Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

NILAI – NILAI ASWAJA AN – NADHLIYYAH

Disusun oleh:

1. Cindy Ratna DS 201110002658


2. Zahra Nuraninda 201110002677
3. Rina Agustina 201110002793

PROGAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA’(UNISNU)

JEPARA

2020/2021

i
Kata pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan berkat-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini guna melengkapi tugas
Mata Kuliah Pendidikan Agama Islam di Universitas Islam Nahdlatul Ulama’ (UNISNU)
Jepara.
Makalah ini berisi materi tentang “ASWAJA AN NAHDLIYAH (NU)” . Kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk para pembaca dan diri kami sendiri guna
mendapatkan wawasan dan pengetahuan yang lebih.
Dari hati yang terdalam kami mengutarakan permintaan maaf atas kekurangan
makalah ini, karena kami tahu makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kami berharap kritik, saran dan masukan yang membangun dari pembaca
guna penyempurnaan ke depan.
Akhir kata kami ucapkan terimakasih dan semoga makalah ini bermanfaat sesuai
dengan fungsinya. Amin.

Jepara, 29 Oktober 2020

Penulis

ii
Daftar isi

Bab 1 Pendahuluan.....................................................................................................................1

1.1. Latar belakang ASWAJA An-Nahdliyyah..................................................................1

1.2. Identifikasi masalah.....................................................................................................2

1.3. Tujuan..........................................................................................................................2

Bab II Isi.....................................................................................................................................3

2.1. Tawassuth....................................................................................................................3

2.2. Tawazun......................................................................................................................4

2.3. I’tidal...........................................................................................................................5

2.4. Tasamuh......................................................................................................................6

Bab III Penutup..........................................................................................................................7

3.1. Kesimpulan..................................................................................................................7

Daftar pustaka............................................................................................................................8

iii
Bab 1 Pendahuluan

1.1. Latar belakang ASWAJA An-Nahdliyyah

Adapun Istilah dari Aswaja (ahlu Sunnah Wal-Jama’ah) secara kebahasaan tersusun dari
tiga kata, pertama, kata ahl, yang berarti keluarga, pengikut, golongan. Kedua, kata al-
sunnah, (jalan atau prilaku), baik jalan dan prilaku tersebut benar atau keliru. Sedangkan
secara terminologis, al-sunnah ini adalah jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad SAW
dan para sahabatnya yang selamat dari kesurupan (syubhat) dan hawa nafsu. Ketiga, kata al-
jama’ah, secara terminologis, kata al-jama’ah ini yakni orang-orang suatu tujuan. Sedangkan
secara terminologis kata al-jama’ah ialah aliran yang diikuti mayoritas kaum muslimin.
Dalam pengertian lain, al-jama’ah ini biasanya diidentikkan dengan penerimaan terhadap
ijma’ al-sahabah (konsensus sahabat nabi) yang diakui sebagai salah satu sumber hukum.29
Maka demikian yang dikatakan dengan Aswaja ialah sekolompok golongan yang mengikuti,
meyakini, dan mengamalkan sikap, perbuatan, dan perkataan yang di jalankan Nabi
Muhammad SAW, sahabatnya, dan para pengikut sahabatnya dimanapun berada, kapanpun
dan siapapun (4 ulama madzab, salafussholih, dan lain-lain).

Secaa harfiah, term Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak terdapat sekali dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Namun keduanya hanya menyebutkan secara parsial seperti ahl, As-Sunnah dan
Al-Jama’ah. Kata Ahl, dalam Al-Qur’ran disebutkan sebanyak serratus kali yang maknanya
lebih lughowi. Sedangkan As-Sunnah ada tiga belas tempat. Sementara Al-Jama’ah banyak
ditemukan dalam hadits-hadits Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim, dan
Imam Ahmad. Namun, dalam perkembangannya kemudian para Ulama-Ulama NU
menggangap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip nilai
tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan ta’adul (keadilan). Maka
dengan adanya prinsip-prinsip nilai ini merupakan landasan dasar dalam
mengimpelementasikan Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah di kehidupan sehari-hari.

1
Dapat di tarik kesimpulan bahwa pendidikan aswaja adalah suatu upaya yang dilakukan
secara sadar, terarah dan berkesinambungan untuk memperkenalkan dan menanamkan paham
keagamaan Aswaja kepada peserta didik, agar mereka mengetahui, meyakini dan
mengamalkannya dalam pengertian menjadikannya sebagai pedoman kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pendidikan Aswaja ini dilakukan melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, latihan, serta pengalaman belajar.Pendidikan Ahlu Sunnah Wal-
Jama’ah (Aswaja) ialah merupakan suatu proses usaha yang menyadarkan masyarakat Islam
di Indonesia khususnya masyarakat Nadhliyin melalui dunia pendidikan yang mana visi serta
misinya bila di tinjau secara umum berlandaskan pada konsep Aswaja yang telah di setujui
menjadi sebuah paham dan manhaj al-fikr keagamaan dalam berorganisasi, bernegara
maupun berbangsa.

1.2. Identifikasi masalah

1. Apa itu Tawassuth


2. Apa itu Tawazun
3. Apa itu I’tidal
4. Apa itu Tasamuh

1.3. Tujuan

1. Menjelaskan tentang Tawassuth


2. Menjelaskan tentang Tawazun
3. Menjelaskan tentang I’tidal
4. Menjelaskan tentang Tasamuh

2
Bab II Isi

2.1. Tawassuth

Tawasuth adalah sikap tengah atau moderat yang tidak terjebak oleh sikap ekstrimis.
Dalam hal dosa besar, ia berada di antara teologi Khawarij dan Muktazilah. Dalam masalah
kepemimpinan, ia berada di antara khawarij dan Syiah , penganut garis moderat di antara
madhab liberal Muktazilah dan madzhab literal Dawud Dahiri, dan berada di garis tengan
antara tradisi tasawuf madzhab kebatinan dengan kalangan legalistik formalistik yang
membenci tasawuf. Tentu saja, sikap moderat ini memiliki landasan ortodoksi sehingga bisa
dibedakan dengan pengertian pragmatis oportunis. Kaitannya dengan konsep berbangsa dan
bernegara, Ahlussunnah waljamaah mampu mengakomodir berbagai kepentingan golongan
sehingga mampu dicapai kesepakatan yang lebih baik (aslah). Hal ini sesuai dengan
FirmanAllah:

Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad)
menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS. Albaqarah: 143).

3
2.2. Tawazun

Tawazun adalah sikap berimbang dalam melakukan pertimbangan - pertimbangan hukum


atau kebijakan. Proses harmonisasi dan integralisasi antara dalil nash dengan pertimbangan-
pertimbangan rasio menyebabkan posisinya seimbang dalam melakukan putusan/ kebijakan.
Ia tidak terpolarisasi kepada ekstrim kanan (fundamentalime) dan ekstrim kiri (liberalisme).
Dalam hal sosial politik pun, sikap tawazun diwujudkan dengan pertimbangan secara
komprehensif dan holistik, baik ekonnomi politik, geopolitik, sosiokultur, dan hal - hal
lainnya.
Posisinya menanggapi kekuasaan, tentu saja ia tidak berada dalam posisi
mendukung atau menolak suatu rezim, tetapi lebih melihat prasyarat yang
dipenuhi kekuasaan tersebut sudah dipandang memenuhi kaidah normativitas atau kah tidak.
Hal ini termaktub dalam surat Alhadid ayat 25

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul - rasul Kami dengan membawa bukti - bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS. Alhadid: 25).

4
2.3. I’tidal

I’tidal ialah sikap adil dalam menyikapi suatu persoalan. Adil adalah sikap proporsional
dalam menyikapi persoalan berdasarkan hak dan kewajiban. I’tidall berbeda dengan tamastul
yang menghendaki kesamaan. Seseorang mampu mencapai kesamaan dan kesetaraan jika
realitas individu benar - benar sama persis dan setara dalam segala sifat - sifatnya. Jika terjadi
tafadlul (keunggulan), maka keadilan menuntut perbedaan dan pengutamaan (tafdlil). Dalam
konteks politik, sikap I’tidal ini tercermin dalam proporsional antara kewajiban pemerintah
dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan publik dan haknya seperti mendapatkan
tunjangan dan lain sebagainya. Dengan hal ini, jika pemerintah tidak melaksanakan tugas itu
atau mengambil hak rakyat, ia telah melakukan aniaya. Begitu pula rakyat yang
membangkang dari ketetapan konstitusinal Negara, maka rakyat pun dinyatakan aniaya. Hal
ini ditegaskan dalam firman allah.

Hai orang - orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang - orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali -
kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.(QS. Alma'idah: 9).

5
2.4. Tasamuh

Tasamuh ialah sikap toleran terhadap perbedaan, baik agama, pemikiran, keyakinan,
social kemasyarakatan, budaya, dan berbagai perbedaan lain. Keragaman merupakan realitas
yang tidak dapat dihindari. Ia merupakan entitas yang hadir sebagai ajang untuk
bersilaturahmi, bersosialisasi, akulturasi, asosiasi, sehingga tercipta sebuah peraudaraan yang
utuh. Toleransi dalam beragama bukan berarti sikap kompromistis dalam berkeyakinan
karena keyakinan adalah kebenaran penuh yang tidak bisa dicampur dengan keyakinan
agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran keyakinan agama yang salah dan batil.
Toleransi menjadi suatu hukum alam dalam mengelaborasi perbedaan menjadi sebuah
rahmat. Kaitannya dengan budaya, secara substansial budaya ialah hasil dari akal budi
manusia yang memiliki nilai luhur dan merupakan arkeologi kesejarahan yang patut dihargai
sebagai suatu kebijaksanaan. Dalam pandangan Ahlussunnah waljamaah, tradisi budaya yang
secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, maka Islam akan menerimanya bahkan
mengakulturasikannya dengan nilai - nilai ke Islaman.
Dari sikap tasamuh inilah, Ahlussunnah waljamaah merumuskan konsep persaudaraan
(ukhuwwah) universal. Hal ini meliputi ukhuwwah Islamiyyah (persaudaan keIslaman),
ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaaan) dan ukhuwwah basyariyyah atau
insâniyyah (persaudaraan kemanusiaan). Persaudaraan universal untuk menciptakan
keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari firman Allah SWT:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki - laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku - suku supaya kamu
saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.(QS. Alhujurat; 13).

6
Bab III Penutup

3.1.Kesimpulan

Dalam masalah kepemimpinan,tawassuth berada di antara khawarij dan Syiah , penganut


garis moderat di antara madhab liberal Muktazilah dan madzhab literal Dawud Dahiri, dan
berada di garis tengan antara tradisi tasawuf madzhab kebatinan dengan kalangan legalistik
formalistik yang membenci tasawuf. Hal ini sesuai dengan FirmanAllah: Dan demikian (pula)
Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.

Dalam hal sosial politik pun, sikap tawazun diwujudkan dengan pertimbangan secara
komprehensif dan holistik, baik ekonnomi politik, geopolitik, sosiokultur, dan hal - hal
lainnya. Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul - rasul Kami dengan membawa bukti -
bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan)
supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.

Dalam konteks politik, sikap I’tidal ini tercermin dalam proporsional antara
kewajiban pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan publik dan
haknya seperti mendapatkan tunjangan dan lain sebagainya. Toleransi dalam beragama bukan
berarti sikap kompromistis dalam berkeyakinan karena keyakinan adalah kebenaran penuh
yang tidak bisa dicampur dengan keyakinan agama lain, bukan pula membenarkan kebenaran
keyakinan agama yang salah dan batil. Kaitannya dengan budaya, secara substansial budaya
ialah hasil dari akal budi manusia yang memiliki nilai luhur dan merupakan arkeologi
kesejarahan yang patut dihargai sebagai suatu kebijaksanaan. Persaudaraan universal untuk
menciptakan keharmonisan kehidupan di muka bumi ini, merupakan implementasi dari
firman Allah SWT: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki -
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku - suku
supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.(QS.

7
Daftar pustaka

Ahmad Baso. (2015). Agama NU untuk NKRI. Jakarta: Putaka Afid.

Anda mungkin juga menyukai