Istishab, Saddudzarieah
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Ushul Fiqh”
1
KATA PENGANTAR
Penulis
2
DAFTAR ISI
COVER 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
BAB II (PEMBAHASAN)
A. Pengertian Syar’un Man Qablana 5
Dasar Hukum Syar’un Man Qablana 5
Macam-macam Syar’u Man Qablana 5
B. Pengertian Istishab 7
Macam-macam Istishab 7
Dasar Hukum Istishab 9
C. Pengertian Saddu Dzarie’ah 10
Dasar Hukum Saddu Dzari’ah 11
Macam-macam Saddu Dzari’ah 12
BAB III (PENUTUP)
A. Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 15
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam adalah penutup semua risalah
samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah swt untuk umat manusia
dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini,
maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan
komprehensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum
yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat
dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan
perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal
penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak
akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk
melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash
tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang
benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih
sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan
hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan di
antaranya adalah syar’u man qablana, istishab dan saddu dzari’ah yang akan dibahas
dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Syar’un Man Qablana dan dasar hukumnya?
2. Apa saja macam-macam Syar’un Man Qablana?
3. Apa pengertian, macam-macam Istishab dan dasar hukumnya?
4. Apa pengertian, dasar hukum, dan objek Saddu Dzarie’ah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian Syar’un Man Qablana dan dasar hukumnya.
2. Untuk mengetahui apa saja macam-macam Syar’un Man Qablana.
3. Untuk mengetahui apa pengertian, macam-macam Istishab dan dasar
hukumnya.
4. Untuk mengetahui apa pengertian, dasar hukum, dan objek Saddu Dzarie’ah.
4
BAB II
PEMBAHASAN
ٰۤ ُ
َول ِٕٕىِ\كَ الَّ ِذ ْينَ هَدَى هّٰللا ُ فَبِه ُٰدىهُ ُم ا ْقتَ ِد ۗ ْه قُلْ ٓاَّل اَسْٔـََٔ\لُ ُك ْم َعلَ ْي ِه اَجْ ر ًۗا اِ ْن هُ َو ِااَّل ِذ ْك ٰرى لِ ْل ٰعلَ ِم ْين ا
Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka
ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah
peringatan untuk seluruh umat.”
1
http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/03/pengertian-dan-dasar-hukum-syaru-man.html?m=1
2
http://devieka475.blogspot.com/2016/04/makalah-syaru-man-qablana-tugasmandiri.html?m=1
5
Musa As. pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong
yang kena najis itu.
2. Dianggap syariat kita melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ini
termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh: Perintah
menjalankan puasa.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau
dianggap sebagai syariat kita.
6
B. Pengertian Istishab
Macam-macam Istishab3
3
https://gapurakampus.blogspot.com/2017/11/makalah-istishab.html?m=1
7
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung
terus.
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah
batal, maka berdasarkan istishab wudhunya dianggap masih ada karena
keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Jal ini sejalan dengan sabda
Rasul “Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu
apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali-kali janganlah ia
keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara
atau mencium bau kentut” (HR. Muslim dan Abu Hurairah)
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul
fiqih. Ibn Qayyim Al-Jauziyah berpendapat bahwa istishab seperti ini
dapat dijadikan hujjah.
8
berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk
mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidak sanggup, maka
tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang
kepada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama
Hanafiyah, istishab seperti ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah
ada, danberhutang tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk
menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’
itu diperselisihkan.
Istishab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang
kehujjahannya.Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’
bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayyamum untuk
mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah
shalat harus dibatalkan?
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah orang tersebut tidak
boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan
bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka menganggap
hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa
ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi
shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyah mengatakan orang yang
melakukan shalat dengan tayyamum dan ketika shalat melihat air, ia harus
membatalkan shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’,
karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat
bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.
Contoh istishab: telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan
perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan
selama 15 tahun, karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin
dengan laki-laki C. Dalam hal ini, B belum dapat kawin dengan C karena
ia masih terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang pada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan
istishab.
10
sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan. Menurut al-Qarafi, sadd
adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk
menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka
kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-
Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti
asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-
dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-
dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-
Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain
yang dilarang.
Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/cara
yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram, jalan/cara yang
menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal serta jalan/cara yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya pun wajib.
Contohnya:
1. Zina hukumnya haram, maka melibat aurat wanita
yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga
merupakan haram.
2. Shalat jum’at merupakan kewajiban maka meninggalkan
segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib
pula hukumnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.
َ َِواَل تَ ُسبُّوا الَّ ِذ ْينَ يَ ْد ُعوْ نَ ِم ْن ُدوْ ِن هّٰللا ِ فَيَ ُسبُّوا هّٰللا َ َع ْد ًو ۢا بِ َغي ِْر ِع ْل ۗ ٍم َك ٰذل
ك زَ يَّنَّا لِ ُكلِّ اُ َّم ٍة َع َملَهُ ۖ ْم ثُ َّم اِ ٰلى َربِّ ِه ْم
ََّمرْ ِج ُعهُ ْم فَيُنَبِّئُهُ ْم بِ َما َكانُوْ ا يَ ْع َملُوْ ن
11
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
2) As-Sunnah
12
yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian
keempat ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama,
apakah ditarikhkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan
Imam Ahmad menetapkan haram.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Syar’u man qablana adalah syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan
ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi ‘alaihin ash-shalat wa-salam
sebelum Nabi Muhammad saw. diutus menjadi rasul seperti syariat Nabi
Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa dan Nabi Isa.
Dasar Hukum Syar’un Man Qablana terdapat dalam QS. Al-An’am ayat 90.
2. Macam-macam Syar’u Man Qablana, antara lain:
- Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum
kita, tetapi Al-Qur’an dan Hadits tidak
menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan
berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad saw.
- Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum
kita, kemudian menyatakan tidak berlaku lagi bagi umat
Nabi Muhammad saw.
- Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang
sebelum kita, kemudian Al-Qur’an dan Hadits
menerangkannya kepada kita.
3. Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum
ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.
Macam-macam Istishab, antara lain:
- Istishab hukum Al-Ibahah Al-Asliyyah
- Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap
dan berlangsung terus.
- Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab
dengan nash selama tidak ada dalil nasakh (yang
membatalkannya).
- Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i.
- Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Dasar Hukum Istishab yaitu bahwa sebenarnya istishab itu bukanlah cara
menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah
ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
4. Sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang, juga merupakan washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka
jalan/cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram,
jalan/cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal serta
14
jalan/cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya
pun wajib.
Dasar Hukum Saddu Dzarie’ah yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Objek Saddu Dzarie’ah, antara lain:
Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti
menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan gelap yang bisa
membuat orang yang akan masuk rumah jatuh ke dalamnya.
Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti menjual
makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur
sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar
adalah nadir (jarang terjadi).
Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya;
tidak diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam
keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup
pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati)
terhadap kerusakan sedapat mungkin,
sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati
ilmu yakin. Contohnya menjual senjata di waktu perang/fitnah,
menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum
mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli
yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian
keempat ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama,
apakah ditarikhkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan
Imam Ahmad menetapkan haram.
15
DAFTAR PUSTAKA
http://devieka475.blogspot.com/2016/04/makalah-syaru-man-qablana-tugasmandiri.html?
m=1
http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/03/pengertian-dan-dasar-hukum-syaru-
man.html?m=1
https://gapurakampus.blogspot.com/2017/11/makalah-istishab.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-ushul-fiqh-
saddu-dzariah/amp/
16