Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH USHUL FIQH SYAR’U MAN QABLANA

MAKALAH USHUL FIQH

SYAR’U MAN QABLANA

GURU PENGAJAR:

Hj.Norliani

DISUSUN OLEH:

1. HINI RISKIA JAHRA

2. LILY MARLINA

3. NUR MAULIDA YULMI

4. RUHANI

5. SALWA NORKHAFIZAH

MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 HULU SUNGAI UTARA

TAHUN AJARAN 2022/2023


Kata pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah swt. Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang, yang telah
memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Syar’u Man Qablana”, sebagai tugas Mata pelajaran Ushul.

Salawat dan salam semoga tercurah selalu kepada junjungan kita Nabi Muhammad saw. Beserta
keluarga, sahabat, kerabat, dan pengikut-pengikut beliau hingga akhir zaman.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi penulisan maupun bahasa
yang digunakan. Untuk itu penulis mohon maaf dan kami mengharapkan saran-saran dan kritik yang
sifatnya membangun. Semoga sebuah makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan penulis pada
khususnya..
DAFTAR ISI

Halaman Sampul........................................................................................................ i

Kata Pengantar........................................................................................................... ii

Daftar Isi.................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1

A. Latar belakang masalah...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................... 2

A. Pengertian Syar’u Man Qablana ......................................................................... 2

B. Pendapat Para Ulama Tentang Syar’u Man Qablana........................................... 2

C. Pengelompokan Syar’u Man Qablana.................................................................. 3

D. Macam-Macam Syar’u Man Qablana.................................................................... 4

E. Kedudukan Syar’u Man Qablana......................................................................... 4

F. Kehujjahan Syar’u Man Qablana ........................................................................ 5

G. Hukum Syari’at Sebelum Kita ............................................................................. 7

BAB III PENUTUP.................................................................................................. 8

A. Kesimpulan........................................................................................................ 8

B. Saran – saran...................................................................................................... 8

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Al-Qur’an dan sunnah shahih itu telah mengisahkan tentang salah satu dari hukum syar’i, yang di
syari’atkan Allah SWT kepada umat yang telah dahulu dari kita. Ada hal-hal dan nash-nash yang
disampaikan kepada Nabi SAW juga oleh Tuhan telah disampaikan kepada umat-umat dahulu kala. Ada
hal-hal yang tidak berbeda menurut apa yang disyari’atkan kepada kita berupa peraturan-peraturan
yang wajib kita ikuti.

Al-Qur’an dan sunnah telah memisahkan salah satu diantara hukum ini dalil syar’i, ditegakkan untuk
mencabut dan membuangnya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan. Tidak disyri’atkan kepada kita kalau
tidak dengan dalil nashih.

Setelah Rasul wafat, yang memberikan fatwa kepada orang banyak pada waktu itu ialah jema’ah
Sahabat atau yang disebut dengan syar’u man qablana dan mazhab shahabat. Mereka itu mengetahui
fiqih ilmu pangetahuan dan apa-apa yang biasa yang disampaikan oleh rasul. Memahami Al-Qur’an dan
hukum-hukumnya. Inilah yang menjadi sumber dari fatwa-fatwa dalam bermacam-macam masalah yang
terjadi.

Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat syar’u man qablana

dan mazhab sahabat, yang mencakup pengertian, macam-macam, kehujjahan, dan lain sebagainya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Definisi dari Syar’u Man Qablana dan Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana?

2. Apa macam-macam dari Syar’u Man Qablana ?

3. Bagaimana definisi dari Mazhab Shahabat ?

4. Bagaimana Kehujjahan dari Mazhab Sahabat ?


BAB II

PEMBAHASAN

Asy-Syar’u Man Qablana

A. PENGERTIAN SYAR’U MAN QABLANA

Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan
dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as.[1][1]

Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:

َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُون‬


َ ِ‫صيَا ُم كَما َ ُكت‬ َ ِ‫ياَاَيُّهَا الَّ ِذينَ َأ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬

“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-
orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).

B. PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SYAR’U MAN QABLANA

Menurut Jumhur Ulama yang terdiri atas ulama Hanafiyah, Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyyah dan
salah satu pendapat Imam Ahmad Ibnu Hanbal menyatakan bahwa apabila hukum-hukum syari’at
sebelum islam itu disampaikan kepada Rasulullah SAW. Melalui wahyu, yaitu AL-Qur’an, bukan melalui
kitab agama mereka yang telah berubah, dengan syarat tidak ada nash yang menolak hukum-hukum itu,
maka umat islam terikat dengan hukum-hukum itu. Alasan yang di kemukakan adalah:[2][2]

1. Pada dasarnya syari’at itu adalah satu karena datang dari Allah juga oleh karena itu, apa yang
disyari’atkan kepada para nabi terdahulu dan disebutkan dalam Al-Qur’an berlaku kepada umat
Muhammad SAW. Hal itu ditunjukkan oleh Firman Allah:

‫ْس َأ ْن أقِي ُموا ال ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوا فِي ِه َكب َُر َعلَى‬ َ ‫وس َو ِعي‬ َ ‫ش ََر َع لَ ُك ْم ِمنَ ال ِّدي ِْن َما َوصَّى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي َأ‬
َّ ‫وح ْينَا ِإلَ ْيكَ َو َما َو‬
َ ‫ص ْينَا بِ ِه ِإب َْرا ِه ْي َما َو ُم‬
ْ
ُ‫ال ُمش ِر ِك ْينَ َما تَ ْدعُوهُ ْم ِإلَ ْي ِه هللاُ يَجْ تَبِ ْي ِإلَ ْي ِه َم ْن يَشَا ُء َويَ ْه ِدى ِإلَ ْي ِه َم ْن يُنِيْب‬ ْ

“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa
yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-
orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS.
As-Syura/42:13)
2. Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti para nabi terdahulu, antara lain firman
Allah:

َ‫ثُ َّم َأوْ َح ْينَا ِإلَ ْيكَ َأ ِن اتَبِحْ ِملَّةَ ِإب َْرا ِه ْي َم َحنِ ْيفًا َو َما كَا نَ ِمنَ ْال ُم ْش ِر ِك ْين‬

“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agam Ibrahim yang hanif.” (QS.
An-Nahl/16:123).[3][3]

C. PENGELOMPOKAN SYAR’U MAN QABLANA

Syar’u man qablana dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu :

1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam al-qur’an atau penjelasan Nabi yang disyariatkan untuk umat
sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam al-qur’an atau hadis Nabi bahwa yang demikian
telah di-nasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat Nabi Muhammad. seperti firman allah dalam surat al-
an’am (8): 146:

‫َو َعلَى الَّذ ْينَ هَا ُدوْ ا َح َّر ْمنَا ُك َّل ِذيْ ظُفُ ٍر َو ِمنَ ْالبَقَ ِر َو ْال َغن َِم َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم‬

‫ُشحُوْ َمهُ َما‬

“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap binatang yang punya kuku, dan dari sapi dan kambing
kami haramkan pada mereka lemaknya”.

Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu. kemudian dijelaskan pula
dalam al-qur’an bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan
dalam surat Al-An’am (6): 145:

ْ َ‫اع ٍمل ي‬
‫ط َع ُمهُ ِإالََّأ ْن يَ ُكوْ نُ َم ْيتَةً َأوْ َد ًما َم ْسفُوْ حًاَأوْ لَحْ َم ِخ ْن ِزي ٍْر‬ َّ َ‫قُلْ الََأ ِج ُدفِ ْي َماُأوْ ِح َي ِإل‬
ِ َ‫ي ُم َح َّر ًما َعلَى ط‬

2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadis nabi disyariatkan untuk umat sebelumnya
dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.

َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُوْ ن‬ َ ِ‫يَاَأيُّهَاالَّ ِذ ْينَ اَ َمنُوْ ا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َك َما ُكت‬
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum
kalian, mudah-mudahan kalian menjadi orang yang bertakwa’’.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa puasa disyariatkan untuk umat terdahulu dan diwajibkan atas umat
Nabi Muhammad

3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an atau hadis nabi, dijelaskan berlaku untuk umat
sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada
penjelasan bahwa hukum tersebut telah di-nasakh.[4][4]

D. MACAM-MACAM SYAR’U MAN QABLANA

Syar’u Man Qablana dibagi menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu
namun tidak disebutkan dalam Al-quran dan Sunnah. Ulama’ sepakat bahwa macam pertama ini jelas
tidak termasuk syariat kita. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam
Al-quran dan Sunnah. Pembagian kedua ini diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:

1. Dinasakh syariat kita (syariat islam). Tidak termasuk syariat kita menurut kesepakatan semua ulama.
Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang
kena najis itu.

2. Dianggap syariat kita melalui al-Qur’an dan al-Sunnah. Ini termasuk syariat kita atas kesepakatan
ulama. Contoh : Perintah menjalankan puasa.

3. Tidak ada penegasan dari syariat kita apakah dinasakh atau dianggap sebagai syariat kita.[5][5]

E. KEDUDUKAN SYAR’U MAN QABLANA

Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas yang sama
dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13

“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang
telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-
pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu
serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan
petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat,
tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda
sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.[6][6]

Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat
Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap
berlaku, seperti qishash.[7][7]

F. KEHUJJAHAN SYAR’U MAN QABLANA S

yari’at umat sebelum kita kedudukannya dapat menjadi syariat kita jika Al-Qur’an dan sunnah telah
menegaskan bahwasannya syari’at ini di wajibkan baik untuk mereka (orang yang sebelum kita) dan juga
kepada kita utuk mengamalkannya, seperti puasa dan qishas. Tetapi jika seandainya Al-Qur’an dan
Sunnah Nabi menegaskan bahwa syariat orang sebelum kita telah di nasakh (di hapus) hukumnya
maka tidak ada perselisihan lagi bahwa syari’at orang sebelum kita itu bukan syari’at kita. Seperti syar’iat
Nabi Musa, yang menghukum bahwa orang yang berdosa tidak dapat menebus dosanya kecuali ia harus
membunuh dirinya sendiri, pakaian yang terkena najis tidak dapat di sucikan kecuali memotong bagian
bagian yang terkena najis. Dua syari’at Nabi Musa tersebut di atas tidak berlaku bagi umat Muhammad.
Allah mengharamkan bagi orang Yahudi setiap binatang yang berkuku, sapi dan domba. Syari’at ini tidak
berlaku bagi umat Muhammad. Selin itu juga, terdapat beberapa perbedaan syari’at orang sebelum kita
dengan syari’at kita seperti format ibadah.[8][8]

Menurut Abu Zahrah bberapa ketentuan yang harus di perhatikan dalam melihat syari’at orang.
Sebelumkita dengan syari’at orang sebelum kita, sehingga syar’u man qablana itu layak untuk diikuti
atau d tinggalkan. Untukmemutuskan itu sedikitnya ada tiga hal yang harus jadi pertimbangan :

1. Syari’at orang sebelum kita harus di ceritakan dengan berdasarkan kepada sumber-sumber yang
menjadi pedoman ajaran Islam. Yang tidak dinukil dari sumber-sumber Islam, makatidak dapat di jadikan
hujan bagi umat Islam. Demikian hasil kesepakatan para fuqaha.

2. Apabila syari’at orang sebelum kita itu telah di naskh (di hapus), maka tidak boleh di amalkan.
Demikian juga jika terddapat dalil yang menunjukkan kekhususan bagi umat terdahulu, maka syari’at itu
khusus untuk mereka dan tidak berlaku bagi kita seperti Allah sebagian daging bagi orang bani Israil.

3. Bahwa di lakukan syariat itu untuk mereka (umat sebelum kita) dan juga berlaku untuk kita itu di
dasari oleh nas islam bukan oleh cerita orang-orang terdahulu. Seperti kewajiban berpuasa Ramadhan.
[9][9]

Sebagian sahabat abu Hanifah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian sahabat Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad dalam salah satu riwayat mengatakan bahwa hukum-hukum yang disebutkan dalam al-qur’an
atau sunnah nabi meskipun tidak diharamkan untuk umat nabi Muhammad selama tidak ada penjelasan
tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat nabi Muhammad.

Jadi Syar’u man qablana berlaku bagi kita, apabila syari’at tersebut terdapat dalam al-qur’an dan hadist-
hadist yang shahih dengan alasan :

1. Dengan tercantumnya syar’u man qablana pada al-qur’an dan sunnah yang shahih, maka ia
termasuk dalam syari’at samawi

2. Kebenarannya dalam al-qur’an dan sunnah tanpa diiringin dengan penolakan dan tanpa nasakh
menunjukkan bahwa ia juga berlaku sebagai syari’at nabi Muhmmmad

3. Sebagai implementasi dari pernyataan bahwa al-qur’an membenarkan kitab-kitab taurat dan injil

G. HUKUM SYARI’AT

Jika Al-qur’an atau sunnah yang sohih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat
yang dahulu melalui para Rosul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana
diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita.
Dengan kata lain wajib untuk diikuti. Atau dengan kata lain pula tidak ada perbedaan penadapat
bahwasanya hukum tersebut merupakan syariat untuk kita dan suatau undang-udang yang wajib diikuti,
berdasarkan penetapan syara’, sebagaimana firman Allah

‫ على الذين من قبلكم‬P‫ياايها الذين امنواكتب عليكم الصيام كماكتب‬....

“hai orang-orang yang beriman diwajibkan kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu”(Al-baqarah :183)

Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah SWT, bagi
umat-umat sebelum kita. Secara istilah, syar’u man qablana yaitu syari’at atau ajaran nabi-nabi sebelum
Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syari’at nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa. Apakah
syariat-syariat yang diturunkan kepada mereka itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad Saw. Para
ulama ushul Fiqih sepakat bahwa syariat para Nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul Saw, tidak berlaku lagi bagi umat Islam. Karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri
berlakunya syariat terdahulu. Para ulama juga sepakat bahwa syariat sebelum Islam yang dicantumkan
dalam al-Quran adalah berlaku bagi umat jika ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi
Muhammad Saw.

Apabila Al-qur’an dan sunnah yang sohih mengisahkan suatu hukum dan ada dalil syar’I yang
menunjukkan penghapusan hukum tersebut dan mengangkatnya dari kita maka juga tidak ada
perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syariat bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskan
darinya. Misalnya sesuatu yang terdapat pada syariat Nabi Musa AS. Bahwasanya orang yang durhaka
itu tidak bisa menebus dosanya kecuali ia membunuh dirinya sendiri dan bahwasanya pakaian yang
terkena najis maka tidak bisa dicucikan kecuali memotong bagian yang terkena najis itu. Dan beberapa
hukum lainnya yang merupakan beban yang dipikul oleh umat sebelum kita dan diangkat Allah dari kita.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran nabi-nabi sebelum islam yang berhubungan
dengan hukum, seperti syari’at Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as. Syar’u Man Qablana dibagi
menjadi dua bagian. Pertama, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun tidak disebutkan dalam
Al-quran dan Sunnah. Kedua, setiap hukum syariat dari umat terdahulu namun disebutkan dalam Al-
quran dan Sunnah.

Yang dimaksud dengan mazhab sahabat ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW. tentang suatu kasus
dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum sutau kejadian sehingga
terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma’ di antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat
mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari ijma’ mereka.

Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu dikalangan sahabat tidak
dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara
keseluruhan dan melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa pendapat
mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum (tidak terjaa dari
dosa).

Anda mungkin juga menyukai