Anda di halaman 1dari 18

SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM

(AL-QUR’AN, AL-HADIST, DAN AL-RA’YU)


Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Islam
Dosen Pengampu : Dr. H. M. Yakub, MA

DISUSUN OLEH:
ANISA CHOIRIYAH
NIM:11210540000015
WINA FIRDA JASMIN
NIM:11210540000013
KELAS : 1A

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan pertolongannya, sehingga
makalah ini dapat terselesaikan sesuai waktu yg di tentukan.

Penulisan makalah ini dibuat adalah sebagai media pembelajaran di Universitas Islam Negri Syarif
Hidayatullah Jakarta dalam rangka memenuhi tugas diperguruan tinggi yang berkaitan dengan
bahan pembelajaran.

Penyusunan menyadari bahwa dalam penyusunan kata atau kalimat dan tata letak dalam makalah
ini tentunya banyak sekali kekurangan dan kekhilafan, baik kata atau kalimat dan tata letak.

Untuk kebaikan dan sempurnanya makalah ini, kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan. Dan akhirnya semoga dapat bermanfaat bagi pembaca, penyusun dan mahasiswa.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL………………………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………………...ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................4
B. Rumusan Masalah........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN

A. Al-Qur’an....................................................................................................5
B. Al-Hadist...................................................................................................10
C. Ar-Ra’yu...................................................................................................13

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................14
B. Saran..........................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber ajaran Islam adalah segala sesuatu yang dijadikan dasar, acuan, atau pedoman
syariat islam. Agama Islam bersumber dari Al-Quran yang memuat wahyu Allah dan
Hadist yang memuat Sunnah Rasulullah dan Al-Rayu yang memuat hukum atau
permasalahan-permasalahan yang belum didapati dalam Al-Qur’an dan Hadist. Komponen
utama agama Islam atau unsur utama ajaran agama Islam (akidah, syari’ah dan akhlak)
dikembangkan dengan akal pikiran manusia yang memenuhi syarat untuk
mengembangkannya.
Al-Qur’an, Hadist dan Al-Ra’yu adalah pedoman manusia khususnya Muslim yang telah
ditinggalkan oleh Rasullullah SAW kepada seluruh umatnya. Al-Qur’an mengandung
berbagai kisah dari sejarah zaman lampau hingga masa yang akan datang, termuat juga
hukum-hukum islam, rahasia alam semesta, serta masih banyak lagi. Hadist merupakan
perkataan, perbuatan, dan yang menyangkut hal-hal keislaman. Sedangkan Al-Ra’yu
merupakan suatu hukum dari permasalahan-permasalahan yang belum didapati dalam Al-
Qur’an dan Hadist.
Konsep-konsep yang dibawa Al-Qur’an, Hadist dan Al-Rayu, selalu sesuai dengan
masalah yang dihadapi manusia sekaligus menawarkan pemecahan terhadap problem
tersebut, kapan dan dimanapun mereka berada.
Dalam makalah ini, akan diuraikan terkait Al-Qur’an, Hadits dan Al-Rayu dalam ajaran
Islam, disertai bukti keontentikan Al-Qur’an serta prilaku yang meyakini kebenaran Al-
Qur’an, Hadist dan Al-Rayu.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Al-Qur’an, Hadist dan Al-Ra’yu?
2. Apa saja fungsi Al-Qur’an, Hadist dan Al-Rayu?
3. Apa saja bukti keotentikan Al-Qur’an?

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an
1. Pengertian Al-Qur’an
Pengertian Al-Qu’an secara bahasa ditinjau dari segi kebahasaan (etimologi), Al-Qur’an
Berasal dari bahasa Arab yang berarti “bacaan” atau “sesuatu yang dibaca Berulang-
ulang”. Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara’a yang
artinya membaca. Konsep Pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat
Al-Qur’an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah: “Sesungguhnya
mengumpulkan Al-Qur‟an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada
lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya,
hendaklah kamu Ikuti bacaannya”. ( al-Qiyamah : 17-18)
Pengertian al-Qur’an Secara Syari’at (Terminologi) Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW diawali dengan surat Al-Fatihah dan
diakhiri Dengan surat An-Naas.
Allah ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Kami telah Menurunkan Al-Qur‟an kepadamu
(hai Muhammad) dengan Berangsur-angsur.” (Al-Insaan: 23)
Dan firman-Nya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya Berupa Al-Qur‟an dengan
berbahasa Arab, agar kamu Memahaminya.” (Yusuf: 2)
Allah SWT telah menjaga Al-Qur‟an yang agung ini dari upaya perubahan, penambahan,
pengurangan atau pun menggantikannya. Allah SWT telah menjamin akan menjaganya
sebagaimana dalam firman-Nya, “Sesunggunya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur‟an
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Al-Hijr: 9).
Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-
musuh Allah yang berhasil untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun
menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan membuka tipu dayanya.
2. Funsi dan peranan Al-Qur’an
a. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW yang terbesar untuk membuktikan bahwa
beliau adalah utusan Allah dan Al-Quran benar-benar firman Allah SWT bukan
ucapan Nabi SAW.

5
b. Sebagai penguat atas kebenaran kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada para rasul
sebelumnya.
c. Sebagai sumber hukum dan ajaran islam, baik dalam masalah sosial, politik,
ekonomi, pendidikan, kebudayaan, etika, dan lain sebagainya.
d. Sebagai hakim untuk menentukan baik dan buruknya suatu masalah yang
dipermasalahkan. Sebagai obat dari penyakit yang bersifat hakiki (yang menimpa
badan) dan penyakit yang sifatnya maknawi (yang menimpa hati). Sebagai petunjuk
dasar tentang tanda-tanda alam yang menunjukkan kebesaran Allah SWT.
3. Isi Kandungan Al-Quran
Al Quran pada dasarnya mengandung ajaran sebagai pedoman dan petunjuk bagi umat
manusia agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Pokok-pokok ajaran
tersebut adalah:
a. Ajaran mengenai Tauhid, yaitu keimanan terhadap Allah SWT
b. Ibadah
c. Akhlak
d. Hukum
e. Tata cara kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara
f. Janji dan ancaman
g. Kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu

Al-Quran mengandung tiga komponen dasar hukum, sebagai berikut:

1) Hukum I’tiqadiah, yakni hukum yang mengatur hubungan rohaniah manusia


dengan Allah SWT dan hal-hal yang berkaitan dengan akidah/keimanan. Hukum
ini tercermin dalam Rukun Iman. Ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Tauhid,
Ilmu Ushuluddin, atau Ilmu Kalam.
2) Hukum Amaliah, yakni hukum yang mengatur secara lahiriah hubungan manusia
dengan Allah SWT, antara manusia dengan sesama manusia, serta manusia dengan
lingkungan sekitar. Hukum amaliah ini tercermin dalam Rukun Islam dan disebut
hukum syara/syariat. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu Fikih.
3) Hukum Khuluqiah, yakni hukum yang berkaitan dengan perilaku normal manusia
dalam kehidupan, baik sebagai makhluk individual atau makhluk sosial. Hukum ini

6
tercermin dalam konsep Ihsan. Adapun ilmu yang mempelajarinya disebut Ilmu
Akhlaq atau Tasawuf.

Sedangkan khusus hukum syara dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni:

a. Hukum ibadah, yaitu hukum yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT,
misalnya salat, puasa, zakat, dan haji.
b. Hukum muamalat, yaitu hukum yang mengatur manusia dengan sesama manusia
dan alam sekitarnya. Termasuk ke dalam hukum muamalat adalah sebagai berikut:
1) Hukum munakahat (pernikahan).
2) Hukum faraid (waris).
3) Hukum jinayat (pidana).
4) Hukum hudud (hukuman).
5) Hukum jual-beli dan perjanjian.
6) Hukum tata Negara/kepemerintahan
4. Bukti Keontetikan Al-Qur’an
a. Segi Keunikan Redaksi
Abdurrazaq Naufal dalam bukunya Al-Ijaz Al-’Adad Al-qur’an Al-Karim
(kemukjizatan dari segi bilangan dalam Al-Quran) dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan antonimnya.Misalnya:
Al-hayah/kehidupandan al-maut/kematian masing-masing sebanyak 145 kali.
An-naf/manfaat dan al-fasat/kerusakan atau mudarat masing masing sbanyak 50
kali. Al-harr/panas dan al-bard/dingin masing masing 4 kali.
2) Keseimbangan antara jumlah bilangan dengan sinonim atau makna yang
dikandungnya.Misalnya al-harts/membajak dan az-zira’ah/bertani masing
masing 14 kali.
3) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan jumlah kata yang menunjuk
pada akibatnya. Misalnya al-infaq/menafkahkan dan ar-ridha/kerelaan masing
masing 73 kali.
4) Keseimbangan antara jumlah bilangan kata dengan kata penyebabnya. Misalnya
al-israf/pemborosan masing masing 23 kali.

7
Disamping keseimbangan-keseimbangan tersebut ditemukan pula keseimbangan khusus,
misalnya: Kata yaum/hari dalam bentuk tunggal, sejumlah 365 kali, sebanyak hari hari
dalam setahun. Al-Quran menjelaskan bahwa langit ada tujuh, dan penjelasan ini
diulanginya pula sebanyak tujuh kali pula yaitu terdapat dalam surah Al-baqarah dan
beberapa surat lain.
b. Segi Kemukjizatan
Al-Quran sebagai mukjizat menjadi bukti kebenaran Muhammad SAW selaku utusan
Allah yang membawa misi universal, risalah akhir, dan syariah yang sempurna bagi
manusia. Kemukjizatan Al-Quran pada dasarnya berpusat pada dua segi, yaitu segi
isi atau kandungan al-Quran, dan segi bahasa al-Quran.
Segi isi atau kandungan al-Quran, Al-Quran mengungkap sekian banyak ragam hal
ghaib seperti halnya mengungkap kejadian masa lampau yang tidak diketahui lagi
oleh manusia, karena masanya yang telah demikian lama, seperti peristiwa
tenggelamnya fir’aun dan diselamatkannya badannya.
Dalam al-Quran banyak terdapat ramalan-ramalan tentang peristiwa-peristiwa yang
belum terjadi tetapi kemudian betul-betul terjadi dalam sejarah sebagaimana
diramalkan, misalnya, ramalan al-Quran tentang kemenangan akhir kerajaan romawi
dalam peperangan melawan kerajaan persi, dan menjadi kenyataan sejarah pada
tahun 624 M, yaitu 7 tahun setelah ramalan al-Quran.
c. Segi bahasa al-Quran
Dari segi bahasa, al-Quran merupakan bahasa bangsa arab Quraisy yang mengandung
sastra Arab yang sangat tinggi mutunya. Ketinggian mutunya meliputi segala segi.
Kaya akan perbendaharaan kata kata, padat akan makna yang terkandung, sangat
indah dan sangat bijaksana dalam menyuguhkan isinya. Dalam gaya bahasanya yang
menakjubkan, al-Quran mempunyai beberapa keistimewaan, diantaranya:
1) Kelembutan al-Quran secara lafzhiah yang terdapat pada susunan suara dan
keindahan bahasanya.
2) Keserasian al-Quran baik untuk awam maupun kaum cendekiawan, dalam arti
bahwa semua orang dapat merasakan keagungan dan keindahan al-Qur’an

8
d. Segi Sejarah
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur
selama 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Nabi Muhammad SAW setelah menerima
wahyu langsung menyampaikan wahyu tersebut kepada para sahabat agar mereka
menghafalnya sesuai dengan hafalan Nabi, tidak kurang dan tidak lebih dalam rangka
-ayat tersebut ditulis dalam pelepah-pelepah kurma, batu-batu, kulit-kulit atau tulang-
tulang binatang. Al Quran terdiri dari 114 surat dan 6.666 ayat. Dalam masa Al-Quran
diturunkan, terbagi menjadi dua periode, yaitu periode Makkah dan Madinah.
1) Makkiyah
Ayat-ayat yang diturunkan di Mekah atau sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah.
Terdiri dari 86 surat. Ciri-ciri surat Makkiyah yaitu:
a) Ayat yang pendek-pendek
b) Terdapat perkataan “yaa ayyuhannaas” (wahai manusia) kecuali surat Al-
Hajj, ayat 77
c) Mengandung hal-hal yang berhubungan dengan keimanan, ancaman, dan
pahala
d) Mengandung kisah-kisah umat terdahulu, kecuali surat Al Baqarah
e) Mengajarkan budi pekerti dan akhlak yang mulia
2) Madaniyyah
Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah atau sesudah Nabi SAW hijrah ke
Madinah. Terdiri dari 28 surat. Ciri-ciri surat Madaniyyah yaitu;
a) Pada umumnya ayat-ayat dan suratnya panjang-panjang
b) Terdapat perkataan “yaa ayyuhalladzuuna aamanu”(wahai orang-orang yang
beriman)
c) Ayat ayatnya mengandung jihad, perang, masalah sosial, hukum
d) Menunjukkan secara rinci bukti bukti yang menunjukkan hakikat hakikat
keagamaan.
Setelah rasulullah wafat pemeliharaan al-Qur’an dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar bin
Khattab, dan Utsman bin Affan. Abu Bakar mengemban tugas pemeliharaan al-Qur’an
dengan melakukan penghimpunan naskah-naskah al-Qur’an yang berserakan menjadi satu
mushaf. Hal ini dikarenakan banyak para sahabat penghafal al-Qur’an yang gugur di medan

9
perang Yamamah. Dalam pertempuran tersebut 70 orang penghafal al-Qur’an gugur.
Kemudian baru pada masa Utsman bin Affan tersusun pembukuan al-Qur’an standar dalam
rangka menjaga otentitas al-Qur’an sekaligus mengantisipasi konflik internal sekitar
qira’at pada masa itu. Sejak itu umat islam dalam membaca al-Qur’an berpegang pada
bentuk bacaan yang sesuai dengan mushaf Utsmani.

B. Al-Hadist
1. Pengertian Hadist
Menurut bahasa, Hadist mempunyai beberapa arti yaitu yang baru, yang dekat, berita dan
berlaku, sedangkan menurut istilah, Hadits ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muhammad SAW, baik perkataan, perbuatan, persetujuan ataupun yang sepadannya.
Secara umum, para ahli Hadist berpendapat bahwa “Hadist” adalah sinonim kata
“Sunnah”. Jadi kedua kata tersebut pengertiannya sama. Namun terdapat beberapa
perbedaan yaitu hadist adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad
SAW yang sudah tertulis dan telah diriwayatkan oleh para sahabat dan generasi
selanjutnya secara bersambung dan turun temurun. Sedangkan Sunnah adalah wahyu
Allah yang diterima dan dipraktikkan Nabi Muhammad SAW untuk kemudian
diriwayatkan oleh sahabat ke generasi selanjutnya. Jadi dapat disimpulkan hal yang
terkandung dalam pengertian Hadist atau Sunnah, yaitu:
a. Perkataan Nabi SAW, yang berhubungan dengan suruhan, larangan, dan keputusan
b. Perbuatan Nabi SAW dan kebiasan
c. Pengakuan Nabi SAW yang tidak diucapkan
2. Fungsi dan Peranan Hadist
a. Sebagai penjelas terhadap masalah masalah dalam Al Quran
b. Menguatkan kebenaran Al Quran
c. Sebagai pegangan dan sumber hukum kedua setelah Al Quran

Hadist/Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua sesudah Al-Qur’an. Apabila as-
Sunnah/Hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum muslimin akan
mengalami kesulitan-kesulitan seperti :

10
1) Melaksanakan Shalat, Ibadah Haji, mengeluarkan Zakat dan lain sebagainya, karena
ayat al-Qur’an dalam hal tersebut hanya berbicara secara global dan umum,
sedangkan yang menjelaskan secara rinci adalah as-Sunnah / Hadits.
2) Menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, untuk menghindari penafsiran yang subyektif dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
3) Mengikuti pola hidup Nabi adalah sunnah dalam perintah al-Qur’an.
4) Menghadapi masalah kehidupan yang bersifat teknis, karena adanya peraturan-
peraturan yang diterangkan oleh as-Sunnah / Hadits yang tidak ada dalam al-Qur’an
seperti kebolehan memakan bangkai ikan dan belalang, sedangkan dalam al-Qur’an
menyatakan bahwa bangkai itu haram.

Ada tiga peranan al-Hadis disamping al-Quran sebagai sumber agama dan ajaran Islam,
yakni sebagai berikut :

1) Menegaskan lebih lanjut ketentuan yang terdapat dalam al-Quran. Misalnya dalam
Al-Quran terdapat ayat tentang sholat tetapi mengenai tata cara pelaksanaannya
dijelaskan oleh Nabi.
2) Sebagai penjelasan isi Al-Quran. Di dalam Al-Quran Allah memerintah- kan manusia
mendirikan shalat. Namun di dalam kitab suci tidak dijelaskan banyaknya raka’at,
cara rukun dan syarat mendirikan shalat. Nabilah yang menyebut sambil
mencontohkan jumlah raka’at setiap shalat, cara, rukun dan syarat mendirikan shalat.
3) Menambahkan atau mengembangkan sesuatu yang tidak ada atau samar-samar
ketentuannya di dalam Al-Quran. Sebagai contoh larangan Nabi mengawini seorang
perempuan dengan bibinya. Larangan ini tidak terdapat dalam larangan-larangan
perkawinan di surat An-Nisa (4) : 23. Namun, kalau dilihat hikmah larangan itu jelas
bahwa larangan tersebut mencegah rusak atau putusnya hubungan silaturrahim antara
dua kerabat dekat yang tidak disukai oleh agama Islam.

11
3. Macam-macam Hadist
Atas dasar jumlah periwayat, hadist dibagi menjadi mutawatir dan ahad. Hadist
mutawatir didasarkan pada panca indera (dilihat dan didengar sendiri oleh yang
meriwayatkan) yang diberitakan segolongan manusia yang berjumlah banyak.
a. Hadist Mashyur, yaitu Hadist yang diriwayatkan melalui lebih dari dua orang
b. Hadist Aziz, yaitu Hadist yang diriwayatkan melalui kurang dari dua orang
c. Hadist Gharib, yaitu Hadist yang diriwayatkan satu orang saja

Dan dari segi penerimaan hadist, terbagi atas dua macam yaitu maqbul yang artinya dapat
diterima dan mardul yang artinya tertolak. Usaha seleksi penerimaan tersebut diarahkan
kepada tiga unsur Hadist,yaitu:

1) Matan (isi Hadist)


Suatu isi Hadist dinilai baik apabila materi hadits itu tidak bertentangan dengan al-
Qur'an atau Hadits lain yang lebih kuat, tidak bertentangan dengan realita, tidak
bertentangan dengan fakta sejarah, tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip pokok
ajaran Islam.
2) Sanad (persambungan antara pembawa dan penerima hadits).
Suatu persambungan Hadits dapat dinilai segala baik, apabila antara pembawa dan
penerima Hadits benar-benar bertemu bahkan dalam batas-batas tertentu berguru.
Tidak boleh ada orang lain yang berperanan dalam membawakan hadits tapi tidak
nampak dalam susunan pembawa Hadits itu. Apabila ada satu kaitan yang diragukan
antara pembawa dan penerima Hadits, maka Hadits itu tidak dapat dimasukkan dalam
kriteria Hadits yang maqbul.
3) Rawi (orang-orang yang membawakan hadits).
Seseorang yang dapat diterima haditsnya ialah yang memenuhi syarat-syarat: Adil,
yaitu orang Islam yang baligh dan jujur, tidak pernah berdusta membiasakan dosa.
Hafizh, yaitu kuat hafalannya atau mempunyai catatan pribadi yang dapat
dipertanggungjawabkan.

12
C. Ar-Ra’yu
1. Pengertian Al-Ra’yu
Secara etimologi kata (ra’yu) berasal dari bahasa Arab yang berarti “melihat”. Menurut
Abû Hasan kata ra’yu memiliki arti: pengelihatan dan pandangan dengan mata atau hati,
segala sesuatu yang dilihat oleh manusia, jamaknya (al-Ara’). Menurut Ibn Qayyim al-
Jauziyyah, al-Ra‟yu ( ‫ ) يأر ال‬secara bahasa merupakanmasdar dari kata ra‟ā ( ‫ ) ىأر‬di mana
kemudian penggunaannya lebih dalam arti maf`ūl( ‫ ) ى ئرم‬berarti yang dilihat, yaitu
”sesuatu yang dilihat oleh hati setelah melaluipemikiran dan perenungan dalam rangka
mengetahui kebenaran berdasarkan tanda-tanda (‟amārāt) atau isyarat tertentu Secara
terminologi, ra’yu menurut Muhammad Rowas, yaitu segala sesuatu yang diutamakan
manusia setelah melalui proses berfikir dan merenung.
Ra’yu merupakan “hasil dari suatu perenungan dan pemikiran yang bertujuan untuk
memberikan solusi terhadap suatu permasalahan hukum yang belum pernah ada
sebelumnya di dalam nas untuk kemaslahatan hidup manusia dengan menggunakan
kaedah yang telah ditetapkan”. Kata ra’yu adalah bentuk masdar dari kata (ra’â-yarâ-
ru‘yan).
Ra’yu adalah salah satu alat umat islam untuk menetapkan suatu hukum dari
permasalahan-permasalahan kontemporer yang belum didapati dalam Al-Qur’an dan
Hadist. Manusia memiliki akal yang mampu berfikir secara komprehensif dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan Hadis sebagai bukti keabsahan hasil ra’yu. Namun
perlu digarisbawahi bahwa akal dan ra’yu memiliki perbedaan dalam pengertiannya.
Akal adalah subjek (alat/pelaku yang melakukan pemikiran), sedangkan ra’yu adalah,
suatu hasil/obyek dari proses pemikiran yang bertujuan untuk mencari kebenaran/solusi
dari suatu hukum yang tidak ada di dalam Alquran dan hadis.
2. Kedudukan dan Fugsi Ar-Ra’yu
a. Kedudukan sebagai sumber ajaran islam ketiga
b. Fungsinnya untuk menjelaskan atau menetapkan hukum-hukum yang tidak
terdapat baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist.
Saat ini muncul berbagai problem baru dan persoalan baru yang belum pernah ada
sebelumnya yang tentunya tidak secara eksplisit termuat dalam Al-Qur‟an membuat

13
umat Islam harus berani untuk merumuskan cara dan metode untuk menjawab berbagai
persoalan tersebut. Tidak semua persoalan hidup secara eksplisit termuat dalam Al-
Qur‟an terlebih problema baru yang muncul di abad modern, untuk itu umat Islam
diizinkan menggunakan ra‟yu atau pendapat jika tidak terdapat aturan-aturan dalam nash
secara harfiyah atau ada aturan-aturannya namun pengaturannya tidak pasti (zhanniy).
Berdasarkan hadits dibawah ini:“...Bahwa Rasūlullāh SAW. ketika hendak mengutus
Mu‟ādz ke Yaman bertanya: “ Dengan cara apa engkau menetapkan hukum seandainya
diajukan kepadamu suatu perkara? Mu‟ādz menjawab: Saya menetapkan hukum
berdasarkan Kitab Allah (Al-Qur‟ ān). Nabi bertanya lagi: “ Bila engkau tidak
mendapatkan hukumnya dalam Kitab Allah? Jawab Mu‟ ādz: Dengan Sunnah Rasūlullāh
SAW. Bila engkau tidak menemukan dalam Sunnah RasūlullāhSAW. dan Kitab Allah?
Mu‟ādz menjawab: Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar (ra‟yu) saya. Nabi
bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telahmemberi taufik kepada utusan Rasūlullāh
SAW. dengan apa yang diridhaiRasūlullāh.”
Dalam Hadis Mu‟adz yang terkenal ini, ada tiga tahap penetapan hukum dalamIslam
yaitu:
a. Ditetapkan berdasarkan Al-Qur‟an jika ada aturan hukumnya disana,
b. Jika tidak ada maka dicari dalam Al Hadits.
c. Jika tidak ada pada pada kedua-duanya, gunakanlah ra‟yu (pendapat).

Dari hadits Mu‟adz ini ulama Islam menetapkan tiga sumber hukum Islam; Al-Qur‟an,
Al-Hadist dan Ijtihad (mencurahkan segala kecerdasan maksimal
berdasarkankemampuan ilmiah untuk memperoleh ketentuan hukum syara.
Adanya sumber hukum selain Al-Qur‟an dan Al Hadits yaitu Ijtihad telah melahirkan
beberapa asumsi dan argumentasi yang bersifat pro-kontra. Dari kalangan yang kontra
berargumentasi, Jika ada ruang dibolehkannya Ijtihad berarti secara tidak langsung kita
mengakui bahwa Al-Qur‟an dan Al Hadits tidak lengkap, padahal sementara umat Islam
meyakini Al-Quran sudah sempurna diturunkan. Jika ijtihad dibenarkan sebagai sumber
hukum berarti ada bagian dari nalar atau ra‟yu (ijtihad) sebagai produk manusia yang
bisa dikatakan menyaingi Al-Qur‟an dan Al Hadits.

14
Sedangkan dari yang pro terhadap dibolehkannya Ijtihad sebagai sumber hukum
memiliki landasan argumentasi bahwa Hadits Mu‟adz telah menunjukkan bahwa secara
nash ijtihad dengan ra‟yu dibolehkan. Bahwa Al-Quran dan Al Hadits tidak mungkin
dapat menjangkau semua persoalan-persoalan dan peristiwa yang muncul sepanjang
sejarah manusia yang bermunculan kemudian. Bila ijtihad tidak diperbolehkan berarti
Islam telah membiarkan umatnya kebingungan karena banyak persoalan yang muncul
dan dihadapi manusia yang secara eksplisit tidak terdapat dalam nash (secara harfiyah)
atau ada aturan-aturannya namun pengaturannya tidak pasti.
Berangkat dari adanya argumentasi yang setuju terhadap ijtihad sebagai sumber hukum
Islam maka mayoritas ulama Islam meyakini bahwa ijtihad bagaimanapun merupakan
solusi untuk menjawab persoalan umat manusia yang berhubungan dengan suatu hukum
dalam Islam, ijtihad secara realitas mutlak diperlukan, umat manusia tidak mungkin
dibiarkan menghadapi persoalan tanpa ada suatu ketentuan hukum. Disamping itu Ijtihad
(penggunaan ra‟yu) juga merupakan bagian dari yang dibolehkan nash sebagaimana
disebutkan dalam hadits Mu‟adz.
Dalam kaitannya dengan Ijtihad, ijtihad dapat difahami secara etimologi diambil dari
kata al-jahd atau al-juhd yang artinya al-masyaqqah (kesulitan dan kesusahan) danal-
thāqah (kesanggupan dan kemampuan), atau al-wus‟u (kesanggupan dankemampuan).
Di dalam al-Qur‟ān al-Karīm, kata jahd dapat ditemukan pada limatempat, yaitu Qs. al-
Māidah: 53 Al-An‟ām: 109, al-Nahl: 38, al-Nūr: 53, dan Fāthir: 42.Sedangkan kata al-
juhd disebutkan sebanyak satu kali, yakni dalam Qs. Al-Taubah: 79.Semuanya
menunjukan kepada arti pencurahan dan pengerahan kemampuan danbekerja keras.
Rumusan ra‟yu dalam perspektif Imam Abu Hanifah,terdiri dari dua rumusan dasar,yaitu
kewajiban untuk berpikir dalam merenung dan mengkaji isyarat-isyarat yang Allah
ciptakan dalam bentuk dan kejadian alam, manusia dan makhluk-makhluk ciptaannya,
manusia dituntut untuk dapat memahami segala rahasia dan hikmah yang berada dibalik
semua penciptan-Nya tersebut. Kewajiban berpikir tersebut bertujuan untuk menyingkap
dan menggali segala rahasia dan hikmah yang Allah maksudkan untuk kemaslahatan
manusia dan hal tersebut hanya dapat dicapai melalui penggunaan dan pemberdayaan
akal atau ra‟yu, karena akal atau ra‟yu merupakan komponen utama dalam proses
berfikir, karena pada hakikatnya proses berpikir itu menuju kepada pencarian kebenaran.

15
Karakteristik Ijtihad Imam Abu Hanifah tercermin dari cara beliaumenerapkan prinsip
prinsip dalam menggali suatu hukum,antara lain beliau sangat berhati-hati dalam
menerima sebuah hadits. Bila beliau tidak terlalu yakin atas keshahihan suatu hadits,
maka beliau lebih memilih untuk tidak menggunakannnya.Dan sebagai gantinya, beliau
menemukan begitu banyak formula yang menempatkan akal atau ra‟yu sebagai salah
satu komponen pembentuknya, seperti mengqiyaskan suatu masalah dengan masalah lain
yang punya dalil nash syar‟i.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mempelajari agama Islam merupakan fardhu ’ain , yakni kewajiban pribadi setiap muslim
dan muslimah, sedang mengkaji ajaran Islam terutama yang dikembangkan oleh akal
pikiran manusia, diwajibkan kepada masyarakat atau kelompok masyarakat.
Sumber ajaran agama islam terdiri dari Al-Qur’an, Hadist dan Al-Rayu.
Kemudian, mengenai sumber-sumber hukum Islam dapat kita simpulkan bahwa segala
sesuatu yang berkenaan dengan ibadah, muamalah, dan lain sebagainya itu berlandaskan
Al-qur’an yang merupakan Firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara
mutawatir dan diturunkan melalui malaikat Jibril dan membacanya di nilai sebagai Ibadah,
dan Al-Sunnah sebagai sumber hukum yang kedua yang mempunyai fungsi untuk
memperjelas isi kandungan Al-qur’an dan lain sebagainya.
B. Saran
Marilah kita mengamalkan dan menjadikan Al-qur’an dan Al-sunnah sebagai pedoman
dalam kehidupan kita sehari-hari yang merupakan sumber dari hukum agama Islam dan
sekaligus dapat membuat kita bahagia baik itu di dunia maupun diakhirat nanti.agar
hidup yang kita jalani lebih sempurna dan mempunyai tujuan hidup.

17
DAFTAR PUSTAKA

Akmal H (2014). Dasar-dasar Studi Islam.Jakarta.

Sudirman (2012). Pilar-pilar Islam.Malang.

Maliki Press Syamsi Moh,Farhat Abu,Sa’adah.Rangkuman Pengetahuan Agama Islam.Surabaya.

Amelia Djambek Zain (1985). Kuliah Islam.Jakarta Hasan Ali.Studi Islam.Jakarta.

Putra Dr. H. Akmal Hawi, M.Ag. Dasar-Dasar Studi Islam, Jakarta

M.Ali Hasan. Studi Islam, Jakarta

M.Quraish Shihab.Mukjizat Al-Qur’an

http://satriodatuak.com/-sumber-ajaran-ajaran-agama-islam

Abdul Wahhab Khallaf, 1978, Ushul Fikih, Dar al Qalam, Kairo.

Abu Ishaq Asy Syatibi, 1970, Al Muwafaqat fi Ushul Al ahkam,

Muhammad AliShubyih Kairo.Abu Yazid, 2007, Nalar dan Wahyu, Interrelasi Dalam
Pembentukan Syariat Islam,Jakarta, Erlannga

18

Anda mungkin juga menyukai