Anda di halaman 1dari 14

Syar’u Man Qablana

“Disusun untuk memenuhkan tugas Mata kuliah Ushul Fiqh”

Disusun Oleh :

Aldi Ganda Kurnia (2288204112)

Dosen Pengampu :
Drs.M.Nurzansyah, M.Hum

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG


FAKULTAS AGAMA ISLAM
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT. yang telah memberikan nikmat iman, islam, inayah
dan hidayah-Nya sehingga kami diberikan kemudahan untuk menyelesaikan makalah ini
dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah ini berjudul “SYAR’U MAN QABLANA”
dibuat untuk memenuhi tugas Ushul Fiqh.
Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya hingga hari akhir.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta
saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca yang memerlukan pengetahuan
tambahan dalam penulisan makalahnya.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………..1
DAFTAR ISI………………………………………………………………………2
BAB I PENDAHULUAN............................................................................3
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................4
A. Pengertian Syar’u Man Qablana
B. Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana...................5
C. Pengelompokan Syar’u Man Qablana..........................................6
D. Kehujjahan Syar’u Man Qablana.................................................8
BAB III KESIMPULAN................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu keputusan dalam
menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan masalah-masalah yang rumit dan
sedikit memainkan otak untuk bisa menjawabnya dengan benar, misalnya: hukum-hukum
yang terdapat pada masa Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW apakah masih wajib kita
laksanakan ataukah kita tinggalkan? Banyak para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini,
dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar dalam penetapan hukum.
Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah itu karena faktor taqlid (ikut-
ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui. Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini
dirasa penting untuk diangkat, dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal
berdasarkan ilmu.
Maka dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang pendapat para ulama mengenai
Syar’u Man Qablana (syariat-syariat sebelum kita/Islam).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan syar'u man qablana?
2. Bagaimana pendapat para ulama tentang syar'u man qablana?
3. Jelaskan pengelompokan syar'u man qablana!
4. Bagaimana kehujjahan syar'u man qablana?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syar`u Man Qablana


Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya, secara
bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang dilintasi manusia untuk
menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau
thariqatun mustaqimatun sebagaimana diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.
Syar’u man qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran Nabi-nabi sebelum Islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa as.1
Secara istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt yang
disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti
hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil yang
menghapusnya.
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 183:

‫يَاَاُّيَها اَّلِذ يَن َأَم ُنوا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك مَا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ ْيَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َلُك ْم َتَّتُقوَن‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Sebelum membahas secara terperici mengenai pendapat para ulama tentang syar'u
man qablana, pengelompokan dari Syar’u man qablana, serta kehujjahan syaru man qablana.
Sebagai muslim, kita harus mengetahui bahwa syariat-syariat (agama) samawi secara
prinsipil adalah satu. Allah menerangkan sendiri dalam surah A-Syura ayat 13.
‫َش َر َع َلُك ْم ِّم َن الِّدْيِن َم ا َو ّٰص ى ِبٖه ُنْو ًحا َّواَّلِذ ْٓي َاْو َح ْيَنٓا ِاَلْيَك َو َم ا َو َّصْيَنا ِبٖٓه ِاْبٰر ِهْيَم َوُم ْو ٰس ى َوِع ْيٰٓس ى َاْن َاِقْيُم وا الِّدْيَن َو اَل َتَتَفَّر ُقْو ا‬
‫ِفْيِۗه َك ُبَر َع َلى اْلُم ْش ِكْيَن ا َتْدُع ْو ُهْم ِاَلْيِۗه ُهّٰللَا َيْج َت ْٓي ِاَلْيِه ْن َّيَش ۤا ُء َو َيْهِد ْٓي ِاَلْيِه ْن ُّيِنْيُۗب‬
‫َم‬ ‫َم‬ ‫ِب‬ ‫ِر َم‬
‘’Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)’’.
Apabila yang menurunkan syariat syariat samawi adalah satu yaitu Allah, maka
esensinya juga satu. Nash diatas jelas menerangkan hal itu, diperkuat dengan ijma’ ulama.
Hanya saja memang Allah mengharamkan sebagian perkara atau perbuatan atas sebagian
kaum tertentu. Pengharaman ini dimaksudkan untuk mencegah dari tenggelam dalam

1
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Depok, 2009, hlm. 162-163.

4
kehidupan yang diliputi nafsu syahwat, sebagaimana firman Allah yang berkaitan dengan
kaum Yahudi, seperti dalam surat Al-An’am ayat 146.2

‫َو َع َلى اَّلِذ ْيَن َهاُد ْو ا َح َّر ْم َنا ُك َّل ِذ ْي ُظُفٍۚر َوِم َن اْلَبَقِر َو اْلَغَنِم َح َّر ْم َنا َع َلْيِه ْم ُش ُحْو َم ُهَم ٓا ِااَّل َم ا َح َم َلْت ُظُهْو ُر ُهَم ٓا َاِو اْلَح َو اَيٓا َاْو َم ا‬
‫اْخ َتَلَط ِبَع ْظٍۗم ٰذ ِلَك َج َز ْيٰن ُهْم ِبَبْغ ِيِهْۚم َو ِاَّنا َلٰص ِد ُقْو َن‬
‘’Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari
sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak
yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur
dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan
sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.
Selain itu juga bentuk maupun cara ibadah masing-masing syariat samawi juga
berbeda-beda, meski esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allah yang tidak ada sekutu
bagi-Nya. Begitu pula mengenai perincian sebagian masalah-masalah juziyyat seperti
pengaturan zakat dan lain sebagainya.3

Oleh karena itu, terdapat beberapa hukum syariat umat terdahulu yang dinasakh
dengan syariat Nabi Muhammad, di samping sebagian diantaranya masih tetap dilestarikan.
Syariat tentang qishas dan sebagaimana hukum had (dera) misalnya masih tetap berlaku
dalam islam sebagaimana tercantum didalam Taurat.4

B. Pendapat Para Ulama Tentang Syar'u Man Qablana


1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu,
apa yang disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an
berlaku kepada umat Muhammad SAW.
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu,
antara lain firman Allah:
‫ُثَّم َأْو َح ْيَنا ِإَلْيَك َأِن اَتِبْح ِم َّلَة ِإْبَر اِهْيَم َح ِنْيًفا‬
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim
yang hanif.” (QS. An-Nahl:123).5
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak
tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam,
karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian
pula para ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum Islam yang di cantumkan dalam
Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syari’at itu berlaku
bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya

2
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 465
3
Prof Muhammad Abu Zahrah, op. cit, hlm. 465
4
Ibid, hlm. 465
5
Satria Effendi, op. cit., hlm. 165-166.

5
sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa
Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.6
Para ulama Ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak
tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam,
karena datang syari’at Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian
pula para ulama Ushul Fiqih sepakat, bahwa syari’at sebelum Islam yang di cantumkan dalam
Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan bahwa syari’at itu berlaku
bagi umat Nabi Muhammad SAW., namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya
sebagai syari’at sebelum Islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-Qur’an. Misalnya puasa
Ramadhan yang di wajibkan kepada umat Islam adalah syariat sebelum Islam.7
C. pengelompokan Syar’u Man Qablana
Pengelompokan Syar’u Man Qablana Syariat sebelum kita dalam pengertian di atas,
dapat dibagi dalam tiga kelompok:
Pertama, Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam Alquran atau
Hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad. Umpamanya firman Allah dalam surat AlAn`am: 146
‫َو َع َلى اَّلِذ يَن َهاُدوا َح َّر ْم َنا ُك َّل ِذ ي ُظُفٍرۖ َوِم َن اْلَبَقِر َو اْلَغَنِم َح َّر ْم َنا َع َلْيِه ْم ُش ُحوَم ُهَم ا ِإاَّل َم ا َح َم َلْت ُظُهوُر ُهَم ا َأِو اْلَح َو اَيا َأْو َم ا‬
‫اْخ َتَلَط ِبَع ْظٍم ۚ َٰذ ِلَك َج َزْيَناُهْم ِبَبْغ ِيِه ْم ۖ َوِإَّنا َلَص اِد ُقوَن‬
‘’Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari
sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak
yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur
dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan
sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu.
Kemudian dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi
Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An`am: 145
‫ُقْل اَل َأِج ُد ِفي َم ا ُأوِح َي ِإَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع َلٰى َطاِع ٍم َيْطَعُم ُه ِإاَّل َأْن َيُك وَن َم ْيَتًة َأْو َد ًم ا َم ْس ُفوًحا َأْو َلْح َم ِخ ْنِزيٍر َفِإَّنُه ِر ْج ٌس َأْو ِفْس ًقا‬
‫ُأِهَّل ِلَغْيِر ِهَّللا ِبِهۚ َفَمِن اْض ُطَّر َغْيَر َباٍغ َو اَل َعاٍد َفِإَّن َر َّبَك َغ ُفوٌر َر ِح يٌم‬
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau
darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu kotor -- atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka
sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
6
Ibid., hlm. 144
7
Ibid., hlm. 144

6
Hadis Nabi:
‫اﺣﻠﺖ ﱃ اﻟﻐﻨﺎم وﱂ ﲢﻞ ﻻﺣﺪ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻰ‬

‘’Dihalalkan untukku harta rampasan yang tidak pernah dihalalkan untuk orang
sebelumku’’.
Hadis Nabi ini menjelaskan bahwa ghanimah (harta rampasan perang) itu tidak halal
untuk umat terdahulu, namun kemudian dihalalkan untuk umat Nabi Muhammad.
Ulama telah sepakat menyatakan bahwa syariat terdahulu yang dalam bentuk ini
(yang telah dinasakh) tidak berlaku untuk umat Nabi Muhammad.
Kedua, Hukum-hukum dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis Nabi disyariatkan
untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan
dinyatakan berlaku untuk selanjutnya. Umpamanya firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 183

‫يَاَاُّيَها اَّلِذ يَن َأَم ُنوا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك مَا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ ْيَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َلُك ْم َتَّتُقوَن‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk terdahulu dan diwajibkan
atas umat Nabi Muhammad. Contoh dalam Hadis Nabi adalah tentang berkurban yang
dijelaskan disyariatkan untuk Nabi Ibrahim, juga disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad.
Hal ini ditegaskan dalam sabda Nabi:
‫ﺿﺤﻮا ﻓﺎﺎ ﺳﻨﺔ اﺑﻴﻜﻢ اﺑﺮاﻫﻴﻢ‬
‘’Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunah bapakmu, Ibrahim’’.
Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi Muhammad. Hal ini telah
disepakati oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat Nabi Muhammad bukan
karena ia adalah syara’Hukum-hukum dalam bentuk ini berlaku untuk umat Nabi
Muhammad. Hal ini telah disepakati oleh semua ulama. Pemberlakuan hukum untuk umat
Nabi Muhammad bukan karena ia adalah syara’sebelum kita yang harus berlaku untuk kita,
tetapi karena kewajiban tersebut ditetapkan pemberlakuannya unutk kita dalam Alquran atau
Hadis Nabi.
Ketiga, Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi dijelaskan
berlaku untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku
untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh. Dari ketiga
kelompok syariat sebelum kita, bentuk pertama sudah jelas kedudukannya yaitu tidak berlaku
lagi untuk umat Nabi Muhammad. Demikian juga dengan bentuk kedua yang disepakati telah
menjadi hukum Islam. Bentuk ketiga inilah sebenarnya yang disebut “syariat sebelum kita”
yang menjadi bahan kajian ulama Ushul pada waktu membicarakan dalil-dalil syara` atau
metode ijtihad. Pembahasan tentang syariat “syariat sebelum kita” ini mucul karena di satu
sisi ia terdapat (disebut) dalam Alquran yang tentu dengan sendirinya mengikat untuk umat
Nabi Muhammad, namun di sisi lain Alquran itu sendiri menyebutkan bahwa hukum itu
berlaku untuk umat tertentu sebelum Nabi Muhammad. Ayat Alquran dalam hal ini
7
mengisahkan isi sebuah kitab suci terdahulu yang menetapkan hukum bagi umatnya.
Umpamanya firman Allah dalam surat Al-Maidah: 45
‫َو َك َتْبَنا َع َلْيِهْم ِفيَها َأَّن الَّنْفَس ِبالَّنْفِس َو اْلَع ْيَن ِباْلَع ْيِن َو اَأْلْنَف ِباَأْلْنِف َو اُأْلُذ َن ِباُأْلُذ ِن َو الِّس َّن ِبالِّس ِّن َو اْلُجُروَح ِقَص اٌص ۚ َفَم ْن‬
‫َتَص َّد َق ِبِه َفُهَو َك َّفاَر ٌة َلُهۚ َو َم ْن َلْم َيْح ُك ْم ِبَم ا َأْنَز َل ُهَّللا َفُأوَٰل ِئَك ُهُم الَّظاِلُم وَن‬
‘’Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak
qishaash)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim’’.
Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu kala.
Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi disyari’atkan untuk umat
sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk
selanjutnya.

D. Kehujjahan Syar’u Man Qaablana


Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah syariat sebelum kita itu menjadi dalil
dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi Muhammad. Kaidah Syar`u Man Qablana ini
dimasukkan Al-Ghazali ke dalam empat kaidah yang tidak disepakati oleh para ulama Ushul.
Pendapat mereka dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Jumhur ulama Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah dan Malikiyah serta
ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa hukum-hukum syara’
sebelum kita dalam bentuk yang ketiga tersebut di atas tidak berlaku untuk kita (umat
Nabi Muhammad) selama tidak dijelaskan pemberlakuannya untuk umat Nabi
Muhammad. Alasannya adalah bahwa syariat sebelum kita itu berlaku secara umum.
Lain halnya syariat yang dibawa Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang
berlaku secara umum dan menasakh syariat sebelumnya.
2. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum
yang disebutkan dalam Alquran atau Sunah Nabi meskipun tidak diarahkan untuk
umat Nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku
pula untuk umat Nabi Muhammad8. Dari sini muncul kaidah
‫ﺷﺮع ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻨﺎ ﺷﺮع ﻟﻨﺎ‬
Alasan yang mereka kemukakan adalah beberapa petunjuk dari ayat Alquran yang
diantaranya:
a. Surah As-Su’ara: 13

8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, hlm, 392-395

8
‫َش َر َع َلُك ْم ِم َن الِّديِن َم ا َو َّصٰى ِبِه ُنوًحا َو اَّلِذ ي َأْو َح ْيَنا ِإَلْيَك َو َم ا َو َّصْيَنا ِبِه ِإْبَر اِهيَم َوُم وَس ٰى َوِع يَس ٰى ۖ َأْن َأِقيُم وا الِّد يَن‬
‫َو اَل َتَتَفَّر ُقوا ِفيِهۚ َك ُبَر َع َلى اْلُم ْش ِرِكيَن َم ا َتْدُعوُهْم ِإَلْيِهۚ ُهَّللا َيْج َتِبي ِإَلْيِه َم ْن َيَش اُء َو َيْهِد ي ِإَلْيِه َم ْن ُيِنيُب‬

‘’Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru
mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)’’.

b. Surat al-Nahl: 123

‫ِك‬ ‫ِم‬ ‫ِن‬ ‫ِن ِب ِم ِإ ِه‬ ‫ِإ‬


‫ُثَّم َأْو َح ْيَنا َلْي َك َأ ا َّت ْع َّلَة ْبَر ا ي َم َح ي ًف ا ۖ َو َم ا َك ا َن َن ا ْل ُم ْش ِر ي َن‬
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang
hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan’’.
Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum
qishash yang seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 45 bagi umat Islam,
meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan pendapat ini orang
muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai qishash sebagaimana orang kafir dzimmi
membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan
syariat umat Yahudi itu untuk umat Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada
keseimbangan dalam pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana
yang diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim membunuh
kafir dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila kafir dzimmi yang
membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash. Sebenarnya perbedaan pendapat dalam
soal qishash itu tidak semata disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan
syariat sebelum kita tersebut, tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun
dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum
kita itu dapat menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat sebelum kita
tetapi karena ia terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus dijadikan pedoman.
Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum Islam tidak berdiri sendiri. Nabi
Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum menerima risalah dari Allah untuk
diberlakukan bagi umatnya. Selama masa menjelang menerima risalah itu, apakah beliau
beramal mengikuti syariat agama sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini ulama ushul berbeda
pendapat, yaitu:
1. Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi
Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari syariat nabi-nabi
sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya Nabi
Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul
sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer)
tentang beramalnya dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan
bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang menjalankan syariat tersebut.

9
2. Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para Jumhur
Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum diutus
menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam, karena jika
Nabi Saw. terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil yang
menunjukkannya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi Muhammad
mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul sebelumnya menjelang
beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa Muhammad sebelum menerima
risalah telah thawaf di Baitullah, dan biasa makan daging kurban. Hal ini bukanlah
suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal. Dengan demikian mesti ada
petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syariat dari Nabi dan Rasul terdahulu.
Di kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu syariat
sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu:
a. Ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan bahwa
Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa syariat, sebagai tersebut
dalam surat al-Syura: 13 yang artinya:
‘’Disyariatkan kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya kepada Nuh dan
Kami wahyukan kepadamu’’.
b. Ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim, karena
Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana firman Allah
dalam QS. Ali Imran: 67 yang artinya:
‘’Ibrahim itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama Nasrani, tetapi ia
adalah orang yang lurus lagi muslim’’.
c. Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat Nabi
Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai pembawa kitab.
3. Pendapat ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap tentang
apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul sebelumnya atau
tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat lama tersebut. Pendapat
ini adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi Abdul Jabbar dan ulama lain
yang sependapat.
Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi
Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah. Dalam hal ini
timbul beberapa pendapat:
1. Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu riwayat) dan sebagian pengikut Syafi’i
berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang
diterimanya melalui wahyu, dan tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu
yang sudah diperbarui Allah atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut
belum dinasakh. Mereka mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan
Hadis yang diantaranya adalah:
a. Surat al-Nahl: 123

10
‘’Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim yang hanif’’.
b. Surat Al-Maidah: 44
‘’Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang para
nabi berhukum berhukum dengannya’’.
2. Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah menerima
risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka mengemukakan
argumen sebagai berikut:
a. Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn Jabal tentang cara
Mu’az menyelesaikan perkara sewaktu tidak menemukan jawabannya dalam Alquran
dan Sunah, Mu’az mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal
pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil ketentuan dari syariat
sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat pujian (persetujuan) Nabi.
b. Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam beribadah, tentu
mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib kifayah dan Nabi sendiri wajib
merujuknya, dan Nabi sendiri tidak akan berhenti memberikan jawaban terhadap
suatu masalah saat tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan
bahwa Nabi tidak pernah berpedoman pada syariat sebelumnya.
c. Ijma’ ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad itu
menasakh syariat sebelumnya. Seandainya Nabi pernah mengikuti syariat
sebelumnya, maka tentu syariat Islam akan memberikan pengakuan terhadap syariat-
syariat sebelumnya, dan tidak akan menasakhnya.

11
BAB III
KESIMPULAN

Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai
asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu
adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai
dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan agama
terakhir maka akan ditemukan beberapa hal berkaitan syariat sebelum Islam, pertama
penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita sehingga tidak berlaku
lagi, kedua sebagian hukum-hukum umat yang terdahulu ada yang dinyatakan masih berlaku
melalui Alquran atau Hadis, dan sebagian dinyatakan namun tidak dijelaskan masih berlaku
atau tidak.
Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak
membatalkannya dengan catatan tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Sedangkan syariat
sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah tidak menjadi syariat bagi
Rasulullah Saw dan umatnya kecuali yang dinyatakan dalam Alquran dan Sunnah melahirkan
kaidah tersendiri dalam perumusan hukum Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh,Depok: Kencana.

Abu Zahrah, Muhammad. 1994. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus.

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.


Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana, Jakarta.
AL MASHLAHAH JURNAL HUKUM DAN PRANATA SOSIAL ISLAM

13

Anda mungkin juga menyukai