Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Prof. Dr. MOH. DAHLAN, M.Ag.
Puji syukur senantiasa kita ucapkan kepada Allah SWT atas segala
limpahan rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan
penyusunan makalah Ushul Fiqh yang berjudul Dahlil Syar’u Manqablana dengan
selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dari bapak Prof Dahlan
pada Ushul Fiqh. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang Materi Dahlil Syar’u Manqablana.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan dan berusaha untuk
semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari dalam penyusunan dan penulisan
makalah masih banyak melakukan kesalahan. Oleh karena itu, kami memohon
maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam
makalah ini. Kami juga berharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila
menemukan kesalahan dalam makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................4
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan Masalah....................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Pengertian Syar’u Manqablana..........................................................................5
B. Pengelompokan Syar’u Man Qablana................................................................6
C. Kehujjahan Dalil Syar’u Manqablana...............................................................9
BAB III...........................................................................................................................13
PENUTUP.......................................................................................................................13
A. Kesimpulan.........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari suatu hukum atau ketika kita mengambil suatu
keputusan dalam menetapkan hukum, seringkali kita akan menemukan
masalah-masalah yang rumit dan sedikit memainkan otak untuk bisa
menjawabnya dengan benar, misalnya: hukum-hukum yang terdapat pada
masa Nabi-Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW apakah masih wajib kita
laksanakan ataukah kita tinggalkan? Banyak para ulama berbeda pendapat
mengenai hal ini, dan untuk memahami hal tersebut kita harus punya dasar
dalam penetapan hukum Banyak orang islam yang menjalankan amal ibadah
itu karena faktor taqlid (ikut-ikutan), bukan berdasarkan ilmu yang ia ketahui.
Untuk mengatasi hal tersebut maka judul ini dirasa penting untuk diangkat,
dalam rangka menyiapkan umat islam yang beramal berdasarkan ilmu. Maka
dalam makalah ini, akan dijelaskan tentang pendapat para ulama mengenai
Syar’u Man Qablana (syariat-syariat sebelum kita/Islam).
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan kami bahas meliputi:
1. Apa yang dimaksud dengan Dalil Syar’u Manqablana?
2. Jelaskan pengelompokkan Dalil Syar’u Manqablana?
3. Bagaimana kehujjahan Dalil Syar’u Manqablana?
C. Tujuan Masalah
Tujuan Masalah dari Rumusan Masalah di atas meliputi:
1. Mampu menjelaskan pengertian Dalil Syar’u Manqablana.
2. Mampu menjelaskan pengelompokkan Dalil Syar’u Manqablana.
3. Mampu menjelaskan kehujjahan Dalil Syar’u Manqablana.
BAB II
PEMBAHASAN
1
Satria Effendi, Ushul Fiqh, Kencana, Depok, 2009, 162-163.
itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya)’’.
Apabila yang menurunkan syariat syariat samawi adalah satu yaitu Allah, maka
esensinya juga satu. Nash diatas jelas menerangkan hal itu, diperkuat dengan ijma’
ulama. Hanya saja memang Allah mengharamkan sebagian perkara atau perbuatan
atas sebagian kaum tertentu. Pengharaman ini dimaksudkan untuk mencegah dari
tenggelam dalam kehidupan yang diliputi nafsu syahwat, sebagaimana firman
Allah yang berkaitan dengan kaum Yahudi, seperti dalam surat Al-An’am ayat
146. 2
ي ظُفُ ۚ ٍر َو ِمنَ ا ْلبَقَ ِر َوا ْل َغنَ ِم َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم ش ُُح ْو َم ُه َمٓا اِاَّل َما ْ َو َعلَى الَّ ِذيْنَ هَاد ُْوا َح َّر ْمنَا ُك َّل ِذ
ٰ َاختَلَطَ بِ َع ْظ ۗ ٍم ٰذلِكَ َج َز ْي ٰن ُه ْم بِبَ ْغيِ ِه ۚ ْم َواِنَّا ل
َص ِدقُ ْون ْ َح َملَتْ ظُ ُه ْو ُر ُه َمٓا اَ ِو ا ْل َح َوايَٓا اَ ْو َما
‘’Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku
dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang
itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan
usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.
Selain itu juga bentuk maupun cara ibadah masing-masing syariat samawi juga
berbeda-beda, meski esensinya tetap sama, yaitu menyembah Allah yang tidak ada
sekutu bagi-Nya. Begitu pula mengenai perincian sebagian masalah-masalah
juziyyat seperti pengaturan zakat dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, terdapat beberapa hukum syariat umat terdahulu yang dinasakh
dengan syariat Nabi Muhammad, di samping sebagian diantaranya masih tetap
dilestarikan. Syariat tentang qishas dan sebagaimana hukum had (dera) misalnya
masih tetap berlaku dalam islam sebagaimana tercantum didalam Taurat.3
َو َعلَى الَّ ِذينَ هَادُوا َح َّر ْمنَا ُك َّل ِذي ظُفُ ٍر ۖ َو ِمنَ ا ْلبَقَ ِر َوا ْل َغنَ ِم َح َّر ْمنَا َعلَ ْي ِه ْم ش ُُحو َم ُه َما ِإاَّل َما
ٰ ْ َح َملَتْ ظُ ُهو ُر ُه َما َأ ِو ا ْل َح َوايَا َأ ْو َما
َصا ِدقُون َ َاختَلَطَ بِ َع ْظ ٍم ۚ َذلِ َك َجزَ ْينَا ُه ْم بِبَ ْغيِ ِه ْم ۖ وَِإنَّا ل
2
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, 1994, 465.
3
Prof Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, 465.
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku
dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang
itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan
usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar’’.
Ayat ini mengisahkan apa yang diharamkan Allah untuk orang Yahudi dahulu.
Kemudian dijelaskan pula dalam Alquran bahwa hal itu tidak berlaku lagi untuk
umat Nabi Muhammad sebagaimana disebutkan dalam surat Al-An`am: 145
وحا َأ ْوً ُسف ْ اع ٍم يَ ْط َع ُمهُ ِإاَّل َأنْ يَ ُكونَ َم ْيتَةً َأ ْو َد ًما َم
ِ َوح َي ِإلَ َّي ُم َح َّر ًما َعلَ ٰى طِ قُ ْل اَل َأ ِج ُد فِي َما ُأ
اغ َواَل عَا ٍد فَِإنَّ َربَّ َك ْ سقًا ُأ ِه َّل لِ َغ ْي ِر هَّللا ِ بِ ِه ۚ فَ َم ِن
ٍ َاضطُ َّر َغ ْي َر ب ْ ِس َأ ْو ف
ٌ لَ ْح َم ِخ ْن ِزي ٍر فَِإنَّهُ ِر ْج
َغفُو ٌر َر ِحي ٌم
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena
sesungguhnya semua itu kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain
Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Hadis Nabi:
َّسن ِّ ف َواُأْل ُذنَ بِاُأْل ُذ ِن َوال ِ س َوا ْل َعيْنَ بِا ْل َع ْي ِن َواَأْل ْنفَ بِاَأْل ْنِ س بِالنَّ ْفَ َو َكتَ ْبنَا َعلَ ْي ِه ْم فِي َها َأنَّ النَّ ْف
َق بِ ِه فَ ُه َو َكفَّا َرةٌ لَهُ ۚ َو َمنْ لَ ْم يَ ْح ُك ْم بِ َما َأ ْنزَ َل هَّللا ُ فَُأو ٰلَِئك َ َاص ۚ فَ َمنْ ت
َ ص َّد ٌ ص َ ِوح ق َ سنِّ َوا ْل ُج ُر ِّ بِال
َُه ُم الظَّالِ ُمون
“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya
jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishaashnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak qishaash) nya, maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim’’.
Ayat ini mengisahkan hukum yang berlaku pada orang Yahudi di masa dahulu
kala. Hukum-hukum dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun hadis Nabi
disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat
Nabi Muhammad dan berlaku untuk selanjutnya.5
س ٰىَ ص ْينَا بِ ِه ِإ ْب َرا ِهي َم َو ُمو َّ وحا َوالَّ ِذي َأ ْو َح ْينَا ِإلَ ْي َك َو َما َو
ً ُص ٰى بِ ِه نَّ ش ََر َع لَ ُك ْم ِمنَ الدِّي ِن َما َو
ْ س ٰى ۖ َأنْ َأقِي ُموا الدِّينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوا فِي ِه ۚ َكبُ َر َعلَى ا ْل ُم
ش ِر ِكينَ َما تَ ْدعُو ُه ْم ِإلَ ْي ِه ۚ هَّللا ُ يَ ْجتَبِي َ َو ِعي
ُ ِِإلَ ْي ِه َمنْ يَشَا ُء َويَ ْه ِدي ِإلَ ْي ِه َمنْ يُن
يب
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama
5
Prof Muhammad Abu Zahrah, 144.
itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya
orang yang kembali (kepada-Nya)’’.
B. Surat al-Nahl: 123
ْ ثُ َّم َأ ْو َح ْينَا ِإلَ ْيكَ َأ ِن اتَّبِ ْع ِملَّةَ ِإ ْب َرا ِهي َم َحنِيفًا ۖ َو َما َكانَ ِمنَ ا ْل ُم
َش ِر ِكين
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan’’.
Sehubungan dengan pendapat tersebut, ulama Hanafiyah memberlakukan hukum
qishash yang seimbang sebagaimana tersebut dalam surat Al-Maidah: 45 bagi
umat Islam, meskipun ayat tersebut diarahkan kepada orang Yahudi. Berdasarkan
pendapat ini orang muslim yang membunuh kafir dzimmi dikenai qishash
sebagaimana orang kafir dzimmi membunuh orang Islam. Sedangkan kalangan
ulama Syafi’iyah yang tidak memberlakukan syariat umat Yahudi itu untuk umat
Islam memahami ayat tersebut bahwa tidak perlu ada keseimbangan dalam
pelaksanaan qishash antara mushlim dan non-muslim sebagaimana yang
diberlakukan terhadap orang Yahudi. Oleh karena itu, bila orang muslim
membunuh kafir dzimmi, maka tidak diberlakukan hukum qishash. Tetapi bila
kafir dzimmi yang membunuh orang Islam, maka diberlakukan qishash.
Sebenarnya perbedaan pendapat dalam soal qishash itu tidak semata disebabkan
oleh perbedaan pendapat dalam hal pemberlakuan syariat sebelum kita tersebut,
tetapi ada beberapa faktor (pertimbangan) lainnya. Meskipun dalam hal ini
terdapat perbedaan pendapat, namun yang berpendapat bahwa syariat sebelum
kita itu dapat menjadi syariat bagi kita adalah bukan karena ia adalah syariat
sebelum kita tetapi karena ia terdapat dalam Alquran dan Sunah Nabi yang harus
dijadikan pedoman. Demikian, kedudukannya sebagai salah satu sumber hukum
Islam tidak berdiri sendiri. Nabi Muhammad Saw. sampai usia 40 tahun belum
menerima risalah dari Allah untuk diberlakukan bagi umatnya. Selama masa
menjelang menerima risalah itu, apakah beliau beramal mengikuti syariat agama
sebelumnya atau tidak? Dalam hal ini ulama ushul berbeda pendapat, yaitu:
Sebagian ulama, termasuk Abu Husein al-Bashri, berpendapat bahwa Nabi
Muhammad tidak pernah mengikuti syariat manapun dari syariat nabi-nabi
sebelumnya ketika beliau belum menerima wahyu. Alasannya karena sekiranya
Nabi Muhammad beramal dengan salah satu syariat yang dibawa Nabi dan Rasul
sebelumnya tentu akan ada penukilan dari beliau dan akan dikenal luas (populer)
tentang beramalnya dengan syariat itu, serta Nabi Muhammad sendiri akan
bergabung dan berbaur dengan sesama umat yang menjalankan syariat tersebut.
Pendapat ini dikuatkan oleh Sidi Nazar Bakry yang mengutip para Jumhur
Mutakalimin dan sebagian ulama Malikiyah mengatakan bahwa Nabi sebelum
diutus menjadi Rasul tidak terikat dengan peraturan/syari’at sebelum Islam,
karena jika Nabi Saw. terikat dengan syari’at sebelum Islam, maka akan ada dalil
yang menunjukkannya. Sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa Nabi
Muhammad mengikuti salah satu syariat yang dibawa oleh Nabi dan Rasul
sebelumnya menjelang beliau menerima risalah. Alasannya ialah bahwa
Muhammad sebelum menerima risalah telah thawaf di Baitullah, dan biasa makan
daging kurban. Hal ini bukanlah suatu amalan yang dapat ditetapkan dengan akal.
Dengan demikian mesti ada petunjuk wahyu yang diikuti beliau, yaitu syariat dari
Nabi dan Rasul terdahulu.
Di kalangan ulama yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad mengikuti suatu
syariat sebelumnya berbeda pendapat dalam hal syariat Nabi yang diikutinya itu:
A. Ada yang menyatakan beliau mengikuti syariat Nabi Nuh dengan alasan
bahwa Nuh adalah Nabi yang paling awal disebut membawa syariat,
sebagai tersebut dalam surat al-Syura: 13 yang artinya:
“Disyariatkan kepadamu dari agama apa yang diwasiatkan dengannya
kepada Nuh dan Kami wahyukan kepadamu’’.
B. Ada yang mengatakan bahwa Muhammad mengikuti syariat Nabi Ibrahim,
karena Nabi Ibrahim adalah yang mengasaskan agama Islam, sebagaimana
firman Allah dalam QS. Ali Imran: 67 yang artinya:
“Ibrahim itu bukan beragama Yahudi dan bukan pulaberagama Nasrani,
tetapi ia adalah orang yang lurus lagi muslim’’.
C. Ada juga yang berpendapat bahwa Nabi Muhammad mengikuti syariat
Nabi Musa, karena Nabi Musa adalah yang pertama disebut sebagai
pembawa kitab.
Pendapat ulama yang bersikap tawaqquf, dalam arti tidak menentukan sikap
tentang apakah Nabi menjalankan syariat yang dibawa Nabi dan Rasul
sebelumnya atau tidak, meskipun ada kemungkinan masih berlakunya syariat
lama tersebut. Pendapat ini adalah yang terpilih menurut Al-Amidi dan Qadhi
Abdul Jabbar dan ulama lain yang sependapat.
Pembahasan ulama ushul berikutnya berkembang kepada kemungkinan Nabi
Muhammad mengikuti syariat sebelumnya sesudah beliau menerima risalah.
Dalam hal ini timbul beberapa pendapat: Abu Hanifah, Ahmad (dalam salah satu
riwayat) dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa Nabi Muhammad ada
mengikuti syariat sebelumnya yang sah yang diterimanya melalui wahyu, dan
tidak melalui kitab suci para nabi dan rasul terdahulu yang sudah diperbarui Allah
atau diubah oleh para pendetanya, selama syariat tersebut belum dinasakh.
Mereka mengajukan argumen dengan beberapa ayat Alquran dan Hadis yang
diantaranya adalah:
A. Surat al-Nahl: 123
“Kemudian Kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti agama Nabi
Ibrahim yang hanif’’.
B. Surat Al-Maidah: 44
“Kami telah menurunkan Taurat yang di dalamnya terdapat petunjuk dan
cahaya yang para nabi berhukum berhukum dengannya’’.
Ulama kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat bahwa Nabi setelah
menerima risalah (wahyu) tidak pernah mengikuti syariat sebelumnya. Mereka
mengemukakan argumen sebagai berikut:
a) Dalam dialog yang berlangsung antara Nabi dengan Mu’az ibn
Jabal tentang cara Mu’az menyelesaikan perkara sewaktu tidak
menemukan jawabannya dalam Alquran dan Sunah, Mu’az
mengatakan bahwa ia akan menggunakan ijtihad dengan akal
pikirannya (ra’yu). Dia tidak menyinggung untuk mengambil
ketentuan dari syariat sebelumnya. Jawaban Mu’az itu mendapat
pujian (persetujuan) Nabi.
b) Kalau Nabi dan umatnya mengikuti syariat sebelumnya dalam
beribadah, tentu mempelajari syariat sebelumnya itu menjadi wajib
kifayah dan Nabi sendiri wajib merujuknya, dan Nabi sendiri tidak
akan berhenti memberikan jawaban terhadap suatu masalah saat
tidak (belum) menerima wahyu. Kenyataannya menunjukkan
bahwa Nabi tidak pernah berpedoman pada syariat sebelumnya.
c) Ijma’ ulama menetapkan bahwa syariat Islam yang dibawa Nabi
Muhammad itu menasakh syariat sebelumnya. Seandainya Nabi
pernah mengikuti syariat sebelumnya, maka tentu syariat Islam
akan memberikan pengakuan terhadap syariat-syariat sebelumnya,
dan tidak akan menasakhnya. 6
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, 392-395.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu
mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad.
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan
rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan
perkembangan zaman masing-masing.
Oleh karena agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad merupakan
agama terakhir maka akan ditemukan beberapa hal berkaitan syariat sebelum
Islam, pertama penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum
kita sehingga tidak berlaku lagi, kedua sebagian hukum-hukum umat yang
terdahulu ada yang dinyatakan masih berlaku melalui Alquran atau Hadis, dan
sebagian dinyatakan namun tidak dijelaskan masih berlaku atau tidak.
Para ulama berpendapat bahwa untuk masalah aqidah, syari’at Islam tidak
membatalkannya dengan catatan tidak bertentangan dengan aqidah Islam.
Sedangkan syariat sebelum Islam yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan
Sunnah tidak menjadi syariat bagi Rasulullah Saw dan umatnya kecuali yang
dinyatakan dalam Alquran dan Sunnah melahirkan kaidah tersendiri dalam
perumusan hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh, Depok: Kencana.
Abu Zahrah, Muhammad. 1994. Ushul Fiqh. Pustaka Firdaus.
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana, Jakarta.