Anda di halaman 1dari 13

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pendidikan Islam secara umum dimulai sejak berjibakunya Nabi Muhammad saw dengan
masyarakat Arab Quraisy di Makkah. Awal pendidikan Islam secara resmi ketika turunnya
wahyu pertama dilanjutkan wahyu kedua dan dikuatkan dengan turunnya surat al-Hijr: 94-95
tentang cakupan pendidikan Islam sudah waktunya meluas menuju masyarakat Internasional
dengan memanfaatkan kegiatan haji pada tahun ke 12 kenabian. Kegiatan pendidikan Islam
menjadi keharusan dilakukan nabi Muhammad saw untuk menyadarkan bangsa Arab tentang
arah kehidupan manusia di dunia ini. Pola pendidikan Islam awal tentu tidak seperti keadaan
yang kita kenal sekarang dengan fasilitas lengkap dan modern. Sesuai masanya pendidikan
Islam awal, sangat sederhana dengan fasilitas seadanya, namun outputnya tidak bisa diabaikan,
para ulama berpendapat, bahwa hasil didikan awal tersebut menjadi generasi terbaik sepanjang
sejarah.

B. Rumusan Masalah

a. Apa pengertian Lembaga pendidikan Islam?


b. Bagaimana metode pendidikan yang dilakukan oleh Rasulullah?

1
BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Lembaga Pendidikan Islam

Secara etimologi, lembaga adalah asal sesuatu, acuan, sesuatu yang memberi bentuk pada yang
lain, badan atau organisasi yang bertujuan mengadakan suatu penelitian keilmuan atau
melakukan sesuatu usaha. Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa lembaga mengandung
dua arti, yaitu: Pengertian secara fisik, materil, konkrit. Pengertian secara non-fisik, non-materil
dan abstrak

Dalam bahasa Inggris, lembaga disebut institut (dalam pengertian fisik), yaitu sarana atau
organisasi untuk mencapai tujuan tertentu, dan lembaga dalam pengertian non-fisik atau
abstrak disebut institution, yaitu suatu sistem norma untuk memenuhi kebutuhan. Lembaga
dalam pengertian fisik disebut juga dengan bangunan, dan lembaga dalam pengrtian nonfisik
disebut dengan pranata.

Ada dua unsur yang kontradiktif dalam pengertian lembaga, pertama pengertian fisik materil,
konkret, dan kedua pengertian secara nonfisik, non materil dan abstrak. Adanya dua versi
pengertian lembaga dapat dimengerti karena lembaga ditinjau dari beberapa orang yang
menggerakkannya, dan ditinjau dari aspek nonfisik lembaga merupakan suatu sistem yang
berperan membantu mencapai tujuan. Adapun lembaga pendidikan Islam secara terminologi
dapat diartikan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam. Dari definisi
di atas dapat disimpulkan bahwa lembaga pendidikan itu mengandung pengertian konkrit
berupa sarana dan prasarana dan juga pengertian secara abstrak, dengan adanya norma-norma
dan peraturan-peraturan tertentu, serta penanggung jawab pendidikan itu sendiri.

Secara terminologi menurut Hasan Langgulung lembaga pendidikan adalah suatu sistem
peraturan yang bersifat mujarrad, suatu konsepsi yang terdiri dari kode-kode, norma-norma,
ideologi-ideologi dan sebagainya, baik yang tertulis atau tidak, termasuk perlengkapan material
dan organisasi simbolik: kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang dibentuk
dengan sengaja atau tidak, untuk mencapai tujuan tertentu dan tempat-tempat kelompok itu
melaksanakan peraturan-peraturan tersebut adalah mesjid, sekolah, kuttab dan sebagainya.
Pendidikan Islam termasuk bidang sosial sehingga dalam kelembagaannya tidak terlepas dari
lembaga-lembaga sosial yang ada. Lembaga sosial tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Asosiasi, misalnya universitas, persatuan atau perkumpulan, Organisasi khusus, misalnya


penjara, rumah sakit dan sekolah-sekolah,Pola tingkah laku yang menjadi kebiasaan atau pola
hubungan sosial yang mempunyai hubungan tertentu. Lembaga sosial adalah himpunan norma-
norma tentang keperluan-keperluan pokok di dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai

2
tujuan tertentu. Sedangkan lembaga pendidikan adalah suatu bentuk organisasi yang tersusun
relatif tetap atas pola-pola tingkah laku, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dalam
mengikat individu yang mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum, guna tercapainya
kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Berdasarkan uraian di atas, lembaga pendidikan secara
umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan bertanggung jawab atas
terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan Islam dapat
diartikan dengan suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang
bersamaan dengan proses pembudayaan.

B. Awal Perkembangan Pendidikan Islam

Perkembagan pendidikan Islam dikelompokkan kepada tigabtahap dan dua periodisasi (Makah
dan Madinah).

1. Tahap Pendidikan Islam pada Periode Makah

Tahapan Pertama ditandai ketika Nabi Muhammad saw melakukan pendidikan secara
sembunyi-sembunyi terhadap kaum kerabatnya di Makah. Aktifitas tersebut setelah wahyu
pertama surat al-‘Alaq 1-5 diturunkan Allah swt melalui malaikat Jibril (ar-Ruh- al Amin).

Perkembangan pendidikan Islam masa sembunyi-sembunyi terbatas untuk kaum kerabat dan
orang-orang dekat nabi dari golongan bani Hasyim dan sebagian kecil golongan Bani Makhzum.
Kegiatan pendidikan Islam langsung dibina nabi Muhammad saw yang diadakan di rumah
Arqam bin Abi Arqam. Pendidikan di rumah Arqam bin Abi Arqam berlangsung selama 3 tahun
sampai turun wahyu kedua dalam surat al-Mudatsir 1-7.

Adapun para sahabat awal (as-Sabiquuna-al-Awwaluun) yang menjadi peserta didik (menerima
dakwah) Nabi ialah istri nabi sendiri, Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar as-Shidiq dan
Arqam bin Abi Arqam. Intensitas pendidikan di rumah Arqam lebih ditingkatkan seiring semakin
bertambahnya jumlah orang- orang yang bergabung yang kebanyakan mereka adalah golongan
mustadafin (terpinggirkan) secara ekonomi dan politik kekuasaan di Makah.

Muhammad Said Ramdhan Al-Buthy (1999) menyebutkan, ketika orang-orang yang menganut
Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan perempuan, pembinaan dan pengajaran pada tahap ini
kemudian telah menghasilkan sekitar empat puluh lelaki dan perempuan penganut Islam.
Materi-materi pendidikan dan pengajaran yang diberikan nabi fokus pada mengajarkan al-
Qur’an dan Sunnah, orientasi materi bertitik tolak pada;

Penanaman ketauhidan ke dalam jiwa para sahabat, sehingga setiap tingkah laku para sahabat
mampu memancarkan nilai-nilai ketuhanan dalam setiap tingkah lakunya baik dalam keadaan
sendiri maupun bersama-sama di lingkungan keluarga dan masyarakat. Efek dari
penjewantahan nilai-nilai tersebut ikut membantu proses penyebaran secara tidak langsung
pendidikan Islam ke tengah-tengah masyarakat Quraisy yang lebih luas..

3
Pendidikan ibadah, amal ibadah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad di Makah tentang shalat,
sebagai pernyataan pengabdian hanya kepada Allah swt. Ibadah shalat juga titik balik
pengingkaran kaum muslimin awal kepada tuhan-tuhan nenek moyang bangsa Arab sekaligus
proses penanaman tauhid uluhiyah.

Pendidikan akhlak, nabi Muhammad saw sangat menganjurkan penduduk Makah yang telah
menerima Islam agar melaksanakan akhlak yang terpuji, seperti; menepati janji, pemaaf,
bersyukur, tawakal, tolong menolong, berbuat baik kepada ibu bapak, membantu orang miskin
dan orang musafir dan meninggalkan akhlak yang buruk. Sedangkan untuk perencanaan
pembelajaran al-Qur’an sebagaimana disebutkan as-Suyuti (dalam Syalabi) bahwa para sahabat
menghafal 10 ayat. Di mana jumlah ini tidak ditambah sampai materi tersebut difahami dan
diamalkan oleh para sahabat (peserta didik).

Perencanaan pembelajaran seperti di atas dinamai hidden curriculum (kurikulum tersembunyi).


Namun walaupun tersembunyi kurikulum tersebut telah terstruktur dengan baik bila
dibandingkan dengan sistem pendidikan modern hari ini. Nabi Muhammad saw ternyata jauh-
jauh hari telah dengan cerdas meletakkan dasar-dasar kurikulum yang terukur model
perencanaan pendidikan Islam. Perencanaan yang telah dibuat nabi tersebut dianggap luar
biasa, mengingat ilmu-ilmu pedagogik belum dikenal. Ilmu pedagogik yang berkembang masa
itu masih mengandalkan aspek oral (lisan). Adapun selain oral seperti tulis baca masih belum
dikenal secara luas, sehingga dengan situasi demikian membuat perencanaan pembelajaran
seperti sekarang adalah menjadi tidak mungkin lahir.

Kondisi yang sangat sederhana itu ternyata merupakan kunci keberhasilan pendidikan Islam.
Pertanyaannya adalah mengapa bisa demikian? Hal tersebut karena penekanan pendidikan
Islam diarahkan berdasarkan pada konteks keahlian dan kemampuan peserta didik. Peserta
didik dibina dan ditempa sampai benar-benar matang dan siap dengan keahlian yang diinginkan
Nabi Muhammad saw sebagai pendidik. Proses pendidikan diseting dengan menetapkan setiap
indikator keberhasilan harus tercapai dengan sempurna, baru kemudian disusul dengan materi
selanjutnya. Terkadang untuk satu materi Nabi sering mengulangi sampai ranah afective
peserta didik mampu berkembang dengan baik.

Pola pendidikan seperti ini juga telah membawa keberhasilan yang signifikan atas kegiatan
pendidikan yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan (1868-1923 M) di Yogyakarta saat beliau
melakukan gerakan perubahan di sana. Disebutkan pada salah satu pertemuan (pengajian al-
Qur’an di Langgar), KH. Ahmad Dahlan ditanya oleh peserta didiknya tentang pengkajian surat
al-Maun yang tidak pernah selesai dibahas. Mereka protes mengapa pelajaran selanjutnya tidak
diberikan oleh KH. Ahmad Dahlan kepada mereka.

Menyikapi nada protes peserta didiknya tersebut KH. Ahmad Dahlan melemparkan sebuah
pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh para peserta didiknya, yaitu sudahkah mereka
melaksanakan materi-materi yang sedang dibahas tersebut. Setelah mendengar pertanyaan
demikian dari KH. Ahmad Dahlan para peserta didiknya terdiam, karena memang mereka belum
melaksanakannya.

4
Sangat urgen sekali hari ini, walau kita tidak boleh menyebutkan kata terlambat terhadap
proses yang baik seperti yang dilakukan Nabi dan KH. Ahmad Dahlan di atas, bahwa sudah
mesti menyingkapkan kekaburan pemikiran kolektif kita bahwa perencanaan pendidikan
berbasis keahlian dan kemampuan perlu kembali dijewantahkan dengan konsisten oleh para
perencana dan pelaku pendidikan (dosen, guru dll) agar pembelajaran menjadi lebih
mendapatkan makna esensialnya. Maksudnya adalah jangan sampai proses pendidikan hanya
berjibaku pada indikator berbasis kejar setoran dengan menetapkan target waktu tertentu
sementara kita sering mengalpakan perhatian terhadap bagaimana peningkatan kemampuan
peserta didik dari waktu ke waktu. Dengan demikian pelajaran yang ditambah hanya menjadi
sampah intelektual belaka.

Adapun metode pendidikan yang digunakan oleh Rasulullah periode Makah ada beberapa
bentuk, diantaranya yaitu:

a. Metode Personal, metode semacam ini terjadi dengan cara individual, yaitu antara dai
(pendidik/penceramah) dan mad’u (jamaah). Dengan langsung bertatap muka sehingga materi
yang disampaikan langsung diterima, dan biasanya reaksi yang ditimbulkan mad’u langsung
diketahui. Pendekatan ini Rasul lakukan untuk mencegah guncangan reaksioner di kalangan
masyarakat Quraisy, yang pada saat itu masih percaya dengan kepercayaan animisme warisan
leluhur mereka.

b. Metode Diskusi,di mana Dai sebagai narasumber sedangkan Mad’u sebagai audience.
Tujuannya ialah untuk pemecahan problematika yang ada kaitannya dengan dakwah, sehingga
apa yang menjadi permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya. Pada masa sembunyi-
sembunyi diskusi masih seputar ketauhidan, atau apa saja ajaran Islam itu, dan juga mengenai
kehidupan setelah mati. Diskusi pada kondisi seperti itu tidak leluasa karena harus dilakukan
secara sembunyi-sembunyi.

c. Metode Bi al-Hal, dakwah metode ini dilakukan dengan ajakan melalui upaya penyatuan
antara pemahaman atau pengetahuan (thinking) dengan keyakinan atau perasaan (feeling).
Dengan demikian, dakwah dengan metode ini dapat dilakukan dengan mauidhah hasanah
(memberi contoh teladan).

Metode pendidikan dan pengajaran ini sesuai dengan kebutuhan dan situasi makah dalam
kurun 3 tahun masa pendidikan Islam periode sembunyi-sembunyi. Di mana taktik ini dilakukan
agar pemimpin Quraisy tidak terlalu terkejut atas kehadiran Islam di Mekah. Masalah
kemapanan agama dan hirarkis kekuasaan yang ada di Makah sangat sulit memberikan celah
untuk munculnya agama baru apalagi agama Islam.

Adapun Islam dengan doktrin dan misinya telah dianggap sangat revolusioner dan sangat
radikal. Misi Islam yang dianggap terlalu ekstrem radikal tersebut adalah upaya mencongkel
kemapanan kaum borjuis (kaya) dengan penyamarataan antara budak dan majikan. Salah satu
misi Islam bahwa kaum budak dipandang sama dengan majikan untuk masalah hak dan
kewajiban. Penyetaraan ini tentu mengganggu kemapanan sosial bangsa Quraisy secara umum.
Budak menjadi setara dengan majikan yang selama ini sangat berkuasa terhadap mereka.
Kemudian memberikan pembagian harta warisan yang pantas kepada kaum wanita yang

5
sebelumnya hanya sebagai ‘pelengkap penderita’ bahkan sekaligus bisa diwariskan (wanita
termasuk harta warisan). Kedua, setelah turun wahyu kedua surat al- Mudatsir 1-7 yang
bermaksud supaya nabi Muhammad saw mengadakan pendidikan secara terang-terangan
kepada bangsa Quraisy khususnya.

Dalam wahyu kedua ini Nabi Muhammad saw diperintahkan oleh Allah swt agar melakukan
aktivitas pendidikan tidak lagi terbatas kepada kaum kerabat terdekat serta tidak lagi dengan
cara tersembunyi akan tetapi kegiatan pendidikan sudah saatnya dilakukan dengan cara terang-
terangan. Sebab isyarat wahyu menyebutkan bahwa waktunya sudah tepat untuk
melaksanakan pendidikan lebih luas kepada masyarakat Quraisy. Diantaranya ketersediaan
sumber daya insani (SDI) berupa keberadaan tenaga pendidik. Selain Nabi sebagai pendidik
utama, para sahabat dianggap berkompeten menjadi pendidik bagi masyarakat Arab karena
telah ditraining langsung oleh Nabi Muhammad saw selama 3 tahun untuk pokok materi
pendidikan mengenai ketauhidan.

Setelah melakukan pendidikan dan pengajaran Islam secara terang-terangan kepada bangsa
Quraisy, nabi Muhammad saw mengubah strategi pendidikan menjadi terbuka untuk umum
(secara umum). Pendidikan dan pengajaran ini bersifat internasional yang berlandaskan pada
surat al-Hijr: 94-95. Sebagai tindak lanjut dari perintah Allah tersebut pada musim haji, Nabi
mendatangi kemah jamaah haji. Pada awalnya banyak jamaah haji yang menolak kecuali
sekelompok jamaah dari Yastrib. Jamaah Yastrib tersebut berasal dari kabilah Khazraj yang
sangat antusias menerima pengajaran Nabi meneruskan pendidikan dan pengajaran Islam yang
telah dirintis Nabi tersebut seterusnya diserahkan kepada Mus’ab bin Umair seorang sahabat
beliau yang telah mengikuti proses pendidikan Islam selama 3 tahun di rumah Arqam bin Abi
Arqam. Tugas itu tidak dilaksanakan di masa berlangsungnya haji akan tetapi langsung di Kota
Yastrib. Dengan diutusnya Mus’ab bin Umair ke Yastrib telah membuka harapan baru bagi
perkembangan pendidikan Islam untuk masa selanjutnya.

Tiga tahapan pendidikan Islam yang dilakukan Nabi Muhammad saw hanya untuk kota Makah,
tahapan ini digunakan Nabi untuk mempersiapkan tenaga pendidik dari keluarga dekatnya atau
golongan Quraisy. Pertimbangan yang digunakan ialah :

Pertama, pendidikan Islam lambat laun harus disebarkan, sehingga membutuhkan tenaga-
tenaga yang siap didistribusikan sesuai kebutuhan, maka para sahabat awal merupakan input
yang sangat masuk akal, karena selain keterampilan dalam mengajar juga dibutuhkan nyali yag
cukup kuat, sebab situasi kala itu tidak mendukung untuk mengadakan pendidikan Islam. Di
samping materi-materinya dinilai sangat radikal untuk ukuran bangsa Arab.

Kedua, keefektifan dan keefesienan, maksudnya, pendidikan calon pendidik terdiri dari
kalangan arab Quraisy sendiri atau orang yang telah mengenal dan berasimilasi dengan baik ke
dalam budaya Quraisy, terutama linguistik Arab (kebahasaan) di Makah. Pertimbangan
tersebut, berkaitan dengan materi (wahyu) yang akan disampaikan sesuai dialek Quraisy.

Ketiga, aspek penjiwaan/internalisasi materi ajar yang diberikan kepada peserta didik
(audience). Maksudnya, kondisi psikologi para sahabat calon pendidik secara kontekstual,
sangat tepat untuk mendukung penguasaan, kemantapan transfer knowledge dan values

6
kepada audience. Karena sebagian mereka adalah kaum lemah dan sebagian budak yang
terpinggirkan di Makah, sedangkan materi yang akan diberikan berkaitan langsung dengan
semangat pembebasan mereka dari kemapanan budaya feodal patriacal Quraisy tersebut.

Pada tahapan ketiga, proses pendidikan telah bisa disebut bercakupan internasional. Karena
pesan pendidikan telah disampaikan juga kepada orang Yastrib suku Khazraj. Dengan ruang
lingkup pendidikan Islam yang semakin meluas, maka metode dan materinya juga ikut
bertambah sesuai materi (wahyu) yang diturunkan Allah swt. (penambahan materi pendidikan
sudah masuk pada periode pendidikan Madinah).

2. Tahap Pendidikan Islam Terbuka (Periode Madinah)

Tahapan pendidikan Islam periode ini terlaksana dengan turunnya surat al-Hijr: 94-95.
Pelaksanaan ibadah haji merupakan momen yang sangat tepat untuk melaksanakan proses
pengajaran/penyebaran pesan (wahyu) kepada jamaah haji yang datang ke Makah. Suku
Khazraj adalah yang pertama menerima pengajaran ini.

Aspek psikologis adalah faktor utama sehingga mereka mudah menerima pengajaran. Karena
materi yang disampaikan juga sangat relevan dengan kebutuhan mereka yang sedang dilanda
perang saudara akut antara suku ‘Aus dan suku Khazraj di kota Yastrib. Sesuai dengan materi
awal Nabi Muhammad saw di Makah yang concern pada ketauhidan dan akhlak mulia, di
antaranya berakhlak baik kepada sesama manusia dan saling tolong menolong antar sesama
manusia. Materi ini sangat mereka harapkan, bukan saja harapan sebatas pesan oral, akan
tetapi lebih jauh supaya bisa diaplikasikan di negeri mereka yaitu Yastrib. Kemudian aspek yang
tidak kalah pentingnya adalah kewibawaan Nabi sebagai pengajar adalah hal yang sangat
berkesan sekali, sehingga mereka berharap Rasul datang ke kota mereka untuk memberikan
pengajaran sekaligus tinggal di sana.

Peserta didik Nabi di kelas internasional ini terdiri 12 laki-laki dan 1 orang perempuan[19].
Kemudian tahap kedua sebanyak 73 laki-laki dan 2 orang perempuan. Karena semangat dan
kesungguhan mereka, sekaligus untuk kontinuitas pendidikan kelas internasional ini, maka
untuk sementara Nabi mengutus Mus’ab bin Umair sebagai tenaga pendidik yang siap dan
pilihan yang tepat waktu itu. Dikatakan siap karena beliau telah mendapat pendidikan langsung
dari Nabi di rumah Arqam bin Abi Arqam. Dikatakan tepat, karena Mus’ab bin Umair dianggap
mempunyai kapabalitas, cakap secara fisik (tampan) dan memiliki wibawa, sehingga dengan
alasan tersebut, proses transfer materi pengajaran /pendidikan Islam menjadi mudah.

Adapun inti program pengembangan pendidikan di Makah berorientasi pada; persiapan tenaga
pengajar/pendidik, persiapan dan penempaan mental calon pengajar/pendidik. Dapat disebut
bahwa tenaga pendidik awal ini telah melakukan magang/praktek lapangan (istilah modern) di
Makah. Orientasi pendidikan Islam di Makah secara umum dikategorikan sebagai kelas tamhidi
(persiapan), kecuali untuk calon pendidik awal, pengajaran yang diberikan Nabi lebih
mendalam. Kondisi laten budaya Quraisy yang kental, menyebabkan proses pengajaran hanya
dapat dilakukan secara terbatas.

7
Namun langkah ini sangat efektif, karena bangsa Quraisy telah mendapatkan
informasi/pengetahuan Islam secara umum. Di saat fathuh (penaklukan) Makah di kemudian
hari, orang Quraisy lebih mudah menerima pendidikan Islam, karena sebelumnya mereka telah
memiliki pengetahuan tentang pengajaran Islam. Artinya bangsa arab di Makah telah
mempunyai basic tentang Islam, sehingga banyak di antara mereka yang dengan sukarela
masuk Islam ketika penaklukan berlangsung.

Sebagian ada juga yang masuk secara terpaksa, namun proses dialogis yang terus dilakukan
Rasul dan para Sahabat, mereka yang terpaksa menjadi bisa menerima. Kembali kepada topik
ini, pada pagi hari tanggal 4 September 622 M, rombongan sahabat Makah (Muhajrin) telah
sampai di Yastrib. Di hari yang sama Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar baru tiba di Quba’.
Mereka tinggal di sana selama 3 hari sebelum menyusul rombongan Muhajrin di Yastrib. Di
Quba’ nabi memberikan pengajaran dan pendidikan kepada penduduknya sekaligus mendirikan
institusi pendidikan Islam pertama yang didirikan oleh Nabi Muhammad saw.

Di kota Madinah, program penggemblengan tenaga pengajar/ pendidik dapat dilakukan dengan
maksimal. Demikian itu terbukti ketika para sabahat Anshar (orang Yastrib yang telah Islam) dan
Muhajrin menjadi ujung tombak tenaga pendidik Islam baik di Madinah maupun ke semua
penjuru negeri Arab. Kemudian setelah Rasul sampai di Yastrib pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal I
H bertepatan tahun 622 M, beliau mendirikan masjid sebagai institusi pendidikan Islam yang
kedua dalam dunia Islam.

Adapun materi pendidikan Islam yang diberikan Nabi periode ini diklasifikasikan sebagai berikut
:

a. Pendidikan keimanan,
b. Pendidikan Ibadat,
c. Pendidikan Akhlak,
d. Pendidikan Kesehatan (Jasmani), dan
e. Pendidikan Kemasyarakatan atau kewarganegaraan.

Ramayulis menambahkan materi periode Madinah meliputi :

a. Tulis Baca Al-Qur’an,


b. Kesejahteraan keluarga, dan
c. Sastra Arab.

Sedangkan metode yang digunakan Rasul di Madinah meneruskan metode pendidikan di


Makah dan beberapa tambahan yaitu:

a. Ceramah,
b. Dialog,
c. Tanya jawab atau diskusi,
d. Demontrasi,
e. Teguran langsung,
f. Sindiran,

8
g. Pemutusan dari Jamaah,
h. Pemukulan (berkaitan dengan pengajaran Shalat untuk anak-anak),
i. Komparatif kisah-kisah,
j. Menggunakan kata Isyarat

Proses pendidikan yang dialogis menggunakan metode di atas nilai-nilai yang terkandung, untuk
pendidik dan peserta didik dapat digambarkan sebagai berikut : : Memperhatikan peserta didik
secara menyeluruh serta kebutuhan-kebutuhannya dalam proses pembelajaran antara lain;
mendengarkan pernyataan peserta didik, memperkenankan peserta didik mengutarakan isi
hatinya, memilih tempat yang cocok untuk bertemu dengan peserta didik seperti di masjid, dan
memilih waktu yang tepat untuk bertemu dengan peserta didik.

Untuk peserta didik pernyataan yang diberikan harus jelas, pertanyaan yang disampaikan harus
ringkas, persiapan jasmani dan rohani untuk mencari ilmu, kesiapan untuk menerima
tanggapan dari pertanyaan-pertanyaan, pertanyaan bermanfaat, pertanyaan akurat dan ilmiah,
pilihan waktu yang tepat bertemu dengan guru, duduk dekat dengan guru dan posisi duduk
yang baik dan menyehatkan.

C. Bentuk-bentuk Institusi/ Lembaga Pendidikan Islam Pra Kebangkitan Madrasah dan Kuttab

Institusi atau lembaga pendidikan Islam dengan nama langsung Madrasah dengan pengertian
tempat menuntut ilmu atau seperti tempat proses belajar-mengajar yang kita ketahui hari ini
baru ada pada masa akhir Bani Abbasiyah di bawah pengaruh suku Seljuk Turki periode 2 di
Baghdad yang berkuasa tahun 448-552 H/1055-1157 M. Madrasah yang konotasi Universitas
terbesar didirikan masa ini oleh Perdana Menteri Sultan Maliksyah (465-485/1072-1092) yakni
Nizam al- Muluk. Salah seorang tokoh ilmuan yang fenomenal di bidang keagamaan dan filsafat
ialah Imam al-Gazali (1059-1111 M).

Sedangkan Kuttab sebagai tempat belajar telah ada sebelum Islam datang di Makah. Kuttab
sebagai lembaga pendidikan dasar sebelum Islam telah digunakan di Makah untuk kegiatan
baca tulis. Seorang sejarawan Arab mencatat bahwa orang asli Makah yang pertama mengenal
tulisbaca diajar oleh seorang Kristen dan bahwa jumlah orang Makah yang mengenal tulis baca
ketika Islam datang adalah 17 orang. Namun menurut Ahmad Syalabi, orang yang pertama
pandai tulis baca ialah Sofyan Ibnu Umaiyah Ibnu Andu Syams dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf
ibnu Zuhrah Ibnu Kilab. Kedua orang ini mempelajarinya dari Bisyr Ibnu Abdil Malik yang belajar
di Hirah. Mungkin saja orang Hirah Kristen yang mengajarinya. Tetapi jumlah orang yang
pertama pandai tulis baca waktu lebih dari satu orang.Lebih lanjut Ibnu Batutah (779 H),
menyebutkan kegiatan pembelajaran di tingkat Kuttab ini pendidiknya mengajarkan menulis
dengan menggunakan kitab-kitab syair dan sebagainya.

D. Lembaga-lembaga Pendidikan Islam

9
Sebelum berkembangnya sekolah dan universitas yang kemudian dikenal sebagai lembaga
pendidikan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga
pendidikan Islam yang bersifat non formal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan
bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya bentuk-bentuk lembaga pendidikan non
formal yang semakin luas. Diantara lembaga-lembaga pendidikan Islam yang bercorak non
formal tersebut adalah;

Kuttab sebagai lembaga pendidikan dasar

a. Badiah (padang pasir, dusun tempat tinggal Badwi)


b. Masjid.
c. Lembaga-lembaga pendidikan Islam sebelum kebangkitan Madrasah yaitu
d. Maktab/Kuttab
e. Halaqah
f. Majlis
g. Masjid
h. Khan
i. Ribath
j. Rumah Ulama sebagai Lembaga Pendidikan

Masjid bukanlah satu-satunya tempat diselenggarakannya pendidikan Islam. Rumah-rumah


ulama juga memainkan peranan penting dalam mentransmisikan ilmu agama dan pengetahuan
umum. Sebagai tempat transmisi keilmuan, rumah muncul lebih awal daripada masjid. Sebelum
masjid dibangun, ketika di Makah Rasulullah menggunakan rumah al-Arqam sebagai tempat
memberikan pelajaran bagi kaum muslimin. Selain itu, Beliau pun menggunakan rumah Beliau
sebagai tempat untuk belajar Islam.

Untuk mencapai tujuan dalam menyampaikan risalah tauhid sangat diperlukan suatu wadah
atau lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan suatu wadah berprosesnya seluruh
komponen pendidikan secara berkesinambungan dalam pencapaian tujuan pendidikan yang
sempurna. Adakalanya kelembagaan dalam masyarakat secara eksplisit membuktikan bahwa
kuatnya tanggung jawab kultural dan edukatif masyarakat dalam mempraktikkan ajaran Islam.

Hasan Langgulung menjelaskan bahwa lahirnya pendidikan Islam di tandai dengan munculnya
lembaga – lembaga pendidikan Islam. Ketika wahyu di turunkan Allah kepada Nabi Muhammad
saw, maka untuk menjelaskan dan mengajarkan kepada para sahabat, Nabi mengambil rumah
Arqam bin Abi al- Arqam sebagai tempatnya, disamping menyampaikan ceramah di berbagai
tempat. Atas dasar inilah dapat dikatakan rumah Arqam sebagai lembaga pendidikan pertama
dalam Islam. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga
ini masih berbentuk halaqah dan belum memiliki kurikulum dan silabus seperti yang dikenal
sekarang. Sedangkan sistem dan materi – materi pendidikan yang akan disampaikan diserahkan
sepenuhnya kepada Nabi saw.

Dengan dijadikannya rumah Arqam bin Abi al-Arqam oleh Rasulullah Muhammad saw. sebagai
tempat berkumpul para sahabat dalam menyampaikan wahyu yang diterima dari Allah melalui
malaikat Jibril as., ini membuktikan bahwa rumah adalah lembaga pendidikan pertama dalam

10
Islam. Dalam pendidikan Islam selanjutnya, model sistem pendidikan ini terus dikembangkan
sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, tuntutan masyarakat, dan zaman.

Sebelum masjid dibangun, maka di samping memberi pelajaran di rumah Arqam, Nabi juga
mengajar di rumahnya di Makah, maka berkumpullah para sahabat di sekitar beliau untuk
menerima pelajaran yang disajikan oleh Nabi. Kondisi tetap seperti itu hingga turunlah surat al-
Ahzab ayat 35. Ayat ini di turunkan di Madinah sesudah masjid dibangun. Dengan turunnya
ayat ini Allah telah meringankan kesibukan Nabi disebabkan mengalirnya manusia ke rumah
beliau yang boleh dikatakan tidak henti-henti.

Meski rumah bukanlah tempat yang ideal untuk memberikan pelajaran, banyak rumah ulama
yang dipakai sebagai tempat belajar. Mungkin saja pelajaran di rumah dapat mengganggu
penghuni rumah tersebut, namun ulama-ulama tidak keberatan rumahnya dipakai tempat
belajar. Hal ini disebabkan semangat menyebarkan pengetahuan mereka dan karena belajar
mengajar mempunyai nilai ibadah. Mereka dengan ikhlas dan senang hati menyediakan rumah-
rumah mereka sebagai kelas-kelas belajar.

Belajar di rumah-rumah ulama merupakan fenomena umum di masyarakat Islam. Ini


menunjukkan tidak ada rasa terganggu atau berat hati bila rumah mereka dipakai tempat
belajar. Seharusnya, mereka berbangga hati karena pelajar-pelajar harus datang ke rumah
mereka untuk bertanya dan belajar. Banyak laporan sejarah yang menjelaskan bahwa banyak
pelajar yang menunggu di depan pintu rumah ulama-ulama. Mereka kesana untuk mencari
pemecahan masalah yang mereka hadapi atau mendiskusikan persoalan-persoalan fiqih. Ada di
antara mereka yang menghadap ulama untuk meminta riwayat hadist, mendengarkan puisi,
atau belajar ilmu lainnya.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

11
Bahwa lembaga pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai badan usaha yang bergerak dan
bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan terhadap anak didik. Adapun lembaga pendidikan
Islam dapat diartikan sebagai suatu wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang
bersamaan dengan proses pembudayaan nilai-nilai yang ingin dicapai lembaga pendidikan Islam.

Awal perkembangan pendidikan Islam dilakukan secara sembunyi-sembunyi sejak turunnya wahyu
pertama surat al-‘Alaq: 1-5. Kemudian pendidikan Islam secara terang-terangan ketika telah turunnya
surat al-Mudatsir: 1-7, namun lingkupnya masih Arab Quraisy Makah. Sedang proses pendidikan terbuka
yang meng-internasional setelah turunnya surat al-Hijri:94-95. Momen kegiatan pendidikan secara luas
ini terjadi ketika musim haji tahun ke-12 kenabian, yang pertama sekali disambut dengan antusias oleh
suku Khazraj dari Yastrib berjumlah 12 laki-laki dan 1 orang perempuan. Tahap pendidikan terbuka
ketiga ini cikal bakal berkembangnya pendidikan Islam di Madinah setelah Nabi hijrah ke sana tahun 622
M.

Adapun materi-materi pendidikan yang ditekankan nabi Muhammad saw adalah Al-Qur’an dan Sunnah
dengan fokus penekanan ketauhidan, ibadah dan akhlak terpuji, sedangkan pendidikan Islam di Madinah
ada tambahan materi seperti; kesejahteraan keluarga, kesehatan (jasmani), kewarganegaraan,
kesusastraan Arab dan baca tulis al-Qur’an. Metode yang dipakai adalah ceramah, dialog, tanya jawab
atau diskusi, demonstrasi, teguran langsung, sindiran, pemutusan dari jamaah, pemukulan (berkaitan
dengan pengajaran shalat untuk anak-anak), komparatif kisah-kisah, menggunakan kata isyarat, dan
keteladanan. Sedangkan lembaga pendidikan Islam yang berkembang masa awal ini adalah, Kuttab
sebagai lembaga pendidikan dasar, rumah-rumah para ulama (para sahabat), Badiah (Padang Pasir,
dusun tempat tinggal Badwi), Masjid, Halaqah, Majlis, dan Ribath.

DAFTAR PUSTAKA

12
Amstrong, Karen, Muhammad Sang Nabi, Surabaya: Risalah Gusti, 2012, cet. 7, h. 204

Forum Komunikasi Alumni Program Pembibitan Calon Dosen IAIN se-Indosesia (FKPPCD), The Dinamics
Of Islamic Civilization, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998, h.55

Maryam, Siti dkk, Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Moderen, Yogyakarta: LESFI, 2009,
cet.3, h.144

Nizar, Samsul, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003, h. 6

Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2012, h.23

Staton, Charles Michae, Pendidikan Tinggi dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing, 1994, h. 18

Syalabi, Ahmad, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, cet.1, h.33

13

Anda mungkin juga menyukai