Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

AL- I’TIDAL
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ASWAJA
Pengampu: Nur Rois, M.Pd.I

Disusun Oleh: Kelompok 10

1. Zakiyatun Nufus (19106011232)


2. M. Irbabu Nuha (19106012257)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat serta Karunia-Nya
sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah yang berjudul “al-I’tidal” ini tepat pada
waktunya. Selesainya makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat.
Dosen pengampu mata kuliah yang telah memberikan tugas serta petunjuk kepada penulis
sehingga termotivasi dalam menyelesaikan makalah ini.
Keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan, bantuan dan do’a serta pengertian
yang besar kepada penulis baik selama mengikuti perkuliahan maupun dalam menyelesaikan
makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa dalam mengupas ASWAJA di
dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik dalam hal sistematika maupun teknik
penulisannya. Kiranya tiada lain karena keterbatasan kemampuan dan pengalaman penulis
yang belum luas dan mendalam. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun
tentunya penulis harapkan, sebagai masukan yang berharga demi kemajuan penulis di masa
mendatang.
Demikianlah makalah ini, penulis harapkan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya, bagi pembaca umumnya, dalam memberikan pengetahuan tentang lingkungan
pendidikan.

Semarang, 6 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 1

C. Tujuan Penulisan 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian al-I’tidal 2
B. Nilai-nilai Positif al-I’tidal 6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan 7

B. Saran 7

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karakteristik pendidikan Aswaja ialah sam dengan karakteristik utama ajaran NU,
yakni ajaran yang mengutamakan prinsip Tawasuth (jalan tengah), yang dapat dilengkapi
dengan I’tidal (jalan tegak), dan Tawazun (proposional). Suatu sikap yang tidak selalu
kompromistis dalam memahami kenyataan, tetapi juga tidak menolak semua unsur yang
melengkapinya. Prinsip tawasuth memang telah menjadi ajaran Islam sejak lama, bahwa
segala kebaikan itu selalu berada diantara dua ujung tatarruf (extremism). Dengan
penjelasan yang lain, sikap tawasuth dan i’tidal adalah sikap yang selalu seimbang dalam
menggunakan dalil naqli dan aqli, antara pendapat jabariyah dan qodariyah dan sikap
moderat dalam menghadapi perubahan dunyawiyah.
Dalam masalah fiqih, sikap pertengahan antara ijtihad dan taqlid yaitu, qot’iyah dan
toleran dalam hal-hal dzhonniyah. Dalam merespon persoalan, baik yang berkenan
dengan persoalan keagamaan dan kemasyarakatan, NU memiliki manhaj Ahlusunnah
Wal Jama’ah. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip dasar tersebut menjadikan Aswaja
memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik internal umat Islam. Aswaja
sangat toleran terhadap tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa
melibatkan diri dalam subtansinya, bahkan tetap berusaha untuk mengarahkannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari al-I’tidal?
2. Apa Sajakah Nilai-nilai Positif dalam al-I’tidal?

C. Tujuan Penulisan
1. Dapat Mengetahui Pengertian dari al-I’tidal.
2. Dapat Mengetahui Nilai-nilai Positif dalam al-I’tidal.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian al-I’tidal
Al-I’tidal ((‫دال‬//‫ االعت‬berarti tegak lurus, tidak condong kekanan dan tidak
condong kekiri, I’tidal juga bisa bermakna berlaku adil, tidak berpihak kecuali
pada yang benar yang harus dibela. Kata I’tidal diambil dari kata al-Adlu (‫= العدل‬
keadilan), atau I’dilu (‫= اعدلوا‬bersikap adillah) termaktub pada QS. Al-Maidah
ayat 8:
‫يا ايها الذين امنوا كونوا قوامين هلل شهداء بالقسط وال يجرمنكم شنان قوم على اال تعدلوا اعدلوا هو‬
‫اقرب للتقوى واتقوا هللا ان هللا خبير بما تعملون‬
Artinya:“Hai orang-oranr yang beriman! Hendaklah kamu sekalian menjadi
orang yang tegak (membela kebenaran) karena Allah SWT. Menjadi saksi
(pengukur kebenaran) yang adil (bil qisthi). Dan jangan sekali-kali kebencianmu
kepada kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah!
Keadilan itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah!
Sesungguhnya Allah itu Maha Melihat terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS.
Al-Maidah:8).1
I’tidal adalah sikap tegak lurus dan adil, suatu tindakan yang dihasilkan dari
suatu pertimbangan. Oleh karena itu Ahlusunnah Wal Jamaah mencintai atas
tegaknya keadilan. Menurut kamus bahasa Indonesia, adil berarti sama berat,
tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang
kepada kebenaran dan sepatutnya. Dengan demikian seseorang disebut berlaku
adil apabila ia tidak berat sebelah dalam menilai sesuatu, tiak berpihak kepada
salah satu kecuali keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga ia
tidak akan berlaku sewenang-wenang.2
Menegakkan keadilan merupakan suatu keharusan dalam Islam terutama bagi
penguasa (wulat) dan para pemimpin pemerintahan (hukum) terhadap rakyat dan
umat yang dipimpin. Hal ini didasarkan kepada QS. An-Nisa’ ayat 58:

1
Subaidi, Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah Kajian Tradisi Islam Nusantara,
(Jepara: Unisnu Press, 2019), hlm. 186.
2
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kyai Kontruksi Sosial Berbasis Agama, (Yogyakarta: LKIS, 2007), hlm.
18.

2
‫ان هللا يعمركم ان تؤدوااالمنت الى اهلها واذاحكمتم بين الناس ان تحكموا بالعدل ان هللا نعمايعدكم به ان‬
‫هللا كان سميعا بصيرا‬
Artinya:”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum
diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat” (QS. An-Nisa’:58).3
Dalam memimpin suatu organisasi atau Negara haruslah mempunyai azaz
keadilan. Sebagai pemimpin tidak boleh memihak kepada golongan tertentu,
semua harus diberlakukan sama dan adil. Ini salah satu syarat untuk menjadi
seorang pemimpin. Jika dalam memutuskan sesuatu tidak boleh tergesa-gesa,
harus diselidiki sebab akibatnya kemudian baru bisa memutuskan tindakan apa
yang harus diambil. Dengan cara seperti itu maka seorang pemimpin akan adil
dalam mengambil keputusan. Tidak dibenarkan jika memihak salah satu dengan
alasan jabatan, hubungan keluarga, teman ataupun pemimpin dari organisasi lain.
Jika salah harus diadili sesuai dengan kesalahannya. Fenomena yang terjadi
golongan masyarakat menengah kebawah sangat ditindas dengan keadilan. Jika
mereka melakukan kesalahan sedikit, aparat segera menindaklanjuti dan dihukum
dibatas kewajaran, masyarakat sangat tidak menerima bentuk hukuman yang
diberikan. Terlalu berat atas kesalahan yang dilakukan. Sebaliknya, jika pejabat
yang melakukan kesalahan yang seharusnya segera ditindaklanjuti dan diberi
hukuman, malah diundur-undur dengan segala alasan dan pembelaan. Jika
dihukumpun kadang tidak sesuai dengan bobot kesalahannya.
Pembahasan tentang adil merupakan suatu tema yang mendapat perhatian yang
serius dari para Ulama’ dan intelektual Muslim. Dalam buku “Wawasan al-
Qur’an”, Prof. Dr. M. Quraish Shihab membahas perintah penegakan keadilan
dalam al-Qur’an dengan mengutip tiga kata yakni al-adl, al-qish, al-mizan. Kata
al-adl menunjukkan kepada arti “sama” yang memberi kesan adanya dua pihak
atau lebih, sedangkan kata al-qish menunjuk kepada arti “bagian” (yang wajar
dan patut), dan al-mizan menunjuk kepada arti alat untuk menimbang yang berarti
pula “keadilan”. Ketiganya sekalipun berbeda bentuknya namun memiliki
semangat yang sama yakni perintah kepada manusia untuk berlaku adil.

3
Kementrian Agama RI, Mushaf an-Nahdlah al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: PT Hati Mas, 2013), hlm. 87.

3
Prof. Dr. Yusuf Qardlawi dalam bukunya “Sistem Masyarakat Islam dalam al-
Qur’an dan Sunnah, memberikan pengertian adil adalah “memberikan kepada
segala yang berhak akan haknya, baik secara pribadi atau secara berjamaah, atau
secara nilai apapun, tanpa melebihi atau mengurangi, sehingga tidak sampai
mengurangi haknya dan tidak pula menyelewengkan hak orang lain”. Dari
berbagai pengertian diatas dapat disimpulkan setidaknya tiga hakikat keadilan
yang harus kita tegakkan, yaitu:
1. Adil dalam Arti Sama (al-Musawat)
Yaitu perlakuan yang sama atau tidak membedakan antara yang satu
dengan yang lain, menyangkut persamaan hak perlindungan atas
kekerasan, kesempatan dalam pendidikan, peluang mendapatkan
kekuasaan, memperoleh pendapatan, dan kemakmuran, juga persamaan
dalam hak, kedudukan dalam prosses dimuka hukum tanpa
memandang ras, kelompok, kedudukan atau jabatan, kerabat, kaya atau
miskin, orang yang disukai atau dibenci, bahkan terhadap musuh
sekalipun.4
2. Adil dalam Arti Keseimbangan (at-Tawazun)
Seimbang disini tidak selalu sama antara dua pihak secara
kuantitatif, tapi lebih kepada proposional dan profesional. Disini
keadilan identik dengan pengertian kesesuaian, bukan lawan kata
“kezaliman”, yakni kesesuaian antara ukuran, kadar dan waktu. Ia
ditetapkan apabila memang kondisi menghendaki demikian. Allah
SWT menciptakan alam semesta dengan segala isinya, termasuk pada
diri kita dengan keseimbangan yang sangat tepat.
Adil dalam pengertian ini merupakan hakikat yang penting dalam
keadilan. Namun keseimbangan bukan berarti kesamaan dalam
memperoleh sesuatu, misalnya kesamaan dalam penghasilan. Tetapi
jangan pula terjadi jurang pemisah yang sangat tajam dan tidak ada
unsur pemerataan diantara sesama anak bangsa. Kesempatan diberikan
kepada semua orang dalam jumlah yang sama, namun yang
diperolehnya sangat tergantung pada usaha yang dilakukan. Ketika
pengembangan hanya berpusat ditempat tertentu itu namanya tidak
adil, karena tidak ada keseimbangan dan ini akan menimbulkan
4
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 282-284.

4
kecemburuan sosial yang berbahaya bagi suatu masyarakat. Termasuk
pula dalam tataran ini, keseimbangan antara pembangunan material dan
spiritual, keseimbangan antara dzikir dan fikir, pertengahan dalam
menyikapi harta, tidak kikir dan tidak boros. Orang yang bisa
menyeimbangkan antara dzikir dan fikir disebut orang-orang yang
berakal.
3. Adil dalam Pengertian “Perhatian Terhadap Hak-hak Individu dan
Memberikan Hak-hak Itu Kepada Setiap Pemiliknya”
Adil dalam pengertian inilah yang didefinisikan dengan
“menempatkan sesuatu pada tempatnya” (wadh al-syai’ fi mahallihi)
atau “memberi hak kepada pihak lain melalui jalan yang terdekat”.
Lawannya adalah “kezaliman” yaitu menempatkan sesuatu tidak pada
tempatnya (wadh al-syai’ fi ghairi mahallihi). Dengan demikian
memasang peci di kepala adalah keadilan dan meletakkannya dikaki
adalah kezaliman. Pengertian keadilan seperti ini, melahirkan keadilan
sosial dimana setiap muslim terutama pemimpinnya wajib
menegakkannya.
Setiap manusia tentu mempunyai hak untuk memiliki atau
melakukan sesuatu, karenanya hak-hak itu harus diperhatikan dan
dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Hak-hak setiap manusia itu misalnya
hak untuk hidup, memiliki sesuatu, belajar, bekerja, berobat, kelayakan
hidup dan jaminan keamanan. Semua itu harus diberikan
kesempatannya yang sama kepada setiap orang. Karena itu di dalam
Islam seseorang tidak dibenarkan melakukan pembunuhan tanpa alasan
yang benar karena yang demikian itu berarti ia telah merampas hak
hidup orang lain. Islam juga melarang seseorang makan harta orang
lain dengan cara mencuri, menipu dan semacamnya. Karena yang
demikian itu berarti ia mengambil hak-hak orang lain. Seringkali
perampasan hak orang lain dilakukan melalui pengurangan dalam
timbangan dan takaran.5
Dalam kehidupan keluarga pun seseorang diperintahkan berlaku adil
dengan cara memberikan hak anggota keluarganya secara proposional.
Seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu orang harus bisa
5
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. 282-284.

5
berlaku adil kepada mereka. Dalam pengertian pula Islam
memerintahkan seseorang agar bersikap adil dalam memberi kesaksian.
Seseorang tidak boleh memberi kesaksian kecuali dengan sesuatu yang
ia ketahui, tidak boleh menambah dan tidak boleh mengurangi, tidak
boleh merubah dan tidak boleh mengganti.
B. Nilai-nilai Positif dalam al-I’tidal
1. Meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupan.
2. Memperoleh ketenangan batiniyah.
3. Disenangi banyak orang.
4. Dapat meningkatkan kualitas diri dan memperoleh kesejahteraan hidup
duniawi dan ukhrowi.
5. Terwujud masyarakat yang aman, tentram, damai, sejahtera, lohjinawi
lahir dan batin.
6. Meningkatkan iman kepada Allah SWT.
Selain nilai-nilai yang disebutkan diatas, masih banyak lagi nilai-nilai
positif yang dapat kita ambil dari penerapan sikap al-I’tidal tersebut.6

6
Zuhairi Miswari, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi Keumatan dan Kebangsaan, (Jakarta: Kompas,
2010), hlm. 53.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Al-I’tidal ((‫دال‬//‫ االعت‬berarti tegak lurus, tidak condong kekanan dan tidak condong
kekiri, I’tidal juga bisa bermakna berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar
yang harus dibela. Kata I’tidal diambil dari kata al-Adlu (‫ = العدل‬keadilan), atau I’dilu (
‫= اعدلوا‬bersikap adillah). I’tidal adalah sikap tegak lurus dan adil, suatu tindakan yang
dihasilkan dari suatu pertimbangan. Oleh karena itu Ahlusunnah Wal Jamaah mencintai
atas tegaknya keadilan. Menurut kamus bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak
berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, berpegang kepada kebenaran
dan sepatutnya.

Nilai positif yang dapat diambil dari sikap al-I’tidal adalah:

1. Meraih keberhasilan dan kesuksesan dalam kehidupan.


2. Memperoleh ketenangan batiniyah.
3. Disenangi banyak orang.
4. Dapat meningkatkan kualitas diri dan memperoleh kesejahteraan hidup duniawi dan
ukhrowi.
5. Terwujud masyarakat yang aman, tentram, damai, sejahtera, lohjinawi lahir dan batin.
6. Meningkatkan iman kepada Allah SWT.
B. Saran
Perlu adanya keseriusan dan kesungguhan para pendidik dalam semua tingkatan
pendidikan sebagai usaha untuk pendewasaan diri yang optimal. Hendaknya masing-
masing lembaga pendidikan menyadari akan tugas dan tanggungjawabnya dalam usaha
turut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

7
DAFTAR PUSTAKA

Subaidi. 2019. Pendidikan Islam Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah an-Nahdliyah Kajian
Tradisi Islam Nusantara. Jepara: Unisnu Press.
Maschan, Ali Moesa. 2007. Nasionalisme Kyai Kontruksi Sosial Berbasis Agama.
Yogyakarta: LKIS.
Kementrian Agama RI. 2013. Mushaf an-Nahdlah al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: PT Hati
Mas.
Madjid, Nurcholis. 2000. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Miswari, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari Moderasi Keumatan dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas.

Anda mungkin juga menyukai