Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

AGAMA ISLAM
SYARI’AT ISLAM
- Pengertian dan Tujuan Syari’at Islam
- Pengertian Ibadah, Ibadah Mahdhah & Ibadah Ghoiru Mahdhah
- Pengertian Mu’amalah
- Pengertian Fiqih

Kelas : 02TPLEC
Fakultas / Jurusan : Teknik / Teknik Informatika
Dosen :
Oleh Kelompok 5 :
- Ahmad Siddiq
- Ferdy Feradana
- MH.Shobirin

UNIVERSITAS PAMULANG
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr,Wb segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah
SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul “SYARI’AT ISLAM” dalam rangka untuk memenuhi tugas
mata kuliah pendidikan Agama Islam.
Dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak. Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
mengingat keterbatasan kemampuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sebagai masukan bagi
kami.
Akhir kata kami berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan kami sebagai penulis pada khususnya. Atas segala perhatiannya kami
mengucapkan banyak terima kasih.

Tangerang Selatan, 4 Februari 2016

Kelompok 5
POKOK PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN DAN TUJUAN SYARI’AT ISLAM

2. PENGERTIAN IBADAH, IBADAH MAHDHAH & IBADAH GHOIRU

MAHDHAH

3. PENGERTIAN MU’AMALAH

4. PENGERTIAN FIQIH
1. PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM
Syariat Islam Kata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang bisa di tempuh
air", maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju allah. Syariat
Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi
kehidupan umat Islam. Selain berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan,
syariat Islam juga berisi kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia
baik di dunia maupun di akhirat

Syariat Islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak
usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah yang
dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah
bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah
jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi).
Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan
dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti
syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau
ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Jatsiyah: 18).
Syariat Islam ini, secara garis besar, mencakup tiga hal:
1. Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam gaib yang tak
terjangkau oleh indera manusia (Ahkam syar'iyyah I'tiqodiyyah) yang menjadi
pokok bahasan ilmu tauhid.
2. Petunjuk untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia
agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya (Ahkam syar'iyyah
khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (ahlak).
3. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau
hubungan manusia dengan Allah (vetikal), serta ketentuan yang mengatur
pergaulan/hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan
lingkungannya.

Dewasa ini, umat Islam selalu mengidentikkan syariat dengan fiqih, oleh karena
sedemikian erat hubungan keduanya. Akan tetapi antara syariat dan fiqih,
sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar. Syariat Islam merupakan ketetapan
Allah SWT tentang ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global dan
kekal, sehingga tidak mungkin diganti/dirombak oleh siapa pun sampai kapan pun.
Sedangkan fiqih adalah penjabaran syariat dari hasil ijtihad para mujtahid, sehingga
dalam perkara-perkara tertentu bersifat lokal dan temporal. Itulah sebabnya ada
sebutan fiqih Irak dan lain-lainnya. Selain itu, karena fiqih hasil dari pemikiran
mujtahid, maka ada fiqih Syafi'ie, fiqih Maliki, fiqih Hambali, fiqih Hanafi.
Oleh Karena syariat Islam adalah ketetapan Allah SWT, maka memiliki
sifat-sifat, antara lain:
1. Umum, maksudnya syariat Islam berlaku bagi segenap umat Islam di seluruh
penjuru dunia, tanpa memandang tempat, ras, dan warna kulit. Berbeda dengan
hukum perbuatan manusia yang memberlakukannya terbatas pada suatu tempat
karena perbuatannya berdasarkan faktor kondisional dan memihak pada
kepentingan penciptanya.

2. Universal, maksudnya syariat Islam mencakup segala aspek kehidupan umat


manusia. Ditegaskan oleh Allah SWT. "Tidak ada sesuatu pun yang kami
luputkan di dalam Kitab (Al-Qur'an)." (QS. 6/An-An'am: 38). Maksudnya di
dalam Al-Qur'an itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-
hukum, hikmah-hikmah, dan tuntunan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan
di akhirat.

Bukti bahwa hukum Islam mencakup segala urusan manusia, berikut kami petikkan
beberapa ayat Al-Qur'an, antara lain:
a. tentang ekonomi dan keuangan. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar." (QS. 2/Al-Baqoroh: 282].
b. tentang usaha dan kerja. “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah
diusahakannya." (QS. 53/An-Najm: 39).
c. tentang peradilan. "...dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil." (QS. 4/An-Nisa':58).
d. tentang militer. "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk
menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan
berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya."
(QS. 8/Al-Anfal: 60)
e. tentang masalah perdata. "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji."
(QS. 5/Al-Maidah: 1). Maksudnya adalah janji kepada Allah, janji terhadap
sesama manusia, dan janji kepada diri sendiri.

3. Orisinil dan abadi, maksudnya syariat ini benar-benar diturunkan oleh Allah
SWT, dan tidak akan tercemar oleh usaha-usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya." (QS. 151 Al-Hijr: 9). Firman Allah tersebut telah
terbukti. Beberapa kali umat lain gagal memalsukan ayat-ayat Al-Qur'an.
4. Mudah dan tidak memberatkan. Kalau kita mau merenungkan syariat Islam
dengan seksama dan jujur, akan kita dapati bahwa syariat Islam sama sekali
tidak memberatkan dan tidak pula menyulitkan. "Allah tidak membebani
seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya." [QS. 2/Al-Baqoroh:
286).

Bukti-bukti bahwa syariat ini mudah dan tidak memberatkan, bisa kita dapati antara
lain bagi:
a. orang yang bepergian (Musafir) mendapat keringanan boleh mengqoshor
(memendekkan sholat yang empat rokaat menjadi dua rokaat), dan boleh tidak
berpuasa dengan catatan harus menggantinya pada hari yang lain.
b. orang yang sedang sakit tidak diharuskan bersuci dengan wudhu, melainkan
dengan tayammum yakni menggunakan debu. Dalam menunaikan sholat pun
jika tidak sanggup berdiri, boleh dengan duduk, atau bahkan boleh sambil
merebahkan diri.
c. percikan najis dari genangan air di jalanan, apabila mengena pakaian, dimaafkan
karena itu sulit di hindarkan.
d. dalam keadaan terpaksa, tidak ada secuil pun makanan untuk mengganjal perut,
makanan yang telah diharamkan seperti bangkai, boleh dimakan asalkan tidak
berlebihan.

5. Seimbang antara kepentingan dunia dan akhirat. Islam tidak memerintahkan


umatnya untuk mencari kesenangan dunia semata, sebaliknya juga tidak
memerintahkan pemeluknya mencari kebahagiaan akhirat belaka. Akan tetapi
Islam mengajarkan kepada pemeluknya agaromencari kebahagiaan hidup di
dunia dan akhirat kelak. Ayat-ayat Al Quran yang mensuratkan keseimbangan
antara kehidupan dunia dan akhirat, antara lain: "Dan carilah (pahala) negeri
akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah
kamu lupakan bagianmu di dunia." (QS. 28/Al-Qoshosh: 77). Dialah yang
menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat, dan Dia
menjadikan siang untuk bangkit berusaha." (QS. 25/Al-Furqon: 47).
Sumber Hukum Islam

- Al-Qur’an

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia
hingga akhir zaman. Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Qur'an disebut juga
sebagai sumber pertama atau asas pertama syara'.
Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci
lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an
dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak
ada yang saling bertentangan.

- Al-Hadist

Hadits terbagi dalam beberapa derajat keasliannya, diantaranya adalah:

 Shaheh
 Hasan
 Dhaif (lemah)
 Maudu' (palsu)
Hadits yang dijadikan acuan hukum hanya hadits dengan derajat shaheh dan hasan,
kemudian hadits dhaif menurut kesepakatan ulama salaf (generasi terdahulu) selama
digunakan untuk memacu gairah beramal (fadhilah amal) masih diperbolehkan
untuk digunakan oleh ummat Islam. Adapun hadist dengan derajat maudu dan
derajat hadist yang di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu dipelajari
dalam ranah ilmu pengetahuan.
Perbedaan al-qur'an dan al-Hadist adalah al-qur'an, merupakan kitab suci yang
berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan
menjadi satu bundel, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadist, merupakan
kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Qur'an berisikan
aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammadf saw. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli fiqih dan ahli
hadist dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tapi semua
merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat , namun
hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya
ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.
- Ijtihad

Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum
Islam, berdasarkan al Qur'an dan al Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi
Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada dia tentang
sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak
bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :

 Ijma', kesepakatan para ulama


 Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya
 Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat
 'Urf, kebiasaan

Terkait dengan susunan tertib syariat, al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu
perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh
sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang
Allah dan rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat
menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat al
Qur'an dalam Surat Al Maidah[2] yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak
dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani
hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori,
yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara'
(ibadah Mahdhoh) dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara' (Ghoir
Mahdhoh).

- Asas Syara' (Mahdhoh)


Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al Qur'an atau al Hadits.
Kedudukannya sebagai Pokok Syari'at Islam di mana al Qur'an itu asas
pertama Syara`dan al Hadits itu asas kedua syara'. Sifatnya, pada dasarnya mengikat
umat Islam seluruh dunia di manapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad
hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat.
Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang
memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, ialah keadaan yang
terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan
keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya,
demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan
darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
- Furu' Syara' (Ghoir Mahdhoh)

Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadist.
Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh
umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan /
perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk
dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
TUJUAN SYARI’AT ISLAM

Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah
Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan
tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:

1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)


Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab
yang hendak merusak aqidah, ibadah dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan
kebebasan untuk memilih agama, seperti ayat Al-Quran:

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin,
maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat
musyrik dan murtad:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.
Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.

2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)


Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah
hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang
telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang
lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti
secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat
Al-Quran menegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman! Telah diwajibkan kepadamu qishash


(pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang
bersangkutan, atau daiat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran
menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara
yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang
memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para
calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai
taruhannya. Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.

3. Memelihara akal (Hifzh al-‘aqli)


Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia
dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah
(sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam
memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi.
Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:

“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman


keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa
manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari
manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan
dosa perjudian.

4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)


Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Didalam Syariat
Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak
boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka
disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan
emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih
aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki.
Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran :

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan
alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri
dengan serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa
yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil
beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong
tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan
menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan
demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib
masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
2. PENGERTIAN IBADAH

Ibadah secara bahasa adalah tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan secara istilah
atau syara’, ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai
perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang sangat
tinggi dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang berupa ucapan atau
perkataan maupun perbuatan yang dhahir ataupun bathin.

Adapun ibadah terbagi tiga yaitu ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan
atau perbuatan.

Ibadah hati (qalbiah) antara lain : memiliki rasa takut, rasa cinta (mahabbah),
mengharap (raja’), senang (raghbah), ikhlas, tawakkal.

Ibadah lisan & hati (lisaniyah wa qalbiyah) antara lain : dzikir, tasbih, tahlil, tahmid,
takbir, syukur, berdoa, membaca ayat Al-qur’an.

Ibadah perbuatan fisik dan hati (badaniyah wa qalbiyah) antara lain : sholat, zakat, haji,
berjihad, berpuasa.

Sebagaimana yang telah kita pahami, bahwa ibadah terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ibadah Mahdhah dan
2. Ibadah Ghairu Mahdhah.

1. Ibadah Mahdhah juga terbagi lagi menjadi dua :

a. Ibadah Mahdhah Muqayyad:


Ibadah murni yang ketentuan cara pelaksanaannya telah ditetapkan oleh Syara’,
baik waktu pelaksanaannya, tempat, jumlah, dan detail pelaksanaan yang lain
dan akhirnya pelaksanaan Ibadah semacam ini bersifat Tauqify, dan tidak boleh
kita berinofasi terhadap ibadah semacam ini, semisal dengan Mengurangi jumlah
putaran Thawaf dalam Haji, atau menambahkan jumlah Rakaat dalam salat, atau
menambah jumlah mustahiq zakat dari delapan yang telah digariskan. Terhadap
jenis Ibadah ini berlaku baginya Kaidah:

b. Ibadah Mahdhah Muthlaq:


Ibadah murni yang sumber dalilnya bersifat ‘Am (umum) dan tidak dijelaskan
Tekhnis (cara) pelaksanaannya, semisal Baca Al Qur’an, berdzikir. terhadap
tekhnis pelaksanaan ibadah semacam ini kita bebas mengaktualisasi tekhnis
pelaksanaannya, baik waktu, tempat, sendiri atau berjama’ah, sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan syara’. Semisal membaca al qur’an atau
berdzikir di kamar mandi (WC) atau tempat-tempat kotor yang lain.

2. Ibadah Ghairu Mahdhah


yakni setiap pekerjaan yang hukum asalnya Mubah namun kemudian bisa
bernilai Ibadah bergantung pada MAQASHID atau tujuan dari pelaksanaan
pekerjaan itu sendiri. Untuk pekerjaan jenis ini berlaku baginya kaidah:
“Asal dari segala sesuatu itu Mubah, sampai ada dalil yang menunjukkan
atas keharamannya.”
Selanjutnya, jenis amal semacam ini dapat kita klasifikasikan dalam dua
bagian :

Pertama :
Jenis amalan yang yang dapat bernilai Ibadah ditinjau dari niat atau
tujuannya, contoh: PEMBERIAN UANG KEPADA ORANG LAIN,
pemberian tersebut bisa menjadi Shadaqah Sunnah, Bisa menjadi Hibbah
tanpa nilai Ibadah, Bahkan bisa dikategorikan Money Politic jika diberikan
dengan maksud agar dipilih menempati jabatan tertentu.

Jadi jika ada dalil yang mengharamkan pemberian uang untuk money
politic maka pemberian uang dengan maksud demikian dianggap terlarang.

Kedua :
Amalan atau pekerjaan yang Nilainya apakah ia termasuk Ibadah atau bukan,
bergantung pada amalan berikutnya yang menjadi Maqashid-nya dimana
pekerjaan ini hanya berfungsi sebagai WASILAH penghantar atau sarana
untuk dapat dilaksanakannya amalan yang dimaksud. Amalan jenis berlaku
baginya kaidah LIL WASA-IL HUKMUL MAQASHID di mana hukumnya
bergantung pada amaliah yang menjadi MAQASHID atau MAUSUL
ILAIH.

Contohnya mempelajari Ilmu Tajwid, ia menjadi wajib mengingat tuntutan


membaca al qur’an dengan tartil (sesuai qaidah tajwid) adalah wajib.
Kewajiban ini berhubungan erat dengan kaedah dalam disiplin Ilmu Ushul
Fiqih pada Fasal MA LAA YATIMMUL WAJIB ILLAA BIHI FAHUWA
WAJIB.
Contoh lain adalah membeli air pada dasarnya adalah mubah (boleh dibeli,
boleh tidak, dan tidak berpahala). Namun ketika seseorang mau shalat fardhu
tetapi tidak ada air di sisinya melainkan harus membeli dan ia memiliki
kesanggupan untuk membeli air maka hukum membeli air di sini menjadi
wajib dan berubah menjadi amalan yang berpahala serta dihitung sebagai
ibadah ghairu mahdhah. Pada kasus tersebut, membeli air
merupakan wasilah, sedangkan wudhu/ shalat adalahmaqsud. Karena wudhu
shalat fardhu itu syarat sah shalat fardhu tersebut maka membeli air juga
dihukumkan wajib jika mampu.
3. PENGERTIAN MU’AMALLAH

Dari segi bahasa, "muamalah" berasal dari kataaamala, yuamilu, muamalat yang
berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-
kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku,
yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga
kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya.

Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan
dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian
muamalah;

Menurut Louis Ma’luf, pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang


berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli,
perdagangan, dan lain sebagainya.
Sedangkan menurut Ahmad Ibrahim Bek, menyatakan muamalah adalah peraturan-
peraturan mengenai tiap yang berhubungan dengan urusan dunia, seperti
perdagangan dan semua mengenai kebendaan, perkawinan, thalak, sanksi-sanksi,
peradilan dan yang berhubungan dengan manajemen perkantoran, baik umum
ataupun khusus, yang telah ditetapkan dasar-dasarnya secara umum atau global dan
terperinci untuk dijadikan petunjuk bagi manusia dalam bertukar manfaat di antara
mereka.

Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah
adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar
menukar manfaat.

Dari berbagai pengertian muamalah tersebut, dipahami bahwa muamalah adalah


segala peraturan yang mengatur hubungan antara sesama manusia, baik yang
seagama maupun tidak seagama, antara manusia dengan kehidupannya, dan antara
manusia dengan alam sekitarnya.

4. PENGERTIAN FIQIH
1) Pengertian
Menurut Bahasa Fiqh Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqh berarti ilmu
yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal
perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang
mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-
orang yang mendalami fiqh.
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqh mempunyai dua makna,
yakni menurut ahli usul dan ahli fiqh. Masing-masing memiliki pengertian dan
dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqh.
Menurut ahli usul, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’
yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil
(khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqh adalah
mengetahui fiqh adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’
yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah.
Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
fiqh Islam ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari berbagai
madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun fuqaha
makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan lain-lain.

2) Sejarah perkembangan Fiqh


Zaman Rasulullah S.A.W.
Pada zaman Rasulullah S.A.W., hukum-hukum diambil dari wahyu (al-
Quran) dan penjelasan oleh baginda (as-Sunnah). Segala masalah yang timbul
akan dirujuk kepada Rasulullah S.A.W. dan baginda akan menjawab secara terus
berdasarkan ayat al-Quran yang diturunkan atau penjelasan baginda sendiri.
Namun, terdapat sebagian Sahabat yang tidak dapat merujuk kepada Nabi
lantaran berada di tempat yang jauh daripada baginda, misalnya Muaz bin Jabal
yang diutuskan ke Yaman. Baginda membenarkan Muaz berijtihad dalam
perkara yang tidak ditemui ketentuan di dalam al-Quran dan as-Sunnah.
Setelah kewafatan Rasulullah S.A.W., sebarang masalah yang timbul
dirujuk kepada para Sahabat. Mereka mampu mengistinbat hukum terus dari al-
Quran dan as-Sunnah kerena:
a) Penguasaan bahasa Arab yang baik;
b) Mempunyai pengetahuan mengenai sabab an-nuzul sesuatu ayat atau
sabab wurud al-hadis;
c) Mereka merupakan para Perawi Hadis.

Hal ini menjadikan para Sahabat mempunyai kepakaran yang cukup


untuk mengistinbatkan hukum-hukum. Mereka menetapkan hukum dengan
merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Sekiranya mereka tidak menemui
sebarang ketetapan hukum tentang sesuatu masalah, mereka akan berijtihad
dengan menggunakan kaedah qias. Inilah cara yang dilakukan oleh para
mujtahid dalam kalangan para Sahabat seperti Saidina Abu Bakar as-Siddiq,
Saidina Umar bin al-Khattab, Saidina Uthman bin Affan dan Saidina Ali bin
Abu Talib. Sekiranya mereka mencapai kata sepakat dalam sesuatu hukum maka
berlakulah ijma’.
Pada zaman ini, cara ulama’ mengambil hukum tidak jauh berbeda
dengan zaman Sahabat kerana jarak masa mereka dengan kewafatan Rasulullah
S.A.W. tidak terlalu jauh. Yang membedakannya ialah sekiranya sesuatu hukum
tidak terdapat dalam al-Quran, as-Sunnah dan al-Ijma’, mereka akan merujuk
kepada pandangan para Sahabat sebeum berijtihad. Oleh sebab itu idea untuk
menyusun ilmu Usul al-Fiqh belum lagi muncul ketika itu. Inilah cara yang
digunakan oleh para mujtahid dalam kalangan tabi’in seperti Sa’id bin al-
Musayyib, ‘Urwah bin az-Zubair, Al-Qadi Syarih dan Ibrahim an-Nakha’i.
Pada akhir Kurun Kedua Hijrah, keadaan umat Islam semakin berubah.
Bilangan umat Islam bertambah ramai sehingga menyebabkan berlakunya
percampuran antara orang Arab dan bukan Arab. Kesannya, penguasaan bahasa
Arab dalam kalangan orang-orang Arab sendiri menjadi lemah. Ketika itu timbul
banyak masalah baru yang tiada ketentuan hukumnya dalam al-Quran dan as-
Sunnah secara jelas. Hal ini menyebabkan para ulama’ mulai menyusun kaedah-
kaedah tertentu yang dinamakan ilmu Usul al-Fiqh untuk dijadikan landasan
kepada ijtihad mereka.
Ilmu Usul al-Fiqh disusun sebagai satu ilmu yang tersendiri di dalam sebuah
kitab berjudul ar-Risalah karangan al-Imam Muhammad bin Idris as-Syafie.
Kitab ini membincangkan tentang al-Quran dan as-Sunnah dari segi kehujahan
serta kedudukan kedua-duanya sebagai sumber penentuan hukum.
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer.
Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh
menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, periode keenam yang
dikemukakan Muhammad Khudari Bek tersebut sebenarya bisa dibagi dalam
dua periode, karena dalam setiap periodenya terdapat ciri tersendiri. Periodisasi
menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
a. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhammad SAW sampai wafatnya Nabi
SAW (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum
sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Sumber hukum ketika itu
adalah Al-Qur'an dan sunnah Nabi SAW. Pengertian fiqh pada masa itu
identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah
seluruhnya terpulang kepada Rasulullah SAW.
Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode
Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi SAW lebih banyak tertuju
pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak
jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah
untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju
penghambaan kepada Allah SWT semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat
tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan
hukum diturunkan Allah SWT, baik yang menyangkut masalah ibadah
maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh
ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.

b. Periode al-Khulafaur Rasyidun.


Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai
Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada
tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Al-Qur'an dan
sunnah Nabi SAW, juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para
sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan
hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya
setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah
merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum
yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah
semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai
etnis dengan budaya masing-masing.
Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan
budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat
majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah
sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi
yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan
hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Al-
Qur'an. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Al-Qur'an, mereka
mencari jawabannya dalam sunnah Nabi SAW. Namun jika dalam sunnah
Rasulullah SAW tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
c. Periode awal pertumbuahn fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H.
Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu
disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai
daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidin (terutama sejak Usman bin
Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai
fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain,
sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.
Di Irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai
persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial
masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz
(Makkah dan Madinah). Saat itu, di Irak telah terjadi pembauran etnik Arab
dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat
homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud
mengikuti pola yang telah di tempuh Umar bin al-Khattab, yaitu lebih
berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat
dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil Umar bin al-Khattab
dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama
dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis)
dalam berijtihad lebih dominan. dari perkembangan ini muncul madrasah
atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadits dan Ahlurra'yi). Sementara itu, di
Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611
M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar)
bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu.
Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum
adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam
menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama,
yaitu berpegang kuat pada Al-Qur'an dan hadits Nabi SAW. Hal ini
dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah
SAW diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini
memiliki banyak hadits. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah
dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang
digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah
dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadits. Ibnu
Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan
sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain
Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan
Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr
bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir;
dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar
bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin
Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas
diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan
Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan
Abdul Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut,
yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam
menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing.
Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in
tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais,
dan fiqh Sufyan as-Sauri.

d. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad
ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk
dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode
sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat
ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran
tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini
tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang
ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke
panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki
tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah
terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti
Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam
mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin
kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya
dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809)
meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-
Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada
Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah
administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu
Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang
berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775)
menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah
kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga
peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang
berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan
ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi
masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam
periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya
dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas
persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan
istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid
kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan
menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan
hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima
pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu
sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga
dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin
Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik
di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan
salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi
Imam asy-Syaibani di Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga
berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas
dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan
atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan
dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang
paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam
Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-
Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul
pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh
dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias,
istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad
ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya
yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari,
memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini
ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah
dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid
mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh
yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang
mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai
mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan
prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh
yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-
ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga
setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk
pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya
pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu
mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap
kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam
tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang
memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan
buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas
ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad,
sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi
mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk
pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada
mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul
pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas
mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan
suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang
ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana
yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan
seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang
dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan)
pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari
perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai
komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya
dalam masing-masing mazhab.

6. Periode kemunduran fiqh.


Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya
Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki
Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini
merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada
periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh
dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada masa ini,
ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan
kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan
yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang
muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir
(memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku
mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir
tersebut.
Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam
mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas
ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan
zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah
dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai
persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa
menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada
periode ini.
o Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga
banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus
sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab
fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian
dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan
perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan
kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab
mazhab ulama fiqh tersebut.
o Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki
Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di
pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam
menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum
Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat
tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan
tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh
bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati
dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu
bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu
dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu
maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan
transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya,
seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang
berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan
indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa
ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa
kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-
1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani).
o Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam
sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa
pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah
yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh
Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi

Sumber :
- http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-bahasa-dari-segi-
bahasa-dan-istilah.html
- http://www.seputarpengetahuan.com/2015/04/pengertian-ibadah-dalam-
islam-terlengkap.html
- https://hikmah32.wordpress.com/2009/12/21/syariat-islam-tujuan-
keistimewaannya/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam
- http://contohdakwahislam.blogspot.sg/2013/02/pengertian-syariat-
islam.html

KESIMPULAN
 Syariat Islam Kata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang bisa
di tempuh air", maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk
menuju allah. Syariat Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang
mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam. Selain berisi hukum,
aturan dan panduan peri kehidupan, syariat Islam juga berisi kunci
penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat
 ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai
perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang
sangat tinggi dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang
berupa ucapan atau perkataan maupun perbuatan yang dhahir ataupun
bathin.
 pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan
urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan
lain sebagainya.
 Menurut Bahasa Fiqh Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqh
berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang
berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali
tafsil (jelas).

Anda mungkin juga menyukai