com/cpbyr0p5lv63
MAKALAH
AHLAK TASAWUF
DENGAN JUDUL “ ADIL “
DI SUNUN OLEH :
Siti Munawaroh
Tias Asih Triyanti
Nurhidayatus soleha
Puja dan puji syukur selalu kami haturkan kehadirat penguasa seluruh alam yang tiada
lain dan tak ada yang lain kecuali Allah SWT. Karena berkat limpahan rahmat, taufik,
hidayah, serta inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan tugas penyusunan Makalah Akhlak
Tasawuf dengan judul ADIL.
Kami selaku penyusun makalah bagaimanapun juga tak bisa memendam ucapan terima
kasih kepada Bpk Gunawan, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf
yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan makalah ini.
Dalam makalah Akhlak Tasawuf dengan judul ADIL ini, kami akan membahas tentang
apa itu Adil, dan kaitan nya adil dengan iman serta ahlak bagi kaum muslim.
Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini masih jauh dari sempurna.
Dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang konstruktif sangat kami harapkan dari
para pembaca demi perbaikan dan peningkatan kualitas penyusunan makalah dimasa yang
akan datang.
Dan kami berharap, semoga makalah ini bisa memberikan suatu kemanfaatan bagi kami
penyusun dan para pembaca serta referensi bagi penyusun makalah yang senada di waktu
yang akan datang. Amin.
Penyusun
2
DAFTAR ISI
BAB I
Pendahuluan ................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 4
BAB II
Pembahasan .................................................................................................................... 5
2.1 Pengertian Adil ............................................................................................. 5
2.2 Keadilan Tuhan ............................................................................................ 6
2.3 Hubungan Iman Dengan Ahlak .................................................................. 9
2.4 Hubungan Ahlak Dengan Keadilan ........................................................... 13
BAB III
Penutup ........................................................................................................................... 17
3.1 Kesimpulan .................................................................................................. 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut istilah agama adil adalah melaksanakan amanat Allah SWT dengan
menempatkan sesuatu pada kedudukan yang sebenarnya, dengan tidak menambahkan atau
menguranginya. Seseorang hendaknya berlaku adil terhadap dirinya sendiri, orang tua,
bangsa dan negaranya bahkan terhadap Allah SWT. Poedja Wijatna mengatakan bahwa
keadilan adalah pengakuan dan perlakuan terhadap yang sah. Sedangkan dalam literatur
islam, keadilan dapat diartikan istilah yang digunakan untuk menunjukkan pada persamaan
atau bersikap tengah-tengah atas dua perkara. Keadilan ini terjadi berdasarkan keputusan akal
yang di konsultasikan dengan agama. Masalah keadilan ini secara panjang lebar telah di
bahas dan di tempatkan dalam teori yang menjadi induk timbulnya akhlak yang mulia.
Mengingat hubungan hak, kewajiban dan keadilan demikian erat , maka dimana ada hak
maka ada kewajiban, dan dimana ada kewajiban maka ada keadilan, yaitu menerapkan dan
melaksanakan hak sesuai dengan tempat, waktu dan kadarnya yang seimbang. Demikian
pentingnya masalah keadilan dalam rangka pelaksanaan hak dan kewajiban.
5
Allah berfirman :
artinya : sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. (QS.
An-Nahl, 16:90)
Ayat tersebut menempatkan keadilan sejajar dengan berbuat kebajikan, memberi makan
kepada kaum kerabat , melarang dari berbuat keji dan mungkar serta menjauhi permusuhan.
Ini menunjukkan bahwa masalah keadilan termasuk masalah yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak sebagai suatu kewajiban moral.
6
1. Aliran kalam rasional
Konsep keadilan bagi kalangan rasional banyak didominasi oleh pendapat aliran
Mu’tazilah. Bagi Mu’tazilah, prinsip keadilan merupakan salah satu prinsip dari lima
prinsip dasar Mu’tazilah yang biasa disebut Al-Ushul Al-Khamsah. Konsep keadilan
bagi mereka mempunyai dua sisi pembahasan, Pertama, menyangkut hak dan
kewajiban; dalam konteks ini keadilan berarti lawan dari kezaliman.
Kedua, berkaitan dengan perbuatan Tuhan, dengan pengertian bahwa segala
perbuatannya adalah baik dan mustahil ia melakukan perbuatan buruk. jadi Tuhan
wajib berbuat baik terhadap manusia.
Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan
yang dipahami Mu’tazilah, aliran Maturidiah Samarkand menggaris bawahi makna
keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan
tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan
kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan tidak akan
memungkiri segala janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Abu Mansur
al-Maturidi memberi dalil pandangan di atas dengan firman Allah ayat 160 surat al-
An’am dan ayat 9 surat Ali Imran.
Golongan Mu’tazilah menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara
kebebasan dan kehendak manusia dengan keadilan Tuhan, karena bagaimana
mungkin, jika manusia itu tidak diberi kebebasan dan kehendak dalam melakukan
sesuatu perbuatan dan kemudian diminta pertanggung jawaban atas akibat
perbuatannya. Hal ini jelas bertentangan dengan keadilan Allah yang menghendaki
agar manusia itu diberi balasan sesuai dengan perbuatannya yang dilakukan dengan
kehendaknya yang bebas bukan terpaksa. Dan selanjutnya, ia dapat meniadakan
kedzaliman dari Allah sebab kemungkaran moral yang dilakukan manusia dan
sekiranya kemungkaran itu sudah ditentukan Allah atas manusia sejak azali, maka
balasan yang diberikan atasnya merupakan suatu kezaliman. Muhammad abduh
memandang soal keadilan Tuhan bukan hanya dari segi ke maha sempurnaan Tuhan,
tetapi juga dari pemikiran rasional manusia. Sifat ketidak adilan tidak bisa diberikan
kepada Tuhan, karena ketidak adilan tidak sejalan dengan ke maha bijaksanaan
Tuhan, tidak sejalan dengan kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan tidak pula sejalan
dengan kesempurnaan peraturan alam semesta. Bagi kalangan Mu’tazilah, Tuhan
yang maha bijaksana harus memiliki suatu maksud dari penciptaan alam semesta ini,
dan bahwa terdapat keadilan, kebaikan dan keburukan yang objektif dalam ciptaan
7
Tuhan, sekalipun terhadap orang yang mengesampingkan hukum Ilahi (syari’ah)
mengenai kebaikan dan keburukan. Tuhan tidak akan berbuat kejahatan dan bersifat
tidak adil.
2. Aliran Al-Asy’ariyyah
Adapun aliran Al-Asy’ariyyah, yang menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya dalam kekuasaan-Nya. Itulah makna adil bila dikaitkan dengan Tuhan dalam
pandangan Asy’ariyah. Dengan demikian, ketidak adilan dipahami dalam arti Tuhan
tidak bisa berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Atau dengan kata lain,
dikatakan tidak adil bila yang terpahami adalah Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak
terhadap milik-Nya.
Terkait hubungan antara kekuasaan mutlak Tuhan dengan keadilan Tuhan maka al-
Baghdadi[ mengatakan, Tuhan bersifat adil dalam segala perbuatan-Nya. Tidak ada
suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia berbuat apa saja yang dikehendakinya. Seluruh
makhluk milik-Nya dan perintah-Nya adalah di atas segala perintah. Ia tidak
bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan-Nya kepada siapa pun.
3. Aliran Maturidiyah
Sependapat dengan Asy’ariyah, aliran Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa
keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan
dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat
sekehendaknya sendiri. Keadaan Tuhan yang bersifat maha bijaksana tidak
mengandung arti bahwa disebalik perbuatan Tuhan terdapat hikmat-hikmat. Atau
dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan manusia,
tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.
Kaum Maturidiyyah kaum Samarkhan karena menganut paham free will dan free
act serta adanya batasan bagi kekuasaan mutlak tuhan, dalam hal ini mempunyai
posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah daripada kaum Asy’ariyyah. Tetapi
tedensi golongan ini untuk meninjau wujud dari sudut kepentingan manusia lebih
kecil dari tedensi kaum Mu’tazilah. Hal itu mungkin disebabkan oleh karena kekuatan
yang di berikan golongan Samarkhan kepada akal serta batasan yang mereka berikan
kepada kekauasaan mutlak Tuhan, lebih kecil yang di berikan kaum Mu’tazilah.
8
Dengan demikian jika kaum Mu’tazilah menempatkan keadilan Tuhan sebagai
keadilan raja konstitusional yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum-hukum,
walaupun hukum tersebut adalah buatannya sendiri, maka kaum Asy’ariyah
menempatkan keadilan Tuhan sebagai keadilan raja absolut, yang memberikan
hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali
kekuasaannya sendiri.
Persolan masalah keadilan dalam hal ini terkait dengan setiap usaha manusia dan
pandangan manusia terhadap konsep takdir. Takdir sebagaimana yang diketahui di
bagi menjadi dua, yaitu taqdir yang tetap (mubram) dan yang dapat diubah dan
diusahakan (mu’allaq), Jadi, perlu diketahui oleh setiap muslim bahwa dalam
kehidupan ini wilayah yang mu’allaq lebih besar porsinya dari wilayah yang mubram.
Taqdir yang dapat diusahakan tersebut berada dalam setiap sisi kehidupan ini dan
terkait dengan hukum sebab akibat (kausalitas).
Sebagai contoh, misalnya, jika seseorang ingin menjadi orang pintar maka ia harus
belajar dengan rajin dan tekun; jika ingin menjadi pengusaha kaya, maka harus
berusaha semaksimal mungkin dan berusaha mencari setiap peluang usaha yang dapat
mendatangkan uang; atau, jika tidak ingin mendapat musibah tsunami, maka carilah
tempat tinggal yang jauh dari wilayah pantai yang rawan tsunami. Jadi, apa yang
terjadi dalam kehidupan kita sekarang, tidak terlepas dari apa yang kita lakukan dan
usahakan pada waktu terdahulu. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi seorang
muslim untuk berprasangka baik terhadap Tuhan (husnun al-zhann) dalam
kehidupannya.
Jadi secara umum umat Islam berpegangan bahwa keadilan tuhan ialah mutlak artinya
tuhan akan membalas orang baik ke surga dan orang jahat ke neraka. Secara garis besar tuhan
akan membalas manusia sesuai amal perbuatannya.
9
baik kepada dirinya, Tuhannya, sesama manusia juga makhluk. Cakupan akhlak
sangat luas, diantara sisi-sisinya misalnya akhlak dalam politik, dalam usaha, dalam
sosial masyarakat, dan sebagainya. Tidak boleh ada ketimpangan dalam diri seorang
Muslim dalam tiga sisi ajaran Islam tersebut. Sisi akidah, fikih dan akhlak Muslim
sepatutnya menjadi satu kesatuan yang terintegrasi dalam bingkai Islam. Allah SWT.
berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya
syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (Al-Baqarah: 208).
Sebagaimana Allah SWT. mengecam para Ahli Kitab yang bersikap memilah milih
ajaran agama, mengimani sebagian ajaran dan mengkufuri sebagian yang lain,
memprektekkan sebagian dan membuang sebagian. “Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah
Balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang
sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (Al-Baqarah: 85).
2. Kedudukan Akhlak
Akhlak sebagai salah satu ajaran inti dalam Islam mendapat perhatian sangat besar.
Akhlak merupakan sisi yang mempengaruhi penilaian seorang di mata Allah SWT.
Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada wajah dan harta kalian, tetapi Allah
melihat kepada hati dan perbuatan kalian”. (HR. Muslim). Dalam Hadits lain
disebutkan: “Tidak ada perkara yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin
pada hari Kiamat nanti dari akhlak yang baik”. (HR. Tirmidzi). “Sesungguhnya
diantara orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempatnya di Hari Kiamat
nanti adalah orang yang paling baik akhlaknya”. Akhlak yang baik mampu
mengangkat dan memuliakan derajat seorang Muslim. “Sesungguhnya seorang
Mukmin bisa meraih derajat ahli puasa dan qiyamullail dengan akhlak yang baik.
(HR. Abu Dawud dan Hakim).
Begitu besar perhatian Islam terhadap ajaran akhlak. Seakan pengajaran akhlak
menjadi misi yang sangat dijunjungtinggi Rasul Saw dalam berdakwah. Betapa tidak
akhlak mewakili eksterior (tampilan luar) seorang Muslim, yang pada selanjutnya
mempengaruhi kondisi dan nasibnya kemudian di Akhirat. Tidak sebatas ini, bahkan
akhlak mempengaruhi jatuh bangunnya sebuah komunitas, bahkan Umat.
Sebagaimana syair yang dilantunkan oleh penyair ternama Syauqi: “Satu Umat
10
dipengaruhi dengan akhlaknya, jika akhlak (mulia) pudar maka Umat itu juga akan
punah”.
11
dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu
untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa.
dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (Al-Maidah: 8). Dalam ayat lain disebutkan: “Hai orang-orang yang
beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang
benar. (At Taubah: 119).
Akhlak bias menjadi barometer keimanan seseorang. Ibadah-ibadah yang disyariatkan
sebagai sarana untuk mengkondisikan hati dan meningkatkan keimanan, bisa diukur
baik atau tidaknya pelaksanaan ibadah tersebut, diterima atau tidaknya ibadah tersebut
dari sisi akhlak dan perilaku. Seringkali dalam berbagai hadits Rasulullah Saw.
mengangkat pemahaman ini. Bagaimana Rasul Saw. mengisyaratkan ukuran diterima
atau tidaknya shalat seorang dari perilakunya. Diriwayatkan dari Ali bin Ma’bad,
Rasulullah Saw bersabda: “Siapa yang sholatnya tidak bisa mencegahnya dari
perbuatan keji dan munkar, maka ia hanya bertambah jauh dari Allah.”
Bahwa ibadah sholat yang baik adalah ketika ia mampu mewarnai perilaku dan
perbuatan kita. Baik perbuatan yang hanya berdampak pada diri sendiri maupun orang
lain atau sosial. Shalat yang mampu mengkondisikan jiwa dan keimanan seseorang
bisa dinilai dari perbuatan dan akhlaknya. Begitu pula tentang ibadah puasa.
Rasulullah Saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah: “Siapa yang
tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah SWT. tidak
berkepentingan atas puasanya dari makanan dan minuman”. (HR. Tirmidzi).
Begitulah Secara umum hal ini diisyaratkan Rasulullah Saw, dari Abu Hurairah,
Rasulullah Saw: “Apakah kalian tahu siapa orang yang bangkrut itu?” para shahabat
menjawab, “Orang yang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak ber-dirham
dan ber-perhiasan.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari
umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat nanti dengan membawa pahala
shalat, shiyam dan zakat, tetapi dia juga mencela si ini, menuduh si itu, memakan
harta si ini, menumpahkan darah si itu, serta memukul si ini-itu, lalu si ini diberi
kebaikan-kebaikannya, dan si itu diberi kebaikan-kebaikannya, lalu jika kebaikan-
kebaikannya habis sementara semua belum selesai, maka kesalahan-kesalahan
mereka diberikan kepadanya, kemudian ia dilemparkan ke dalam neraka.” (HR.
Muslim).
12
Dan secara tegas Rasulullah Saw menjelaskan tentang kemestian akhlak baik sebagai
tanda keimanan seseorang. Begitu sebaliknya, siapa yang berakhlak dan prilaku buruk
pertanda tidak ada iman seseorang: “Demi Allah tidak beriman, tidak beriman, tidak
beriman! Ditanya: Siapa itu wahai Rasul? Orang yang tidak menjadikan tetangganya
merasa aman akibat perilaku buruknya”. (HR. Bukhari).
13
2. Bagaimana keadilan dan akhlak yang dilakukan manusia. Keadilan dan akhlak
sesama diwujudkan dalam bentuk antara lain :
a) Menghormati dengan cara ma’ruj
b) Memberi salam dan menjawab salam dengan wajah yang manis
c) Pandai berterima kasih
d) Menepati janji
e) Jangan mengejek
f) Tidak mencari-cari kesalahan orang lain.
3. Keadilan dan akhlak terhadap leluhur sebagai seorang muslim harus berbuat adil
dan memberikan hak-hak mereka.
Semua hak diatas tidak dapat diganggu gugat, karena hak asasi yang fitrah yang
diberikan oleh tuhan kepada manusia dan hanya tuhan yang dapat mencabut hak-hak
tersebut.
14
Untuk berbuat adil merupakan perbuatan yang sulit, tetapi harus disadari bahwa
berbuat adil merupakan sunah dan wajib dilaksanakan tiap-tiap umat manusia, sesuai
dengan firman Allah dalam surat Thaaha ayat 112 yang berbunyi :
Artinya :“Dan barangsiapa mengerjakan amal-amal yang saleh dan ia dalam keadaan
beriman, Maka ia tidak khawatir akan perlakuan yang tidak adil (terhadapnya) dan
tidak (pula) akan pengurangan haknya”.
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang mengerjakan amal saleh
tidak perlu khawatir diperlakukan tidak adil dan Allah menjamin ia mendapatkan haknya
selama menegakkan keadilan dan kebenaran.
Menurut Ibnu Maskawih menyebutkan bahwa adil itu bila seseorang dapat berbuat
sebagai berikut :
1) Menjalin persahabatan
2) Bersemangat sosial
3) Menjauhkan diri dari permusuhan
4) Mengikuti orang yang berbuat benar dan baik
5) Berwibawa disegala bidang dan lain-lain
Cakupan aspek keadilan sangat luas sehingga dalam segala hal harus dapat
menempatkan mana hak pribadi, hak negara, hak kelompok dan hak orang lain dengan
cara yang adil. Akan tetapi ada beberapa hal menurut keadilan harus ada persamaan,
sedang tidak persamaan berarti dihakimi, diantara ialah:
1) Persamaan didalam undang-undang. Berarti dalam undang-undang tidak ada
perbedaan yang kaya dan yang miskin, mulia dan hina.
2) Persamaan didalam hak-hak, maka tiap orang mempunyai hak untuk merdeka,
berpendapat dan sebagainya.
3) Persamaan dalam kedudukan bahwa siapapun bisa mendapatkan sesuai dengan
kecakapannya.
4) Persamaan dalam pemilihan umum, yaitu baik kaya maupun miskin
mempunyai hak yang sama dalam pemilihan umum.
15
harus terlebih dahulu mengerjakan kewajiban-kewajibannya. Gambaran hak dan
kewajiban dapat disebutkan sebagai berikut:
1) Hak Allah atas manusia, menjadi kewajiban manusia terhadap Allah
2) Hak anak-anak untuk di didik adalah kewajiban orang tua
3) Hak yang kecil dibimbing adalah kewajiban yang dewasa
4) Hak yang lebih tua untuk dihormati adalah kewajiban yang muda
Oleh karena itu didalam islam tidak ada satu perintah pun untuk menuntut hak
telebih dahulu tetapi keseimbangan antara hak dan kewajiban. Artinya kewajiban
dilaksanakan terlebih dahulu baru dituntut hak sesuai dengan firman Allah dalam surat
An Nisa 4:30
Artinya : “Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka
kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah” (QS. An Nisa 4:30).
Hikmah yang terkandung dalam mendapatkan hak dan kewajiban yang telah diatur
dalam ajaran Akhlak Al-kariman sebagai berikut :
1) Mendahulukan kewajiban kepada Allah SWT, manusia dan alam sekitarnya
2) Meminta hak atas jerih payah sesuai dengan pekerjaan dan perbuatannya
3) Dilarang mennuntut hak sebelum melaksanakan kewajiban
4) Menghormati hak orang lain dengan cara ma’ruf
5) Saling menghargai hak miliknya
6) Menghormati hak sepadan
7) Dengan mendahulukan kewajiban daripada hak berarti menjalan keadilan.
Oleh karena itu hak merupakan wewenang, bukan berwujud kekuatan maka
diperlukan penegak hukum dan melindungi yang lemah. Cara demikian orang lain pun
berbuat yang sama pada dirinya dan akan dipeliharalah pelaksanaan hak asasi manusia
itu.
Didalam kewajiban ditempatkan sebagai salah satu hukum syara’ yaitu sesuai
perbuatan apabila dikerjakan mendapat pahala dan ditinggallkan mendapat dosa. Akhlak
adalah peringai dan tingkah laku seseorang terhadap orang lain maupun terhadap sang
pencipta. Hubungannya dengan hak yaitu sebagai milik yang dapat digunakan oleh
16
seseorang tanpa ada yang dapat menghalangi. Hak yang demikian itu merupakan bagian
dari “akhlaqul karimah” karena harus dilakukan seseorang sebagai kewajiban dan
haknya. Dan sebaliknya dan itu disebut pula “akhlaqul madmumah atau tercela.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adil dalam bahasa arab disebut dengan kata “adilun” yang berarti sama dan seimbang.
Adil dalam pengertian sama dapat diartikan sebagai membagi sama banyak atau memberikan
hak yang sama. Misalnya, semua warga negara mendapatkan perlakuan yang sama di mata
hukum. Adil dalam pengertian seimbang daoat diartikan dengan memberikan hak yang
seimbang dengan kewajiban atau memberi seseorang sesuai dengan kebutuhannya.
Paham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mengandung arti kewajiban-kewajiban yang
harus di hormati Tuhan. Sedangkan paham Asy’ariyyah tentang keadilan bertentangan
dengan paham yang di bawa kaum Mu’tazilah, keadilan dalam paham Asy-ariyyah ialah
keadilan raja absolute yang meberikan hukuman menurut kehedak mutlak-Nya, tidak terikat
pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Kaum Maturidiyyah golongan
Bukhara mengambil possisi yang lebih dekat dengan posisi Asy-Ariyyah dalam hubungan ini,
sedangkan golongan Samarkhan mengambil posisi yang lebih dekat pada Mu’tazillah.
Hubungan antara iman dan akhlak sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Iman dan akhlak
satu paket. Maka, tidak bisa dipercaya bila seorang mengaku baik iman namun akhlak dan
perbuatannya jauh dari nilai keimanan. Begitu pula seorang akan sulit menjaga kebaikan
akhlak dan perbuatannya dalam segala kondisi, ketika keimanan tidak bersemayam lekat
dalam jiwanya. Siapa yang memiliki perangai dan akhlak yang buruk maka itu pertanda
buruknya keimanan dan keislaman dalam dirinya. Bahkan kaitan atau hubungan ini, terlihat
jelas dalam definisi iman -yang notabene dipahami sebagai kerja hati- yang juga mencakup
amal lisan dan badan.
17
Akhlak dan berbuat adil sangat erat hubungannya, akhlak baik mampu berbuat adil, akhlak
buruk terjadi penyimpangan hak dan keadilan. Keduanya saling berhubungan dan tarik-
menarik tidak bisa dilepaskan antara satu dengan yang lainnya. Allah seslalu
memperingatkan untuk selalu berbuat kebajikan dan keadilan karena keadilan itu
mendekatkan diri kepada taqwa. Manusia khalifah di bumi, wajib menerapkan konsep akhlak
dan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Intinya setiap perbuatan dan tingkah laku harus
sesuai dengan tuntunan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dengan menegakkan keadilan berarti kita
menjalankan undang-undang dan menjadikan persamaan rasa solidaritas antar umat
beragama.
DAFTAR PUSTAKA
18