Anda di halaman 1dari 16

Sumber-Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati Seperti Syahrun Man Qablana,

Istishab, Saddudzarieah
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Ushul Fiqh”

Dosen Pengampu : Wasis Aminullah, M.Pd.I


Disusun Oleh :
1. Ahmad Syifaul Wafa
2. Anis Zakiyah
3. Hafilda Novianti
4. Siti Khoirul Ummah
5. Wafiq Wafaul Falah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
BUDURAN – SIDOARJO
2020

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan


rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Ushul Fiqh”. Sholawat serta salam semoga tetap
tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad saw. yang mana telah menuntun kita
semua dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang, yakni agama Islam
tercinta.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini. Sehingga makalah ini dapat terselesaikan
meskipun jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan
saran konstruktif demi memperbaiki makalah-makalah selanjutnya. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Sidoarjo, April 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER 1
KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I (PENDAHULUAN)
A. Latar Belakang 4
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan 4
BAB II (PEMBAHASAN)
A. Pengertian Syar’un Man Qablana 5
 Dasar Hukum Syar’un Man Qablana 5
 Macam-macam Syar’u Man Qablana 5
B. Pengertian Istishab 7
 Macam-macam Istishab 7
 Dasar Hukum Istishab 9
C. Pengertian Saddu Dzarie’ah 10
 Dasar Hukum Saddu Dzari’ah 11
 Macam-macam Saddu Dzari’ah 12
BAB III (PENUTUP)
A. Kesimpulan 13
DAFTAR PUSTAKA 15

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa syariat Islam adalah penutup semua risalah
samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah swt untuk umat manusia
dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini,
maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan
komprehensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif dan kaidah-kaidah hukum
yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat
dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan
perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal
penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak
akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk
melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash
tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang
benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih
sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan
hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan di
antaranya adalah syar’u man qablana, istishab dan saddu dzari’ah yang akan dibahas
dan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Syar’un Man Qablana dan dasar hukumnya?
2. Apa saja macam-macam Syar’un Man Qablana?
3. Apa pengertian, macam-macam Istishab dan dasar hukumnya?
4. Apa pengertian, dasar hukum, dan objek Saddu Dzarie’ah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa pengertian Syar’un Man Qablana dan dasar hukumnya.
2. Untuk mengetahui apa saja macam-macam Syar’un Man Qablana.
3. Untuk mengetahui apa pengertian, macam-macam Istishab dan dasar
hukumnya.
4. Untuk mengetahui apa pengertian, dasar hukum, dan objek Saddu Dzarie’ah.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syar’un Man Qablana


Syar’u man qablana adalah syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan
ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi ‘alaihin ash-shalat wa-salam sebelum Nabi
Muhammad saw. diutus menjadi rasul seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Daud, Nabi
Musa dan Nabi Isa. 1
Para ulama menjelaskan bahwa syariat sebelum kita ialah hukum-hukum yang
telah disyariatkan untuk umat sebelum kita yang dibawa oleh para nabi dan rasul
terdahulu dan menjadi beban hukum untuk diikuti oleh umat sebelum adanya syariat
Nabi Muhammad.
Para ulama berbeda pendapat tentang syar’u man qablana terutama ulama
Hanafiyah, ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafiyah dan sebagian ulama Hanabilah
berpendapat bahwa syar’u man qablana berlaku pada umat Islam, jika syariat tersebut
diinformasikan melalui Rasulullah saw. bukan terdapat dalam kitab-kitab suci mereka
yang telah mengalami dan tidak terdapat nash syara’ yang membantahnya.

 Dasar Hukum Syar’un Man Qablana


Firman Allah swt. pada QS. Al-An’am ayat 90:

ٰۤ ُ
َ‫ول ِٕٕىِ\كَ الَّ ِذ ْينَ هَدَى هّٰللا ُ فَبِه ُٰدىهُ ُم ا ْقتَ ِد ۗ ْه قُلْ ٓاَّل اَسْٔـََٔ\لُ ُك ْم َعلَ ْي ِه اَجْ ر ًۗا اِ ْن هُ َو ِااَّل ِذ ْك ٰرى لِ ْل ٰعلَ ِم ْين‬ ‫ا‬

Artinya: “Mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah, maka
ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu
dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah
peringatan untuk seluruh umat.”

 Macam-macam Syar’u Man Qablana2


Syar’un man qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap
hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-Quran
dan Sunnah, ulama sepakat bahwa ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua,
setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-Quran
dan Sunnah, maka diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
1. Dinasakh syariat kita (syariat Islam). Tidak termasuk syariat kita
menurut kesepakatan semua ulama. Contoh: Pada syariat Nabi

1
http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/03/pengertian-dan-dasar-hukum-syaru-man.html?m=1

2
http://devieka475.blogspot.com/2016/04/makalah-syaru-man-qablana-tugasmandiri.html?m=1

5
Musa As. pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong
yang kena najis itu.
2. Dianggap syariat kita melalui Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ini
termasuk syariat kita atas kesepakatan ulama. Contoh: Perintah
menjalankan puasa.
3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau
dianggap sebagai syariat kita.

Secara garis besar syariat dapat dikelompokkan menjadi dua,


antara lain:
1. Apa yang disyariatkan kepada mereka juga ditetapkan kepada kita
Nabi Muhammad saw, baik penetapnya itu melalui perintah
melaksanakan, seperti puasa, maupun melalui kisah, seperti
qishash.
2. Apa yang disyariatkan kepada mereka tidak disyariatkan kepada
kita. Misalnya yang disyariatkan kepada Nabi Musa, seperti “Dosa
orang jahat itu tidak akan terhapus selain membunuh dirinya
sendiri” dan “Pakaian yang terkena najis itu tidak suci kecuali
harus dipotong bagian yang terkena najis tersebut”. Terhadap
syariat jenis kedua ini para ulama sepakat untuk meninggalkan
karena syariat kita telah menghapusnya.

Sebagian para ulama mengatakan macam-macam syar’u man


qablana, antara lain :
1. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita, tetapi
Al-Qur’an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkan
atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad saw.
2. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum kita,
kemudian menyatakan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad saw.
3. Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita,
kemudian Al-Qur’an dan Hadits menerangkannya kepada kita.
Mengenai bentuk ketiga yaitu syariat yang diperuntukkan bagi
umat-umat sebelum kita, kemudian diterangkan kepada Al-Qur’an dan
Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah,
sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafiyah dan sebagian
ulama Hanabilah berpendapat bahwa syariat itu berlaku pula bagi umat
Nabi Muhammad saw. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah
berpendapat bahwa membunuh dzimi sama hukumnya dengan
membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasarkan
45 surat Al-Maidah mengenai pendapat golongan lain menurut mereka
dengan adanya syariat Nabi Muhammad saw, maka syariat yang
sebelumnya dinyatakan manasukh atau tidak berlaku lagi hukumnya.

6
B. Pengertian Istishab

Secara etimologi (lughawi), Istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba (


‫ )استصحب‬dalam sighat is-tif’al (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرارالصحبة‬. Kalau kata ‫الصحبة‬
diartikan “sahabat” atau “teman”, dan ‫ استمرار‬diartikan “selalu” atau “terus-menerus”,
maka Istishab itu secara lughawi adalah “selalu menemani” atau ‘selalu menyertai”.

Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang


dikemukakan oleh para ulama, antara lain:
1. Imam Isnawi
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang
telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil yang mengubah
hukum-hukum tersebut.
2. Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan, menetapkan apa yang pernah ditetapkan
dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
3. Abdul Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya
semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di
masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selamat tidak ada yang mengubahnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu
hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.

 Macam-macam Istishab3

Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa Istishab ada lima


macam yang sebagian disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima
macam istishab itu, antara lain:
1. Istishab hukum Al-Ibahah Al-Asliyyah
Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia
adalah boleh selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Misalnya seluruh pepohonan di hutan merupakan milik bersama umat
manusia dan masing-masing orang berhak menebang dan memanfaatkan
pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan
tersebut telah menjadi milik seseorang. Berdasarkan ketetapan perintah ini,
maka hukum kebolehan memanfaatkan hutan tersebut berubah menjadi
tidak boleh. Istishab seperti ini menurut para ahli ushul fiqih dapat
dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.

3
https://gapurakampus.blogspot.com/2017/11/makalah-istishab.html?m=1

7
2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung
terus.
Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap
berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya.
Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau sudah
batal, maka berdasarkan istishab wudhunya dianggap masih ada karena
keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan. Jal ini sejalan dengan sabda
Rasul “Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu
apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali-kali janganlah ia
keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara
atau mencium bau kentut” (HR. Muslim dan Abu Hurairah)
Istishab bentuk kedua ini terdapat perbedaan pendapat ulama ushul
fiqih. Ibn Qayyim Al-Jauziyah berpendapat bahwa istishab seperti ini
dapat dijadikan hujjah.

Ulama Hanafiyah berpendirian bahwa pendapat seperti ini hanya


bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan dan menegaskan hukum yang
telah ada, serta tidak bisa dijadikan hujjah untuk hukum yang belum ada.
Imam Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan
hujjah apabila didukung oleh nash atau dalil, dan dalil itu menunjukkan
bahwa hukum itu masih tetap berlaku dan tidak ada dalil lain yang
membatalkannya.
Sedangkan ulama Malikiyah menolak istishab sebagai hujjah
dalam beberapa kasus, seperti kasus orang yo ragu terhadap keutuhan
wudhunya. Menurut mereka dalam kasus seperti ini istishab tidak berlaku,
karena apabila seseorang merasa ragu atas keutuhan wudhunya sedang
dalam keadaan shalat, maka shalatnya batal dan ia harus berwudhu
kembali dan mengulangi shalatnya.
3. Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang
mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh
(yang membatalkannya).
Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya.
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum
Islam tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak
ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini menurut Jumhur
ulama ushul fiqih termasuk istishab. Tetapi menurut ulama ushul fiqih
lainnya, contoh di atas tidak dinamakan istishab tetapi berdalil berdasarkan
kaidah bahasa.
4. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i
Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum
datangnya syara’. Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat
hukumnya terhadap umat manusia, sampai datangnya dalil syara’ yang
menentukan hukum. Misalnya seseorang menggugat orang lain bahwa ia

8
berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk
mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidak sanggup, maka
tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang
kepada penggugat. Istishab seperti ini diperselisihkan menurut ulama
Hanafiyah, istishab seperti ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah
ada, danberhutang tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah,
istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk
menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan datang.
5. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’
itu diperselisihkan.
Istishab seperti ini diperselisihkan para ulama tentang
kehujjahannya.Misalnya para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’
bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayyamum untuk
mengerjakan shalat. Tetapi dalam keadaan shalat ia melihat ada air, apakah
shalat harus dibatalkan?
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyah orang tersebut tidak
boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan
bahwa shalatnya sah apabila sebelum melihat air. Mereka menganggap
hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa
ia harus membatalkan shalatnya kemudian berwudhu dan mengulangi
shalatnya.
Ulama Hanabilah dan Hanafiyah mengatakan orang yang
melakukan shalat dengan tayyamum dan ketika shalat melihat air, ia harus
membatalkan shalatnya untuk berwudhu. Mereka tidak menerima ijma’,
karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat
bagi orang dalam keadaan tidak adanya air, bukan keadaan tersedianya air.
Contoh istishab: telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan
perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat berjauhan
selama 15 tahun, karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin
dengan laki-laki C. Dalam hal ini, B belum dapat kawin dengan C karena
ia masih terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan
hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang pada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya
perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan
istishab.

 Dasar Hukum Istishab

Dari keterangan dan contoh di atas dapat diambil kesimpulan bahwa


sebenarnya istishab itu bukanlah cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath),
tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku
9
suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau
yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan
sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan
yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin
dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi
suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan
antara yang halal dengan yang haram.

C. Pengertian Saddu Dzarie’ah

Secara etimologi, kata sadd adz-dzari’ah (‫ )سدالذريعة‬merupakan bentuk frasa


(idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (‫ )سد‬dan adz-dzari’ah (‫)الذريعة‬. Secara
etimologis, kata as-sadd (‫ )السد‬merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari ‫سد يسد سدا‬.
Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun
lobang. Sedangkan adz-dzari’ah (‫ )ال َّذ ِر ْي َعة‬merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal
yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak
dari adz-dzari’ah (‫ )ال َّذ ِر ْي َعة‬adalah adz-dzara’i (‫)ال\ َّذ َرائِع‬. Karena itulah, dalam beberapa
kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah
yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Saddu Dzara’i berasal dari kata sadd dan zara’i. Sadd artinya menutup atau
menyumbat, sedangkan zara’i artinya pengantara. Dzari’ah berarti “jalan yang menuju
kepada sesuatu.” Ada juga yang mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan “sesuatu
yang membawa kepada yang dilarang dan mengandung kemudaratan”.
Akan tetapi Ibn Qayyim al-Jauziyah (ahli fiqh) mengatakan bahwa
pembatasan pengertian dzari’ah kepada sesuatu yang dilarang saja tidak tepat, karena
ada juga dzari’ah yang bertujuan kepada yang dianjurkan. Oleh sebab itu, menurutnya
pengertian dzari’ah lebih baik dikemukakan yang bersifat umum ,
sehingga dzari’ah itu mengandung dua pengertian, yaitu: yang dilarang (sadd al-
dzariah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah).
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan untuk unta yang dipergunakan
orang Arab dalam berburu. Si unta dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati
binatang liar yang sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak
terlihat oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang
diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut Ibn al-
A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala
sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.
Secara terminologi, Ibnul Qayyim dan Imam Al-Qarafi menyatakan bahwa
Dzari’ah itu ada kalanya dilarang yang disebut Saddus Dzari’ah, dan ada kalanya
dianjurkan bahkan diwajibkan yang disebut fath ad-dzari’ah. Seperti meninggalkan
segala aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib. Tetapi
Wahbah Al-Juhaili berbeda pendapat dengan Ibnul qayyim. Dia menyatakan bahwa
meninggalkan kegiatan tersebut tidak termasuk kedalam dzari’ah tetapi dikategorikan

10
sebagai muqaddimah (pendahuluan) dari suatu perbuatan. Menurut al-Qarafi, sadd
adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk
menghindari kerusakan tersebut.
Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika
perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka
kita harus mencegah perbuatan tersebut. Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-
Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan
namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti
asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang
awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-
dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang
diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-
dzari’ah yang pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu al-
Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya perbuatan lain
yang dilarang.
Kesimpulannya adalah bahwa Dzari’ah merupakan washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka jalan/cara
yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram, jalan/cara yang
menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal serta jalan/cara yang
menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya pun wajib.
Contohnya:
1. Zina hukumnya haram, maka melibat aurat wanita
yang menghantarkan kepada perbuatan zina juga
merupakan haram.
2. Shalat jum’at merupakan kewajiban maka meninggalkan
segala kegiatan untuk melaksanakan shalat jum’at wajib
pula hukumnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-
dzari’ah adalah menetapkan larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.

 Dasar Hukum Saddu Dzarie’ah

1) Al Qur’an, dalam QS. Al-An’am ayat 108

َ ِ‫َواَل تَ ُسبُّوا الَّ ِذ ْينَ يَ ْد ُعوْ نَ ِم ْن ُدوْ ِن هّٰللا ِ فَيَ ُسبُّوا هّٰللا َ َع ْد ًو ۢا بِ َغي ِْر ِع ْل ۗ ٍم َك ٰذل‬
‫ك زَ يَّنَّا لِ ُكلِّ اُ َّم ٍة َع َملَهُ ۖ ْم ثُ َّم اِ ٰلى َربِّ ِه ْم‬
َ‫َّمرْ ِج ُعهُ ْم فَيُنَبِّئُهُ ْم بِ َما َكانُوْ ا يَ ْع َملُوْ ن‬

Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang


mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah
dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.Demikianlah kami jadikan

11
setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada
Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”

2) As-Sunnah

1. Di antara dalil sunah adalah larangan menimbun demi


mencegah terjadinya kesulitan atas manusia. Nabi juga
melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari orang
yang berhutang demi menutup celah riba.
2. Fuqoha sahabat juga menerapkan prinsip ini, hingga mereka
memberikan waris kepada wanita yang dicerai ba’in, jika suami
mencerainya dalam keadaan sakit kritis, demi untuk menutup
terhalanginya celah istri dari mendapatkan warisan.
Dari Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah saw.
bersabda: “Termasuk di antara dosa besar seorang lelaki melaknat
kedua orang tuanya.” Beliau kemudian ditanya, “Bagaimana caranya
seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya?” Beliau menjawab,
“Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain, kemudian orang yang
dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu tua lelaki tersebut.

 Objek Saddu Dzarie’ah4

Pada dasranya yang menjadi objek dzari’ah adalah semua perbuatan


ditinjau dari segi akibatnya yang dibagi menjadi empat, antara lain:
1. Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti
menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan gelap yang bisa
membuat orang yang akan masuk rumah jatuh ke dalamnya.
2. Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti menjual
makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur
sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar
adalah nadir (jarang terjadi).
3. Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya;
tidak diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam
keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup
pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati)
terhadap kerusakan sedapat mungkin, sedangkan ihtiat tidak
diragukan lagi menurut amali menempati ilmu yakin. Contohnya
menjual senjata di waktu perang/fitnah, menjual anggur untuk
dibuat khamar, hukumnya haram.
4. Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum
mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli
4
https://www.google.com/amp/s/hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-ushul-fiqh-saddu-
dzariah/amp/

12
yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian
keempat ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama,
apakah ditarikhkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan
Imam Ahmad menetapkan haram.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Syar’u man qablana adalah syari’at sebelum kita yaitu syari’at hukum dan
ajaran-ajaran yang berlaku pada para nabi ‘alaihin ash-shalat wa-salam
sebelum Nabi Muhammad saw. diutus menjadi rasul seperti syariat Nabi
Ibrahim, Nabi Daud, Nabi Musa dan Nabi Isa.
Dasar Hukum Syar’un Man Qablana terdapat dalam QS. Al-An’am ayat 90.
2. Macam-macam Syar’u Man Qablana, antara lain:
- Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum
kita, tetapi Al-Qur’an dan Hadits tidak
menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan
berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad saw.
- Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat sebelum
kita, kemudian menyatakan tidak berlaku lagi bagi umat
Nabi Muhammad saw.
- Syariat yang diperuntukkan bagi umat-umat yang
sebelum kita, kemudian Al-Qur’an dan Hadits
menerangkannya kepada kita.
3. Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum
ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.
Macam-macam Istishab, antara lain:
- Istishab hukum Al-Ibahah Al-Asliyyah
- Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap
dan berlangsung terus.
- Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum
datangnya dalil yang mengkhususkannya dan istishab
dengan nash selama tidak ada dalil nasakh (yang
membatalkannya).
- Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i.
- Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’
tetapi keberadaan ijma’ itu diperselisihkan.
Dasar Hukum Istishab yaitu bahwa sebenarnya istishab itu bukanlah cara
menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah
ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan.
4. Sadd adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah
terjadinya perbuatan lain yang dilarang, juga merupakan washilah (jalan) yang
menyampaikan kepada tujuan baik yang halal ataupun yang haram. Maka
jalan/cara yang menyampaikan kepada yang haram hukumnya pun haram,
jalan/cara yang menyampaikan kepada yang halal hukumnya pun halal serta

14
jalan/cara yang menyampaikan kepada sesuatu yang wajib maka hukumnya
pun wajib.
Dasar Hukum Saddu Dzarie’ah yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Objek Saddu Dzarie’ah, antara lain:
 Perbuatan yang akibatnya menimbulkan kerusakan/bahaya, seperti
menggali sumur di belakang pintu rumah di jalan gelap yang bisa
membuat orang yang akan masuk rumah jatuh ke dalamnya.
 Perbuatan yang jarang berakibat kerusakan/bahaya, seperti menjual
makanan yang tidak menimbulkan bahaya, menanam anggur
sekalipun akan dibuat khamar. Ini halal karena membuat khamar
adalah nadir (jarang terjadi).
 Perbuatan yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya;
tidak diyakini dan tidak pula dianggap nadir (jarang terjadi). Dalam
keadaan ini, dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup
pintu (saddu dzari’ah) adalah wajib mengambil ihtiat (berhati-hati)
terhadap kerusakan sedapat mungkin,
sedangkan ihtiat tidak diragukan lagi menurut amali menempati
ilmu yakin. Contohnya menjual senjata di waktu perang/fitnah,
menjual anggur untuk dibuat khamar, hukumnya haram.
 Perbuatan yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum
mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu, seperti jual-beli
yang menjadi sarana bagi riba, ini diharamkan. Mengenai bagian
keempat ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama,
apakah ditarikhkan yang haram atau yang halal. Imam Malik dan
Imam Ahmad menetapkan haram.

15
DAFTAR PUSTAKA

http://devieka475.blogspot.com/2016/04/makalah-syaru-man-qablana-tugasmandiri.html?
m=1
http://duniapendidikan33.blogspot.com/2015/03/pengertian-dan-dasar-hukum-syaru-
man.html?m=1
https://gapurakampus.blogspot.com/2017/11/makalah-istishab.html?m=1
https://www.google.com/amp/s/hurie85.wordpress.com/2014/07/16/makalah-ushul-fiqh-
saddu-dzariah/amp/

16

Anda mungkin juga menyukai