Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

SUNNAH DAN BID’AH

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aswaja II program studi Pendidikan
Agama Islam semester I
Dosen Pengampu Bapak Nur Rois, Mpd. I

Disusun oleh: kelompok 2


1. Muhammad Ilma Najib (19106011144)
2. Lilif Kholifatul Muawiah (19106011152)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
2019
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulisan makalah “Sunnah dan Bid’ah” ini dapat
dikerjakan sesuai dengan arah, tujuan, dan orientasi yang telah direncakan.
Makalah ini dikerjakan berdasarkan kegiatan perkuliahan Aswaja.
Makalah ini disusun dengan maksud untuk menjelaskan kepada pembaca
tentang sunnah dan bid’ah.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada dosen pembimbing
kami, bapak Nur Rois, Mpd. I , yang telah memberikan bimbingan dan
pengarahan tentang mata kuliah Aswaja II. Dan juga, terima kasih kepada teman-
teman yang telah membantu dalam memberikan semangat serta dorongan dalam
memebantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dalam
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tak luput dari kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan
demi penyempurnaan dan perbaikan makalah ini
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
Bab I PENDAHULUAN....................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................1
B. Rumusan Masalah.............................................................................2
C. Tujuan Pembahasan..........................................................................2
Bab II PEMBAHASAN….................................................................................3
A. Pengertian Sunnah dan Bid’ah..........................................................3
B. Pembagian Sunnah............................................................................6
C. Pembagian Bid’ah.............................................................................7
D. Contoh Sunnah dan Bid’ah...............................................................9
Bab III PENUTUP.............................................................................................17
A. Kesimpulan.......................................................................................18
B. Saran.................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beberapa orang di indonesia pastilah mengenal sunnah dan bid’ah.
Adanya kedua kata diatas juga mengakibatkan beberapa pertentangan dan
juga penolakan terhadap sesuatu, terutama yang baru, yang muncul pada
kemajuan dunia yang semakin pesat. Beberapa orang yang masih hijau,
dimungkinkan menelan mentah-mentah pengertian dua kata diatas, terutama
kata bid’ah yang semakin marak seiring berkembangnya teknologi yang ada
didunia.
Agama islam merupakan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad
SAW, yang bertujuan untuk menyempurnakan agama-agama yang
sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitabnya. Di dalam Al-Qur’an terdapat
berbagai macam hukum atau aturan yang mengatur kehidupan manusia dalam
bidang sosial, politik, ibadah, dan lain-lain, demikian juga dalam urusan
manusia dan juga tuhannya. Namun, karena sifat hukumAl-Qur’an yang
sangat umum, maka dalam penjelasannya, Nabi Muhammad SAW, sendirilah
yang mempraktekanya atau suatu permasalahan dari suatu kaum yang ada
yang memunculkan suatu penjelasan dimana umat islam wajib untuk
mematuhinya setelah Al-Qur’an, yaitu sunnah.
Namun dengan adanya kemajuan teknologi menjadikan banyaknya
permasalahan baru yang tak ada di dalam Al-Qur’an dan juga sunnah.
Sebagian orang berijtihad untuk menentukan aturan baru, namun ada juga
yang langsung mengatakan bahwa itu adalah sebuah bid’ah. Adanya hal
tersebut mengakibatkan sebuah perdebatan, pertentangan, dan juga penolakan
terhadap sesuatu yang baru. Bahkan beberapa kebudayaan yang merupakan
tradisi indonesia asli pun juga dinyatakan sebagai bid’ah dan keberadaannya
hampir dilarang oleh sebagai kelompok.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Sunnah dan Bid’ah?
2. Apa saja pembagian Sunnah ?
3. Apa saja pembagian Bid’ah ?
4. Apa saja contoh perilaku Sunnah dan Bid’ah ?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian sunnah dan bid’ah.
2. Mengetahui macam - macam pembagian Sunnah.
3. Mengetahui macam – macam pembagian Bid’ah.
4. Mengetahui contoh – contoh perilaku Sunnah dan Bid’ah.

2
BAB II
ISI

A. Pengertian Sunnah dan Bid’ah


1. Pengertian Sunnah
Dari segi bahasa, Sunnah adalah “at-thariqah wa law ghaira
mardhiyah”, yaitu jalan atau cara walaupun tidak diridhoi. Menurut
pendapat lain, Sunnah adalah “at-thariqah mahmudah kaanat aw
mazmumah” , yaitu jalan yang dilalui baik terpuji atau tercela. Seperti
sabda Nabi S.A.W yang bermaksud, “Sungguh kamu akan mengikuti
sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelummu sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya mereka
memasuki sarang dhab (berupa biawak) sungguh kamu memasuki juga.”
[H.R. Bukhari dan Muslim]
Dari hadits tersebut, kita bisa mengetahui bahwa kata Sunnah
sebagaimana juga menurut ahli bahasa berarti jalan.
Adapun pengertian Sunnah menurut istilah, seperti yang
diungkapkan oleh Muhammad Ajaj Al-Khathib yang bermaksud, “Segala
sesuatu yang dinukilkan dari Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik
sebelum Nabi SAW diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.
Pada pendapat Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani (471-561H/1077-
1166M) menjelaskan bahwa,“As-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan
oleh Rasulullah SAW (meliputi ucapan, perilaku serta perilaku beliau).
Dengan demikian, mereka yang mengamalkan ajaran Nabi SAW dan
sahabat R.Anhum itulah yang disebut Ahlussunnah wa al-Jama’ah.
Sedangkan yang menolak terhadap ajaran sahabat, tentu tidak bisa
dikatakan pengikut ASWAJA.
Menurut KH. M.Hasyim Asy’ari, Sunnah adalah, “Nama bagi
jalan dan perilaku yang diridhoi dalam agama yang ditempuh oleh
Rasulullah SAW atau orang-orang yang dapat menjadi teladan beragama

3
seperti para sahabat R.Anhum Ajma’in, berdasarkan sabda Nabi SAW “
Ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin sesudahku”.
Sedangkan menurut para ulama’ Ushul Fiqh, kata Sunnah berarti
apa-apa yang dilakukan, dikatakan atau ditetapkan oleh Nabi SAW yang
dapat dijadikan sebagai dalil dalam menetapkan suatu hukum syar’i.
Dari sudut terminologi, para ahli hadits mengungkapkan Sunnah
adalah hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, penetapan maupun sifat beliau dan sifat ini baik
berupa sifat-sifat fisik, moral maupun prilaku sebelum beliau menjadi
Nabi maupun sesudahnya. Jika kita perhatikan, pada dasarnya Sunnah
sama dengan hadits. Akan tetapi ia dapat dibedakan dalam
pemaknaannya, seperti yang diungkapkan oleh M.M. Azami bahwa
Sunnah berarti model kehidupan Nabi SAW sedangkan hadits adalah
periwayatan dari model kehidupan Nabi SAW tersebut.
2. Pengertian Bid’ah
Dari segi bahasa, Bid’ah adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada
contoh sebelumnya. Seorang ahli bah asa terkemuka, Ar-Raghib al-
Ashfahani dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, menuliskan
sebagai berikut: “Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa
mengikuti dan mencontoh sesuatu sebelumnya.”
Definisi yang serupa juga dikemukakan oleh al-Imam Muhyiddin
Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam
madzhab as-Syafi’i. Beliau berkata seperti berikut: “Bid’ah adalah
mengerjakan sesuatu yang baru yang belum ada pasa masa Rasulullah
SAW.”
Bahkan, menurut al-Imam Muhammad bin Ismail al-Shan’ani,
ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum Wahabi, mendefinisikan
bid’ah hampir sama dengan definisi di atas. Dalam kitabnya Subul al-
Salam Syarh Bulugh al-Maram yang menjadi rujukan kaum Wahabi
Indonesia sejak masa lalu. Beliau mengatakan, “Bid’ah menurut bahasa
adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh sebelumnya.

4
Yang dimaksudkan bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa
didahului pengakuan syara’ melalui Al-Quran dan Sunnah.”
Kata Ibda’ artinya merintis sebuah kreasi baru tanpa mengikuti
dan mencontoh sesuatu sebelumnya. Kata Ibda’ jika digunakan pada hak
Allah, maka maknanya adalah penciptaan terhadap sesuatu tanpa alat,
tanpa bahan, tanpa masa dan tanpa tempat .Kata Ibda’ dalam makna ini
hanya berlaku bagi Allah saja.
Kata al-Badi’ digunakan untuk al-Mubdi’ (artinya yang merintis
sesuatu yang baru).
Seperti dalam firman Allah SWT dalam QS: Al-Baqarah:, yang
bermaksud : “Allah Pencipta langit dan bumi…”. Kata al-Badi’ juga
digunakan untuk al-Mubda’ (artinya sesuatu yang dirintis). Seperti kata
Rakwah Badi’, artinya: “Bejana air yang unik (dengan model baru)”.
Demikian juga kata al-Bid'u digunakan untuk pengertian al-
Mubdi’ dan al-Mubda’, artinya berlaku untuk makna Fa’il (pelaku) dan
berlaku untuk makna Maf’ul (obyek).
Firman Allah dalam QS. al-Ahqaf: 9, yang berarti : “Katakan
Wahai Muhammad, Aku bukan Rasul pertama yang belum pernah
didahului oleh rasul sebelumku” (arti penggunaan dalam makna Maf’ul).
Menurut pendapat lain makna ayat tersebut adalah: “Katakan wahai
Muhammad, Aku bukanlah orang yang pertama kali menyampaikan apa
yang aku katakan” (arti penggunaan dalam makna Fa’il).
Selanjutnya, Bid’ah menurut istilah adalah sesuatu yang baru
yang tidak terdapat penyebutannya secara tertulis, baik di dalam al-
Qur’an maupun dalam hadits. Seorang ulama bahasa yang terkemuka,
Abu Bakar Ibn al-‘Arabi menuliskan sebagai berikut:
“Perkara yang baru (Bid’ah atau Muhdats) tidak pasti tercela
hanya karena secara bahasa disebut Bid’ah atau Muhdats, atau dalam
pengertian keduanya. Melainkan Bid’ah yang tercela itu adalah perkara
baru yang menyalahi sunnah, dan Muhdats yang tercela itu adalah perkara
baru yang mengajak kepada kesesatan.

5
B. Pembagian Sunnah
1. Sunnah Qawliyah
Yaitu sunnah Nabi yang hanya berupa ucapannya saja baik dalam
bentuk pernyataan, anjuran, perintah cegahan maupun larangan. Yang
dimaksud dengan pernyatan Nabi di sini adalah sabda Nabi dalam
merespon keadaan yang berlaku pada masa lalu, masa kininya dan masa
depannya, kadang-kadang dalam bentuk dialog dengan para sahabat
atau jawaban yang diajukan oleh sahabat atau bentuk-bentuk ain seperti
Khutbah. Contohnya : Rasulullah saw bersabda : “ segala amal itu
mengikuti niat....”. (H.R. Al Bukhori dan Muslim)
2. Sunnah Fi’liyah
Yaitu sunnah Nabi yang berupa perbuatan Nabi yang diberitakan
oleh para sahabat mengenai soal-soal ibadah dan lain-lain seperti
melaksanakan shalat manasik haji dan lain-lain.Contohnya: Rasulullah
saw bersabda : “ Bershalatlah kamu sebagaimana kamu melihataku
shalat”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama ushul fiqh menetapkan bahwa pekerjaan yang masuk urusan
tabi’at seperti duduk, berdiri, makan, minum dan sebagainya, apabila
Nabi mengerjakannya maka menunjuk kepada kebolehan pekerjaan itu
untuk Nabi dan untuk umatnya.
3. Sunnah Taqririyah
Yaitu sunnah Nabi yang berupa penetapan Nabi terhadap perbuatan
para sahabat yang diketahui Nabi tidak menegornya atau melarangnya
bahkan Nabi cenderung mendiamkannya. Sunnah taqririyah adalah
sunnah-sunnah Rasulullah saw yang berupa taqrir (ketetapan) yaitu
membenarkan (tidak mengingkari) sesuatu yang diperbuat oleh sahabat
di hadapan Nabi saw atau diberitakan kepada Beliau, lalu Beliau tidak
menyanggah atau tidak menyalahkan serta menunjukkan bahwa beliau
menyetujuinya. Contohnya sabda Nabi saw: “ Janganlah seseorang dari
kamu bershalat, melainkan di bani Quraidhah”.
Sebagian sahabat memaknai hadits ini dari zhahirnya. Karena itu,
mereka tidak mengerjakan shalat ashar sebelum sampai di Bani

6
Quraidhah. Sebagian yang lain berpendapat bahwa yang dimaksud Nabi
ialah bersegera pergi ke sana, karena itu mereka mengerjakan shalat
ashar pada waktunya, sebelum sampai di Bani Quraidhah. Berita
mengenai dua perbuatan sahabat ini sampai kepada Nabi. Beliau
berdiam diri tidak berkata apa-apa.

C. Pembagian Bid’ah
Menurut para ulama’ bid’ah dalam ibadah dibagi dua: yaitu bid’ah
hasanah dan bid’ah dhalalah. Di antara para ulama’ yang membagi bid’ah ke
dalam dua kategori ini adalah:
1. Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi’i, bid’ah dibagi dua; bid’ah mahmudah dan
bid’ah madzmumah. Jadi bid’ah yang mencocoki sunah adalah
mahmudah, dan yang tidak mencocoki sunah adalah madzmumah.
Bid’ah hasanah/mahmudah dibagi menjadi dua. Yang pertama adalah
bid’ah wajib seperti kodifikasi (pengumpulan) al-Qur’an pada zaman
Khalifah Utsman bin Affan dan pengumpulan hadits ke dalam kitab-
kitab besar pada zaman sesudahnya. Sedangkan bid’ah hasanah yang
kedua adalah bid’ah sunah, seperti shalat tarawih 20 rakaat pada zaman
khalifah Umar bin Khathab.
2. Imam al-Baihaqi
Bid’ah menurut Imam Baihaqi dibagi dua; bid’ah madzmumah dan
ghairu madzmumah. Setiap Bid’ah yang tidak menyalahi al-Qur’an,
Sunah, dan Ijma’ adalah bid’ah mahmudah atau ghairu madzmumah.
Sedangkan bid’ah yang tercela (madzmumah) adalah bid’ah yang tidak
memiliki dasar syar’i sama sekali.
3. Imam Nawawi
Bid’ah menurut Imam Nawawi dibagi menjadi dua; bid’ah hasanah
dan bid’ah qabihah.
4. Imam al-Hafidz Ibnu Atsir
Ibnu Atsir juga membagi Bid’ah menjadi dua; bid’ah yang terdapat
petunjuk nash (teks al-Qur’an/hadits) di dalamnya, dan bid’ah yang tidak

7
ada petunjuk nash di dalam¬nya. Jadi setiap bentuk bid’ah yang
menyalahi kitab dan sunah adalah tercela dan harus diingkari. Akan
tetapi bid’ah yang mencocoki keumuman dalil-dalil nash, maka masuk
dalam kategoti terpuji.

Secara garis besarnya, para ulama telah membagi bid’ah menjadi dua
yaitu bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah dholalah (bid’ah yang
tercela). Maka, dalam hal ini, al-Hafizh al-Muhaddits al-Imam Abu Abdillah
Muhammad bin Idris as-Syafi’I, seorang mujtahid besar dan pendiri madzhab
Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di dunia Islam,
telah mengatakan seperti berikut:“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam.
Pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Quran atau Sunnah atau Ijma’
dan itu disebut bid’ah dholalah (tersesat). Kedua, sesuatu yang baru dalam
kebaikan yang tidak menyalahi al-Quran, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut
bid’ah yang tidak tercela.” Imam Syafi’i rah. juga mengatakan bahwa bid’ah
terbagi dua yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah
(tercela). Maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak
selaras dengan sunnah adalah tercela. Beliau berdalil dengan ucapan
Sayyidina Umar bin Khattab r.a mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik
bid’ah”.
Ada beberapa ulama’ yang membagi bid’ah menjadi 5 bagian sebegai
berikut :
1. Bid’ah wajibah.
Yaitu bid’ah yang diwajibkan. Contohnya belajar ilmu nahwu,
memperindah cetakan Al-Qur’an dan Hadits, belajar ilmu kedokteran,
biologi, strategi perang, kepemimpinan, dan ilmu-ilmu serta sarana
yang sifatnya mendukung perkembangan dan kejayaan Islam.
2. Bid’ah muharramah.
Yaitu bid’ah yang diharamkan. Contohnya mengikuti faham-faham
sesat seperti qadariah, jabariah, atau mujasimah, serta berbuat syirik
kepada Allah. Bid’ah ini disebut pula bid’ah sesat.

8
3. Bid’ah mandhubah.
Yaitu bid’ah yang dibolehkan. Yaitu jika dipandang baik untuk
kemaslahatan umat meski tidak terdapat pada masa Rasulullah Saw.
Contohnya membangun pesantren, sekolah, rumah sakit, atau
penelitian-penelitian ilmiah, penemuan-penemuan modern yang
sifatnya memperjelas kebenaran isi ayat Al-Qur’an.
4. Bid’ah makruhah.
Yaitu bdi’ah yang dimakruhkan. Contohnya memperindah atau
menghiasi masjid, tempat ibadah, mushaf yang berlebihan.
5. Bid’ah mubahah.
Yaitu bid’ah yang dimubahkan. Contohnya berjabat tangan setelah
shalat Subuh dan Isya, membuat hidangan makanan dan minuman serta
bersolek untuk ibadah.

D. Contoh Sunnah dan Bid’ah


Berikut ini adalah contoh Bid’ah Hasanah pada masa Rasulullah SAW
1. Hadits Sayyidina Bilal r.a yang berbunyi,
“Abu Hurairah r.a meriwayatkan bahwa Nabi SAW bertanya
kepada Bilal ketika shalat fajr: “Hai Bilal, kebaikan apa yang paling
engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar
suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan yang paling
aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik
siang maupun malam kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat
dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, Nabi
SAW berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke
surga?” ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat
sunnat dua rakaat setelahnya. Dan aku belum pernah hadats kecuali aku
berwudhu’ setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua
rakaat karena Allah”. Nabi SAW berkata: “Dengan dua kebaikan itu,
kamu meraih derajat itu”.
Menurut Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits ini memberikan
faedah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah karena

9
Bilal r.a memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi
SAW pun membenarkannya. Nabi SAW belum pernah menyuruh atau
mengerjakan shalat sunat dua rakaat setiap selesai berwudhu’ atau
setiap selesai adzan, akan tetapi Bilal r.a melakukannya atas ijtihadnya
sendiri tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi SAW.
Ternyata Nabi SAW membenarkannya bahkan memberikan kabar
gembira tentang derajatnya di surga sehingga shalat dua rakaat setiap
selesai wudhu’ menjadi sunnat bagi seluruh ummat Islam.

2. Hadits Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a yang bermaksud,


“Sayyidina Ali r.a berkata: “Abu Bakar r.a bila membaca al-
Quran dengan suara lirih. Sedangkan Umar r.a dengan suara yang keras.
Dan Ammar r.a apabila membaca al-Quran, mencampur surah ini
dengan surah itu. Kemudian hal itu dilaporkan kepada Nabi SAW.
Sehingga Nabu SAW bertanya kepada Abu Bakar. “Mengapa kamu
mebaca dengan suara lirih?” ia menjawab: “Allah dapat mendengar
suaraku walaupun lirih.” Lalu bertanya kepada Umar, “Mengapa kamu
membaca dengan keras?” Umar menjawab: “Aku mengusir syetan dan
menghilangkan kantuk.” Lalu Nabi SAW bertanya kepada Ammar,
“Mengapa kamu mencampur surah ini dengan surah itu?” Ammar
menjawab: “Apakah engkau pernah mendengarkanku mencampurnya
dengan sesuatu yang bukan al-Quran?” Nabi menjawab: “Tidak.” Lalu
Nabi bersabda: “Semuanya baik.”
Hadits ini menunjukkan bahwa bolehnya membuat bid’ah
hasanah dalam agama. Ketiga sahabat itu melakukan ibadah dengan
caranya sendiri berdasarkan ijtihad masing-masing sehingga sebagian
sahabat melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang berbeda-beda itu,
dan ternyata Rasulullah SAW membenarkan dan menilai semuanya
baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini kita dapat simpulkan bahwa
tidak selamanya sesuatu yang belum diajarkan oleh Rasulullah SAW
pasti buruk atau keliru.

10
3. Hadits ‘Amr bin al-‘Ash r.a yang bermaksud.
“ ‘Amr bin al-‘Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-
Salasil berkata: “Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali.
Aku mau mandi tapi takut sakit. Akhirnya aku bertayammum dan
menjadi imam shalat shubuh bersama sahabat-sahabatku. Setelah kami
dating kepada Rasulullah SAW, mereka melaporkan kejadian itu
kepada Rasulullah SAW. Nabi bertanya: “Hai ‘Amr, mengapa kamu
menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu junub?”
Aku menjawab: “Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS: Surah al-Nisa’:29). Maka aku bertayammum dan
shalat.” Lalu Rasulullah SAW tersenyum dan tidak berkata apa-apa.”
Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah. ‘Amr bin al-‘Ash
melakukan tayammum karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya.
Kemudian setelah Nabi SAW mengetahuinya, beliau tidak menegurnya
bahkan membenarkannya. Dengan demikian, tidak semua perkara yang
tidak diajarkan oleh Nabi SAW itu pasti tertolak bahkan menjadi bid’ah
hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara’ seperti dalam hadits ini.

Berikut ini adalah contoh Bid’ah Hasanah setelah Rasulullah SAW


Wafat :
1. Penghimpunan al-Quran dalam mushaf
Umar r.a mengusulkan penghimpunan al-Quran dalam satu
mushaf. Abu Bakar r.a mengatakan bahwa hal itu belum pernah
dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar meyakinkan Abu Bakar bahwa
hal itu tetap baik walaupun belum pernah dilakukan oleh Rasulullah
SAW. Dengan demikian, tindakan beliau itu tergolong dalam bid’ah. Dan
para ulama bersepakat bahwa menghimpun al-Quran dalam satu mushaf
hukumnya wajib meskipun termasuk bid’ah, agar al-Quran tetap
terpelihara. Oleh karena itu, penghimpunan al-Quran ini tergolong dalam
bid’ah hasanah yang wajibah.

11
2. Shalat Tarawih
Di antara perkara bid’ah yang telah ada sejak zaman Nabi SAW
dan para sahabat adalah shalat tarawih, yang oleh kaum muslimin
diperdebatkan tentang perlaksanaan dan jumlah rakaatnya. Rasulullah
tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya
melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau
tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula
mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa
Khalifah Abu Bakar r.a. Kemudian Umar mengumpulkan mereka untuk
melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka
untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong dalam
bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik
bid’ah adalah ini”. Pada hakekatnya, apa yang beliau melakukan ini
termasuk sunnah karena Rasulullah telah bersabda yang bermaksud:
“Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ ar-Rasyidin yang
memperoleh petunjuk.”
3. Adzan Jum’at
Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at
dikum andangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa
Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin
meningkat sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at
sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama,
yang dilakukan di Zaura’, tempat di pasar Madinah agar mereka segera
berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at sebelum imam hadir ke atas
mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa
yang beliau lakukan ini termasuk dalam bid’ah tetapi bid’ah hasanah dan
dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya
dengan sunnah karena Utsman termasuk dalam Khulafa’ ar-Rasyidin yang
sunnahmya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
4. Shalat Sunnah sebelum Shalat ‘Id dan sesudahnya
Rasulullah SAW tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum
shalat ‘id dan sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada

12
masa Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib r.a dan ternyata beliau
membiarkan dan tidak menegur mereka. Karena apa yang mereka lakukan
termasuk dalam bid’ah hasanah, siapa saja boleh melakukannya. Di sini,
Sayyidina Ali bin Abi Thalib, salah satu Khulafa’ ar-Rasyidin memahami
bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW belum
tentu salah atau tercela.
5. Hadits Talbiyah
Abdullah bin Umar r.anhuma meriwayatkan bahwa doa talbiyah
yang dibaca oleh Rasulullah SAW ketika menunaikan ibadah haji adalah:
َ‫لَك‬ ‫ك‬ َ ‫ َو ْال ُم ْل‬ ‫ك‬
َ ‫ َش ِري‬ َ‫ال‬ ‫ك‬ َ َ‫ل‬ َ‫ َوالنِّ ْع َمة‬ ‫ ْال َح ْم َد‬ ‫إِ َّن‬ ‫ك‬
َ ‫لَبَّ ْي‬ ‫ك‬
َ َ ‫ل‬  ‫ك‬ َ ‫لَبَّ ْي‬ ،َ‫لَبَّ ْيك‬ ‫اللَّهُ َّم‬ ‫ك‬
َ ‫ َش ِري‬ َ‫ال‬ ‫ك‬ َ ‫لَبَّ ْي‬
Tetapi Abdullah bin Umar sendiri menambah doa talbiyah
tersebut dengan kalimat:
‫ َو ْال َع َم ُل‬ ‫ك‬ َ ‫بِيَ َد ْي‬ ‫ َو ْال َخ ْي ُر‬ ‫ك‬
َ ‫إِلَ ْي‬ ‫ َوال َّر ْغبَا ُء‬  َ‫لَبَّ ْيك‬ ‫ك‬ َ ‫لَبَّ ْي‬  َ‫لَبَّ ْيك‬
iَ ‫ َو َس ْع َد ْي‬ ‫ك‬
Hadits tentang doa talbiyah Nabi dan tambahan Ibn Umar itu
diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan lain-lain.
Menurut Ibn Umar, Sayyidina Umar r.a juga melakukan tambahan
dengan kalimat yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim.
Bahkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayyidina
Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi SAW dengan kalimat:
‫ ْال َح َس ِن‬ ‫ َو ْالفَضْ ِل‬ ‫النَّ ْع َما ِء‬ ‫ َذا‬  َ‫إِلَ ْيك‬  ٌ‫ َمرْ ُغوب‬ ‫ك‬
َ ‫لَبَّ ْي‬
Dalam riwayat Abu Dawud dengan sanad yang shahih,
Ahmad dan Ibn Khuzaimah, sebagian sahabat menambah bacaan
talbiyahnya dengan kalimat:
‫ج‬ ِ i‫ ْال َم َع‬ ‫ َذا‬Ibn Hajar dalam al-Mathalib al-‘Aliyah meriwayatkan
ِ ‫ار‬i
bahwa Sayyidina Anas bin Malik r.a dalam talbiyahnya menambah
kalimat: ‫ َو ِرقًّا‬ i‫تَ َعبُّ ًدا‬ ‫ َحقًّا‬ ‫ َحقًّا‬  َ‫ لَبَّ ْيك‬Menurut Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bari,
hadits-hadits talbiyah yang beragam dari para sahabat menunjukkan
bolehnya menambah bacaan dzikir dalam tasyahhud, talbiyah dan lainnya
terhadap dzikir yang ma’tsur (dating dari Nabi). Karena Nabi SAW
sendiri telah mendengar tambahan para sahabat dalam talbiyah dan
membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat melakukan tambahan
pula seperti Umar, Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud, Hasan bin Ali, Anas

13
dan lain-lain. Kebolehan menambah dzikir baru terhadap dzikir yang
ma’tsur ini adalah pendapat mayoritas ulama bahkan bisa dikatakan ijma’
ulama.

Berikut ini adalah contoh lain amalan sunnah yang dilakukan pada
bulan Sya’ban antara lain:
1. Memperbanyak Puasa di Bulan Sya’ban
Sebagaimana hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha yang telah
berlalu, Nabi Muhammad SAW berpuasa pada mayoritas hari di bulan
Sya’ban, bukan pada keseluruhan harinya, karena beliau tidaklah pernah
berpuasa sebulan penuh kecuali pada bulan Ramadhan.
2. Menghitung Hari Bulan Sya’ban
Sudah sepantasnya kaum muslimin menghitung bulan Sya’ban
sebagai persiapan sebelum memasuki Ramadhan. Karena satu bulan itu
terkadang dua puluh sembilan hari dan terkadang tigapuluh hari, maka
puasa itu dimulai ketika melihat hilal bulan Ramadhan. Jika terhalang
awan hendaknya menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh
hari. Karena Allah menciptakan langit-langit dan bumi serta menjadikan
tempat-tempat tertentu agar manusia mengetahui jumlah tahun dan hisab.
Satu bulan tidak akan lebih dari tiga puluh hari.
3. Tidak Mendahului Ramadhan dengan Puasa Satu atau Dua Hari
Sebelumnya.
Nabi Muhammad SAW melarang seseorang untuk mendahului
Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya. Kecuali apa
yang sudah menjadi rutinitas seseorang. Misalnya seseorang yang sudah
terbiasa berpuasa di hari Senin, ketika puasanya bertabrakan dengan satu
atau dua hari sebelum Ramadhan maka tidak mengapa baginya untuk
berpuasa.
4. Tidak Berpuasa pada Hari yang Diragukan.
Yaumus syak (hari yang diragukan) adalah hari ketigapuluh dari
bulan Sya’ban apabila hilal tertutup mendung atau karena langit berawan
pada malam sebelumnya. Para ulama berbeda pendapat tentang larangan

14
ini apakah sifatnya pengharaman atau makruh. Dan yang kuat dari
pendapat para ulama adalah pengharamannya.

Ada pula Bid’ah-bid’ah yang dilakukan pada bulan Sya’ban antara


lain:
1. Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah
bid’ah upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan
pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satu pun dalil
yang dapat dijadikan sandaran.
2. Shalat Alfiyah
Shalat bid’ah ini dinamakan Shalat Alfiyah karena di dalamnya
dibacakan surat Al Ikhlash sebanyak seribu kali. Jumlah raka’atnya
seratus, dan pada setiap rakaat dibacakan surat Al Ikhlas sepuluh kali.
3. Padusan
Padusan adalah acara mandi bersama yang dilakukan pada akhir
bulan Sya’ban, menjelang masuknya bulan Ramadhan. Biasanya orang-
orang berkumpul di sungai, danau, air terjun atau kolam, lalu mandi
bersama dengan keyakinan perkara tersebut akan membersihkan dosa-
dosa mereka sebelum mereka masuk ke dalam bulan Ramadhan.
Padusan merupakan bid’ah yang tidak pernah diajarkan oleh
Rasulullah SAW dan tidak pernah pula dikerjakan oleh generasi awal
Islam, dan telah berlalu penjelasan tentang keharamannya dan di
dalamnya terdapat keyakinan yang rusak bahwa dengan acara mandi-
mandi tersebut akan membersihkan dosa-dosa. Ini adalah keyakinan yang
keliru karena sesungguhnya dosa-dosa tidaklah akan terhapus dengan
acara mandi seperti itu. Dosa-dosa akan terhapus dengan taubat, meminta
ampunan dari Allah serta memperbanyak amalan shalih.
4. Sedekah Ruwah
Sedekah ruwah adalah acara kenduri (makan-makan) yang
tujuannya adalah mengumpulkan orang banyak untuk kemudian
membacakan tahlil dan surat Yasin untuk kemudian dihadiahkan kepada

15
arwah orang tua dan karib kerabat yang telah meninggal dunia. Acara ini
juga termasuk bid’ah yang tidak pernah dituntunkan Nabi Muhammad
SAW. Kemungkaran di dalam acara ini juga bertambah apabila diiringi
dengan kurafat (tahayul), keyakinan yang batil bahwa arwah orang yang
telah meninggal hadir untuk mengunjungi saudara-saudaranya yang masih
hidup.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara etimologis (bahasa) kata sunah adalah jamak dari kata
sunnah. Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw
berarti jalan Rasulallah saw yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan
oleh beliau. Adapun sunnah secara terminologis (istilah) yang disimpulkan
oleh para ulama ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhamad
saw baik berupa ucapan (hadits), aksi (perbuatan) maupun determinasi
atau pengakuannya. Sunnah digolongkan menjadi tiga macam, yaitu
sunnah Qauliyah, sunnah Fi’liyah dan sunnah Taqririyah.
Bid’ah menurut bahasa, diambil dari bida’ yaitu mengadakan
sesuatu tanpa ada contoh. Bid’ah menurut istilah (syar’i/terminologi)
adalah sesuatu yang diada-adakan menyerupai syariat tanpa ada
tuntunannya dari Rasulullah yang diamalkan seakan-akan bagian dari
ibadah.Dapat disimpulkan bahwa bid’ah adalah suatu hal yang tidak
terdapat pada konteks ajaran Islam yang dibawa Rasulullah Saw, baik
dalam masalah aqidah maupun syariah yang aturan-aturannya sudah
dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah secara tafshil (rinci). Para
‘ulama ahli ushul fiqih telah sepakat menetapkan pembagian bid’ah itu
kedalam dua bagian yaitu bid’ah ‘Amm (umum) dan bid’ah Khash
(khusus).
Dari hal yang telah terurai dai dalam makalah ini dapat di
simpulkan bahwa seluruh bidah tidaklah sesat karena bidah adalah hal hal
baru yang ada setelah nabi wafat seperti munculnya Hanphone yang pada
saat moderen merupakan hal yang bidah karena hal tersebut tidak ada pada
zamaan rasullulah tapi hal tersbut merupakan hal yang baru atau dapat di
simupulkan adalah bidah hasanah jadi kesimpulannya semua bidah
tidaklah sesat selagi memberi kemaslahatan umat.

17
B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya dalam makalah ini jauh dari
sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, sehingga dapat menjadi bekal dikemudian hari apabila kami
mempunyai kesempatan membuat makalah lain. Mudah-mudahan makalah
ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan/wawasan bagi kami
pada khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hsubky, Badraduddin. 1996. Bid’ah-bid’ah di Indonesia. Jakarta: Gema


Insani Press.
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Teungku. 1999. Kriteria Sunnah
Bid’ah. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putri.
Agung wibowo, nahdlatussubban. 2016. Aswaja ke NU AN kelas IX.
Jatim : PWLP maarif NU JATIM
Ahmad, A. 2011. Syarah Ushulus Sunnah Keyakinan Al – Imam Ahmad
dalam Aqidah. Bogor : CV Darul Ilmi.

19

Anda mungkin juga menyukai