita
berpakaian kebaya, sarung sutera. Demikian pula orang-orang yang menjadi
perwakilan orang tua pihak laki-laki juga berpakaian resmi, sebagaimana halnya
keluarga pihak perempuan.

Mapasiarekeng atau biasa disebut mappetu ada. Pada waktu ini antara kedua
bekah pihak (pihak perempuan dan pihak laki-laki) bersama mengikat janji yang
kuat atas kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya untuk melaksanakan
suatu perkawinan, selalu ada upacara mappasiarekeng karena upacara madduta
masih dianggap belum resmi sebagai suatu ikatan dari kesepakatan kedua belah
pihak. Adapun acara madduta tersebut diibaratkan suatu benda belum diikat,
belum disimpul atau masih bersifat benda yang dibalut “nappai ribalebbe Bugis”
(Bugis), masih terbuka.

Mappaisseng adalah menyebarkan undangan mengenai pernikahan putra putri


mereka kepada pihak keluarga yang dekat, para tokoh masyarakat, dan para
tetangga. Pemberitahuan tersebut sekaligus sebagai permohonan bantuan baik
pikiran, tenaga, maupun harta demi kesuksesan seluruh rangkaian upacara
pernikahan tersebut. Pemberian bantuan harta biasanya dilakukan oleh pihak
keluarga terdekat.

Mappetettong sarapo atau baruga adalah mendirikan bangunan tambahan


untul tempat pelaksanaan pernikahan sarapo adalah bangunan tambahan yang
didirikan disamping kiri/kanan rumah induk sedangkan baruga adalah bangunan
tambahan yang didirikan terpisah dari rumah induk.

6
Mappasau botting atau merawat pengantin. Kegiatan ini dilakukan dalam
suatu ruangan tertentu selama tiga hari berturut-turut sebelum hari “H”
pernikahan.

Mappenre temme (khatam al-Quran) dan pembacaan barzanji. Sebelum


memasuki acara mappaci, terlebih dilakukan acara khatam al-Quran dan
pembacaan barzanji sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT dan
sanjungan kepada Nabi Muhammad SAW. Acara ini biasanya dilaksanakan pada
sore hari atau sesudah shalat ashar dan dipimpin oleh seseorang imam.

Mappaci atau tudammpenni (mensucikan diri). Pada malam menjelang hari H


pernikahan, kedua mempelai melakukan kegiatan mappaci atau tudammpenni
dirumah masing- masing acara ini dihadiri oleh kerabat, pegawai syara’, orang-
orang terhormat, dan para tetangga.

Cemme passili’, Mappassili’ yaitu permohonan kepada Allah SWT agar


kiranya dijauhkan dari segala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa
khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini dilaksanakan didepan pintu rumah
dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak masuk kedalam
rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar.

Macceko berarti mencukur rambut-rambut halus yang ada pada dahi dan
dibelakang telinga, agar supaya “dadasa” yaitu riasan hitam pada dahi yang akan
dipakai pada calon mempelai perempuan pada waktu rias dapat melekat dengan
baik. Acara ini hanya diperuntuhkkan bagi calon mempelai perempuan. Dahulu
kala model dadasa ini berbeda antara perempuan yang bangsawan dan perempuan
dari kalangan biasa.

2. Resepsi Atau Pesta Pernikahan

Secara garis besar, upacara atau resepsi pernikahan dibagi menjadi dua tahap
yaitu mappenre botting dan marola. Mappenre botting adalah mengantar
mempelai pria ke rumah mempelai wanita untuk melaksanakan beberapa
rangkaian kegiatan seperti maddupa botting, akad nikah, dan mappasiluka.

7
Mempelai pria diantar ole iring-iringan tanpa kehadiran kedua orang tuanya.
Madduppa botting berarti menyambut kedatangan mempelai pria dirumah
mempelai wanita. Marola atau Mapparola adalah kunjugan balasan dari pihak
mempelai wanita ke rumah mempelai pria. Pengantin wanita di antar ole iring-
iringan yang biasanya membawa hadiah sarung tenun untuk keluarga suaminya.
Setelah pemberian hadiah selesai, acara dilanjutkan dengan nasehat pernikahan
oleh ustadz yang tujuannya sama seperti nasehat pernikahan ditempat mempelai
wanita.

3. Upacara Pasca Pernikahan

Setelah upacara pernikahan dilangsungkan, masih terdapat sejumlah kegiatan


yang juga perlu dilakukan sebagai bagian dari adat pernikahan Bugis, di antaranya
adalah mallukka, ziarah kubur, dan. Massita beseng.

Mallukka botting (melepas pakaian pengantin) dilakukan setelah tiba dirumah


mempelai wanita, busana adat oengantin dan segaka aksesoris yang dikenakan
oleh kedua mempempelai dilepaskan dan mempelai pria memakai kemeja
berwarna putih, celana panjang hitam dan kopiah. Sementara itu mempelai wanita
memakai rok atau celana panjang, kebaya, dan kudung.

Ziarah kubur dilakukan sehari setelah pernikahan berlangsung, kedua


pengantin baru tersebut bersama keluarga sang istri melakukan ziarah ke makam-
makam lelulur kegiatan ini dimaksud sebagai penghormatan dan rasa syukur
bahwa keluarga mereka telah melaksanakan pesta pernikahan.

Massita besseng adalah kunjungan kedua orang tua pengantin laki-laki


bersama beberapa kerabat dekat ke rumah pengantin wanita untuk bertemu
dengan besannya (orang tua pengantin wanita) kegiatan ini dilakukan pada malam
harinya yakni selesai acara malukka atau satu hari setelah pernikahan selesai.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ade’ dimaknakan sebagai tata cara yang bersumber dari pribudi Tinggi
dengan meliputi pranata-pranata berbahasa, berprilaku dan bertingkah laku. Ade’
dapat dikuatkan untuk menghidupkan nilai Siri’ dan Pesse dalam masyarakat
Bugis sebagai sumber kesadaran, motivasi, kecenderungan untuk berperilaku
berkelanjutan. Pémmali dapat menjadi upaya penguatan Ade’ untuk mendukung
perwujudan nilai Siri” dan Pesse yang dapat mempertahankan kegiatan-kegiatan
melestarikan hutan, laut, danau serta sumber daya alam lainnya. Ade’ dan nilai-
nilai ini dipromosikan sebagai bagian dari inti budaya masyarakat Bugis yang tak
terlepas dari kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian perilaku berkelanjutan
dapat diwujudkan secara lebih mudah.

B. Saran
Dalam kehidupan sehari-hari ade’ sangat penting karena ade’ ini
merupakan budaya khas bagi suku bugis. Jadi kita sebagai suku bugis harus
menanamkan sikap ade’ ini, karena di zaman modern ini banyak orang yang
menyepelekan ade’. Segala hal yang telah diputuskan dalam bicara hendaknya
menjadi pembelajaran bagi setiap orang agar tidak melakukan kejahatan karena
memelihara ade’ sama dengan memelihara keserasian.

9
DAFTAR PUSTAKA

Firdaus, Ashari. 2012. Sistem Hukum Adat Dan Kepercayaan Masyarakat


Bugis.

Kuntjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta ,


Djambatan.

Munawar, Rahmat. 2016. Sekilas Uraian Tentang Ade’.

Pabittei, St. Aminah. 2011. “Adat Dan Upacara Perkawinan Daerah


Sulawesi Selatan”, Dinas Kebudayaan.

10

Anda mungkin juga menyukai