AGAMA ISLAM
SYARI’AT ISLAM
- Pengertian dan Tujuan Syari’at Islam
- Pengertian Ibadah, Ibadah Mahdhah & Ibadah Ghoiru Mahdhah
- Pengertian Mu’amalah
- Pengertian Fiqih
Kelas : 02TPLEC
Fakultas / Jurusan : Teknik / Teknik Informatika
Dosen :
Oleh Kelompok 5 :
- Ahmad Siddiq
- Ferdy Feradana
- MH.Shobirin
UNIVERSITAS PAMULANG
TAHUN 2016
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr,Wb segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah
SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya akhirnya kami dapat menyelesaikan
Makalah dengan judul “SYARI’AT ISLAM” dalam rangka untuk memenuhi tugas
mata kuliah pendidikan Agama Islam.
Dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak. Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa pada makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
mengingat keterbatasan kemampuan kami. Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sebagai masukan bagi
kami.
Akhir kata kami berharap karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan kami sebagai penulis pada khususnya. Atas segala perhatiannya kami
mengucapkan banyak terima kasih.
Kelompok 5
POKOK PEMBAHASAN
MAHDHAH
3. PENGERTIAN MU’AMALAH
4. PENGERTIAN FIQIH
1. PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM
Syariat Islam Kata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang bisa di tempuh
air", maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju allah. Syariat
Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang mengatur seluruh sendi
kehidupan umat Islam. Selain berisi hukum, aturan dan panduan peri kehidupan,
syariat Islam juga berisi kunci penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia
baik di dunia maupun di akhirat
Syariat Islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak
usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah yang
dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah
bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah
jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi).
Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan
dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti
syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau
ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. Jatsiyah: 18).
Syariat Islam ini, secara garis besar, mencakup tiga hal:
1. Petunjuk dan bimbingan untuk mengenal Allah SWT dan alam gaib yang tak
terjangkau oleh indera manusia (Ahkam syar'iyyah I'tiqodiyyah) yang menjadi
pokok bahasan ilmu tauhid.
2. Petunjuk untuk mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam diri manusia
agar menjadi makhluk terhormat yang sesungguhnya (Ahkam syar'iyyah
khuluqiyyah) yang menjadi bidang bahasan ilmu tasawuf (ahlak).
3. Ketentuan-ketentuan yang mengatur tata cara beribadah kepada Allah SWT atau
hubungan manusia dengan Allah (vetikal), serta ketentuan yang mengatur
pergaulan/hubungan antara manusia dengan sesamanya dan dengan
lingkungannya.
Dewasa ini, umat Islam selalu mengidentikkan syariat dengan fiqih, oleh karena
sedemikian erat hubungan keduanya. Akan tetapi antara syariat dan fiqih,
sesungguhnya ada perbedaan yang mendasar. Syariat Islam merupakan ketetapan
Allah SWT tentang ketentuan-ketentuan hukum dasar yang bersifat global dan
kekal, sehingga tidak mungkin diganti/dirombak oleh siapa pun sampai kapan pun.
Sedangkan fiqih adalah penjabaran syariat dari hasil ijtihad para mujtahid, sehingga
dalam perkara-perkara tertentu bersifat lokal dan temporal. Itulah sebabnya ada
sebutan fiqih Irak dan lain-lainnya. Selain itu, karena fiqih hasil dari pemikiran
mujtahid, maka ada fiqih Syafi'ie, fiqih Maliki, fiqih Hambali, fiqih Hanafi.
Oleh Karena syariat Islam adalah ketetapan Allah SWT, maka memiliki
sifat-sifat, antara lain:
1. Umum, maksudnya syariat Islam berlaku bagi segenap umat Islam di seluruh
penjuru dunia, tanpa memandang tempat, ras, dan warna kulit. Berbeda dengan
hukum perbuatan manusia yang memberlakukannya terbatas pada suatu tempat
karena perbuatannya berdasarkan faktor kondisional dan memihak pada
kepentingan penciptanya.
Bukti bahwa hukum Islam mencakup segala urusan manusia, berikut kami petikkan
beberapa ayat Al-Qur'an, antara lain:
a. tentang ekonomi dan keuangan. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar." (QS. 2/Al-Baqoroh: 282].
b. tentang usaha dan kerja. “Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah
diusahakannya." (QS. 53/An-Najm: 39).
c. tentang peradilan. "...dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil." (QS. 4/An-Nisa':58).
d. tentang militer. "Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk
menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan
berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, tetapi Allah mengetahuinya."
(QS. 8/Al-Anfal: 60)
e. tentang masalah perdata. "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah janji-janji."
(QS. 5/Al-Maidah: 1). Maksudnya adalah janji kepada Allah, janji terhadap
sesama manusia, dan janji kepada diri sendiri.
3. Orisinil dan abadi, maksudnya syariat ini benar-benar diturunkan oleh Allah
SWT, dan tidak akan tercemar oleh usaha-usaha pemalsuan sampai akhir zaman.
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan pasti Kami (pula)
yang memeliharanya." (QS. 151 Al-Hijr: 9). Firman Allah tersebut telah
terbukti. Beberapa kali umat lain gagal memalsukan ayat-ayat Al-Qur'an.
4. Mudah dan tidak memberatkan. Kalau kita mau merenungkan syariat Islam
dengan seksama dan jujur, akan kita dapati bahwa syariat Islam sama sekali
tidak memberatkan dan tidak pula menyulitkan. "Allah tidak membebani
seseorang, melainkan sesuai dengan kesanggupannya." [QS. 2/Al-Baqoroh:
286).
Bukti-bukti bahwa syariat ini mudah dan tidak memberatkan, bisa kita dapati antara
lain bagi:
a. orang yang bepergian (Musafir) mendapat keringanan boleh mengqoshor
(memendekkan sholat yang empat rokaat menjadi dua rokaat), dan boleh tidak
berpuasa dengan catatan harus menggantinya pada hari yang lain.
b. orang yang sedang sakit tidak diharuskan bersuci dengan wudhu, melainkan
dengan tayammum yakni menggunakan debu. Dalam menunaikan sholat pun
jika tidak sanggup berdiri, boleh dengan duduk, atau bahkan boleh sambil
merebahkan diri.
c. percikan najis dari genangan air di jalanan, apabila mengena pakaian, dimaafkan
karena itu sulit di hindarkan.
d. dalam keadaan terpaksa, tidak ada secuil pun makanan untuk mengganjal perut,
makanan yang telah diharamkan seperti bangkai, boleh dimakan asalkan tidak
berlebihan.
- Al-Qur’an
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam adalah firman Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan kepada seluruh umat manusia
hingga akhir zaman. Selain sebagai sumber ajaran Islam, Al Qur'an disebut juga
sebagai sumber pertama atau asas pertama syara'.
Al Qur'an merupakan kitab suci terakhir yang turun dari serangkaian kitab suci
lainnya yang pernah diturunkan ke dunia. Dalam upaya memahami isi Al Qur'an
dari waktu ke waktu telah berkembang tafsiran tentang isi-isi Al Qur'an namun tidak
ada yang saling bertentangan.
- Al-Hadist
Shaheh
Hasan
Dhaif (lemah)
Maudu' (palsu)
Hadits yang dijadikan acuan hukum hanya hadits dengan derajat shaheh dan hasan,
kemudian hadits dhaif menurut kesepakatan ulama salaf (generasi terdahulu) selama
digunakan untuk memacu gairah beramal (fadhilah amal) masih diperbolehkan
untuk digunakan oleh ummat Islam. Adapun hadist dengan derajat maudu dan
derajat hadist yang di bawahnya wajib ditinggalkan, namun tetap perlu dipelajari
dalam ranah ilmu pengetahuan.
Perbedaan al-qur'an dan al-Hadist adalah al-qur'an, merupakan kitab suci yang
berisikan kebenaran, hukum hukum dan firman Allah, yang kemudian dibukukan
menjadi satu bundel, untuk seluruh umat manusia. Sedangkan al-hadist, merupakan
kumpulan yang khusus memuat sumber hukum Islam setelah al Qur'an berisikan
aturan pelaksanaan, tata cara ibadah, akhlak, ucapan yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammadf saw. Walaupun ada beberapa perbedaan ulama ahli fiqih dan ahli
hadist dalam memahami makna di dalam kedua sumber hukum tersebut tapi semua
merupakan upaya dalam mencari kebenaran demi kemaslahatan ummat , namun
hanya para ulama mazhab (ahli fiqih) dengan derajat keilmuan tinggi dan dipercaya
ummat yang bisa memahaminya dan semua ini atas kehendak Allah.
- Ijtihad
Ijtihad adalah sebuah usaha para ulama, untuk menetapkan sesuatu putusan hukum
Islam, berdasarkan al Qur'an dan al Hadist. Ijtihad dilakukan setelah Nabi
Muhammad wafat sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada dia tentang
sesuatu hukum maupun perihal peribadatan. Namun, ada pula hal-hal ibadah tidak
bisa di ijtihadkan. Beberapa macam ijtihad, antara lain :
Terkait dengan susunan tertib syariat, al Qur'an dalam surat Al Ahzab ayat 36
mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan Rasul-Nya sudah memutuskan suatu
perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh
sebab itu, secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang
Allah dan rasul-Nya belum menetapkan ketentuannya, maka umat Islam dapat
menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat al
Qur'an dalam Surat Al Maidah[2] yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak
dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah.
Dengan demikian, perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani
hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori,
yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara'
(ibadah Mahdhoh) dan perkara yang masuk dalam kategori Furu' Syara' (Ghoir
Mahdhoh).
Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam al Quran dan al Hadist.
Kedudukannya sebagai cabang Syariat Islam. Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh
umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil Amri setempat menerima sebagai peraturan /
perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaannya. Perkara atau masalah yang masuk
dalam furu' syara' ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah.
TUJUAN SYARI’AT ISLAM
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah
Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan
tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, untuk terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin,
maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat
musyrik dan murtad:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya.
Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar.” (QS An-Nisaa [4]: 48).
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana”
(QS Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan
alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi bukan berarti orang mencuri
dengan serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa
yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil
beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong
tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan
menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan
demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib
masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
2. PENGERTIAN IBADAH
Ibadah secara bahasa adalah tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan secara istilah
atau syara’, ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai
perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang sangat
tinggi dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang berupa ucapan atau
perkataan maupun perbuatan yang dhahir ataupun bathin.
Adapun ibadah terbagi tiga yaitu ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan
atau perbuatan.
Ibadah hati (qalbiah) antara lain : memiliki rasa takut, rasa cinta (mahabbah),
mengharap (raja’), senang (raghbah), ikhlas, tawakkal.
Ibadah lisan & hati (lisaniyah wa qalbiyah) antara lain : dzikir, tasbih, tahlil, tahmid,
takbir, syukur, berdoa, membaca ayat Al-qur’an.
Ibadah perbuatan fisik dan hati (badaniyah wa qalbiyah) antara lain : sholat, zakat, haji,
berjihad, berpuasa.
Sebagaimana yang telah kita pahami, bahwa ibadah terbagi menjadi dua, yaitu :
1. Ibadah Mahdhah dan
2. Ibadah Ghairu Mahdhah.
Pertama :
Jenis amalan yang yang dapat bernilai Ibadah ditinjau dari niat atau
tujuannya, contoh: PEMBERIAN UANG KEPADA ORANG LAIN,
pemberian tersebut bisa menjadi Shadaqah Sunnah, Bisa menjadi Hibbah
tanpa nilai Ibadah, Bahkan bisa dikategorikan Money Politic jika diberikan
dengan maksud agar dipilih menempati jabatan tertentu.
Jadi jika ada dalil yang mengharamkan pemberian uang untuk money
politic maka pemberian uang dengan maksud demikian dianggap terlarang.
Kedua :
Amalan atau pekerjaan yang Nilainya apakah ia termasuk Ibadah atau bukan,
bergantung pada amalan berikutnya yang menjadi Maqashid-nya dimana
pekerjaan ini hanya berfungsi sebagai WASILAH penghantar atau sarana
untuk dapat dilaksanakannya amalan yang dimaksud. Amalan jenis berlaku
baginya kaidah LIL WASA-IL HUKMUL MAQASHID di mana hukumnya
bergantung pada amaliah yang menjadi MAQASHID atau MAUSUL
ILAIH.
Dari segi bahasa, "muamalah" berasal dari kataaamala, yuamilu, muamalat yang
berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Kata-
kata semacam ini adalah kata kerja aktif yang harus mempunyai dua buah pelaku,
yang satu terhadap yang lain saling melakukan pekerjaan secara aktif, sehingga
kedua pelaku tersebut saling menderita dari satu terhadap yang lainnya.
Pengertian Muamalah dari segi istilah dapat diartikan dengan arti yang luas dan
dapat pula dengan arti yang sempit. Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian
muamalah;
Sedangkan dalam arti yang sempit adalah pengertian muamalah yaitu muamalah
adalah semua transaksi atau perjanjian yang dilakukan oleh manusia dalam hal tukar
menukar manfaat.
4. PENGERTIAN FIQIH
1) Pengertian
Menurut Bahasa Fiqh Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqh berarti ilmu
yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan amal
perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas).Orang yang
mendalami fiqh disebut dengan faqih. Jama’nya adalah fuqaha, yakni orang-
orang yang mendalami fiqh.
Dalam kitab Durr al-Mukhtar disebutkan bahwa fiqh mempunyai dua makna,
yakni menurut ahli usul dan ahli fiqh. Masing-masing memiliki pengertian dan
dasar sendiri-sendiri dalam memaknai fiqh.
Menurut ahli usul, Fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum shara’
yang bersifat far’iyah (cabang), yang dihasilkan dari dalil-dalil yang tafsil
(khusus, terinci dan jelas). Tegasnya, para ahli usul mengartikan fiqh adalah
mengetahui fiqh adalah mengetahui hukum dan dalilnya.
Menurut para ahli fiqh (fuqaha), fiqh adalah mengetahui hukum-hukum shara’
yang menjadi sifat bagi perbuatan para hamba (mukallaf), yaitu: wajib, sunnah,
haram, makruh dan mubah.
Lebih lanjut, Hasan Ahmad khatib mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
fiqh Islam ialah sekumpulan hukum shara’ yang sudah dibukukan dari berbagai
madzhab yang empat atau madzhab lainnya dan dinukilkan dari fatwa-fatwa
sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha yang tujuh di madinah maupun fuqaha
makkah, fuqaha sham, fuqaha mesir, fuqaha Iraq, fuqaha basrah dan lain-lain.
d. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad
ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk
dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode
sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat
ijtihad yang tinggi di kalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran
tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini
tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang
ilmu pengetahuan umum lainnya.
Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke
panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki
tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah
terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti
Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam
mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin
kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya
dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809)
meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-
Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada
Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah
administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu
Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang
berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775)
menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah
kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga
peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang
berjudul al-Muwaththa' (Yang disepakati).
Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadits dan
ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi
masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam
periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali. Upaya ijtihad tidak hanya
dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas
persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan
istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis).
Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid
kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan
menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan
hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadits dapat menerima
pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu
sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum.
Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga
dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin
Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik
di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan
salah satu kitab ahlulhadits. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi
Imam asy-Syaibani di Irak. Di samping itu, Imam Abu Yusuf juga
berupaya mencari hadits yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas
dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan
atas hadits dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan
dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang
paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam
Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-
Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul
pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh
dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias,
istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad
ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya
yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari,
memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini
ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh.
Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah
dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid
mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh
yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang
mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai
mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan
prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh
yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-
ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga
setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk
pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya
pernyataan tersebut.
o Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk
menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu
mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja.
o Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap
kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam
tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab.
o Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang
memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan
buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas
ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad,
sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi
mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk
pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada
mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul
pula pernyataan haram melakukan talfiq.
Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas
mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan
suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang
ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana
yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan
seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang
dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan)
pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari
perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai
komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya
dalam masing-masing mazhab.
Sumber :
- http://www.referensimakalah.com/2012/09/pengertian-bahasa-dari-segi-
bahasa-dan-istilah.html
- http://www.seputarpengetahuan.com/2015/04/pengertian-ibadah-dalam-
islam-terlengkap.html
- https://hikmah32.wordpress.com/2009/12/21/syariat-islam-tujuan-
keistimewaannya/
- https://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam
- http://contohdakwahislam.blogspot.sg/2013/02/pengertian-syariat-
islam.html
KESIMPULAN
Syariat Islam Kata syara' secara etimologi berarti "jalan-jalan yang bisa
di tempuh air", maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk
menuju allah. Syariat Islamiyyah adalah hukum atau peraturan Islam yang
mengatur seluruh sendi kehidupan umat Islam. Selain berisi hukum,
aturan dan panduan peri kehidupan, syariat Islam juga berisi kunci
penyelesaian seluruh masalah kehidupan manusia baik di dunia maupun di
akhirat
ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai
perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang
sangat tinggi dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang
berupa ucapan atau perkataan maupun perbuatan yang dhahir ataupun
bathin.
pengertian muamalah adalah hukum-hukum syara yang berkaitan dengan
urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual beli, perdagangan, dan
lain sebagainya.
Menurut Bahasa Fiqh Berarti faham atau tahu. Menurut istilah, fiqh
berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara’ yang
berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali
tafsil (jelas).