Anda di halaman 1dari 15

Pengertian, Kehujjahan, Macam-macamnya,

Dan Contoh-contoh Sya’ru Man Qablana.

Makalah Ini Dibuat Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Bahasa Indonesia

Dosen Pengampu : Bapak. Alimuddin.M.pd

Di Susun Oleh :

Syifa Fauziah ( 20312343 )

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI )

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT ILMU AL- QUR’AN JAKARTA

Tahun Pelajaran 2020/2021


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Sya’ru Man
Qablana dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima
kasih pada Bapak Alimuddin.M.pd, selaku Dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah
memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi
perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada
sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang kurang
berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa
depan.

Ciputat, 14 Desember 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Kata Penghantar ................................................................................................ i

Daftar Isi…………………………………………………………………………... ii

BAB Pendahuluan………………………………………………………………… 1

A. LatarBelakang……………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………. 2

BAB I PEMBAHASAN…………………………………………………………....3

A. Pengertian Sya’ru Man Qablana……………..…………………………….4


B. Kehujjahan Sya’ru Man Qablana…………………………………………..5
C. Macam-macam Sya’ru Man Qablana………………………………...........6
D. Contoh-contoh Sya’ru Man Qablana………………………………………7

BAB II PENUTUP…………………………………………………………………8

A. Kesimpulan……………………………………….….……………………..8

DAFTAR PUSTAKA……………………...………………………………………9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an dan sunah shahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari
hukum syar’i, yang disyariatkan Allah SWT kepada hambanya yang telah dahulu
dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang disampaikan kepada umat dahulu kala.
Ada hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita
berupa peraturan yang wajib kita ikuti.
Al-Qur’an dan sunah telah memisahkan salah satu diantara hukum syar’i,
ditegakkan untuk mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada
perbedaan. Tidak disyari’atkan kepada kita kalau tidak dengan dalil shahih.
Setelah rasul wafat yang memberikan fatwa-fatwa kepada orang banyak
pada waktu itu ialah jema’ah sahabat atau yang disebut dengan sya’ru man
qablana dan madzhab sahabat. Mereka itu mengetahui fiqih ilmu pengetahuan dan
apa yang biasa disampaikan oleh rasul. Memahami Al-Qur’an dan hukum-
hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa banyaknya macam masalah
yang terjadi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat sya’ru man qablana yang
mencangkup pengertian, kehujjahan, macam-macam, dan contoh-contohnya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Definisi dari  Syar’u Man Qablana dan Pendapat Para Ulama tentang
Syar’u Man Qablana?
2. Apa macam-macam dari Syar’u Man Qablana ?
3. Bagaimana definisi dari Mazhab Shahabat ?
4. Bagaimana Kehujjahan dari Mazhab Sahabat ?
5. Apa saja contoh-contoh Sya’ru Man Qablana ?
PEMBAHASAN

BAB I

A. Pengertian Sya’ru Man Qablana


Secara etimologis syar’un man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan
oleh Allah SWT, bagi umat-umat sebelum kita. Secara istilah ialah syari ‘at yang
diturunkan Allah kepada umat sebelum ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran
agama sebelum datangnya ajaran agama Islam melalui perantara nabi Muhammad
SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa, Ibrahim, dan lain-lain.1
Pada azasnya syariat yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat terdahulu
mempunyai azas yang sama dengan syariat yang diperuntukkan bagi umat Nabi
Muhammad SAW, sebagaimana yang dinyatakan pada firman Allah SWT.:
“Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian agama, apa yang ia wajibkan
kepada Nuh dan yang kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, (yaitu)
hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu janganlah kamu bercerai-
berai padanya... “.(Q.S, As-Syura’ : 13).
Diantara azas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan,
tentang akhirat, tentang qadha dan qadhar, tentang janji dan ancaman Allah dan
sebagainya. Menganai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang
berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari’at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda
pelaksanaannya dengan syari’at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa (dalam surat
Al-Baqarah: 183)2:
“hai orang-orang yang beriman diwajibkan kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu…..”

B. Pendapat Ulama tentang Sya’ru Man Qablana

Para ulama ushul fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tercantum
dalam Al-Qur’an dan Sunah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat islam, karena
kedatangan syariat islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu.
Demikian pula para ulama ushul fiqih sepakat,bahwa syariat sebelum islam yang
dicantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat islam bilamana ada
ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat nabi Muhammad SAW, namun
keberlakuan nya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum islam tetapi
karena ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi
terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-

1
Satria Effendi. Ushul fiqih. (Jakarta: KENCANA. 2012), hal 162
2
Muin Umar, dkk. Ushul fiqih (Jakarta, IAIN. 1980), Hal 153-154
hukum itu masih berlaku bagi umat islam dan tidak pula ada penjelasan yang
membatalkannya. Misalnya pesoalan hukum qishash (hukum setimpal) dalam syariat
nabi Musa A.S yang diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-maidah (5) ayat 45:
“Dan kami telah tetapkan terhadap mereka didalamnya (At-Taurat)
bahwasannya juwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qishash nya, maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang
yang dzolim.”

Dari banyak bentuk qishash dalam ayat tersebut yang ada ketegasan berlakunya
bagi umat islam hanyalah qishash karena pembunuhan, seperti dalam surat Al-
Baqarah ayat 178 sebagai berikut:
“hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan
orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya, hendaknya yang memaafkan mengikuti dengan car yang
baik, dan hendaklah yang di bei maaf membayar diat kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik pula. Yang demikian itu adalah suatu keringananda Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka
baginya siksa yang sangat pedih.”
Abdul Wahid Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh’ menjelaskan, bahwa
yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapat pertama yang diatas.
Alasannya, bahwa syariat islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda
dengan syariat islam. Oleh karena itu, segala hukum syariat para nabi terdahulu yang
disebut dalam Al-Qur’an tanpa ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu telah
dinasakh (dihapuskan), maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad
SAW. Disamping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam Al-Qur’an yang
merupakan petunjuk bagi umat islam, menunjukan berlakunya bagi umat Nabi
Muhammad SAW.3

C. Macam-macam Sya’ru Man Qablana

Sya’ru Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum
syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunah.
Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua,
setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-Qur’an dan
Sunah. Pembagian kedua ini diklarifikasi menjadi tiga yaitu:
I. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut
kesepakatan semua ulama. Contoh: Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang
terkena najis itu tidak suci. Kecuali dipotongnya pakaian yang terkena najis.
II. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita
atas kesepakatan ulama. Contoh: Perintah menjalankan puasa.
3
Profesor.Dr.H.Satria Effendi M. Zein, M.A. USHUL FIQIH
III. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai
syariat kita.4
Sebagaian para ulama mengatakan macam-macam syar’u manqablana antara lain:

1) Syariat yang di peruntukkan bagi umat yangsebelum kita, tetapi Al-Qur’an dan
hadis tidak menyinggungnya, baik membatalkan atau menyatakan berlaku pula
bagi umat Nabi Muhammad saw.
2) Syariat yang di peruntukkan bagi umat sebelum kita, kemudian menyatakan tidak
berlaku lagi bagi umatNabi Muhammad SAW.
3) Syariat yang di peruntukkan bagi umat yang sebelum kita, kemudian Al-Qur’an
dan hadis menerangkannya kepada kita.

Mengenai bentuk ke tiga yaitu syariat yang di peruntukkan bagi umat-umat


sebelum kita, kemudian di terangkan kepada Al-Qur’an dan Hadis, para ulama
berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama malikiyah sebagian
ulama syafi’iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syariat itu
berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan
Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh dzimi sama hukumnya dengan membunuh
orang islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasarkan ayat 45 Surat Al Maidah
mengenai pendapat golongan lain menurut mereka dengan adanya syariat Nabi
Muhammad SAW, maka syariat yang sebelumnya di nyatakan mansukh tidak berlaku
lagi hukumnya.

D. Kehujjahan Sya’ru Man Qablana

Syari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-
Qur’an dan sunah telah menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk
mereka (orang yang sebelum kita) dan juga kepada kita utuk mengamalkannya,
seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya Al-Qur’an dan Sunnah Nabi
menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh (di hapus) hukumnya
maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at
kita. Seperti syar’iat Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak
dapat menebus dosanya kecuali ia harus membunuh dirinya sendiri, pakaian yang
terkena najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian bagian yang terkena
najis. Dua syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad.
Allah mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan
domba. Syari’at ini tidak berlaku bagi umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat
beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita dengan syari’at kita seperti format
ibadah.
Menurut Abu Zahrah beberapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam melihat
syari’at orang. Sebelum kita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga syar’u man
qablana itu layak untuk diikuti atau di tinggalkan. Untukmemutuskan itu sedikitnya
ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :

4
Rahmat Syafe’I,Ilmu ushul fiqih (Bandung: Pustaka setia,), hal 141
1) Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada
sumber-sumber yang menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari
sumber-sumber Islam, makatidak dapat di jadikan hujan bagi umat Islam.
Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.
2) Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak
boleh di amalkan. Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan
kekhususan bagi umat terdahulu, maka syari’at itu khusus untuk mereka dan tidak
berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani Israil.
3) Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku
untuk kita itu di dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu.
Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.
Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-
hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau sunnah nabi meskipun tidak
diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang
nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.
Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat
dalam al-qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
1) Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada Al-Qur’an dan sunah yang
shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi.
2) Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan
dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi
Muhmmmad.
3) Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-
kitab taurat dan injil.5

5
Eka Devi Sulistianingrum. http://hp/ushul fiqih smtr 2/U.F/syar'u man qablana ushul fiqih.htm.
BAB II

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Syar’u man qoblana adalah syari ‘at yang diturunkan Allah kepada umat sebelum
ummat Nabi Muhammad SAW, yaitu ajaran agama sebelum datangnya ajaran agama
Islam melalui perantara nabi Muhammad SAW, seperti ajaran agama Nabi Musa, Isa,
Ibrahim, dan lain-lain.
Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat
dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunah. Ulama’
sepakat bahwa macam pertama ini jelas tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap
hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah.
Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam Al-
qur’an dan hadist-hadist yang shahih dengan alasan :
1) Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunah yang
shahih, maka ia termasuk dalam syari’at samawi.
2) Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunah tanpa diiringin dengan penolakan
dan tanpa nasakh menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi
Muhmmmad.
3) Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-
kitab taurat dan injil.
DAFTAR PUSAKA

Effendi Satria. Ushul Fiqh. Jakarta: KENCANA.

Sulistianingrum Eka Devi. http://hp/ushul fiqih /syar'u man qablana


ushul fiqih.htm.

Syafe’I Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

Umar Muin. USHUL FIQIH I. Jakarta: IAIN.

Profesi.Dr.H. Satria Efendi M.Zein, M.A. USHUL FIQIH


Z

Anda mungkin juga menyukai